Ramadhan telah tiba. Saatnya pulang ke kampung halaman.
Aku seorang perantau. Aku bekerja di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota.
Aku memang selalu pulang kampung setiap bulan Ramadhan datang.
Restoran tempat aku bekerja, memang selalu tutup selama bulan Ramadhan.
Jadi istilahnya, bagi kami para pekerja, kami mengumpulkan uang selama sebelas bulan, untuk kami gunakan selama satu bulan yakni di bulan Ramadhan.
Aku berasal dari kampung yang sangat jauh dari kota tempat aku bekerja.
Aku harus menempuh perjalanan selama lebih kurang dua hari dua malam, untuk sampai ke kampung halamanku, dengan menaiki sebuah bus antar provinsi.
Setiap tahun aku selalu pulang kampung, untuk menikmati masa libur kerjaku dan juga untuk menikmati suasana bulan puasa di kampung halamanku.
Kedua orangtuaku dan semua saudara-saudaraku tinggal di kampung.
Aku anak kedua dari empat bersaudara.
Kakak pertamaku seorang laki-laki, dia sudah menikah dan sudah mempunyai dua orang anak.
Kedua adikku perempuan, yang satu sudah kuliah dan yang bungsu masih SMA.
Selama ini, aku selalu mengirimkan sebagian gajiku setiap bulannya, untuk membantu orangtuaku di kampung.
Usiaku sendiri sudah dua puluh lima tahun saat ini.
Aku sudah memesan tiket bus sejak kemarin lusa, agar tidak kehabisan.
Kami libur memang di mulai dua hari menjelang lebaran. Dan itu artinya, aku bisa sampai ke kampung halamanku, kira-kira pada hari pertama puasa.
Aku duduk di kursi dekat jendela, di bagian paling belakang bus, sesuai dengan tiket yang aku pesan.
Aku bisa saja naik pesawat, untuk pulang. Tapi tentu saja ongkos nya jauh lebih besar. Dan lagi pula jika aku naik pesawat, aku masih harus naik travel lagi, untuk sampai ke kampungku.
Selain karena itu, dengan naik bus, aku juga bisa menikmati perjalanan pulangku dengan lebih santai.
Selalu saja ada kejadian menarik, sepanjang perjalanan pulang, yang aku temui setiap tahunnya.
Aku masih ingat saat aku pulang kampung tahun kemarin, ada kejadian dimana salah seorang penumpang yang ketinggalan di sebuah rumah makan, saat kami beristirahat makan malam.
Saat sudah hampir setengah jam perjalanan, sang kernet bus baru menyadari hal tersebut, yang membuat kami harus kembali ke rumah makan itu lagi, untuk menjemput si penumpang yang tertinggal tersebut.
Atau ada kejadian beberapa tahun yang lalu, di mana bus yang kami tumpangi mengalami mogok di sebuah jalan yang cukup sunyi dan hal itu terjadi tepat tengah malam.
Tidak ada seorang pun dari penumpang yang berani turun, untuk membantu pak sopir dan si kernet.
Cukup lama kami berada di daerah sepi tersebut, sampai akhirnya sebuah bus lain lewat dan membantu untuk memperbaiki bus kami tersebut.
Kejadian-kejadian kecil seperti itu, menumbuhkan kesan tersendiri bagi kami para pemudik yang menggunakan jasa angkutan bus antar provinsi.
Di tambah lagi, kadang di perjalanan, kita selalu bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru, yang berasal dari berbagai daerah.
Perjalanan jadi tidak membosankan, karena selalu ada suasana kekeluargaan dan keakraban yang terjadi di dalam bus tersebut.
"pulang kampung, mas?" sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba.
Seorang laki-laki muda, duduk tepat di sampingku. Kursi itu memang kosong dari awal.
Aku manatap laki-laki berambut panjang sebahu tersebut. Aku baru ingat, kalau laki-laki itu adalah kernet bus tersebut.
Dia tadi yang membantu menaikan beberapa barangku ke dalam bagasi bus.
