Langsung ke konten utama

Adsense

My Sugar Daddy (part 1)

Nama ku Alan. Saat ini aku sudah berusia 20 tahun, dan aku masih kuliah.

Ini adalah kisahku. Kisah yang terjadi dalam hidup ku. Sebuah kisah rahasia, yang hanya bisa aku simpan sendiri. Tanpa siapa pun yang tahu.

Aku berasal dari kampung. Aku merantau ke kota, hanya untuk agar bisa kuliah. Karena orangtua ku tidak mampu membiayai aku kuliah. Bukan karena mereka tidak ingin, tapi keadaan ekonomi keluarga kami memang sangat kekurangan.

Aku anak bungsu dari lima bersaudara. Semua kakak-kakak ku memang tidak ada seorang pun yang bisa melanjutkan sekolah sampai kuliah. Rata-rata mereka semua hanya lulusan SMA.

Karena itulah, aku ingin sekali bisa kuliah, agar aku bisa menjadi orang yang sukses, dan meningkatkan perekonomian keluarga ku.

Semua kakak-kakak ku sudah menikah. Mereka ada yang jadi satpam, jadi petani biasa dan ada yang jadi buruh. Semua itu karena mereka memang tidak punya pendidikan yang layak untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak pula.

Dan aku tidak ingin seperti mereka. Meski pun orangtua ku tidak mampu membiayai aku kuliah. Aku tetap bertekad untuk merantau ke kota, dan mencoba mencari pekerjaan, agar aku bisa mendapatkan uang untuk biaya kuliah ku.

Orangtua dan semua keluarga ku sangat tidak setuju dengan keputusan ku tersebut. Tapi tekad ku sudah bulat. Aku harus kuliah. Aku harus bisa menjadi orang yang sukses.

Namun merantua ke kota bukanlah hal yang mudah. Semua tidak seindah seperti yang aku bayangkan. Hidup di kota seorang diri, tanpa siapa pun yang aku kenal, membuat aku jadi sedikit pesimis, kalau aku akan bisa mewujudkan impian ku untuk kuliah.

Berbulan-bulan aku terluntang-lantung di kota besar ini. Sudah banyak tempat aku jelajahi, untuk aku mencari kerja. Aku rela melakukan kerja apa saja, selama hal itu bisa menghasilkan uang. Setidaknya untuk aku bisa bertahan hidup.

Aku pernah jadi pengemis di lampu merah, jadi buruh angkut di pasar, bahkan juga pernah jadi kuli. Semua itu harus aku jalani, demi tetap bisa bertahan hidup di kota yang asing ini.

Sempat terpikir oleh ku, untuk kembali ke kampung halaman ku. Tapi aku tidak ingin menyerah secepat ini. Aku harus tetap berjuang. Demi impian ku yang begitu besar.

****

Setahun berlalu, semenjak aku memutuskan untuk merantau ke kota. Setahun pula aku hidup terlunta-lunta di jalanan. Tanpa tujuan, dan tanpa ada tempat mengadu.

Sebenarnya aku hanya ingin mendapatkan pekerjaan tetap, kalau bisa paroh waktu, agar aku bisa sambil kuliah. Tapi mencari pekerjaan di kota besar bukanlah hal yang mudah. Apa lagi aku hanya lulusan SMA. Terlalu banyak saingannya. Dan aku tidak punya keahlian khusus, yang membuat aku semakin sulit mendapatkan pekerjaan.

Setahun berlalu, akhirnya aku bertemu om Prass. Nama lengkapnya Prassatyo Nugraha. Dia seorang pengusaha kaya.

Kami bertemu di sebuah perempatan lampu merah. Saat itu, aku sedang membersihkan kaca mobilnya dengan alat seadanya. Aku hanya mengharapkan upah seribu dua ribu dari para pengemudi yang berhenti saat lampu merah menyala.

Itu salah satu pekerjaan yang bisa aku lakukan saat itu. Meski pun hasilnya sangat sedikit, tapi setidaknya cukup untuk aku makan dari hari ke hari.

Saat aku membersihkan kaca mobil milik om Prass, tiba-tiba laki-laki itu membuka kaca mobilnya. Ia menatap ku cukup lama. Kemudian ia memanggil ku untuk mendekat. Ku pikir ia akan memberi aku imbalan uang, atas usaha ku membersihkan kaca mobilnya.

"nama kamu siapa?" tanya laki-laki itu.

"Alan, pak.." balas ku lemah.

"kamu mau ikut dengan saya?" tanya laki-laki itu lagi menawarkan.

