Langsung ke konten utama

Adsense

Pesona cowok pantai

Liburan kali ini, seperti biasa aku pergi liburan tanpa rencana. Dan selalu sendiri.

Dengan menaiki sepeda motor, aku menuju sebuah pelabuhan yang berada tidak begitu jauh dari kota tempat aku tinggal.

Dari pelabuhan tersebut, aku menaiki sebuah kapal penyeberangan menuju sebuah pulau yang baru-baru ini cukup ramai di kunjungi para pelancong.

Perjalanan naik kapal tersebut, aku tempuh lebih kurang setengah jam. Sesampai di pelabuhan tempat pulau yang aku tuju, aku harus menempuh perjalanan darat lagi selama lebih dari dua jam.

Cerita gay

Setelah perjalanan naik motor selama dua jam, aku pun sampai di sebuah daerah yang merupakan sebauh kawasan wisata pantai yang cukup indah. Ada beberapa buah pantai sebenarnya di pulau ini. Namun karena aku baru pertama kali datang ke pulau ini, aku jadi agak sedikit kebingungan dan masih sering nyasar.

Meski pun demikian, perjalanan yang aku tempuh hampir setengah hari itu tidaklah sia-sia. Saat aku sampai ke pantai tersebut, suasananya sungguh membuat aku merasa nyaman. Begitu tenang dan damai. Apa lagi pemandangan di sepanjang pantai sangat indah.

Aku duduk sendirian di sebongkah batu besar yang berada tidak terlalu jauh dari tepian pantai. Sambil menikmati sebotol minuman ringan dan juga sebatang rokok.

Saat itulah seorang pemuda tegap datang menghampiri ku.

"sendirian aja, mas?" tanya pemuda itu, sambil ia tersenyum.

Aku menatap pemuda itu cukup lama. Selain untuk mencoba mengenali wajahnya, aku juga cukup terkesima dengan senyumnya yang manis. Pemuda itu memang berkulit sedikit gelap, namun wajahnya lumayan tampan.

Tubuhnya kekar dan berotot. Terlihat dari balutan baju kaos oblong yang ia pakai. Baju kaos itu tanpa lengan, sehingga sembulan otot lengannya terlihat sangat jelas dan sangat mengagumkan.

"iya.." jawabku akhirnya, setelah cukup puas mengamati pemuda tersebut.

"boleh saya temani?" tanya pemuda gagah itu lagi.

"kalau kamu gak keberatan, boleh aja.." balas ku berusaha sesantai mungkin.

"gak ganggu kan, mas?" tanyanya lagi meyakinkan.

"ya gak lah, aku justru senang kalau ada yang nemanin." balasku yakin.

Pemuda itu pun duduk di samping ku, sambil ia mengulurkan tangan berjabat tangan dengan ku.

"Mahesa.." pemuda itu menyebutkan namanya dengan tegas.

"Ali.." balas ku ikut menyebutkan nama ku.

"jadi mas Ali memang lagi liburan sendiri atau ..." Mahesa sengaja menggantung kalimatnya.

"saya memang punya hobi berliburan sendirian. Selain memang sudah kebiasaan sejak dulu, saya lebih menikmati kalau berlibur sendirian." jelas ku.

"jadi saya ganggu, dong." ucap Mahesa kemudian.

"ya gak lah. Bertemu dan berkenalan dengan orang-orang justru menjadi salah satu tujuan saya untuk berliburan sendirian. Rasanya lebih seru aja, kalau bertemu teman baru di tempat yang baru." jelasku lagi.

"mas Ali udah nikah?" tanya Mahesa kemudian, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.

"udah." jawabku singkat. Entah mengapa sejak dulu, aku memang tidak terlalu suka orang-orang mempertanyakan tentang status ku.

"udah punya anak?" tanya Mahesa lagi, seakan mengabaikan keengganan ku untuk berbicara.

"saya udah punya anak dua." jawab ku masih dengan nada enggan.

"udah berkeluarga tapi kok lebih memilih liburan sendiri, mas?" Mahesa terus bertanya. Sepertinya ia memang suka ngobrol orangnya.

"kemarin udah liburan dengan keluarga. Sekarang saatnya saya menikmati waktu saya sendiri." balas ku apa adanya.

"oh.." kali ini Mahesa hanya membulatkan bibir.

****

"mas Ali sudah berapa umurnya?" tanya Mahesa lagi, setelah ia menyalakan sebatang rokok.

"saya udah 35 tahun." jawabku, "kamu sendiri?" lanjutku bertanya.

"saya masih 24 tahun, mas." balas Mahesa.

"kamu kuliah?" aku bertanya lagi.

"saya cuma lulusan SMA, mas. Saya gak kuliah, karena gak punya biaya. Jadi sejak lulus SMA, saya sudah mulai bekerja di sini. Di pantai ini." jelas Mahesa cukup terbuka.

"oh, jadi kamu kerja di pantai ini? Kerja apa?" tanya ku penasaran.

"sebenarnya saya kerja bantu-bantu ibu aja di warung, mas. Hanya saja, kalau ada pengunjung yang datang dari jauh, mereka biasanya meminta tolong sama saya untuk sekedar menemani mereka berkeliling pulau ini." jelas Mahesa lagi.

"berkeliling pulau ini, maksudnya?" tanya ku kurang paham.

"iya, mas. Di pulau ini selain pantai ini, ada banyak pantai lainnya yang bisa di kunjungi. Jadi kebanyakan dari para pengunjung, tidak tahu dimana pantai-pantai lainnya berada, karena akses menuju ke pantai-pantai tersebut memang agak sulit."

"untuk menuju pantai lainnya, kita bisa melalui jalur darat, dan bisa juga melalui jalur laut pakai kapal kecil itu, mas." jelas Mahesa sambil ia menunjuk ke arah deretan beberapa kapal kecil di pinggiran pantai tersebut.

Aku mendengarkannya sambil manggut-manggut. Aku memang pernah mendengar tentang beberapa pantai yang berada di pulau ini. Hanya saja, tadinya aku hanya berniat untuk mengunjungi satu pantai ini aja. Selain karena waktu liburan cukup terbatas, aku juga tidak tahu pasti arah menuju pantai lainnya.

Namun mendengar penjelasan Mahesa tadi, aku jadi tergiur untuk mengunjungi pantai lainnya. Dengan adanya Mahesa sebagai pemandu, tentunya aku akan lebih mudah menuju pantai lainnya.

"kalau naik motor, kira-kira berapa lama lagi untuk menuju pantai berikutnya?" tanya ku akhirnya.

"gak terlalu jauh sih, mas. Mungkin hanya sekitar setengah jam perjalanan."  jawab Mahesa.

"emangnya mas Ali mau menjelajahi pulau ini?" lanjut Mahesa bertanya.

"kalau kamu mau menemani saya." balasku.

"itu memang pekerjaan saya, mas. Jadi saya sudah pasti mau. Tapi..." Mahesa menggantung kalimatnya.

"kalau soal bayaran kamu gak usah khawatir, saya akan bayar berapa pun tarif yang kamu tetapkan." potongku cepat.

"iya, mas. Selain itu, kalau untuk menjelajahi semua pantai di pulau ini, gak cukup hanya satu hari, mas." ucap Mahesa kemudian.

"jadi kalau malam kita nginap di mana?" tanyaku benar-benar ingin tahu.

"mas Ali tenang aja. Di setiap pantai yang kita kunjungi, sudah pasti ada tempat penginapannya. Cuma.. ya.. harganya cukup lumayan, mas." jelas Mahesa.

"seperti yang saya katakan, kalau uang bukan masalah bagi saya, yang penting saya bisa merasa puas." ucapku yakin.

"baiklah, mas. Kita bisa berangkat sekarang?" ucap Mahesa akhirnya.

"oke.. tapi kamu yang bawa motornya ya.." balasku, sambil mulai berdiri.

"oke, mas. Itu memang tugas saya. Atau kalau mas mau, bisa pake motor saya aja." ucap Mahesa lagi.

"oh, gak usah. Pake motor saya aja.." balasku.

Kami pun sama-sama melangkah menuju tempat parkir motor ku, yang berada tidak bergitu jauh dari sana. Sebelum berangkat, ku lihat Mahesa ngobrol dengan seorang ibu tua di warung, mungkin itu ibunya. Ia mungkin sedang menyampaikan rencana kepergiannya dengan ku.