Kadang seorang kernet bus atau ada juga yang menyebut mereka sebagai kenek, memang sangat ramah kepada para penumpang.
"iya, mas.." jawabku singkat, sambil sedikit menyunggingkan senyum ramah.
"kampungnya dimana, mas.." tanya sang kernet lagi.
Aku menjawab pertanyaan tersebut, dengan menyebutkan daerah tempat aku tinggal.
Sang kernet, yang akhirnya aku ketahui bernama Riko itu, memang sangat ramah.
"Jhony.." ucapku ketika akhirnya kami saling berkenalan.
Meski terkesan sedikit kucel, Riko memiliki paras yang lumayan tampan, dengan hidungnya yang terlihat mancung.
Riko cukup kurus, meski tetap terlihat kekar.
"sudah berapa lama kerja jadi kernet bus?" tanyaku pelan, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.
"sudah lumayan lama lah, mas. Mungkin sudah tiga atau empat tahunan." jawab Riko terdengar cukup santai.
Riko menyandarkan tubuhnya di kursi bus tersebut, ia kelihatan sudah mulai mengantuk.
Hari memang sudah cukup larut saat itu.
Kami berangkat tadi sekitar jam lima sore. Kami juga sempat berhenti untuk makan malam di sebuah rumah makan.
Riko akhirnya pun tertidur. Aku pun mencoba memejamkan mata untuk ikut tertidur.
*****
Menjelang subuh aku terbangun. Aku melirik kearah Riko di sampingku, yang sepertinya sudah terbangun sejak tadi.
Riko tersenyum manis padaku dalam keremangan lampu bus tersebut. Aku membalas tersenyum lebih manis lagi.
"kita sudah berada di mana sekarang?" tanyaku sekedar berbasa-basi.
Para penumpang lain, terlihat masih tertidur pulas, bahkan ada yang sampai mendengkur.
Riko menyebutkan daerah kami berada sekarang, meski sebenarnya aku tidak mengetahui daerah tersebut.
"setengah jam lagi kita akan berhenti sejenak untuk istirahat sholat subuh.." jelas Riko lagi.
Aku hanya mengangguk pelan, sambil masih terus tersenyum dengan manis.
"mas Jhony manis.." suara Riko terlalu pelan mengucapkan kalimat tersebut, yang membuatku tidak begitu yakin, kalau ia sedang memujiku.
Tapi aku tahu, kalimat pujian itu memang di tujukan untukku, yang membuatku jadi sedikit tersanjung.
Banyak sih, orang-orang yang mengatakan, kalau aku memang memiliki senyum yang sangat manis.
Namun di puji oleh Riko, rasanya berbeda. Jantungku jadi berdebar tak karuan.
Riko tiba-tiba menyentuh pahaku yang sengaja aku tutup pakai jaket-ku.
Aku sedikit terperanjat, namun tetap membiarkan hal tersebut.
Sangat jarang bisa menemukan orang seperti Riko di perjalanan seperti ini.
Riko memang cukup menarik secara fisik. Pikiranku mulai menerawang tak karuan. Fantasiku kian terasa liar.
Oh, tidak. Aku tidak boleh terhanyut dengan perasaan ini.
Aku memang sudah cukup lama, tidak merasakan hal tersebut.
Sejak hubunganku dengan mas Reza berakhir beberapa bulan lalu, aku tidak pernah lagi ingin bertemu dengan laki-laki mana pun.
Hatiku masih terasa sakit, saat mengetahui, kalau mas Reza yang sudah menjadi pacarku lebih dari dua tahun itu, akhirnya memutuskan hubungan kami.
"aku harus menikah, Jhon. Aku harus menuruti keinganan ibuku. Dan aku tidak bisa harus terus berhubungan dengan kamu, sementara aku sudah menjadi suami orang.." begitu suara parau mas Reza , saat ia memutuskanku.
Aku sebenarnya tidak menyalahkan mas Reza. Sejak awal kami memang sudah komitmen, kalau hubungan kami akan berakhir jika salah satu dari kami menikah.
