Langsung ke konten utama

Adsense

My sugar daddy (part 2)

Sore itu, om Prass membawa aku ke sebuah toko pakaian yang cukup besar. Aku diminta untuk memilih beberapa pakaian yang cocok dengan ku. Meski dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya, aku mencoba menuruti keinginan om Prass tersebut.

Aku mengambil beberapa pakaian yang menurutku harganya tidak terlalu mahal. Aku tidak ingin om Prass mengira kalau aku memanfaatkan kesempatan tersebut, untuk aku bisa mendapatkan pakaian yang mewah dan berkelas.

"yakin cuma ini?" tanya om Prass, ketika aku telah selesai mengambil beberapa pakaian yang aku suka.

"iya, om.." balasku singkat.

"ya udah.. mari kita ke kasir.." ajak om Prass kemudian.

Aku pun mengikuti langkah om Prass menuju kasir, tanpa banyak tanya lagi.

Setelah membayar semua belanjaan ku tersebut, om Prass segera mengajak aku keluar dari toko tersebut.

"sekarang kita cari apartemen ya.." ucap om Prass, saat kami sudah berada di dalam mobil.

"tapi, om.." ucap sedikit tersendat.

"apa?" tanya om Prass pelan.

"sebenarnya ada satu hal yang belum aku ceritakan pada om Prass." jawabku sedikit ragu.

"cerita apa?" om Prass bertanya sambil ia sedikit menatap ku.

"sudah tahun saya merantau ke kota ini, selama ini sebenarnya saya tinggal di sebuah kost kecil, di pinggiran kota. Tapi sudah tiga bulan aku menunggak pembayaran kost. Jadi ... selama tiga bulan ini, saya gak berani kembali ke kost, karena belum ada uang untuk bayar kost.." jelasku mencoba untuk jujur.

"semua perlengkapan saya ada di kost tersebut, termasuk ijazah dan juga beberapa pakaian. Jadi... kalau om Prass memang ingin mencarikan saya sebuah apartemen untuk tempat saya tinggal, saya ingin kembali ke kost dulu, untuk mengambil barang-barang saya yang ada disana.." aku melanjutkan.

"ya udah.. kita ke kost kamu aja dulu.. nanti om lunasi semua tunggakan kost kamu, dan kamu bisa mengambil barang-barang kamu di sana.." balas om Prass, tanpa ada rasa keberatan sedikit pun.

Sungguh hal yang membuat aku semakin tidak mengerti, mengapa om Prass jadi begitu sangat baik padaku. Padahal ia baru saja mengenal ku. Apa gerangan yang ia harapkan sebenarnya dari ku? Sebegitu kasihannya kah ia padaku?

"maaf, om. Sebelum semua ini, semakin membuat saya merasa berhutang budi. Saya boleh tahu, alasan apa sebenarnya yang membuat om jadi sangat ingin membantu saya?" aku bertanya juga akhirnya.

"kamu gak perlu merasa berhutang budi, atas apa yang telah dan akan saya lakukan buat kamu. Saya tulus ingin membantu kamu. Terlepas dari syarat yang mungkin akan saya ajukan buat kamu, aku ingin kamu bisa menerima semua bantuan saya ini." balas om Prass.

"tapi.. om Prass belum menyebutkan syarat apa yang om Prass maksud. Saya hanya takut, saya tidak bisa memenuhi syarat tersebut, dan om Prass pasti akan kecewa.." ucapku kemudian.

"saya gak bisa mengatakannya sekarang. Karena kalau saya mengatakannya sekarang, saya takut, kamu akan berubah pikiran. Jadi lebih baik, kamu terima saja dulu semua ini, nanti kalau sudah waktunya, kamu pasti akan saya beri tahu, syarat yang saya maksud. Dan saya yakin, kamu pasti mampu memenuhinya.." balas om Prass lagi.

Untuk selanjutnya aku hanya bisa terdiam. Aku tidak berani lagi bertanya lebih lanjut. Aku takut, om Prass akan tersinggung. Biar bagaimana pun, ia sudah sangat baik padaku. Mungkin ia hanya ingin sekedar membantu ku, dan aku tidak mungkin menolak semua kebaikannya padaku.

****

Sesampai di kost, om Prass segera menemui pemilik kost, dan ia pun melunasi semua tunggakan kost ku tersebut. Aku pun segera mengemasi barang-barang ku yang ada di dalam kost, untuk aku bawa pergi bersama om Prass.

Setelah semua urusan tersebut selesai, om Prass bergegas mengajak aku pergi dari sana.

"hari sudah semakin sore, kita harus segera menemukan apartemen buat kamu.." jelasnya, setelah kami sudah berada di dalam mobil kembali.

Setelah itu, kami pun segera menuju ke pusat kota kembali. Om Prass membawa aku ke sebuah gedung yang cukup mewah. Di sana memang terdapat banyak sekali apartemen.

Om Prass ternyata sudah menghubungi pemilik apartemen tersebut sejak tadi. Dan kami pun segera menuju sebuah apartemen yang sudah om Prass pesan secara online.