*****

Sepanjang perjalanan aku dan Mahesa pun mengobrol dengan santai. Aku memang meminta Mahesa untuk mengendarai motor dengan santai. Selain karena jalannya yang masih jalan batu, aku juga sangat menikmati pemandangan sepanjang perjalanan tersebut. Apa lagi aku juga merasa nyaman berada di belakang Mahesa.

Tubuh kekar Mahesa cukup menggoda ku. Aroma tubuhnya yang khas pemuda pantai juga, mampu menghipnotis ku, untuk aku selalu ingin berada di dekatnya.

Sejak pertama melihat Mahesa tadi, aku memang sudah merasa tertarik dengannya. Selain karena tubuhnya yang kekar, Mahesa juga memiliki kulit tubuh yang eksotis khas pemuda pantai yang gagah. Dia juga memiliki wajah yang manis, menawan dan begitu indah di pandang.

Memandang wajah manis Mahesa, rasanya lebih menarik dari pada sekedar melihat pemandang indah di sepanjang pantai.

Karena itu juga, aku pun memutuskan untuk memakai jasa Mahesa menemani ku berkeliling pulau ini. Bahkan aku berencana untuk menginap beberapa malam di pulau ini, tentu saja aku berharap Mahesa bersedia menemani ku, dan aku akan membayarnya berapa pun.

Bagiku bertemu Mahesa adalah anugerah. Bertemu cowok segagah Mahesa di pulau nan indah ini, merupakan salah satu hal terindah yang ada di pulau ini.

Sepanjang perjalanan, aku bahkan dengan sengaja melingkarkan tanganku di tubuh Mahesa. Dan sepertinya Mahesa juga tidak keberatan dengan hal itu. Entah dia juga menginginkannya, atau mungkin juga karena itu merupakan bagian dari pekerjaannya, dan hal itu bisa saja merupakan hal biasa bagi Mahesa.

****

Setelah menempuh perjalana hampir satu jam, karena motor kami memang berjalan perlahan, kami pun akhirnya sampai ke pantai berikutnya.

Pantai itu sebenarnya terkesan biasa saja, lebih kurang sama dengan pantai pertama yang aku kunjungi tadi. Namun bagi ku, keindahan pantai itu jadi dua kali bahkan tiga kali lipat lebih indah, karena ada Mahesa di samping ku.

Bahkan pesona Mahesa jauh lebih indah dari pemandangan di pantai tersebut. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Sungguh tak pernah aku sangka aku akan bertemu dengan pemuda segagah Mahesa.

Saat kami sampai di pantai tersebut, hari sudah mulai sore, sudah hampir jam lima sore.

"jadi kita mau nginap di sini, atau lanjut ke pantai berikutnya?" tanya Mahesa memecah keheningan.

"kita nginap disini dulu ya, Mahesa. Besok baru kita lanjut ke pantai berikutnya." balasku yakin.

"emangnya mas Ali mau berapa lama berada di pulau ini?" tanya Mahesa lagi.

"kalau bisa selama-lamanya." jawabku asal, sekedar mengungkapkan keinginan ku untuk lebih menikmati hari bersama Mahesa.

"ah, mas Ali bisa aja. Tinggal dong keluarganya disana." balas Mahesa mulai terasa akrab.

"ya, gak apa-apa. Selama aku bisa menghabiskan waktu bersama kamu disini." ucapku mulai blak-blakan. Aku memang kadang bersikap seperti itu. Jika sudah suka dengan seseorang, aku jarang bisa memendamnya.

Untuk sesaat Mahesa menatapku tajam. Mungkin ia mencoba mencerna maksud dari kalimat ku barusan.

"emangnya mas Ali gak merasa kangen sama istri dan anak-anaknya?" tanya Mahesa kemudian.

"kalau sama anak-anak ku, jelas aku selalu merindukan mereka, tapi kalau sama istri ku sih biasa aja." balasku.

"kenapa?" tanya Mahesa heran.

"panjang ceritanya, Mahesa." keluh ku lirih.

"selain untuk menemani berkeliling, aku juga bisa dijadikan teman curhat loh, mas. Mas Ali cerita aja, setidaknya dengan bercerita bisa sedikit mengurangi beban pikiran." ucap Mahesa pelan.

"bagaimana kalau kita ceritanya di tempat penginapan aja, biar lebih bebas aja.." tawar ku.

"bukankah kita juga bebas, mas. Ini kan udah mulai sepi." balas Mahesa.

"iya, sih. Tapi aku pengen sekalian istirahat. Capek seharian naik motor." ucapku lagi.

"ya udah, terserah mas Ali aja. Saya ngikut aja." balas Mahesa.

"tapi gak apa-apa kan, kita tidur satu kamar aja." ucapku ragu.

"gak apa-apa, mas. Lagi pula biar lebih hemat kan?" balas Mahesa.

"bukan masalah hematnya sih, tapi ... ya... aku memang butuh teman untuk bercerita. Dan sepertinya kamu juga asyik untuk di ajak ngobrol." ucapku terdengar santai.

"ya udah ayok..." ajak Mahesa kemudian.

Kami pun menaiki motor kami lagi, dan segera menuju penginapan terdekat.

Mahesa memesan satu kamar untuk kami berdua. Saat itu senja pun sudah mulai datang.

"gak mau menikmati matahari tenggelam dulu, mas." tawar Mahesa, saat kami mulai memasuki kamar.

"ada hal yang lebih indah dari sekedar menikmati matahari tenggelam, Mahesa. Dan hal itu sudah ada di dekat ku." balasku dengan sengaja mulai semakin terbuka.

Untuk kesekian kalinya, Mahesa menatapku lama. Sekali lagi, mungkin ia mencona mencerna kalimat ku barusan. Tapi aku berpura-pura tidak menyadarinya. Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas ranjang.

Mahesa ikut merebahkan tubuhnya di sampingku.

Lalu apakah yang terjadi dengan kami selanjutnya?

Mampukah aku untuk jujur kepada Mahesa tentang kekagumannya ku padanya?

Lalu mungkinkah Mahesa bersedia menghabiskan malam bersama ku?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua..

*****


 Part 2

Malam itu aku dan Mahesa pun berada dalam satu kamar, dan aku merasa bahagia dengan semua itu. Mahesa benar-benar telah mampu menghipnotisku dengan pesonanya yang indah. Dan aku merasa enggan untuk jauh-jauh darinya.

"jadi mas Ali mau cerita tentang apa?" tanya Mahesa memecah keheningan yang tercipta sesaat tadi.

"sebenarnya aku menikah bukan atas keinginan ku sendiri. Aku menikah karena dijodohkan oleh orangtua ku, jadi karena itu aku tak pernah mencinta istri ku." aku memulai cerita ku.

"bahkan setelah mas Ali hidup selama bertahun-tahun bersama istri mas Ali? Bahkan hingga kalian sudah punya dua anak?" tanya Mahesa dengan nada tak percaya nya.

"iya. Ini bukan soal berapa lama kami telah bersama, tapi... ini soal perasaan. Dan lagi pula.... aku ... aku memang tidak pernah merasa ... tertarik... pada perempuan." balasku terbata.

"maksud mas Ali?" tanya Mahesa dengan nada heran.

"sebenarnya... aku.. aku ini seorang gay." suara ku bergetar.

Berkerut kening Mahesa mendengar kalimat ku barusan. Entah ia tak percaya, entah ia kaget dan entah yang ia rasakan sebenarnya mendengar pengakuan ku tersebut.

"aku hampir gak percaya loh, mas. Soalnya mas Ali terlihat gagah dan tampan. Dan lagi pula, mas Ali juga sudah punya anak istri, masa' iya mas Ali ini seorang gay?" Mahesa berucap juga akhirnya, setelah cukup lama ia menatapku tanpa kedip.

"ya.. mau gimana lagi. Itu memang kenyataannya, Mahesa. Lagi pula gak ada salahnya kan, seorang pria gay itu menikah dan juga punya anak?" ucapku pelan.

"gak salah sih, mas. Tapi selama yang saya tahu, biasanya pria gay itu lebih memilih hidup lajang dan lebih menikmati kesendiriannya." balas Mahesa.