Namun aku sudah terlanjur menyayangi mas Reza. Dua tahun hubungan kami rasanya sangat indah.
Cintaku sudah terlanjur jatuh terlalu dalam di hati mas Reza. Tapi sesuai dengan komitmen kami, hubungan kami memang tidak bisa lagi di lanjutkan.
Aku merasa sangat kecewa. Aku merasa sakit. Cinta yang tumbuh begitu besar di hatiku untuk mas Reza, harus kandas hanya karena sebuah komitmen.
"aku gak apa-apa, mas. Kalau pun mas Reza sudah menikah nantinya, aku masih mau kok, berhubungan dengan mas Reza..." suaraku serak, menahan tangisku.
"aku yang gak bisa, Jhon. Aku takut, aku tidak bisa membagi waktu dengan baik. Aku tidak ingin kamu kecewa akhirnya. Dan lagi pula, aku juga tidak ingin hubungan kita akan jadi masalah di kemudian hari."
"jadi lebih baik kita akhiri semua ini sekarang, dari pada kita harus menyiksa diri dengan terus berhubungan.." mas Reza berusaha meyakinkan ku lagi.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Aku tidak mungkin memaksa mas Reza lagi. Keputusan yang telah diambilnya, adalah demi kebaikan kami berdua.
"mas Jhony melamun...?" suara Riko mengagetkanku dari lamunanku tentang mas Reza.
"hmm.. gak, kok. Aku mungkin masih mengantuk.." jawabku beralasan.
Tangan Riko masih terus berada di atas pangkuanku. Entah mengapa aku merasa nyaman dengan hal tersebut.
Melihat aku yang membiarkan hal tersebut, Riko semakin berani.
Ia mulai meraih jemariku, lalu menggenggamnya erat.
Tangan itu terasa hangat. Sudah sangat lama aku tidak merasakan kehangatan tersebut.
Saat aku sedang menikmati hal tersebut, tiba-tiba bus itu berhenti.
Bus itu berhenti tepat di halaman sebuah mesjid. Seperti kata Riko tadi, sudah saatnya istirahat untuk sholat subuh.
Riko segera menarik tangannya, lalu segera berdiri untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang kernet bus.
******
Siang itu, Riko menjadi pusat perhatianku tiba-tiba. Kesan yang ia berikan tadi malam, benar-benar telah menyentuh perasaanku.
Hatiku yang memang lagi kosong dan baru saja mengalami kekecewaan, tiba-tiba seperti menemukan tempat untuk berlabuh.
Akh. Apa yang aku pikirkan ini?
Pertemuanku dengan Riko baru terjadi beberapa jam yang lalu. Aku tidak boleh terlarut di dalamnya.
Lagi pula, esok pagi kami sudah di pasti kan, akan berpisah.
Esok pagi aku akan sampai ke kampung halamanku, dan Riko akan melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang kernet bus.
Dan kami tidak akan pernah bertemu lagi.
Tapi entah mengapa, aku merasa penasaran dengan Riko.
Siang itu, Riko sedikit sibuk dengan pekerjaannya. Kami hampir tidak punya waktu, walau hanya untuk sekedar mengobrol.
Saat istirahat pun, Riko masih sibuk membersihkan bus, hingga aku tidak berani untuk mendekatinya.
Waktu menjadi terasa lambat berlalu bagiku siang itu. Aku sudah tidak sabar menunggu malam datang.
Aku berharap, saat malam, aku akan punya kesempatan untuk bisa dekat-dekat dengan Riko.
Namun aku sedikit kecewa, saat sore, seorang penumpang baru, duduk di kursi di sampingku yang kosong tersebut. Yang artinya, Riko tidak punya kesempatan untuk duduk di sana lagi.
Rasa kecewa ku kian menjadi, saat kulihat Riko seperti mengabaikanku.
Dan ketika bus berhenti di sebuah rumah makan, untuk istirahat mandi dan makan malam kami para penumpang, saat itulah tiba-tiba Riko mendekatiku.
Aku berniat untuk mandi, karena aku merasa mulai gerah.