"kemana?" aku balik bertanya, karena merasa sedikit penasaran. Tumben ada orang yang menawarkan aku untuk ikut dengannya, padahal aku tidak mengenalnya.

"kamu belum makan, kan?" tanya laki-laki itu lagi.

Aku hanya menggeleng ringan.

"ya udah.. mari ikut dengan ku sebentar. Aku traktir kamu makan.." ucap laki-laki itu lagi.

"tapi.. pak..." suara ku sedikit tercekat.

"udah.. ayo ikut aja.. kamu gak perlu takut.. saya gak mungkin macam-macam sama kamu.." laki-laki itu sengaja memotong ucapan ku.

Aku terdiam sejenak. Ada gerangan apa, laki-laki ini mengajak aku ikut dengannya. Apa karena ia kasihan padaku?

"ayo naik.. keburu lampu hijau loh.." suara laki-laki itu mengagetkan ku lagi.

Dan akhirnya tanpa pikir panjang, aku pun membuka pintu mobil tersebut dan duduk di dalamnya dengan perasaan yang tak karuan. Sebenarnya aku juga penasaran, kenapa laki-laki itu ingin mengajak aku makan bersamanya.

Mobil pun mulai melaju dengan pelan. Aku duduk dengan sedikit gelisah. Tapi aku berusaha setenang mungkin. Laki-laki itu menatapku beberapa kali, sambil tersenyum.

"udah santai aja.. aku cuma pengen ngajak kamu makan, kok. Sambil kita sedikit mengobrol.." ucapnya pelan.

"iya, pak.." balasku kaku.

"jangan panggil pak dong, panggil aja om Prass." ucap laki-laki itu lagi.

Laki-laki itu, yang mengaku bernama om Prass tersebut, kalau ku perkirakan mungkin sudah berusia 45 tahun lebih. Dengan perawakannya yang terkesan cukup maskulin. Wajahnya juga masih terlihat tampan. Postur tubuhnya, sedikit berisi, dengan perut yang sedikit membuncit. Kulitnya putih bersih.

****

Beberapa menit kemudian, mobil itu pun parkir di halaman sebuah kafe yang cukup mewah. Aku bahkan belum pernah masuk ke kafe tersebut. Sebuah kafe yang hanya orang-orang tertentu yang berani mampir di sana.

"ayo turun.." ucap om Prass pelan.

"tapi.. om.. apa gak masalah, kita masuk kesana dengan pakaian ku yang acak-acakan gini?" tanyaku ragu.

"udah.. kamu santai aja.. nanti kita masuk ruang khusus, yang hanya kita berdua di dalamnya.." balas om Prass.

"emang ada, om?" tanyaku sedikit heran.

"ya ada lah... ini kan salah satu kafe saya. Jadi saya punya ruang khusus di sini.." balas om Prass lagi, menjawab keheranan ku.

Oh, ternyata kafe ini milik om Prass. Ternyata ia seorang pengusaha di bidang kuliner.

Dan dengan perasaan sungkan, aku pun akhirnya turun dari mobil tersebut. Lalu kemudian, aku pun mengikuti langkah om Prass untuk masuk ke dalam kafe tersebut, dengan sedikit tertunduk. Biar bagiamana pun, aku merasa tidak pantas berada di situ.

Om Prass membawa aku masuk ke sebuah ruangan khusus seperti yang ia katakan tadi. Lalu ia memanggil seorang pelayan, untuk memintanya menghidangkan makanan dan minuman untuk kami di dalam ruangan tersebut.

Ruangan tersebut seperti sebuah kantor bagi om Prass. Di dalamnya terdapat sebuah sofa, dan juga meja kerja. Sepertinya om Prass, memang sering berada di situ.

"oke... di sudut sana ada kamar mandi. Kamu boleh mandi dulu, sambil menunggu makanan kita datang. Nanti kamu pakai saja baju saya yang ada di lemari sana.." ucap om Prass kemudian, sambil menunjuk ke arah sebuah kamar mandi dan lemari pakaian.

Tanpa membantah sedikit pun, aku pun menuruti kata-kata om Prass barusan. Aku menuju kamar mandi. Dan setelah mandi, aku mencoba memilih baju yang kiranya cocok dengan ku.

"gimana? Pakaiannya cocok sama kamu?" tanya om Prass, ketika aku sudah duduk di kursi tamu di dalam ruangan tersebut.

"agak kebesaran sih, om.." balasku apa adanya.

"ya udah, gak apa-apa. Kamu tetap terlihat keren.. nanti kita ke toko pakaian, untuk beli pakaian buat kamu.." balas om Prass, yang membuat aku sedikit heran.

Kenapa laki-laki yang baru aku kenal ini begitu baik padaku? Bathin ku penuh tanya.

Dan beberapa saat kemudian, makanan dan minuman yang tadi om Prass pesan pun datang.

"silahkan di makan." tawar om Prass, "kamu pasti lapar, kan?" lanjutnya.

Dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya, aku pun mencoba menyantap hidangan tersebut. Aku memang sangat lapar. Sudah hampir seharian aku belum makan. Dan sudah hampir seumur hidup, aku belum pernah makan makanan seenak ini sebelumnya.

"jadi ... sudah berapa lama Alan bekerja di lampu merah seperti tadi?" tanya om Prass, saat kami sedang makan.

"sebenarnya, saya bekerja seperti tadi, baru beberapa bulan ini, om." balasku apa adanya.

"sebelumnya kamu kerja dimana?" om Prass bertanya lagi.

"sebelumnya... saya... kerja serabutan, om. Kadang jadi buruh angkut, kadang jadi kuli.." jawabku sedikit terbata.

"emangnya kamu tinggal dimana?" tanya om Prass kemudian.

"saya... saya gak punya tempat tinggal, om. Sudah setahun lebih saya hidup di jalanan.." balasku lagi, apa adanya.

Aku gak tahu, kenapa aku harus jujur tentang hal tersebut kepada om Prass, yang baru saja aku kenal. Tapi aku memang tidak punya alasan, untuk berbohong. Akan lebih baik rasanya, jika om Prass tahu siapa aku sebenarnya.

****

"kenapa om Prass mau mengajak saya... dan mentraktir saya makan seperti ini?" tanyaku memberanikan diri, sesaat setelah kami selesai makan.

"saya merasa kasihan melihat kamu. Orang setampan kamu, rasanya gak pantas bekerja seperti itu..." balas om Prass, yang membuatku jadi sedikit tersanjung. Sudah beberapa kali, sejak kami bertemu, om Prass selalu memuji ku demikian.

"tapi saya gak punya pilihan lain, om. Meski pun saya punya banyak keinginan saat ini." balasku pelan.

"apa keinginan kamu?" tanya om Prass.

"sebenarnya... saya ingin sekali kuliah, om. Tapi saya gak punya biaya. Saya juga gak punya siapa-siapa di kota ini. Saya sudah coba mencari pekerjaan tetap, tapi sampai saat ini, saya masih terlunta-lunta gak jelas.." jelasku mencoba sedikit bercerita.

"oh, gitu... ya udah... kalu gitu.. bagaimana kamu ikut om saja." ucap om Prass kemudian.

"ikut kemana, om?" tanyaku terdengar lugu.

"nanti akan saya jelaskan. Sekarang kita ke toko pakaian dulu. Setelah itu, kita cari apartemen, untuk tempat kamu tinggal nantinya.." balas om Prass, yang membuat aku semakin merasa penasaran.

"apartemen, om? Apa itu gak terlalu berlebihan?" aku mencoba bertanya.

"kamu tenang aja.. Saya akan bantu kamu, untuk mewujudkan impian kamu untuk kuliah. Tapi ada syaratnya.." balas om Prass.

"syarat? Syarat apa, om?" tanyaku lagi.

"nanti kamu juga bakal tahu. Sekarang, kamu ikut aja dulu apa kata om.." ucap om Prass sedikit tegas.

Kali ini aku hanya bisa terdiam. Apa pun alasan om Prass melakukan semua itu untuk ku, tidaklah menjadi penting bagi ku saat ini. Yang pasti, aku tidak mungkin menolak semua kebaikan yang om Prass berikan padaku.

Setahun lebih aku terlunta-lunta di kota besar ini. Dan sekarang, ada orang yang baru aku kenal, menawarkan semua kebaikannya padaku. Apa mungkin hal itu aku tolak.

Lagi pula, jika aku menerima semua kebaikan yang di tawarkan om Prass padaku, toh tidak ada ruginya bagi ku. Emang apa sih yang bisa om Prass lakukan padaku, yang membuatku harus merasa khawatir?

Aku rasa semua akan baik-baik saja..

Semoga!

****

Bersambung...

Simak kisah menarik lainnya :

My sugar daddy (part 2) 

Semalam bersama kernet bus

Bersama pak Sekcam yang tampan 

Nasib seorang tukang sayur (part 4)

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 3) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 2) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 1)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 3)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google