"kamu sepertinya sudah cukup berpengalaman, soal pria gay." ucapku sambil kali ini ku beranikan diri menatap Mahesa.

"berpengalaman sih gak, mas. Hanya saja selama saya bekerja di pulau ini, ada sih beberapa orang pria gay, yang minta di temani sama saya untuk keliling pulau ini." jelas Mahesa.

"mereka ada yang ngajak kamu t!dur gak?" tanyaku benar-benar ingin tahu, karena jawaban Mahesa adalah harapan besar bagiku.

"rata-rata sih iya, mas." balas Mahesa lugas.

"dan kamu mau?" tanyaku semakin penasaran.

"ya... tergantung bayarannya, mas. Bagi saya yang penting uangnya. Dan itu merupakan bagian dari pekerjaan saya." balas Mahesa terdengar jujur.

Entah mengapa aku merasa lega mendengar jawaban Mahesa barusan. Rasanya harapan ku semakin besar, untuk bisa mendapatkan Mahesa malam itu. Aku akan bersedia membayar Mahesa berapa pun, jika ia mau menemani ku t!dur malam ini dan malam-malam selanjutnya.

"kalau aku yang bayar kamu.... kamu... mau gak?" tanya ku akhirnya menawarkan.

"emangnya mas Ali tertarik sama saya?" tanya Mahesa balik.

"aku akan bayar berapa aja, Mahesa. Asal kamu mau t!dur dengan ku." ucapku jujur.

Kali ini Mahesa tersenyum. Senyum yang sangat manis. Senyum itu begitu indah.

"kalau mas Ali mau bayar saya, saya pasti bersedia lah, mas. Yang penting uangnya, mas." Mahesa berucap juga akhirnya.

*****

"aku jadi penasaran. Sebenarnya kamu ini laki-laki normal kan?" tanyaku beberapa saat kemudian. Saat itu kami sudah selasai mandi dan makan malam.

"aku ini laki-laki tulen, mas. Aku juga udah punya pacar cewek. Tapi ... bagiku yang penting itu, aku bisa menghasilkan uang, selama hal itu tidak merugikan saya." balas Mahesa.

"jadi sampai kapan kamu akan menjalani pekerjaan seperti ini?" tanyaku lagi.

"aku juga gak tahu pasti, mas. Yang pasti selama aku belum menikah, aku akan tetap menjalani pekerjaan ini. Tapi kalau nanti aku sudah menikah, mungkin aku akan coba buka usaha lain, mas." jelas Mahesa.

"kamu yakin, bisa terlepas dari semua ini begitu saja?" aku bertanya lagi.

"saya yakin, mas. Toh saya gak benar-benar menikmati hal ini. Bagi saya ini hanya sebuah pekerjaan tambahan." balas Mahesa.

"dari sekian banyak, cowok gay yang pernah kamu temani, ada gak yang coba balik lagi ke pulau ini, untuk menemui kamu?" tanya ku kemudian.

"ada sih beberapa orang. Emangnya kenapa, mas?" balas Mahesa.

"gak apa-apa sih. Biasanya, kalau cowok gay sudah merasa tertarik dengan seorang cowok, apa lagi cowok segagah kamu, mereka gak akan berhenti begitu saja. Mereka pasti akan berusaha untuk bisa memiliki kamu selamanya." jelasku.

"ada sih, yang bahkan ngajak aku ikut sama dia, tinggal sama dia, dan hidup di biayai olehnya. Tapi aku jelas menolak lah. Aku punya kehidupan yang ... gak mungkin orang lain bisa mencampurinya." balas Mahesa.

"baguslah kalau begitu. Itu artinya kamu benar-benar punya prinsip." ucapku pelan.

Padahal sebenarnya, aku juga punya niat untuk menawari Mahesa hidup bersama ku, dan membiayai kehidupannya. Namun mendengar ketegasan Mahesa tadi, aku pun segera mengurungkan niatku tersebut.

****

Aku memang telah jatuh cinta pada Mahesa dengan segala pesonanya yang sangat menawan. Tapi untuk berharap bisa memilikinya selamanya, rasanya hal itu memang cukup mustahil.

Namun setidaknya malam ini dan beberapa malam ke depan, aku bisa menghabiskan waktu berdua bersama Mahesa. Aku punya kesempatan untuk menikmati indahnya kebersamaan ku bersama Mahesa.

Malam itu, aku pun mengajak Mahesa untuk melakukan kegiatan 'bercocok tanam', tentu saja setelah kami sepakat mengenai harga yang harus aku bayar.

Mahesa memang sudah cukup berpengalaman. Ia juga sangat mahir membu4i ku dengan segala perm4inan ind4hnya. Aku pun terh4nyut dalam pesona Mahesa yang sangat indah.

Aku ingin menghabiskan malam itu, hanya berdua bersama Mahesa. Bagiku, Mahesa adalah sebuah mahakarya yang sungguh sempurna. Segala pesonanya memancar dalam setiap lekukan keindahan tubuhnya. Dan aku begitu mengaguminya. Sungguh, Mahesa adalah laki-laki terindah yang mampu menawan ku dalam dekapan keutuhan cinta yang sempurna.

Ku curahkan segala rasa cinta ku untuk Mahesa. Ku tumpahkan segala kekaguman ku padanya. Aku tak ingin melepaskannya, meski hanya sedetik. Dia hanya milikku malam ini.

****

"jadi kita kemana selanjutnya?" tanya ku pada Mahesa, saat kami baru saja selasai mandi dan sarapan pagi itu.

"kita bisa ke pantai selanjutnya." balas Mahesa.

"seberapa jauh?" tanyaku.

"lumayan sih, apa lagi jalannya juga sudah mulai banyak yang berlobang." balas Mahesa.

"bukannya semakin berlobang semakin asyik?" celoteh ku merasa sangat akrab. Bagiku saat ini, Mahesa adalah bagian dari hidup ku.

"tergantung lobangnya lah, mas." balas Mahesa ikut bercanda.

"kalau lob4ng yang semal4m suka gak?" tanyaku masih dengan nada berceloteh.

"suka sih, tapi.. goy4ngannya masih ter4sa k4ku.. kur4ng berget4r.." balas Mahesa.

"oh, gitu? Kamu rasakan aja nanti mal4m, goy4ngan y4ng seben4rnya." ucapku merasa tertantang.

"emangnya mas Ali masih mau?" tanya Mahesa.

"ya mau lah.. Kamu tuh lu4r bi4sa loh, Mahesa. Kamu sang4t heb4t dalam h4l itu ternyata." balas ku.

"seben4rnya mas Ali juga cukup heb4t, cum4 kur4ng di goy4ngannya aja.." ucap Mahesa.

"oke. Nanti malam kita buktikan ya.." balasku tak mau kalah.

"emangnya mas Ali mau berapa malam lagi bersama saya?" tanya Mahesa kemudian, kali ini terdengar serius.

"dua malam lagi." jawabku tegas. "meski sebenarnya aku ingin lebih lama berada di sini bersama kamu, tapi tiga hari lagi aku udah mulai masuk kerja, jadi lusa aku sudah harus pulang." lanjutku sedikit menjelaskan.

"kalau aku sih, berapa lama pun mas Ali di sini, aku siap... selama uangnya tetap mengalir.... " balas Mahesa santai.

"nantilah kapan-kapan aku kesini lagi, jika perlu aku ambil cuti tahunan ku untuk bisa menghabiskan waktu ku bersama kamu di sini." ucapku yakin.

"jangan lama-lama ya.. nanti kalau kelamaan, aku keburu nikah. Kalau aku udah nikah, mas Ali gak bisa menyewa aku lagi seperti ini." balas Mahesa terdengar akrab.

"nanti aku kabari lagi.." ucapku penuh keyakinan. Aku memang sudah menyusun rencana dalam pikiran ku, untuk bisa kembali lagi kesini, menemui Mahesa.

*****

Kami pun akhirnya melanjutkan perjalanan ke pantai berikutnya. Kami pun terasa semakin dekat. Sepanjang perjalanan naik motor, aku enggan melepaskan tangan ku dari tubuh kekar Mahesa. Aku tak pedulikan tatapan aneh orang-orang di jalan. Toh mereka juga tak mengenali kami. Lagi pula sepanjang perjalanan juga cukup sunyi.

Sesampai di pantai, kami menikmati pemandangan alam pantai itu beberapa saat. Lalu kemudian, aku pun segera mengajak Mahesa untuk mencari penginapan terdekat.

"ini masih siang loh, mas." ujar Mahesa heran.

"gak apa-apa, Mahesa. Aku lebih suka menghabiskan waktu berdua bersama kamu di dalam penginapan, dari pada buang-buang waktu melihat pemandangan di luar sini." jelasku.

"kenapa?" tanya Mahesa berbasa-basi.

"karena kamu jauh lebih indah dari semua pemandangan di pantai ini, Mahesa." ucap ku yakin.

"mas Ali mau merayu ku ya?" balas Mahesa.

"aku hanya berusaha untuk jujur tentang perasaan ku pada mu, Mahesa. Karena aku memang telah jatuh cinta sama kamu." ucapku apa adanya.

"cinta seperti itu, tidak akan sampai kemana-mana, mas. Hanya akan berujung pada sebuah penyesalan. Jadi lebih baik, mas Ali kubur saja perasaaan itu, sebelum semuanya terlambat." balas Mahesa.

"sudah terlambat, Mahesa. Aku sudah terlanjur memupuknya. Dan aku tak ingin membunuhnya. Karena bagiku, rasa ini terlalu indah." ucapku penuh perasaan.

"tapi itu akan menyakiti hati mas Ali sendiri." balas Mahesa.

"aku tak peduli, sekali pun aku harus terbunuh oleh rasa cinta ku padamu, aku rela. Aku rela mengorbankan apa saja, hanya untuk bisa menikmati semua rasa ini." ucapku yakin.

"tapi ini hanya bersifat sementara, mas. Setelah ini kita mungkin tidak akan pernah bertemu lagi." balas Mahesa sedikit pilu.

"aku tetap tak peduli, Mahesa. Percuma kamu mengingatkan ku akan hal itu. Aku sudah siap dengan segala resikonya. Jadi biarkan aku nikmati saat-saat indah ku bersama kamu, meski hanya untuk sementara." ucapku terdengar bak seorang penyair.

"kenapa?" Mahesa bertanya tanpa sebab.

"karena... bukankah hidup ini sebenarnya, hanya sementara. Gak ada yang abadi di dunia ini. Apa pun yang kita miliki, pada akhirnya ya, juga akan terlepas. Jadi labih baik, nikmati saja apa yang bisa kita nikmati, dengan apa yang kita punya saat ini. Dan saat ini, aku punya kamu Mahesa, jadi biarkan aku menikmatinya." balasku cukup panjang, tapi gak terlalu lebar sih.

Dan Mahesa bungkam. Entah ia membenarkan kalimat ku barusan, entah ia sedang memikirkan hal lain. Aku juga gak terlalu peduli.

Bukankah sejak awal, aku memang tidak pernah peduli dengan perasaan Mahesa padaku? Aku juga tak ingin tahu, dan tak ingin mencari tahu nya.

Aku hanya tahu tentang perasaan ku padanya. Aku hanya peduli tentang rasa yang tumbuh di hati ku untuknya.

"kalau begitu, keputusan ku untuk mendekati mas Ali waktu itu adalah sebuah kesalahan." ucap Mahesa tiba-tiba.

"kenapa kamu menyimpulkannya seperti itu?" tanya ku dengan nada heran.

"karena kalau seandainya, aku tidak mendekati mas Ali waktu itu, kita sudah pasti tidak akan saling kenal. Dan sudah pasti juga, mas Ali tidak akan jatuh cinta padaku." jelas Mahesa terdengar lirih.

"tapi bukankah itu memang sudah menjadi bagian pekerjaan mu?" tanya ku lebih lanjut.

"yah, tadinya aku pikir, mas Ali sama dengan para pengunjung lainnya. Hanya butuh teman untuk berkeliling pulau ini. Meski pun mas Ali sudah mengaku, kalau mas Ali adalah seorang gay, aku masih menganggapnya hal biasa. Karena aku memang pernah mendapatkan pengunjung yang juga seorang gay." ucapan Mahesa tak bisa aku jabarkan.

"lalu apa yang membuat aku berbeda?" tanyaku tanpa makna.

"semua yang mas Ali lakukan padaku, itu terasa benar-benar tulus. Mas Ali benar-benar tampil apa adanya. Gak ada yang di buat-buat. Mas Ali selalu jadi diri sendiri. Dan itu yang membuat mas Ali berbeda. Itu juga yang membuat aku merasa terkesan." jelas Mahesa, yang masih belum bisa aku maknai.

"maksud kamu apa sih sebenarnya, mahesa? Jangan buat aku semakin bingung." ucapku apa adanya. Karena aku benar-benar belum mengerti maksud Mahesa sebenarnya.

"bukan hanya mas Ali yang akan menanggung sakitnya, jika kita tetap melanjutkan kebersamaan yang hanya bersifat sementara ini. Tapi aku juga... " ucapan Mahesa terhenti, ia terlihat menarik napas panjang, lalu dihempaskannya napas itu dengan berat.

"sejujurnya... aku mungkin juga telah jatuh cinta pada mas Ali. Ketulusan dan kesan indah yang mas Ali berikan, tidak pernah aku temukan pada siapa pun sebelumnya. Dan hal itu sungguh membuat aku merasa terkesan. Aku mulai menyayangi mas Ali. Tapi aku tidak ingin terlarut lebih dalam lagi. Untuk itu aku berharap, mas Ali mau membunuh semua rasa itu, sebelum semuanya benar-benar terlambat."

kalimat Mahesa yang panjang kali lebar itu, benar-benar mampu membungkam ku. Aku terdiam. Aku bingung. Aku tidak tahu harus berkata apa.

Aku bahagia, menyadari kalau Mahesa juga menyayangi ku. Tapi seperti yang Mahesa katakan, hal itu pada akhirnya hanya akan menyakiti kami berdua.

Awalnya aku tidak terlalu peduli. Karena ku pikir, hanya aku yang akan tersakiti. Tapi setelah aku tahu, kalau Mahesa juga merasa tersakiti, tiba-tiba saja aku merasa bersalah.

"kalau begitu, keputusanmu untuk mendekati waktu itu, memang benar-benar sebuah kesalahan." ucapku akhirnya tanpa sadar.

Mahesa menolehku, lalu tersenyum kecut.

Ah, bahkan senyum kecut itu pun terlihat manis di mata ku.

Mahesa... tidak cukupkah, hanya aku yang jatuh cinta padamu?

Mengapa kamu juga harus terlarut di dalamnya?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung bisa klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua..

*****


Part 3

"jadi ini adalah malam terakhir kita bersama?" tanya ku tanpa selera.

"jangan berkata seperti itu, mas." balas Mahesa lemah.

"kenapa?" suaraku bergetar.

"entah mengapa aku selalu merasa benci dengan perpisahan." balas Mahesa.

"hampir setiap orang membenci yang namanya perpisahan. Dan itu hal yang wajar." ucapku ringkih.

"lalu apa mas Ali tidak merasa berat dengan perpisahan ini?" Mahesa bertanya.

"aku selalu percaya, setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Karena itu, aku harus selalu siap dengan hal tersebut. Meski jujur saja, aku tidak pernah benar-benar siap, dengan yang namanya perpisahan. Apa lagi kali ini, aku sudah terlanjur sayang sama kamu, Mahesa. Aku benar-benar mencintai kamu." suara ku mulai serak.

Ada perih yang tiba-tiba saja aku rasakan dalam hati ku. Mahesa memang terlalu indah untuk dilepaskan. Aku tak pernah rela berpisah darinya. Tapi pada kenyataannya, aku gak mungkin selamanya berada di sini.

"kalau seandainya, nanti setelah kita terpisah oleh jarak dan waktu, apa masih mungkin bagiku untuk bisa sekedar menghubungi kamu, Mahesa?" aku berucap lagi, entah karena melihat keterdiaman Mahesa atau entah karena aku tidak tahu harus berkata apa.

"apa mas Ali sanggup, menjalin hubungan jarak jauh seperti itu?" Mahesa justru balik bertanya.

"sejujurnya aku bahkan tidak pernah sanggup berjarak satu meter saja dari kamu, Mahesa. Tapi jika itu merupakan pilihan terakhir bagi kita, aku akan berusaha menjalaninya." suara ku benar-benar pilu.

"tapi menurutku, hal itu justru akan menyiksa kita berdua mas Ali. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan, jika raga kita tidak pernah bertemu." balas Mahesa, suaranya semakin merendah.

"tapi aku bisa berjanji, kalau aku akan sering-sering datang kesini, Mahesa." ucapku setengah ragu.

"jangan menjanjikan sesuatu, yang mas Ali sendiri tidak yakin bisa memenuhinya. Dan lagi pula, sekali pun mas Ali memutuskan untuk tinggal di sini, hubungan kita tetap lah sesuatu yang salah, mas. Kita tetap akan terpisah pada akhirnya." balas Mahesa lemah.

"lalu apa rencana mu?" tanyaku, setelah tak tahu lagi harus menanyakan apa.

"aku tetap pada keputusan awal, mas. Setelah mas Ali pergi dari pulau ini, maka semuanya pun berakhir. Cukuplah selama beberapa hari ini, kita menghabiskan waktu bersama. Menikmati indahnya cinta, meski hanya bersifat sementara. Karena pada dasarnya, tidak ada satu pun cinta manusia yang bisa abadi."

"anggaplah yang terjadi di antara kita selama beberap malam ini, sebagai suatu warna dalam perjalanan hidup kita. Meski pada akhirnya kita harus merasa terluka. Tapi setidaknya, kita pernah merasakan bahagia bersama." ucap Mahesa panjang lebar.

"andai saja semuanya semudah itu, Mahesa." keluhku lebih kepada diri ku sendiri.

"kita pasti bisa, mas." balas Mahesa pelan.

"lagi pula, mengapa kita harus membahas hal itu sejauh ini? Bukankah lebih baik, kalau kita nikmati saja malam ini? Bukankah ini merupakan malam terakhir bagi kita?" lanjut Mahesa lagi.

Kali ini aku menolah pada wajah manis yang sejak tadi di sampingku. Kami memang sedang berada di sebuah kamar penginapan, yang berada di pinggiran sebuah pantai.

Untuk sesaat kami pun saling tatap. Mahesa tersenyum manis. Aku membalas tersenyum. Dan perlahan wajah kami pun kian mendekat.

****

Deburan suara ombak menerjang pantai kian bergemuruh. Malam memang sudah semakin larut. Namun mata kami enggan terpejam. Rasanya aku tak ingin melewatkan sedetik pun, untuk bisa menatap wajah manis nan menawan milik Mahesa. Tubuhnya yang kekar dan gagah. Kulitnya yang gelap namun eksotik.

Semua itu benar-benar membuat aku gila. Aku benar-benar tergila-gila pada Mahesa. Aku semakin tergila-gila dengan caranya memperlakukan aku. Sedikit brutal namun penuh perasaan. Sangat indah. Penuh kesan.

Aku t3lusuri seti4p jengk4l kul!ttnya nan gel4p itu, dengan bel4ian l3mbut p3nuh k4sih s4yang. Ku bisikan kata indah penuh rasa cinta, pada setiap hempasan ombak yang menerpa pantai. Pada setiap hembusan napas kami yang kian berpacu dengan waktu.

Aku terbu4i dalam gelombang rasa yang menghiasi setiap detik kebersamaan kami. Aku menemukan keindahan yang luar biasa bersama Mahesa. Keindahan yang menjadi impian setiap insan yang dilanda asmara. Mahesa adalah lautan yang tak akan pernah kering, meski telah berulang kali aku berusaha untuk menimbanya.

Dan aku bagai sebuah kapal, yang berusaha menerjang setiap hempasan ombak air laut, yang tak pernah tenang. Laut yang selalu bergelora, berusaha untuk bisa mencapai pantai keindahan.

Aku dan Mahesa sudah terlarut dalam genangan keindahan cinta dan gelora hasrat jiwa kami yang kian tak terkendali. Cinta kami telah menyatu, berbaur dalam keindahan rasa yang penuh warna.

Cinta sesaat kadang memang terasa lebih indah. Karena kita sadar, hal itu tak mungkin bisa terulang lagi. Dan itulah yang kami rasakan. Kami ingin menguras air laut lebih lama lagi. Mengulangnya kembali, meski waktu tak kunjung berhenti.

Waktu tak memberi kami kesempatan. Namun pada akhirnya, pelayaran sebuah kapal tetap akan berlabuh pada suatu dermaga. Dan kelelahan pun mulai menyelimuti kami berdua. Memaksa kami untuk berhenti, meski sebenarnya kami tak ingin saling mengakhiri.

"sekali lagi, ya..." pinta ku pada Mahesa, yang masih berusaha mengatur napas.

"mas Ali gak pernah menyerah, ya?" balasnya parau.

"aku hanya tak ingin melewatkan keindahan ini sedetik pun, Mahesa. Semua ini terlalu indah. Dan aku ingin menghabiskannya, tanpa sisa." ucapku setengah lelah.

"sekali pun kita berdua berusaha untuk menimba air laut hingga kering, kita gak akan mampu, mas. Pada akhirnya kita memang harus berhenti. Dan aku yang memilih untuk menyerah terlebih dahulu." balas Mahesa terdengar benar-benar lelah.

Aku sedikit kecewa mendengar penuturan Mahesa barusan. Tapi aku juga tidak mungkin memaksanya. Mahesa pantas untuk menyerah. Sudah tidak terhitung, berapa kali kami harus berlabuh di dermaga yang sama.

Hanya saja, aku merasa, dermaga tempat kami berlabuh itu terlalu indah. Aku ingin selalu berlabuh di sana bersama Mahesa. Tapi Mahesa mungkin butuh waktu, untuk ia bisa pulih kembali.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk tertidur beberapa saat, setidaknya menjelang pagi benar-benar datang. Dan jika Mahesa bisa pulih kembali, aku akan mengajaknya berlayar kembali, dan berlabuh di dermaga keindahan itu sekali lagi. Ya, hanya sekali lagi. Sebalum semuanya benar-benar berakhir.

*****

Tubuhku ternyata benar-benar lelah. Hingga tidurku kian terlelap. Saat aku terbangun, mentari sudah meninggi. Aku melirik jam di hp, sudah jam sepuluh pagi. Aku menoleh kearah samping kiri ku, menatapi ranjang yang kosong. Kemana Mahesa? Tanyaku membathin.

Aku kuatkan tubuhku untuk bangkit. Mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Berharap bisa melihat sosok Mahesa di sana. Namun cowok gagah sudah tak berada di dalam ruangan tersebut. Aku melangkah menuju jendela. Ku lihat Mahesa sedang duduk sendirian di pinggiran pantai.

Ku pasang kembali pakaianku yang berserakan di lantai. Aku melangkah keluar. Menuju Mahesa.

Ah, sedetik saja aku tak melihat cowok manis itu, aku telah merasa kehilangannya bertahun-tahun. Sedalam itukah aku mencintai Mahesa?

"kenapa kamu gak membangunkan aku?" tanyaku pada Mahesa, saat aku sudah duduk di sampingnya.

"mas Ali tertidur sangat pulas. Aku jadi tak tega mengganggunya." balas Mahesa datar.

"seandainya kamu tahu, betapa inginnya aku selalu di ganggu oleh kamu, bahkan ketika aku sedang tidur pun." ucapku lembut.

"sudahlah mas Ali, jangan biarkan perasaan ini mempermainkan kita. Sudah saatnya kita untuk segera berhenti." balas Mahesa masih terdengar datar.

"kita bahkan belum memulai apa-apa." keluh ku lemah.

"kita sudah memulainya dari awal, mas. Kita bahkan sudah melewati banyak hal bersama." ucap Mahesa.

"tapi aku merasa ini terlalu singkat." balasku.

"bahkan jika kita menghabiskan waktu setahun bersama, semuanya tetap akan terasa singkat, mas. Karena... karena ini semua terlalu indah. Tapi kita tetap harus realistis. Kita punya kehidupan masing-masing, mas. Dan sudah saatnya untuk kita kembali ke kehidupan kita yang sebenarnya." ucap Mahesa, kali ini lebih bermakna.

"bagiku, inilah kehidupanku yang sebenarnya, Mahesa. Kamu lah kehidupan ku." balas ku penuh perasaan.

"mas Ali jangan membuat aku semakin merasa bersalah. Dan jangan membuat aku semakin merasa berat dengan semua ini." suara Mahesa sedikit menghiba.

"aku hanya mencoba untuk jujur, Mahesa. Setidaknya sekali pun kita harus berpisah, aku hanya ingin kamu tahu, kalau kamu adalah hal paling indah yang pernah aku miliki." balasku semakin penuh perasaan.

"mas Ali juga hal terindah dalam hidupku. Tapi bukankah tak selamanya keindahan itu harus kita miliki. Ada banyak hal yang harus kita pertimbangkan, mas." ucap Mahesa lagi.

Mahesa memang masih cukup muda, tapi ia punya pikiran yang luas dan dewasa. Sementara aku, meski sudah cukup berumur, namun untuk urusan cinta dan perasaan, aku memang tak pernah dewasa. Bagiku, satu-satunya cara untuk bahagia ialah hidup bersama dengan orang yang kita cintai dan juga mencintai kita.

"sekali lagi saya tegaskan, mas. Apa yang terjadi diantara kita selama tiga hari tiga malam ini, hanyalah bagian dari perjalanan hidup kita yang harus kita lewati. Dan pada akhirnya, waktu jua yang akan mengembalikan kita pada sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa kita tidak di takdirkan untuk tetap bersama."

"karena kodrat kita sebagai laki-laki ialah berdampingan dengan seorang perempuan, menjadi seorang suami, menjadi seorang ayah dan menjadi kepala rumah tangga." Mahesa berucap lagi.

"kamu gak usah menceramahi aku tentang itu, Mahesa. Sudah bertahun-tahun aku menjalankan kodratku sebagai laki-laki. Tapi apa arti semua itu, jika aku tidak merasa bahagia. Dan saat aku benar-benar menemukan kebahagiaanku, mengapa aku tidak boleh menikmatinya lebih lama lagi? Mengapa aku harus melepaskannya?" balasku dengan nada sedikit tinggi.

"maaf, mas. Mungkin mas sudah sangat berpengalaman dalam hidup ini. Tapi sepertinya mas gak pernah belajar dari kehidupan ini." ucap Mahesa ikut meninggi.

"aku belajar menerima kenyataan, kalau aku ini adalah seorang laki-laki yang harus menjadi seorang suami, seorang ayah dan seorang kepala rumah tangga. Karena begitulah kodrat kita. Tapi apa salah, jika aku juga ingin menikmati bagian dari diri ku yang lain, yang tidak semua laki-laki bisa merasakannya? Apa aku salah, jika mengikuti kata hatiku?" aku membalas lagi.

"gak ada yang salah, mas. Tapi jika mas berharap, mas bisa memiliki laki-laki yang mas cintai untuk selamanya, itu jelas sebuah kesalahan, mas. Yang terjadi diantara kita hanyalah bersifat sementara, dan mas harus menerima kenyataan itu." balas Mahesa kemudian.

Kali ini aku terdiam. Bukan karena aku benar-benar setuju dengan apa yang di utarakan Mahesa barusan. Tapi terlebih karena aku merasa sia-sia dan buang-buang waktu untuk berdebat dengan Mahesa. Karena Mahesa sepertinya memang tak ingin hubungan kami terus berlanjut.

Pada akhirnya kami pun hanya saling terdiam. Deburan ombak kian riuh di pantai itu, matahari pun kian meninggi. Cuaca semakin panas, kami pun memutuskan untuk kembali ke penginapan, dan bersiap-siap untuk kembali ke tempat awal kami bertemu.

****

Hampir tiga jam kami menempuh perjalanan untuk kembali ke pantai dimana aku dan Mahesa pertama kali bertemu, pantai dimana Mahesa tinggal. Aku memang harus mengantar kembali Mahesa ke sana, sesuai kesepakatan.

Tiga jam perjalanan yang sangat membosankan bagiku. Sikap Mahesa tiba-tiba saja berubah, dia tak lagi semanis beberapa hari yang lalu. Setiap kali aku berusaha melingkarkan tanganku ke tubuhnya, ia selalu menepisnya. Mahesa juga lebih banyak diam.

"kamu kenapa sih, Mahesa?" tanya ku akhirnya, beberapa saat menjelang kami sampai ke tujuan.

"aku gak kenapa-kenapa, mas. Tugasku sudah selesai. Semua keinginan mas Ali sudah aku penuhi sebaik mungkin. Jadi sekarang, kita sudah tidak punya ikatan apa-apa lagi." balas Mahesa sedikit ketus.

"oh.. jadi semua ini hanya pekerjaan bagimu?" tanyaku penuh kekecewaan.

"sejak awal aku sudah katakan, yang penting bagiku adalah uang. Harusnya mas Ali sudah tahu hal itu." balas Mahesa masih terdengar ketus.

"lalu bagaimana dengan pengakuan mu padaku? Pengakuan mu kalau kamu juga mencintaiku? kalau aku adalah hal terindah dalam hidupmu?" tanyaku sedikit mengecam.

"tidak semua yang aku katakan itu benar, mas. Sebagiannya hanyalah untuk menghibur mas Ali, sebagai pelengkap, agar mas Ali merasa kalau mas Ali itu penting. Agar mas Ali tidak menyesal telah membayar ku mahal." balas Mahesa.

Aku terdiam kembali. Bukan karena aku tak ingin membalas ucapan Mahesa barusan, tapi memang karena kami sudah sampai di tujuan.

"terima kasih banyak mas Ali untuk semuanya. Kapan-kapan mas Ali datang ke sini lagi, aku siap melayani dengan sepenuh hati. Selamat jalan, dan hati-hati di jalan." ucap Mahesa, saat ia sudah turun dari motor ku.

"dan jika aku kesini lagi, kamu akan semakin membuat aku sakit, Mahesa." ucapku tajam.

"mas Ali gak perlu merasa sakit. Bukankah mas Ali sangat menikmati kebersamaan kita, terutama saat malam hari di penginapan. Mas Ali tak akan mudah menemukan keindahan tersebut, dan menurut saya itu semua sangat sepadan." balas Mahesa bersikap seolah-olah ia tak bersalah.

"kamu benar-benar tidak punya perasaan, Mahesa. Aku hanya tak menyangka nya sama sekali." ucapku lirih.

"perasaan tidak di utamakan dalam pekerjaan ku ini, mas Ali. Yang paling penting adalah membuat pengunjung merasa bahagia. Dan mas Ali bahagia kan?" Mahesa masih bersikap santai.

"tadinya aku sempat merasa bahagia, tapi sekarang, sikap mu benar-benar membuat aku hancur, Mahesa." balas ku lemah.

"sudah lah mas Ali, waktu akan menyembuhkan semuanya." ucap Mahesa.

"iya, aku tahu. Aku juga sudah biasa dengan semua ini. Hanya saja aku berharap, kita tidak berpisah dengan cara seperti ini. Bukankah kamu bisa tetap bersikap manis, hingga aku benar-benar pergi dari sini?" balas ku pelan.

"sebenarnya aku selalu bersikap manis, saat berpisah dengan para pengunjung yang memakai jasa ku, karena aku berharap mereka bisa kembali lagi ke sini. Tapi... buat mas Ali beda." ucap Mahesa mulai terdengar lemah.

"kenapa beda?" tanyaku heran.

"karena kalau aku bersikap manis dengan perpisahan ini, mas Ali pasti akan kembali lagi kesini." balas Mahesa.

"emangnya kenapa kalau aku kembali lagi kesini?" tanyaku lagi.

"kenapa mas Ali gak pernah ngerti sih?" suara Mahesa tiba-tiba parau.

"kamu itu membuat aku bingung, Mahesa. Sikap kamu tiba-tiba berubah hanya dalam sekejap, bagaimana aku bisa mengerti?" balasku sedikit meninggi.

"sudah aku katakan, kalau mas Ali itu beda. Jika mas Ali kembali lagi kesini, aku tak akan bisa lagi memungkiri perasaanku yang sebenarnya terhadap mas Ali. Jika mas Ali kesini lagi, aku pasti akan menyerahkan seluruh hidupku untuk mas Ali. Dan aku tak ingin hal itu terjadi. Aku tak ingin mas Ali kembali lagi ke sini. Aku mohon, mas. Pergilah dari kehidupanku." suara Mahesa semakin parau, matanya berkaca.

"sudah aku duga, kamu memperlakukan aku buruk di akhir-akhir kebersamaan kita, agar aku membenci kamu, dan dengan begitu aku pasti akan melupakanmu. Itu kan yang kamu harapkan?" ucapku pilu.

"iya, mas." Mahesa tertunduk. "aku pikir aku bisa, aku pikir aku kuat. Tapi... aku benar-benar gak sanggup berpisah dengan mas Ali.. tapi aku juga gak mungkin memaksa mas Ali untuk tinggal..." suara Mahesa terbata, beberapa tetes air mata jatuh di pipinya.

"kamu jangan menangis, Mahesa. Aku juga gak sanggup berpisah dengan kamu." ucap ku pelan.

"kalau begitu tinggal lah, mas..." Mahesa menghiba.

"aku gak mungkin tinggal sekarang, Mahesa. Tapi aku janji, aku akan kembali lagi buat kamu. Dan kita akan bersama selamanya..." balas ku penuh perasaan.

"jangan mengucapkan janji yang mas sendiri tidak sanggup untuk memenuhinya." timpal Mahesa.

"kalau aku sudah berjanji, aku pasti akan memenuhinya, apa pun resikonya." balas ku tegas.

"kalau begitu, aku akan menunggu mas Ali d sini." ucap Mahesa, dengan sedikit tersenyum.

Lalu seperti apakah akhir dari kisah ku bersama Mahesa, si pemuda pantai nan gagah itu?

Mungkinkah kami bisa bersatu untuk selamanya?

Atau cinta kami tak cukup kuat, untuk tetap bertahan dalam gelombang kehidupan yang tak pernah pasti?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di kisah selanjutnya, salam sayang untuk kalian semua...

*****


 Part 4

Aku kembali ke kota, kembali ke rumah. Dimana istri dan anak-anak ku sudah menunggu ku. Meski jujur saja, pikiran ku masih terus berada bersama Mahesa. Aku tak pernah bisa melupakannya. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa selalu bersama Mahesa.

Bersama istri dan anak-anak ku, aku memang merasa bahagia. Tapi ini bukan kehidupan yang aku impikan. Aku merasa, aku telah lelah berpura-pura. Aku telah lelah menipu diriku sendiri. Sembilan tahun aku menjalani kehidupan berumah tangga. Aku berusaha menjadi suami yang baik buat istri ku, menjadi ayah yang bijak buat anak-anak ku dan menjadi kepala rumah tangga, seperti yang dilakukan para laki-laki pada umumnya.

Namun selama itu, aku selalu merasa hati ku kosong. Bukan karena aku kekurangan kasih sayang. Aku mendapatkan banyak kasih sayang. Dari istriku, dari anak-anak ku dan juga dari kedua orang tua ku. Bahkan semua saudara-saudara ku juga sangat menyayagi ku. Tapi bukan kasih sayang seperti itu yang selalu aku impikan.

Dan bersama Mahesa, aku menemukan segalanya. Kasih sayang, cinta, perhatian dan yang paling penting, itu adalah hal yang aku impikan, hal yang paling aku inginkan.

Kini tiba-tiba hati ku menjadi dilema. Antara bertahan dengan kehidupan yang penuh kepura-puraan ini, atau berjuang mengejar kehidupan yang aku impikan.

Tentu saja kedua pilihan tersebut mempunyai resiko yang sama besarnya.

Jika aku memilih untuk tetap bertahan dalam kepura-puraan ini, itu artinya selamanya aku akan menyiksa diriku sendiri, dan aku akan kehilangan kesempatan untuk hidup sesuai dengan yang aku inginkan.

Namun jika aku nekat untuk mengejar kehidupan yang aku inginkan, tentu saja pernikahan ku yang akan menjadi taruhannya. Aku tak merasa takut harus meninggalkan istri ku, dia wanita dewasa dan bijak, dia pasti akan sangat mengerti. Namun aku merasa sangat berat, harus meninggalkan kedua anakku. Aku tak sanggup berpisah terlalu lama dengan mereka.

Lalu bagaimana pula dengan kedua orangtua ku, semua saudara-saudara ku. Mereka pasti akan merasa sangat kecewa dengan pilihan ku.

Ah, aku benar-benar menjadi bingung dengan semua ini. Aku bahkan tidak tahu, mana dari kedua pilihan itu yang akan membawa aku pada kebahagiaan yang sesungguhnya.

Pernikahan ku adalah sesuatu yang wajar dan normal. Semua orang bisa menerima hal itu. Sementar hubungan ku dengan Mahesa adalah sebuah kesalahan. Tak satu pun orang yang akan bisa menerimanya. Tapi, satu-satunya hal yang bisa membuat aku benar-benar bahagia saat ini, ya hanya dengan aku hidup bersama Mahesa.

Benar-benar pilihan yang teramat sulit. Namun aku sudah terlanjur berjanji pada Mahesa, untuk menemuinya kembali, dan hidup bersamanya selamanya.

****

"apa kabar, mas Ali?" tanya Mahesa di telpon, suaranya terdengar parau.

"saya baik, Mahesa. Kamu sendiri gimana?" balas ku pelan.

"saya lagi sibuk, mas." jawab Mahesa terdengar lemah.

"sibuk? sibuk kenapa?" tanya ku jadi penasaran.

"saya lagi sibuk membendung kerinduanku pada mas Ali." balas Mahesa lirih.

"kamu jangan membuat aku semakin merasa bersalah, Mahesa. Andai kamu tahu, betapa berat rindu yang aku tanggung saat ini. Tapi ... untuk saat ini, kita memang harus lebih sabar." ucapku sedikit terbata. Ada perih yang tiba-tiba aku rasakan di hatiku.

"kalau mas Ali memang mencintai ku, kenapa mas Ali gak datang sekarang aja?" suara Mahesa kian lemah.

"aku memang sangat mencintai kamu, Mahesa. Dan hidup bersama kamu adalah impian ku satu-satunya saat ini. Namun, tidak mudah bagi ku untuk mengambil keputusan dalam hal ini. Terlalu banyak yang harus aku korban kan, dan aku belum benar-benar siap untuk hal itu." jelasku sangat lirih.

"lalu sampai kapan, mas Ali akan meminta ku untuk menunggu? Dan jika pun aku harus menunggu, aku harus memastikan, jika yang aku tunggu adalah sesuatu yang pasti datang." ucapan Mahesa membuat ku semakin terluka.

Mahesa benar. Aku memang harus secepatnya membuat keputusan. Aku tak mungkin membuat Mahesa terus menunggu, sementara aku belum bisa memastikan pilihan apa yang akan aku pilih.

"bagaimana kalau kamu yang datang ke sini, Mahesa. Aku akan berikan kamu sebuah apartemen untuk tempat kamu tinggal. Aku yang akan membiayai semua kehidupan kamu di sini. Kita akan punya banyak waktu untuk bersama." ucapku akhirnya membuat tawaran pada Mahesa.

"jika aku yang kesana, aku hanya akan jadi yang kedua bagi mas Ali. Biar bagaimana pun, keluarga mas Ali pasti jauh lebih penting. Dan lagi pula, aku tak mungkin meninggalkan ibu dan adik-adik ku di sini. Sejak ayah ku meninggal, aku satu-satunya harapan keluarga ku. Hanya aku tumpuan mereka saat ini." balas Mahesa pelan.

"sementara mas Ali sendiri masih punya orangtua yang utuh, saudara-saudara yang juga sudah sukses. Mereka pasti tidak akan terlalu merasa kehilang mas Ali. Lagi pula, mas Ali bisa kok, sekali-kali pulang ke tempat mereka." lanjut Mahesa lagi.

"tapi aku gak bisa berpisah dari anak-anak ku, Mahesa. Mereka juga penting bagi ku." ucapku.

"kalau begitu, mas Ali bawa saja mereka ke sini, kita bisa sama-sama membesarkan mereka." balas Mahesa terdengar yakin.

"ya, gak semudah itulah, Mahesa. Istriku pasti tidak akan melepaskan mereka. Dan aku juga gak punya alasan yang kuat untuk membawa mereka bersama ku." jelasku lemah.

"jadi mas Ali mau nya gimana? Aku juga butuh kepastian, mas. Yang pasti aku gak mungkin kesana. Dan aku juga tidak ingin mengharapkan sesuatu yang belum pasti." ucap Mahesa.

"aku hanya ingin tahu, seberapa besar sebenarnya kamu mencintai ku?" tanyaku akhirnya.

"aku ini lelaki tulen, mas. Dan jika aku rela menghabiskan sisa hidupku, untuk bisa hidup bersama mas Ali, aku rasa hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan betapa besar aku mencintai mas Ali." balas Mahesa terdengar yakin.

"kamu mau berjanji, untuk tidak akan pernah menikah?" tanya ku lagi, sekedar meyakinkan diri ku sendiri.

"selama mas Ali tetap bersama ku, aku tak akan pernah menikah atau pun dekat dengan siapa pun lagi, mas. Seluruh hidupku aku serahkan hanya untuk mas Ali seorang." balas Mahesa lagi.

"tapi nanti kita akan hidup dalam kesederhanaan, Mahesa. Karena aku pasti akan berhenti bekerja, dan aku tidak punya banyak tabungan untuk aku bawa ke sana." ucapku kemudian.

"aku gak peduli, mas. Lagi pula, nanti di sini, kita bisa sama-sama cari kerja. Yang penting kita tetap bisa bersama-sama, mas Ali." Mahesa membalas cukup yakin.

"baiklah, Mahesa. Nanti aku kabari kamu lagi ya. Masih ada beberapa hal lagi yang harus aku urus di sini. Jika semuanya sudah selesai, aku akan segera datang ke sana." ucapku mengakhiri pembicaraan kami lewat telpon tersebut.

*****

"kamu yakin dengan keputusan kamu, Ali?" suara papa cukup lantang.

"Ali yakin, pa." balasku pelan.

"lalu bagaimana dengan istri dan anak-anak mu?" kali ini mama ku yang bersuara.

"aku memberi kebebasan sepenuhnya pada istri ku, ma. Aku tidak meminta ia untuk menunggu ku. Dan soal anak-anak aku juga serahkan sepenuhnya pada istri ku, ia punya hak sepenuhnya untuk mengasuh mereka. Dan jika mama dan papa bersedia, aku juga ingin kalian ikut memperhatikan anak-anak ku." balas ku dengan suara berat.

Aku memang mengatakan pada istri ku dan juga kepada orangtua ku, kalau aku ingin pergi merantau jauh. Karena aku ingin mengejar cita-cita ku. Mereka sebenarnya tidak ada yang setuju. Tapi aku tetap bersikeras.

"kamu rela meninggalkan istri dan anak-anak mu, hanya demi sesuatu yang belum pasti." suara mama berat.

"aku hanya ingin mengejar hidup yang aku impikan, ma. Aku tidak bisa lagi terus berpura-pura bahagia dengan semua ini. Ini bukan kehidupan yang aku impikan." ucapku.

"kamu sudah dewasa, Ali. Kamu punya kebebasan untuk memilih jalan hidupmu sendiri. Mungkin salah kami yang terlalu cepat menjodohkan mu. Tapi ini bukan keputusan yang terbaik, Ali. Kamu harus pikirkan ini lagi." kali ini papa yang berbicara.

"aku sudah pikirkan hal ini sejak lama, pa. Dan keputusan ku sudah bulat. Tak peduli kalian setuju atau tidak, aku akan tetap pergi." balasku terdengar yakin.

Aku menyadari, ini bukan keputusan yang tepat. Seandainya mama dan papa tahu, alasan ku yang sebenarnya, mereka pasti akan sangat marah padaku. Tapi mereka tak boleh tahu, tak ada seorang pun yang boleh tahu.

****

Setelah menempuh perjalanan hampir satu hari, aku pun akhirnya sampai ke tempat Mahesa. Mahesa menyambutku dengan senyum yang mengembang. Senyum yang sudah lama aku rindukan.

"aku rela meninggalkan semuanya, hanya untuk bisa hidup bersama kamu, Mahesa. Aku harap pengorbanan ku ini, bisa sebanding dengan apa yang akan aku rasakan di sini." ucapku pelan.

"aku jamin, mas Ali tak akan pernah menyesali keputusan ini. Aku juga sudah putuskan hubungan ku dengan pacar cewek ku. Dan aku siap menghabiskan sisa hidupku, untuk menua bersama mas Ali." balas Mahesa penuh perasaan.

"aku sengaja membawa sebagian dari uang tabungan ku. Aku harap uang ini cukup untuk kita membeli sebuah rumah di sini. Agar kita lebih leluasa untuk hidup bersama." ucapku lagi.

"kalau untuk itu, mas Ali gak usah khawatir. Aku sudah siapkan semuanya. Rumah sudah ada untuk bisa kita tempati berdua. Mungkin lebih baik, uang itu mas Ali gunakan untuk membuka usaha. Ada banyak usaha yang bisa kita buka di sini, mas. Mengingat daerah ini masih dalam tahap berkembang. Aku yakin, ke depannya daerah ini akan semakin maju." balas Mahesa.

"baiklah, Mahesa. Aku juga setuju dengan hal itu. Kita akan memulai hidup baru di sini. Tapi bagaimana dengan ibu mu?" ucapku sedikit bertanya.

"aku sudah cerita tentang mas Ali pada ibu, tapi tentu saja bukan tentang hubungan kita yang sebenarnya. Aku hanya cerita, kalau mas Ali ingin buka usaha di sini. Jadi mas Ali gak usah khawatir. Ibu pasti akan mendukung usaha kita." jelas Mahesa, yang membuatku jadi merasa sedikit lega.

"lalu apa kamu yakin, kalau kamu gak akan pernah menikah?" tanya ku kemudian.

"aku yakin, mas. Keputusan ku sudah bulat." balas Mahesa lugas.

"lalu apa alasan kamu, jika ibu mu mempertanyakan hal itu?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"saat ini, aku merupakan tulang punggung keluarga ku, mas. Adik-adik ku juga masih sangat kecil. Jadi ibu pasti sangat mengerti, kalau aku tidak mau menikah." balas Mahesa.

"lagi pula, menurutku, kita gak harus bahas hal itu dulu saat ini, mas. Lebih baik kita nikmati saja saat ini, mumpung kita masih punya banyak waktu." lanjut Mahesa.

"iya, Mahesa. Aku hanya merasa takut, kalau keputusan ku ini adalah sebuah kesalahan. Untuk itu, aku harus meyakinkan diri ku sendiri, jika kamu memang benar-benar menginginkan semua ini." ucapku pelan.

Kali ini Mahesa hanya tersenyum. Namun dari senyum itu aku bisa melihat sebuah ketulusan, kejujuran dan cinta.

Cinta?

Kadang aku merasa ragu, jika semua ini adalah cinta. Tapi apa pun itu, terus terang aku merasa lega saat ini. Aku merasa bebas. Aku merasa menemukan dunia ku. Terlepas dari apa pun yang akan terjadi ke depannya. Aku tak peduli. Mahesa tak peduli. Kami hanya ingin bahagia, dan menjadi diri kami sendiri.

Aku tahu, ini tak akan mudah. Akan selalu ada halangan, rintangan dan hambatan untuk hubungan kami ke depannya. Namun yang pasti, cinta akan selalu membuat kami kuat. Cinta akan selalu menyinari hati dan kehidupan kami.

Semoga saja, cinta kami bisa bertahan selamanya. Sampai maut memisahkan.

Ya, semoga saja.

Dan semoga kisah cinta sederhana ini, bisa memberi hiburan bagi kalian semua.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir.

Sampai jumpa lagi, dan salam cinta untuk kalian semua.

****

Selesai


Simak kisah lainnya :

Bersama ABK kapal

Pentongan pak hansip

Cowok penjaga toilet

abang tukang pangkas yang gagah

Kisah sopir taksi yang dapat terong

Cowok gagah tukang cuci motor

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google