"mulai sekarang .. kamu tinggal disini ya..." ucap om Prass, saat kami sudah masuk ke dalam apartemen yang mewah tersebut. Sebuah apartemen yang bahkan lebih mewah dan lebih luas dari rumah ku di kampung.

"apa ini gak terlalu berlebihan, om? Saya gak apa-apa, kok. Tinggal di kost biasa aja. Gak harus di apartemen seperti ini. Lagi pula, ini pasti mahal.." ucapku akhirnya.

"udah... kamu tenang aja.. kamu gak usah terlalu memikirkan hal ini. Sekarang kamu istirahat aja dulu. Besok pagi, kita sama-sama cari kampus buat kamu. Biar kamu bisa mulai kuliah tahun ini." balas om Prass lembut.

Sekali lagi, aku hanya bisa terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi saat ini. Semua serba cepat bagiku. Semua benar-benar di luar dugaan ku. Hidupku berubah drastis, hanya dalam hitungan jam. Dan itu semua karena om Prass. Laki-laki yang baru saja aku kenal.

"ya udah.. kalau gitu, om pamit dulu, ya.. jangan lupa besok bangun pagi, dan kamu siapkan dokumen-dokumen yang di butuhkan untuk mendaftar kuliah kamu.." ucap om Prass kemudian.

Dan setelah itu, ia pun segera melangkah keluar dari apartemen tersebut. Sementara aku masih merasa bagai bermimpi di siang bolong. Aku masih tidak percaya, kalau aku akan tinggal di apartemen semewah ini. Dan aku juga akan segera kuliah. Hal yang sudah lama aku impikan.

****

Keesokan harinya, om Prass kembali datang ke apartemen. Seperti janjinya, hari ini kami akan mencari kampus untuk tempat aku kuliah. Aku sudah bersiap sejak pagi sekali. Aku benar-benar bersemangat untuk bisa kuliah.

"jadi gimana? Udah dapat kampus yang kamu inginkan?" tanya om Prass di perjalanan.

"udah sih, om. Tapi... sekarang kan bukan musim penerimaan mahasiswa baru. Jadi ... saya belum bisa mendaftarkan diri di kampus tersebut.." balasku sedikit terbata.

"kamu sebutkan saja kampus yang mana yang kamu inginkan, nanti biar om urus semuanya, agar kamu bisa mulai kuliah sekarang.." ucap om Prass.

"emangnya bisa, om?" tanyaku ragu.

"di negara ini apa sih yang gak bisa, selagi kita punya uang. Jangankan untuk mendaftar kuliah di luar jadwal, untuk beli ijazah aja bisa. Yang penting kita punya uang..." balas om Prass, sedikit sarkasme.

Dan kali ini, aku setuju dengan om Prass. Jika kita punya uang, segalanya bisa kita beli.

Lalu kemudian, aku pun menyebutkan sebuah kampus, yang memang sudah aku impikan sejak lama, untuk aku bisa kuliah disana.

"ya udah.. kita langsung menuju kesana aja.. " balas om Prass ringan.

Dan beberapa menit kemudian, kami pun sampai ke kampus tersebut. Om Prass mengajak aku masuk ke dalam, dan menemui beberapa orang di sana.

Aku tidak tahu, apa yang dilakukan om Prass. Tapi yang pasti, aku langsung diterima untuk kuliah di kampus tersebut.

"besok kamu udah bisa mulai kuliah di sini.." ucap om Prass, saat kami kembali berjalan menuju tempat parkiran mobil.

"iya, om.. makasih banyak ya, om.." balasku.

"oh, ya... karena kamu besok sudah mulai kuliah, bagaimana kalau sekarang kita ke showroom mobil. Kita cari mobil buat kamu, untuk kamu kuliah.." ucap om Prass kemudian.

"gak usah, om. Saya bisa naik angkutan umum aja ke kampus.." balasku cepat. Aku tak ingin semakin merasa berhutang budi pada om Prass.

"mana boleh gitu... kamu gak boleh naik angkutan umum atau apa pun, kamu harus punya mobil sendiri.." om Prass bersikeras.

"tapi, om... saya merasa kalau itu sangat berlebihan. Untuk kali ini, izinkan saya untuk menolaknya.." balasku sedikit bersikeras.

"oke.. kalau kamu gak mau pake mobil, bagaimana kalau motor aja. Yang penting kamu jangan naik kendaraan umum ke kampus.." tawar om Prass selanjutnya.

"gak usah, om.." balasku lagi, masih bersikeras.

"Alan... tolonglah.. kamu jangan menolak lagi. Lagi pula kamu memang butuh kendaraan sendiri untuk tinggal di kota sebesar ini. Ya.. minimal motor lah.." ucap om Prass, berusaha membujuk ku.

"ya udah.. terserah om aja.. tapi jangan mobil ya, om. Motor aja udah cukup kok.." balasku pasrah.

"oke.. kalau gitu, sekarang kita ke dealer motor ya.." ucap om Prass, terdengar sangat bersemangat.

****

Hari-hari pun berlalu.

Sudah seminggu, aku mulai kuliah. Sudah lebih dari seminggu pula, aku tinggal di sebuah apartemen mewah. Sudah seminggu juga, aku punya sebuah motor, untuk aku pergi kuliah. Dan selama itu pula, om Prass yang membiayai hidup ku sepenuhnya.

Om Prass selalu berkunjung ke tempatku hampir setiap malam. Ia juga selalu memberi aku sejumlah uang, setiap kali ia datang. Dan selama itu, om Prass masih bersikap biasa-biasa saja terhadap ku. Ia hanya mampir sejenak, mengajak aku mengobrol, lalu kemudian ia pun pamit, dengan meninggalkan sejumlah uang.

Aku semakin yakin, kalau om Prass memang hanya berniat untuk membantu ku. Meski pun bantuan yang ia berikan, sangat berlebihan menurutku. Tapi setidaknya sampai saat ini, ia masih memperlakukan aku dengan baik. Tanpa terlihat sedikit pun niat jahatnya padaku.

Sampai pada suatu malam.

Seperti biasa, om Prass datang ke tempatku. Saat itu sekira jam delapan malam. Kali ini, om Prass sekalian membawa beberapa makanan ringan dan juga minuman.

"Alan... saya mau ngomong sesuatu sama kamu..." om Prass memulai pembicaraan, saat kami duduk di kursi tamu apartemen tersebut.

"ya.. ada apa, om.." balasku sedikit tergagap.

"mungkin sudah saatnya kamu harus tahu, Alan. Tentang syarat yang pernah kita bicarakan tempo hari.." ucap om Prass kemudian.

"iya, om. Saya juga pengen tahu. Saya jadi penasaran.." balasku pelan.

"saya ini seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah punya dua orang anak, Alan. Saya sudah menikah lebih dari dua puluh tahun. Saya menikah saat saya masih berusia 25 tahun. Dan sekarang usia saya sudah 45 tahun lebih."

"pernikahan saya sebenarnya baik-baik saja. Terlepas dari apa yang saya lakukan di luar rumah. Bahkan anak pertama saya sekarang sudah kuliah. Dia kuliah di kampus yang sama dengan kamu, Alan. Tapi tentu saja jurusan kalian berbeda. Dan saya yakin, kamu belum mengenalnya."

"saya menikah.. bukan karena saya mencintai istri saya waktu itu. Saya menikah, karena memang kami di jodohkan oleh orangtua kami. Namun, setelah bertahun-tahun menikah, saya mulai merasa menyayangi istri saya. Apalagi semenjak kami sudah punya dua anak."

"saya sangat menyayangi keluarga saya. Mereka adalah bagian terpenting dalam hidup saya. Dan saya bahagia menjalani kehidupan saya selama ini. Hidup saya terasa lengkap dan sempurna. Tapi... sebagai manusia biasa, saya juga punya kekurangan."

"saya punya kekurangan, yang selama ini tiada siapa pun yang tahu. Selama puluhan tahun saya berhasil menyimpan kekurangan saya tersebut. Saya mencoba menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Saya tidak ingin orang-orang tahu, kalau saya punya rahasia kelam."

"mungkin kamu akan terkejut mendengar semua ini, Alan. Tapi... saya harus menceritakan ini sama kamu. Saya ingin kamu tahu, siapa saya sebenarnya." cerita om Prass panjang lebar.

"puluhan tahun yang lalu, sebelum saya menikah. Saya pernah punya pacar seorang laki-laki.." om Prass mencoba melanjutkan ceritanya, yang membuat ku jadi sedikit terperangah.

"maksudnya laki-laki, om?" tanyaku spontan.

"iya.. pacar saya dulu seorang laki-laki.. Karena... karena sebenarnya .. sebenarnya saya ini... adalah seorang gay, Alan." jelas om Prass sedikit terbata.

"oh.." aku hanya bisa membulatkan bibir mendengar semua itu.

Sungguh di luar dugaan ku. Pengakuan om Prass barusan, sungguh di luar dugaan ku.

Om Prass gay? Oh.. tidak... itu jelas tidak mungkin. Tapi bukankah sekarang, ia sudah menikah dan punya anak?

"saya tahu, kamu kaget mendengar ini, Alan. Dan kamu bebas menilai saya seperti apa. Itu hak kamu. Tapi izinkan saya melanjutkan cerita saya, agar kamu gak salah dalam menilai saya nantinya.." om Prass berucap lagi.

"iy... iya, om... Om Prass cerita aja, saya siap mendengarkannya..." balasku sedikit terbata, karena masih merasa kaget.

Om Prass menarik napas sejenak, kemudian ia menghempaskannya perlahan. Lalu dengan sangat pelan, ia pun memulai ceritanya lagi.

****

Bersambung ...

Simak kisah menarik lainnya :

My sugar daddy (part 3) 

My sugar daddy (part 1)

Semalam bersama kernet bus

Bersama pak Sekcam yang tampan 

Nasib seorang tukang sayur (part 4)

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 3) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 2) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 1)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 3)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google