Saat aku sampai ke salah satu kamar mandi yang memang disediakan rumah makan tersebut, Riko muncul di belakangku.
"mau mandi bareng gak, mas?" suara Riko sedikit berbisik.
Aku menatap wajah Riko dengan kening berkerut. Dadaku jadi berdebar lagi.
Namun repleks aku mengangguk.
Ya, aku memang menginginkannya. Seharian aku menahan diri, untuk tidak berharap lagi pada Riko.
Dan sekarang Riko seperti memberiku peluang, untuk bisa berduaan dengannya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Riko segera menarik tanganku untuk masuk ke dalam kamar mandi tersebut.
Kamar mandi itu, cukup luas. Jaraknya juga cukup jauh di belakang rumah makan.
Meski itu bukan satu-satunya kamar mandi di sana, tapi kamar mandi itu, satu-satunya yang terpisah cukup jauh dari kamar mandi lainnya.
Riko segera mengunci pintu kamar mandi itu dari dalam.
Dadaku kian bergemuruh menahan gejolak. Aku belum pernah melakukan hal ini di dalam kamar mandi sebelumnya.
Saat aku masih berpacaran dengan mas Reza dulu, kami selalu melakukanya di kamar kost-ku.
"aman gak sih, Rik? Disini?" tanyaku bergetar.
Riko sudah menarik tubuhku untuk mendek4pnya.
"selama mas Jhony gak berteriak dan tidak terlalu berisik. Aku rasa aman kok, mas.." ucap Riko cukup yakin.
Sepertinya ia juga sudah berpengalaman dalam hal tersebut.
"kamu sudah biasa, ya. melakukan hal ini dengan para penumpang?" tanyaku lagi, sambil berusaha membalas dek4pan hangat Riko.
"gak sembarangan penumpang juga, mas. Aku pilih-pilih, kok. Kalau aku gak tertarik, aku gak bakal mau. Dan lagi pula, tidak semua penumpang mau melakukan ini.." jelas Riko, dengan mulai mendekatkan wajahnya.
"dan mas Jhony, benar-benar membuatku tertarik sejak awal melihat mas.." lanjut Riko lagi.
Bib!rnya sudah berjarak setengah jengkal dari mulutku. Aroma harum napas Riko, menyeruak ke dalam hidungku.
Aku memejamkan mata tiba-tiba. Bayangan mas Reza melintas untuk beberapa saat.
Namun aku segera mengabaikannya, saat b!bir Riko akhirnya berlabuh di tempat yang aku inginkan.
Aku terkaku beberapa saat, merasakan hal tersebut. Riko melakukannya dengan sangat lembut.
Debaran di dadaku kian tak beraturan. Aku pun berusaha membalas hal tersebut.
Semakin lama gerakan Riko semakin tak beraturan.
Kami sama-sama terhanyut dalam suasana nan romantis itu.
Ternyata keindahan dan keromantisan itu bisa di dapatkan di mana saja, tak terkecuali di dalam kamar mandi.
Keromantisan itu tergantung dari siapa yang melakukannya.
Dan Riko mampu melakukannya dengan sangat baik, yang membuatku akhirnya p4srah.
Riko berhasil membawaku berlayar dengan indah di malam itu.
Meski pun kami melakukannya di dalam sebuah kamar mandi, namun tetap saja hal itu terasa indah bagiku.
Aku begitu terkesan dengan segala yang terjadi saat itu bersama Riko.
Cukup lama kami terhanyut dalam suasana romantis yang penuh keindahan itu. Sampai akhirnya kami pun sama-sama mencapai punc4k mahligai kebahagiaan yang sejak kemarin aku khayalkan bersama Riko.
*****
Perjalananku kembali berlanjut. Namun perasaan yang aku rasakan malam itu, terasa berbeda.
Berkali-kali aku tersenyum sendiri, membayangkan kejadian indah di dalam kamar mandi tersebut, bersama Riko.
Riko memang tidak lagi duduk di sampingku malam itu. Tapi rasanya ia seakan-akan selalu berada dalam dekapanku.
Dalam lamunan indahku tersebut, akhirnya aku tertidur pulas.
Saat menjelang subuh, aku kembali terbangun.
Aku cukup kaget, karena yang duduk di sampingku sekarang adalah Riko.
"kemana penumpang tadi?" tanyaku penasaran, aku berharap aku tidak sedang bermimpi.
"ia sudah turun sejak tadi..." jawab Riko terdengar santai.
Ia kembali memasang senyum manisnya.
Ia kembali meraih tanganku dan menggenggam jemariku.
Suasana indah kembali aku rasakan subuh itu.
Beberapa jam lagi, aku akan sampai ke kampung halamanku.
Beberapa jam lagi, aku akan berpisah dengan Riko.
Entah mengapa aku merasa sedih menyadari hal itu. Aku merasa berat harus berpisah dengan Riko.
"kapan kita akan bertemu lagi, Rik?" tanyaku akhirnya.
Riko kembali memasang senyum indahnya.
"kita tidak pernah bisa menebak apa yang akan terjadi ke depannya, mas. Namun jika sudah takdirnya, kita pasti akan bertemu kembali.." jawab Riko terdengar sedikit bijak.
"mas simpan saja nomor ponsel-ku ini.." Riko melanjutkan, sambil menuliskan sebuah nomor ponsel di handphone-ku.
"mas bisa miscall sekarang, biar aku juga bisa simpan nomor, mas Jhony.." lanjutnya lagi.
Sementara bus terus melaju menuju daerah kampung halamanku.
Saat sudah berada di terminal, aku dengan sangat berat terpaksa harus berpisah dengan Riko.
Riko membantu aku menurunkan barang-barangku.
"sampai jumpa lagi, mas.." ucapnya saat ia sudah naik kembali ke dalam bus.
Aku melambaikan tangan lemah. Melepaskan kepergian Riko.
*****
Sesampai di rumah, aku langsung menghempaskan tubuhku di dalam kamar.
Aku tidak berpuasa hari ini. Meski pun ini hari pertama puasa, tapi kejadian di kamar mandi bersama Riko, membuatku tidak bisa melaksanakan ibadah puasa pertamaku.
Sebenarnya tidak masalah, karena setelah melakukan hal tersebut, aku dan Riko langsung mandi.
Tapi aku memang tidak berniat untuk puasa hari itu. Aku masih ingin menikmati sisa-sisa keindahan bersama Riko tadi malam.
Pertemuan singkat ku dengan Riko, benar-benar meninggalkan kesan yang begitu dalam di hatiku.
Riko hadir, di saat yang tepat. Di saat hatiku sedang kosong.
Aku memainkan handphone-ku, lalu dengan sengaja menghubungi nomor Riko.
"ada apa, mas?" suara Riko di ponsel.
"hmm... gak ada apa-apa, Rik. Hanya sekedar meyakinkan kalau kamu masih hidup.." balasku dengan nada sedikit berkelakar.
Riko tertawa renyah.
"bilang saja kalau mas kangen, kan?" ucapnya di sela tawa renyahnya.
"emang gak boleh kalau aku kangen kamu, Rik?" balasku.
"boleh aja sih, mas. Tapi masa' iya, baru berpisah beberapa jam sudah kangen aja.." Riko membalas dengan nada sedikit menggoda.
Pembicaraan kami tiba-tiba terhenti, karena Riko sepertinya mulai sibuk.
Aku tersenyum sendiri. Meski aku mungkin tidak akan pernah lagi bertemu dengan Riko. Tapi setidaknya, aku pernah merasakan keindahan bersama sang kernet bus tersebut.
Dan aku juga sudah punya nomor ponselnya, yang berarti saat aku kembali lagi ke kota tempat aku bekerja, setelah lebaran nanti, aku bisa menghubungi Riko, agar aku bisa naik bus-nya lagi.
Aku tersenyum kembali membayangkan hal tersebut.
Semoga saja, sebulan lagi aku bisa bertemu kembali dengan Riko.
Ya, semoga saja.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih