Aku kuliah dan kost sendirian di sebuah kota lah pokoknya. Sudah dua tahun aku kost sendiri. Orangtua dan semua saudara ku berada di kampung. Karena aku memang anak kampung. Lahir, tumbuh dan besar di kampung. Hingga aku lulus SMA, dan mencoba menuruti keinginan orangtua ku untuk kuliah di kota.
Sebagai anak kuliahan dan berasal dari keluarga menengah ke bawah, hidup ku memang cukup pas-pasan. Aku harus sering berhemat, karena uang kiriman orangtua ku tidaklah pernah benar-benar cukup.
Untuk mencukupi kebutuhan ku sehari-hari, aku pun nyambi kerja menjadi seorang pelayan di sebuah kafe. Hasilnya lumayan, hanya saja aku harus bisa mengatur waktu dengan baik, antara bekerja dan kuliah.
Aku memang hanya bekerja saat malam hari, dari jam tujuh malam sampai jam satu malam. Dan karena harus selalu tidur larut malam, aku kadang sering bangun kesiangan. Dan hal itu cukup membuat aku sering telat sampai ke kampus.
Namun aku mencoba menikmati itu semua, setidaknya dengan bekerja, aku jadi sedikit mengurangi beban orangtua ku. Meski pun aku belum menceritakan tentang pekerjaan ku tersebut pada orangtua ku. Aku memang belum berani untuk cerita, karena pasti orangtua ku akan marah jika mengetahui hal tersebut.
Karena itu aku tetap memilih untuk merahasiakan hal tersebut pada orangtua ku.
****
Tak jauh dari tempat kost ku itu, ada sebuah tempat pangkas rambut, yang memang sudah sejak lama berada di sana. Bahkan mungkin jauh sebelum aku kost di situ.
Tukang pangkas rambut itu seorang laki-laki yang sudah cukup berumur. Namun dari yang aku tahu, laki-laki si tukang pangkas itu belum menikah. Ia tinggal sendiri di tempat pangkas tersebut.
Namanya bang Iwan, setidaknya begitulah biasa orang-orang memanggilnya.
Bang Iwan sebenarnya memiliki wajah yang lumayan tampan. Dengan postur tubuh yang juga cukup atletis. Senyumnya manis. Apa lagi bang Iwan memang cukup ramah orangnya.
Banyak orang yang memilih untuk memangkas rambutnya di tempat pangkas bang Iwan. Selain karena pekerjaannya yang rapi, bang Iwan juga memasang tarif yang cukup ekonomis. Apa lagi kebanyakan dari pelanggan pangkas bang Iwan adalah mahasiswa. Dan bang pun memasang tarif khusus untuk para mahasiswa.
Aku adalah salah seorang pelanggan pangkas bang Iwan. Selain dekat dan murah, aku memang juga suka kalau lagi ngobrol sama bang Iwan. Ia memang orangnya blak-blakan dan terkesan apa adanya.
Awalnya aku mengenal bang Iwan hanya sebatas sebagai tukang pangkas. Pembicaraan kami pun selama ini hanya bersifat hal-hal yang umum.
Hingga pada suatu siang, saat itu hanya aku dan bang Iwan di tempat pangkas tersebut. Aku sengaja mampir di situ, saat baru saja pulang kuliah, sebelum aku kembali ke kost.
"jadi kalau malam kamu kerja di kafe?" tanya bang Iwan.
Aku mengangguk ringan. Meski pun aku tidak tahu dari mana bang Iwan tahu akan hal tersebut. Karena aku memang tidak pernah bercerita tentang hal itu kepada bang Iwan. Mungkin ia mengetahuinya melalui salah seorang teman kost ku.
"hebat ya kamu. Jarang loh ada mahasiswa yang mau kuliah sambil kerja." ucap bang Iwan lagi.
"ya namanya juga mahasiswa kere, bang. Jadi memang harus kerja, untuk mencukupi kebutuhan ku." balas ku berucap.
"emangnya kamu gak malu? Kerja sambil kuliah?" tanya bang Iwan.
"ngapain malu sih, bang. Kan yang penting pekerjaannya halal, dan yang penting lagi, aku bisa mengurangi bebang orangtua ku." balas ku apa adanya.
"kamu memang pemuda yang luar biasa, Fido. Udah lah ganteng, gagah, rajin dan baik hati pula." ucap bang Iwan ringan.
"ah, bang Iwan bisa aja. Biasa aja kali, bang." balas ku, mencoba menahan perasaan bangga akan pujian bang Iwan barusan.
"tapi benar, kok. Kamu memang hebat. Dan aku suka sama kamu." ucap bang Iwan, seperti kebiasaannya yang selalu blak-blakan.
"maksud bang Iwan apa sih? Aku jadi malu loh, bang." balasku.
"ngapain kamu malu. Aku memuji kamu tulus loh, Fido. Seperti aku yang juga tulus menyukai kamu." ucap bang Iwan.
"tapi aku kan cowok, bang. Masa' bang Iwan sukanya sama cowok?" balasku sedikit bertanya.
"emangnya gak boleh, kalau cowok juga suka sama cowok?" tanya bang Iwan membalas.
"boleh aja sih, bang. tapi kan..." kalimat ku tergantung.
"udah.. gak usah terlalu kamu pikirkan. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku benar-benar menyukai kamu. Dan jika kamu gak punya perasaan apa-apa sama aku, juga gak apa-apa, kok. Kamu gak harus menjawabnya sekarang. Kamu pikirkan aja hal itu. Nanti kalau kamu sudah mengerti dengan perasaan kamu sendiri, kamu boleh jawab." ucap bang Iwan panjang lebar.
Aku pun akhirnya hanya terdiam. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku katakan saat itu. Aku sungguh tidak menyangka, kalau bang Iwan akan berkata demikian padaku.
Aku memang sempat curiga dulunya, kalau bang Iwan memang punya kelainan. Karena meski pun sudah berusia 35 tahun, ia belum juga menikah. Tapi mendengar hal itu langsung dari bang Iwan, aku sungguh merasa sedikit kaget dan hampir tak percaya.
Sesaat kemudian, aku pun pamit. Aku tak ingin melanjutkan pembicaraan itu lagi. Bukan karena aku merasa jijik atau geli, tapi karena aku sebenarnya tidak benar-benar tahu bagaimana perasaan ku terhadap bang Iwan.
Aku memang menyukai bang Iwan sebagai sosok yang ramah, baik dan cukup humoris. Aku juga merasa cukup nyaman saat mengobrol dengannya. Namun aku tidak yakin, kalau apa yang aku rasakan terhadap bang Iwan adalah perasaan suka yang mengandung cinta.
Aku merasa selama ini, kalau aku sama seperti laki-laki lain pada umumnya. Aku menyukai perempuan bukan laki-laki. Bahkan ketika SMA dulu, aku juga pernah pacaran dengan perempuan. Saat mulai kuliah pun, aku masih sering melirik cewek-cewek cantik di kampus.
Namun sejak mengenal bang Iwan, aku memang hampir tidak pernah lagi memikirkan cewek. Aku sudah terlanjur merasa nyaman, saat bersama bang Iwan.
Bang Iwan selama ini memang cukup baik padaku. Aku sering di beri pangkas gratis oleh bang Iwan. Bahkan beberapa kali aku juga pernah meminjam uang padanya. Bang Iwan juga pernah memberi aku hadiah berupa jam tangan, saat aku ulang tahun. Entah dari mana ia tahu hari ulang tahun ku.
Segala perlakuan baik dan perhatian bang Iwan selama ini padaku, cukup membuat aku terkesan. Hanya saja aku tidak menyangka sama sekali, kalau semua itu bang Iwan lakukan, karena ia merasa tertarik padaku.
Kini bang Iwan sudah jujur padaku, tentang perasaannya. Dan aku justru menjadi serba salah. Bingung. Haruskah aku membalas perasaan bang Iwan, mengingat ia sangat baik dan penuh perhatian padaku selama ini. Atau haruskah aku menjauhinya?
****
Beberapa hari, aku tidak pernah lagi singgah di tempat bang Iwan. Bukan karena aku membencinya. Hanya saja, aku belum bisa memberi jawaban yang pasti padanya.
Hingga pada suatu malam, saat aku baru saja pulang kerja dari kafe. Seperti biasa, aku pulang sudah lewat jam satu malam. Saat melewati tempat pangkas bang Iwan, aku merasa kaget karena melihat bang Iwan duduk sendirian di depan tempat pangkasnya itu.
Melihat aku yang lewat, bang Iwan tiba-tiba berdiri dan memanggil ku pelan.
"ada apa, bang?" tanyaku saat aku akhirnya berjalan ke tempat bang Iwan.
"aku sengaja menunggu kamu di sini, Fido. Sudah beberapa hari ini, kamu tidak lagi main ke sini. Aku jadi merasa bersalah sama kamu. Aku takut, kamu malah jadi membenci ku." balas bang Iwan, saat aku sudah duduk di sampingnya.
"aku gak mungkin membenci bang Iwan. Bang Iwan selama ini sangat baik padaku. Tapi aku memang agak sedikit sibuk akhir-akhir ini." ucapku beralasan.
"lalu apa kamu sudah punya jawabannya?" tanya bang Iwan kemudian.
"aku gak tahu, bang. Aku benar-benar bingung. Terus terang aku memang merasa nyaman saat bersama bang Iwan. Tapi aku ini masih merasa kalau aku masih menyukai cewek. Jadi aku tidak yakin, kalau aku bisa membalas perasaan bang Iwan." ucapku jujur.
"aku ngerti, Fido. Itu hal yang biasa, kok. Tapi jika kamu mau menjalin hubungan cinta dengan ku. Aku tetap akan memberi kamu kebebasan. Kamu boleh berpacaran juga dengan cewek, jika kamu memang menginginkannya. Asal kamu jangan pacaran dengan laki-laki lain." balas bang Iwan.
"bang Iwan serius?" tanya ku tidak terlalu yakin.
"iya, aku serius, Fido. Karena aku benar-benar telah jatuh hati padamu." balas bang Iwan terdengar yakin.
"tapi aku belum pernah pacaran dengan cowok sebelumnya, bang. Aku benar-benar gak ngerti caranya, dan aku juga gak tahu meski ngapain." ucapku kemudian.
"kalau soal itu, gak perlu terlalu kamu pikirkan. Biarkan semuanya mengalir apa adanya. Pada saatnya kamu pasti akan mengerti dengan sendirinya. Pelan-pelan aku akan mengajari kamu caranya." jelas bang Iwan.
"kalau memang itu yang abang inginkan, aku akan mencobanya, bang. Tapi aku masih butuh waktu, untuk bisa menyesuaikan diri dengan semua ini. Jadi aku harap bang Iwan bisa memberi aku waktu dan bisa untuk mengerti." ucapku membalas.
"aku pasti akan sangat mengerti, Fido. Dan aku akan memberi waktu sebanyak apa pun yang kamu butuhkan. Selama kamu tetap bersedia menerima kehadiran ku dalam hidupmu, sebagai seorang kekasih." bang Iwan berujar, sambil sedikit menyentuh tangan ku.
Aku merasa kaget, dan spontan menarik tangan ku sedikit menjauh. Bang Iwan justru tersenyum menatapku.
"kamu gak usah malu-malu gitu." ucap bang Iwan sedikit menggoda ku.
"aku bukan malu, bang. Tapi masih merasa geli." balas ku jujur.
"ya udah, bagaimana kalau kita masuk ke dalam aja?" tanya bang Iwan menawarkan.
"ngapain kita masuk ke dalam, bang? Aku sudah mau pulang, ini sudah jam dua dini hari loh, bang." balas ku pelan.
"ya.. kamu tahu lah, apa yang dilakukan oleh dua orang yang sedang berpacaran. Dan aku harap kamu gak usah pulang ke kost kamu malam ini. Kamu nginap di sini aja, ya." ucap bang Iwan kembali menawarkan.
"maaf, bang. Seperti yang aku katakan tadi, aku masih butuh waktu. Jadi jangan sekarang ya, bang. Lebih baik kalau aku pulang ke kost ku aja." balasku sedikit merasa cemas.
Kali ini bang Iwan terdiam. Ia terlihat sedang berpikir. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Namun yang pasti, aku memang ingin segera kembali ke kost ku.
Karena itu, aku pun segera berdiri, sebelum bang Iwan sempat mengucapkan kalimatnya selanjutnya.
"aku permisi, bang. Sampai jumpa lagi." ucapku berat.
Bang Iwan pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya membiarkan aku pergi berlalu dari hadapannya. Aku pun dengan terburu, segera melangkah menuju tempat kost ku.
Pikiranku sebenarnya masih belum sepenuhnya percaya, dengan apa yang aku bicarakan dengan bang Iwan tadi. Entah dorongan dari mana, sampai aku memutuskan untuk menerima cinta bang Iwan. Padahal aku sendiri masih merasa belum yakin akan semua itu.
Namun apa pun itu, sekarang aku sudah terlanjur memberikan bang Iwan kesempatan. Sekarang aku sudah berstatus sebagai pacarnya.
Lalu mungkinkah aku bisa benar-benar jatuh cinta pada bang Iwan?
Mungkinkah kesempatan yang aku berikan padanya, akan membuat aku terjebak dalam ikatan cinta yang tak semestinya?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langusng klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang untuk kalian semua.
*****
Part 2
Hari-hari pun terus berlalu. Dan aku masih dengan perasaan ragu, akan kehadiran bang Iwan dalam hidupku.
Sejak dulu, aku memang selalu tertarik pada perempuan. Tak pernah terpikir sebelumnya oleh ku, kalau aku akan punya hubungan istimewa dengan seorang laki-laki.
Aku yang dulunya selalu suka memikirkan seorang cewek, tiba-tiba saja aku merasa nyaman dengan perhatian dan kebaikan sosok seorang bang Iwan dalam hidupku.
Meski pun ada rasa bahagia dalam hati ku, saat bang Iwan mengungkapkan perasaannya padaku. Namun aku belum benar-benar siap menjalin hubungan asmara dengannya. Aku masih merasa malu. Aku masih merasa risih.
Meski pun aku sudah terlanjur menerima cinta bang Iwan. Tapi aku belum siap untuk melakukan hal yang lebih dengannya. Karena itu aku masih selalu menjaga jarak dengannya.
"sampai kapan kita akan seperti ini, Fido?" tanya bang Iwan suatu malam.
"kita pacaran, tapi kita hanya ngobrol doang." lanjutnya.
"bukankah lebih baik seperti ini, bang. Ini namanya pacaran sehat." balasku lemah.
"tapi abang juga ingin seperti orang-orang, Fido. Karena ungkapan cinta bukan hanya sekedar ucapan dari mulut, tapi juga dari tindakan kita." ucap bang Iwan lagi.
"iya, aku tahu, bang. Tapi seperti yang aku katakan, aku belum siap untuk itu. Aku masih butuh waktu. Aku harap abang lebih bersabar lagi, ya..." balas ku pelan.
"abang akan selalu sabar, Fido. Tapi masa' iya, kamu tak ingin mencobanya sedikit pun?" ucap bang Iwan.
"aku bukannya gak mau mencoba, bang. Tapi aku masih merasa risih." balasku.
"mungkin kamu butuh pancingan, Fido. Bagaimana kalau kita nonton video berdua?" ucap bang Iwan menawarkan.
Kali ini aku terdiam. Aku tahu maksud bang Iwan sebenarnya. Tapi tetap saja aku merasa belum siap.
Namun melihat besarnya keinginan bang Iwan akan hal tersebut, aku mulai merasa tak tega melihatnya.
Mungkin memang lebih baik kalau aku mencoba saja hal tersebut. Karena sebenarnya aku juga penasaran akan hal itu. Aku juga pengen merasakannya. Aku pengen tahu, seperti apa hebatnya hal itu.
"emangnya abang ada video nya?" tanyaku akhirnya.
"kan bisa kita download, Fido. Kalau kamu mau, aku akan mendownload nya." balas bang Iwan.
"terserah abang aja. Aku ikut aja. Tapi jika aku tidak juga bisa nantinya, meski pun sudah menonton video, aku harap abang bisa mengerti." ucapku kemudian.
Bang Iwan pun kemudian mengambil handphone nya, lalu ia pun berselancar untuk mencari video yang ingin ia download tersebut. Aku menunggu dengan perasaan tak karuan. Dada ku berdebar hebat. Biar bagaimana pun, aku memang belum pernah melakukan hal tersebut, apa lagi dengan seorang laki-laki.
****
Setelah selesai mendownload video yang ia inginkan, bang Iwan pun mulai memutar video tersebut dan kami pun nonton berdua.
Awalnya aku merasa biasa saja. Namun ad3gan demi ad3gan dalam vid3o tersebut, semakin lama sem4kin membuat aku gelis4h.
Perlahan namun pasti aku pun mulai merasa terp4ncing. Keingin4n itu pun muncul tiba-tiba. Dan bang Iwan pun menyadari hal itu. Ia pun tidak tinggal diam. Bang Iwan mulai ikut memb4ntu m3mancing keing!nan ku tersebut.
Akhirnya aku pun tak bisa men4han diri. Aku mul4i bere4ksi men4nggapi perl4kuan bang Iwan padaku. Hingga akhirnya, aku pun mula! terh4nyut.
Aku tak lagi memperh4tikan ad3gan dalam vid3o tersebut, tapi lebih fokus dengan apa yang bang Iwan lakuk4n terh4dapku.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, aku dan bang Iwan mel4kukan hal yang seharusnya di l4kukan oleh dua or4ng yang s4ling m3ncintai. Aku pun terny4ta bisa menikm4ti hal tersebut. Rasanya hal itu terny4ta sungguh lu4r biasa.
Dan aku harus meng4kui akan keahl!an bang Iwan.
*****
Sejak kejadian malam itu, aku dan bang Iwan pun semakin sering mel4kukan hal tersebut. Aku juga mulai terbiasa dengan semua itu. Terkadang justru aku yang memintanya pada bang Iwan.
Hubungan cinta kami pun semakin erat. Ungkapan cinta kami, bukanlah lagi sekedar ucapan dari mulut, namun juga kami ungkapkan melalui tindakan.
Kini hampir setiap malam, sepulang kerja, aku selalu mampir ke tempat pangkas bang Iwan. Dan bang Iwan sudah menunggu ku di sana. Aku juga jadi sering menginap di tempat bang Iwan.
Namun terlepas dari itu semua, dalam kehidupan ku sehari-hari, aku selalu berusaha terlihat sebagaimana laki-laki pada umumnya. Terutama saat aku berada di kampus.
Di kampus aku juga punya seorang cewek yang coba aku dekati. Namanya Weni. Dia gadis cantik dan juga ramah.
Sebenarnya sudah sejak lama aku mencoba mendekati Weni. Kami juga sudah mulai akrab sebenarnya. Hanya saja, aku masih ragu untuk mengungkapkan perasaan ku padanya. Aku takut Weni tidak mau menerima ku.
Namun setelah sekian tahun berteman dekat, aku pun mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku pada Weni.
"sebenarnya sudah lama aku suka sama kamu, Wen. Apakah kamu mau menjadi pacarku?" begitu kira-kira kalimat yang aku ucapkan pada Weni.
"aku juga suka sama kamu, Fido. Tapi mengapa baru sekarang kamu mengatakannya?" balas Weni pelan.
"karena baru sekarang aku punya keberanian untuk mengungkapkannya." jelasku.
"jadi gimana apa kamu mau?" tanyaku melanjutkan.
"iya, aku mau, Fido. Tapi aku harap aku adalah satu-satunya pacar kamu. Aku tak suka kalau di duakan, walau dengan alasan apa pun." balas Weni.
"aku tak akan pernah menduakan kamu, Weni. Aku janji." ucapku yakin. Meski pun setengah hatiku meragukan hal tersebut. Biar bagaimana pun saat ini, aku sedang menjalin hubungan juga dengan bang Iwan. Tapi bukankah hubungan ku dengan bang Iwan, hanyalah sebuah hubungan rahasia. Lagi pula, bang Iwan juga memberikan aku kebebasan untuk bisa menjalin hubungan dengan perempuan mana pun.
Terlepas dari itu semua, aku sungguh merasa bahagia menyadari kalau Weni ternyata juga menyukai ku dan ia pun bersedia menjalin hubungan denganku.
Aku dan Weni pun berpacaran. Pacaran sehat tentunya. Kami hanya sekedar jalan-jalan berdua, nonton di bioskop, atau sekedar makan-makan di kafe. Hanya sekedar bergandengan tangan. Aku tak berani untuk melakukan hal yang lebih dari itu.
Sementara hubungan ku dengan bang Iwan terus berjalan. Kami masih sering bertemu, terutama saat malam-malam aku pulang kerja.
Aku mencoba menjalani dua hubungan yang berbeda itu. Aku mencoba menikmati hal tersebut.
Aku juga sudah jujur pada bang Iwan tentang hubunganku dengan Weni. Bang Iwan pun tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena memang begitulah perjanjian kami dari awal. Bang Iwan memang memberikan kebebasan akan hal tersebut. Selama aku masih punya waktu dengannya.
Namun tentu saja kepada Weni, aku tak akan pernah menceritakan tentang bang Iwan. Weni hanya tahu, kalau dia adalah satu-satunya pacarku.
****
Hubungan dua arah yang aku jalin bersama bang Iwan dan juga bersama Weni, tetap terus berjalan dengan baik. Aku selalu bisa membagi waktu untuk mereka berdua. Aku selalu bisa memerankan peranku, baik kepada weni juga kepada bang Iwan.
Tapi ternyata hal itu tidaklah berlangsung lama, setelah hampir satu tahun aku menjalani dua hubungan tersebut, tiba-tiba saja bang Iwan mulai berulah.
"aku ingin kamu memutuskan Weni, Fido. Aku tak ingin lagi selalu menjadi yang kedua buat kamu. Aku selalu merasa cemburu, setiap kali membayangkan kamu bersamanya." ucap bang Iwan suatu malam.
"tapi bukannya dulu, bang Iwan sudah berjanji akan memberikan aku kebebasan untuk hal itu. Tapi mengapa sekarang bang Iwan justru mempemasalahkannya?" balasku.
"karena aku benar-benar mencintai kamu, Fido. Aku tak bisa lagi berbagi dirimu dengan orang lain. Aku hanya ingin memiliki kamu seutuhnya." ucap bang Iwan lagi.
"tapi aku tidak mungkin meninggalkan Weni, bang. Aku benar-benar mencintainya." balasku.
"berarti kamu tidak mencintaiku?" tanya bang Iwan serak.
"aku juga mencintai bang Iwan. Tapi.... aku benar-benar tidak bisa meninggalkan Weni." balas ku.
"kamu harus memilih, Fido. Aku atau Weni." ucap bang Iwan kemudian.
"jangan membuat semua ini jadi lebih sulit bagiku, bang." balasku lagi.
"gak ada yang sulit, Fido. Kamu hanya harus memilih." ucap bang Iwan lugas.
"aku gak bisa memilih, bang." balasku.
"kamu jangan egois, Fido. Kamu gak bisa memiliki kami berdua sekaligus. Cepat atau lambat kamu harus membuat keputusan. Aku mungkin bisa menerima kenyataan, kalau kamu punya hubungan dengan Weni. Tapi bagaimana dengan Weni sendiri? Apa ia bisa menerima, kalau ia tahu kamu punya hubungan ku?" ucap bang Iwan terdengar tegas.
"Weni tidak akan pernah tahu, bang. Selama kita bisa menjaga rahasia hubungan kita berdua." balasku datar.
"tapi aku yang tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, Fido. Jika kamu tidak membuat pilihan secepatnya, maka aku bisa saja menceritakan hubungan kita pada Weni." ucap bang Iwan tajam.
"abang jangan gila, bang. Jika abang melakukan hal tersebut, bukan hanya aku yang malu, bang. Tapi abang juga akan menanggung akibatnya." balasku sedikit mengeras.
"apa pun akibatnya akan aku tanggung, Fido. Aku hanya ingin kamu bersikap tegas akan hal ini." ucap bang Iwan lagi.
"aku butuh waktu untuk memutuskannya, bang. Ini bukan hal mudah bagiku. Jadi aku harap abang bisa lebih sabar lagi." pelan aku berucap.
"aku sudah cukup sabar, Fido. Aku hanya ingin kamu membuat keputusan. Jika hubunganmu dengan Weni adalah hal yang serius, aku harap kamu bisa meninggalkan ku. Aku tak ingin menjadi penghalang akan kebahagiaan hubuganmu dengan Weni." balas bang Iwan selanjutnya.
Aku pun kemudian hanya terdiam. Sepertinya bang Iwan benar-benar serius dengan semua ucapannya. Tapi aku benar-benar tidak bisa memilih di antara mereka berdua saat ini.
Aku sudah terlanjur nyaman bersama bang Iwan. Kesan yang ia berikan hampir setiap malam padaku, benar-benar membuat aku tidak bisa melupakannya. Sementara perasaanku terhadap Weni kian hari kian berkembang.
Namun seperti yang bang Iwan katakan, aku memang harus memilih. Aku tak boleh egois, dengan tetap berusaha untuk bisa memiliki mereka berdua.
Bang Iwan benar, jika aku benar-benar mencintai Weni, harusnya aku bisa dengan mudah meninggalkan bang Iwan. Tapi entah mengapa, hati ku merasa berat melakukan hal tersebut. Bang Iwan punya peran tersendiri dalam hidupku. Dia adalah warna lain dalam hatiku.
Meski tak seindah cinta yang aku rasakan terhadap Weni, namun kehadiran bang Iwan benar-benar mampu melengkapi hidupku. Aku merasa hubunganku dengan mereka berdua, membuat hidupku menjadi lebih bermakna dan penuh warna.
Tapi sepertinya saat ini, aku memang harus melepaskan salah satu dari mereka. Aku tak mungkin bisa memiliki mereka berdua dalam waktu bersamaan.
Hanya saja saat ini, aku belum bisa membuat pilihan yang tidak menyakiti siapa pun. Aku menyayangi mereka berdua.
Lalu keputusan apakah yang akan aku ambil dalam hal ini?
Siapakah yang aku pilih untuk aku pertahankan?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Part 3
Aku masih merasa dilema. Aku belum bisa memutuskan antara memilih bang Iwan atau Weni.
Bang Iwan yang selama ini selalu baik padaku. Dia juga laki-laki pertama yang mampu menumbuhkan kesan yang indah dalam hatiku. Sementara Weni, adalah wanita yang aku cintai. Weni juga sangat perhatian padaku.
Namun saat ini, bang Iwan telah memberikan aku pilihan. Bertahan dengan hubungan terlarangku dengannya, atau aku harus memilih Weni.
Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit bagiku. Meski pun hubungan ku dengan bang Iwan adalah sebuah kesalahan, tapi aku sangat menikm4ti hubungan tersebut. Aku juga sangat menyayanginya.
Namun aku juga tidak mungkin bisa melepaskan Weni begitu saja, selain karena aku memang sangat mencintainya, tapi juga karena selama ini hubungan kami baik-baik saja. Dan hubungan kami juga merupakan hubungan yang normal. Hubungan cinta antara seorang cowok dengan seorang cewek.
Meski pun demikian, aku memang harus tetap memilih.
"aku ingin kita putus, Wen." suara ku berat. Saat akhirnya pada suatu siang, aku mengajak Weni ngobrol di sebuah kafe.
"putus?" kening Weni berkerut, "kenapa?" tanya nya lirih.
"aku tidak menjelaskannya, Wen. Tapi rasanya aku sudah tidak sanggup lagi melanjutkan hubungan kita. Aku capek, Wen." suara ku ikut lirih.
"tapi aku tetap butuh penjelasan, Fido. Aku rasa hubungan kita dari awal hingga sekarang, semuanya baik-baik saja. Kita tidak pernah ada masalah. Tapi kenapa tiba-tiba saja kamu ingin kita putus?" ucap Weni serak.
"kamu terlalu baik untuk ku, Wen. Aku hanya merasa tidak pantas untuk mendampingi kamu. Aku bukanlah laki-laki yang tepat buat kamu." balas ku pilu.
"mengapa kamu baru mengatakan hal ini, setelah hampir setahun kita berpacaran? Rasanya itu gak adil buat ku." ucap Weni lagi.
"iya, aku tahu aku salah. Untuk itu aku minta maaf, Wen." balasku cepat.
"mudah bagi kamu untuk minta maaf, Fido. Setelah apa yang kita lalui bersama. Kamu seperti sengaja mempermainkanku." ucap Weni.
"aku benar-benar minta maaf, Wen." suara ku lirih.
"setidaknya beri aku alasan yang lebih masuk akal, Fido. Aku bukan mainan mu, yang bisa kamu campakkan begitu saja, setelah kamu tidak lagi membutuhkan ku." ucap Weni kemudian.
"terserah kamu mau menilai bagaimana saat ini, Wen. Aku juga akan terima jika kamu membenci ku. Namun yang pasti, aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan kita. Aku harap kamu mengerti." balasku pelan.
Sesaat kemudian, aku pun meninggalkan Weni sendirian. Aku memang tidak ingin berdebat lebih lama lagi dengan Weni. Karena setiap kalimat yang aku ucapkan, bukan saja akan menyakiti hati Weni, tapi juga akan melukai perasaan ku sendiri.
Weni tak berniat untuk mencegahku. Sepertinya ia benar-benar membenci ku saat ini. Tapi aku sudah tidak bisa peduli lagi akan hal itu.
Keputusan ku, untuk mengakhiri hubungan ku dengan Weni sudah bulat. Meski aku sakit karenanya.
Bukan hanya Weni yang terluka dalam hal ini, tapi aku juga. Namun hanya itu pilihan yang aku punya saat ini. Karena biar bagaimana pun, Weni adalah wanita baik-baik. Dia pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dariku.
*****
Aku memilih untuk melepaskan Weni dan memilih untuk mempertahankan hubungan ku dengan bang Iwan. Karena biar bagaimana pun, bang Iwan lah, yang terlebih dahulu menjalin hubungan dengan ku. Dan lagi pula, bang Iwan juga sangat berjasa dalam hidupku.
"jadi kamu sudah putus dengan Weni?" tanya bang Iwan, ketika suatu malam aku berada di tempatnya.
"iya, bang." jawabku lemah.
"berarti sekarang, aku tidak harus lagi merasa cemburu. Aku juga tidak harus berbagi diri mu dengan orang lain." ucap bang Iwan lagi.
"iya, bang." balasku masih dengan nada yang sama.
"tapi kenapa kamu jadi sedih seperti itu? Apa kamu menyesal?" tanya bang Iwan.
"tidak ada yang harus aku sesali, bang. Ini sudah menjadi keputusan ku. Meski pun sebenarnya, aku merasa sakit dengan semua ini." balasku.
"aku akan mengobati sakit mu, Fido. Aku akan buat kamu tersenyum kembali." ucap bang Iwan lagi.
"ini bukan hanya tentang aku, bang. Tapi juga Weni. Dia pasti sangat membenci ku saat ini. Dia juga pasti sangat terluka. Dan aku hanya merasa bersalah." ucapku pilu.
"waktu pasti akan menyembuhkan lukanya, Fido. Dan waktu juga yang akan menyadarkan kamu, bahwa keputusan yang kamu ambil adalah yang terbaik." pungkas bang Iwan lugas.
Dan kemudian aku hanya terdiam, membiarkan bang Iwan menghibur ku dengan caranya. Membiarkannya melakukan apa yang ingin ia lakukan padaku malam itu, seperti malam-malam sebelumnya.
Hanya saja kali ini aku merasa berbeda. Aku baru saja melepaskan gadis yang aku cintai, hanya untuk membuat bang Iwan merasa bahagia.
*****
"aku ingin kita mengakhiri hubungan kita, Fido." ucap bang Iwan, setelah beberapa bulan kemudian.
"kenapa?" tanyaku heran.
"setelah beberapa bulan ini aku perhatikan, kamu selalu murung. Kamu tak lagi seperti dulu, seperti pertama kali kita berpacaran dulu. Sejak kamu putus dengan Weni, kamu mulai berubah. Aku tak lagi merasakan keindahan saat bersama kamu. Kamu lebih banyak diam dan terlalu pasrah." balas bang Iwan.
"aku memang butuh waktu, bang." ucapku.
"tapi ini sudah lebih dari tiga bulan, sejak kamu putus dengan Weni. Kamu butuh waktu berapa lama lagi, Fido?" balas bang Iwan.
Aku pun terdiam. Terus terang, aku memang belum bisa melupakan Weni. Setiap kali bersama bang Iwan, aku masih terus memikirkan Weni. Mungkin aku memang benar-benar mencintai Weni. Dan keputusanku untuk melepaskannya adalah sebuah kesalahan.
Sebuah kesalahan yang terus menghantui pikiran ku. Sebuah kesalahan yang terus membuat aku merasa bersalah.
Seberapa pun bang Iwan terus berupaya untuk menghibur ku. Seberapa pun usaha bang Iwan untuk membuat aku bisa melupakan Weni, tetap saja, bayangan Weni terus menghantui pikiran ku.
"aku akan beri kamu waktu, Fido. Untuk berpikir. Dan untuk sementara mungkin lebih baik, kalau kita tidak usah bertemu dulu." ucap bang Iwan tiba-tiba, melihat keterdiaman ku.
"iya, bang. Mungkin itu lebih baik untuk kita saat ini." balas ku spontan.
Untuk selanjutnya, kami pun tidak berkata apa-apa lagi. Kami sama-sama terdiam, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
****
"apa kabar, Fido?" suara lembut weni, membuyarkan lamunan ku.
Saat itu aku sedang duduk sendirian di sebuah bangku taman. Sudah lebih dari sebulan aku tidak lagi bertemu dengan bang Iwan. Dan bang Iwan pun tidak pernah sekali pun mencoba menghubungi ku. Sepertinya keinginannya untuk mengakhiri hubungan kami sudah benar-benar bulat.
"aku baik-baik saja, Wen. Kamu sendiri gimana?" ucapku membalas.
"aku masih seperti yang dulu, Fido. Rasanya setelah berbulan-bulan kita tidak bersama, tidak banyak yang berubah dalam diri ku. Dan aku harap kamu juga sama." balas Weni.
"kamu sudah tidak marah lagi padaku?" tanya ku ingin tahu.
"aku tidak pernah marah sama kamu, Fido. Apa lagi setelah aku tahu, alasan kamu yang sebenarnya untuk memutuskan ku." balas Weni, yang membuat ku menatapnya tajam.
"alasanku memutuskan kamu sebenarnya? Maksud kamu apa?" tanyaku bingung.
"beberapa hari yang lalu, bang Iwan, si tukang pangkas teman mu itu, datang menemuiku dan dia menceritakan semuanya." balas Weni.
"bang Iwan?" tanyaku terheran, "bang Iwan cerita apa sama kamu?" tanyaku lagi. Aku benar-benar penasaran. Selain itu aku juga merasa takut. Takut kalau bang Iwan telah menceritakan tentang hubungan ku dengan nya.
Namun jika benar bang Iwan telah membuka rahasia hubunganku dengannya pada Weni, untuk apa lagi Weni menemuiku? Jika Weni sudah tahu semuanya, ia pasti akan merasa jijik melihat ku.
"bang Iwan cerita, kalau kamu memutuskan ku saat itu, adalah karena kamu sedang dalam masalah besar. Kamu saat itu sedang terlilit hutang yang sangat banyak. Hal itu membuat kamu jadi harus bekerja sangat keras, bahkan siang malam."
"dan karena hampir sepanjang waktu kamu harus bekerja, jelas hal itu membuat kamu jadi tidak punya waktu untuk ku. Karena itu kamu memilih untuk memutuskan ku, agar kamu bisa lebih fokus untuk bekerja." jelas Weni akhirnya panjang lebar.
"andai saja kamu jujur waktu itu, Fido. Mungkin aku bisa membantu kamu. Tapi aku ngerti, kok. Kamu pasti tidak ingin membebani ku, dan kamu pasti juga tidak ingin aku tahu, tentang persoalan mu tersebut." lanjut Weni berucap lagi.
"bang Iwan cerita seperti itu sama kamu?" tanya ku tanpa sadar.
"iya, dan kamu gak perlu pura-pura lagi. Aku sudah tahu semuanya. Bang Iwan juga udah cerita, kalau sebenarnya sampai saat ini, kamu juga masih mencintaiku kan?" balas Weni penuh keyakinan.
Oh, terus terang aku merasa lega. Bukan karena Weni tidak marah lagi padaku. Tapi karena bang Iwan tidak seburuk yang aku sangka. Tadinya aku pikir dia akan menceritakan tentang hubungannya dengan ku kepada Weni. Tapi ternyata, dia sengaja mengarang cerita, agar Weni mau memaafkan ku.
Tak ku sangka, bang Iwan akan melakukan hal tersebut. Bang Iwan memang benar-benar laki-laki yang baik. Aku mulai merasa menyesal telah meninggalkannya.
Ternyata diam-diam selama sebulan ini, bang Iwan justru berusaha untuk membuat aku bisa kembali lagi kepada Weni. Dia rela mengubur cintanya, demi membuat aku bahagia. Sungguh aku merasa tersentuh dengan pengorbanannya itu.
Padahal aku sudah tidak berharap lagi, untuk bisa kembali lagi bersama Weni. Aku sudah berusaha untuk melupakanya, meski pun hatiku masih mencintainya.
****
Setelah aku dan Weni sepakat untuk kembali menjalin hubungan cinta, keesokan malamnya aku pun nekat untuk menemui bang Iwan.
"makasih ya, bang." ucapku.
"makasih untuk apa?" tanya bang Iwan pura-pura tidak paham.
"makasih untuk apa yang telah abang lakukan terhadap aku dan Weni." jelasku.
"kamu gak usah berterima kasih padaku. Anggap aja itu, sebagai permintaan maafku, karena sempat membuat kalian terpisah. Padahal aku tahu, kalau kalian berdua benar-benar saling mencintai." balas bang Iwan lugas.
"lalu bagaimana dengan bang Iwan sendiri?" tanyaku ringan.
"aku? Aku akan baik-baik saja, Fido. Aku ini laki-laki bebas, dan aku sudah biasa sendiri." balas bang Iwan terdengar yakin.
"tapi kita tetap berteman kan, bang?" tanya ku ragu.
"selama kamu masih mau berteman dengan laki-laki seperti ku, ya aku pasti tetap mau lah berteman sama kamu, apa lagi kalau kita jadi TTM." balas bang Iwan dengan nada riang.
"TTM? Apa itu, bang?"tanyaku lagi.
"TTM... teman tapi manja..." jawab bang Iwan dengan sedikit mengerlingkan mata.
"ah, bang Iwan bisa aja." ucapku tersenyum.
Bang Iwan pun kemudian membalas tersenyum. Senyum yang ku lihat begitu tulus. Bang Iwan memang sosok laki-laki yang sangat baik. Dan aku mengaguminya karena itu.
Dan sejak saat itulah, aku dan bang Iwan kembali berteman. Hanya berteman. Meski kadang bang Iwan memang sering bersikap manja terhadapku. Tapi aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Selama hal itu ia lakukan, hanya saat kami sedang berdua.
Aku tetap berpacaran dengan Weni. Karena sebenarnya kami berdua memang saling mencintai. Dan aku tetap berteman dengan bang Iwan. Karena tidak mudah bagiku menemukan orang sebaik bang Iwan.
Dan begitulah akhir kisah ku bersama bang Iwan, si tukang pangkas yang sebenarnya sangat gagah itu. Cinta memang indah, namun cinta tidak boleh egois. Cinta juga tidak selamanya harus menyatu.
Bukan tentang kebahagiaan kita, tapi juga tentang kebahagiaan orang yang kita cintai.
Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur dan semoga ada hikmah yang bisa di petik dari kisah sederhana ini.
Sampai jumpa lagi pada kisah-kisah selanjutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih