Namaku Irfan. Aku sudah menikah dan sudah punya seorang anak yang berusia 3 tahun. Aku menikah sekitar empat tahun yang lalu, pada saat usia ku 27 tahun. Saat ini aku sudah berusia 31 tahun lebih.
Aku seorang perantau. Orangtua dan semua keluarga ku berada di kampung. Begitu juga istri ku. Semua keluarganya juga berada di kampung. Dulu, sebelum menikah dengan ku, istri ku bekerja di sebuah mini market. Tapi sekarang, ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa.
Sementara aku hanya bekerja di sebuah rumah makan sebagai juru masak. Sudah lebih dari lima tahun, aku menjalani profesi tersebut. Setidaknya setahun sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan istri ku.
Sejak menikah, aku dan istri ku tinggal di sebuah rumah kontrakan yang cukup kecil, guna untuk menghemat biaya hidup kami. Apa lagi sejak anak kami lahir, kebutuhan hidup kami juga semakin meningkat. Beruntunglah istri ku sangat pengertian orangnya.
Gaji ku sebagai juru masak di rumah makan tidaklah terlalu besar. Karena rumah makan tersebut memang hanya sebuah rumah makan kecil, yang tidak terlalu ramai. Tapi setidaknya selama ini, aku masih mampu memenuhi kebutuhan keluarga ku, dan juga untuk membayar kontrakan rumah.
Namun saat ini, aku sudah kehilangan pekerjaan tersebut. Karena rumah makan tempat aku bekerja selama ini tersebut, mengalami kerugian dan harus tutup.
Kehilangan pekerjaan benar-benar membuat aku frustasi. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan di kota besar ini, apa lagi hanya dengan mengandalkan ijazah SMA. Satu-satunya keahlian yang aku punya hanyalah memasak.
Aku sudah coba melamar pekerjaan di beberapa rumah makan, restoran mau pun kafe. Tapi tidak satu pun pekerjaan yang bisa aku dapatkan. Padahal sudah hampir satu bulan aku menganggur, dan tanpa pamasukan apa-apa.
Istri ku pun sudah mulai mengeluh, karena uang tabungannya pun sudah mulai menipis.
"kita belum bayar uang kontrakan untuk bulan ini, mas. Padahal udah jatuh tempo seminggu yang lalu." ucap istri ku lemah.
Aku tidak menanggapi ucapan istri ku barusan. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku memang tidak tahu lagi harus melakukan apa, untuk bisa mendapatkan uang.
"simpanan beras kita juga sudah menipis, mas. Aku hampir tidak punya uang lagi. Sementara anak kita selalu minta jajan setiap hari." istri ku berucap lagi.
"aku akan cari pinjama, dik. Setidaknya sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan." balasku akhirnya, meski aku sendiri tidak yakin harus cari pinjaman kemana.
*****
Siang itu, aku berjalan kaki mengelilingi kota. Mencari-cari lowongan pekerjaan. Saat merasa lelah aku beristirahat di sebuah bangku di depan sebuah ruko, yang berada tak jauh dari pinggir jalan.
Perutku sudah mulai keroncongan. Aku sengaja tidak makan tadi dari rumah, setidaknya demi menghemat beras kami.
Saat itulah sebuah mobil mewah, tiba-tiba berhenti di depan ku.
Seorang laki-laki parlente keluar dari mobil tersebut.
"maaf, bang. Boleh numpang tanya?" suara laki-laki itu sopan.
Aku hanya mengangguk ringan membalas ucapan tersebut.
"abang tahu dimana jalan Mujahidin?" tanya laki-laki itu lagi.
"iya, tahu." balasku cukup yakin. Sebagai orang yang sudah cukup lama tinggal di kota ini, aku memang hampir hafal setiap tempat di kota ini.
"boleh minta tolong tunjukkan, bang?" laki-laki itu berucap lagi.
"boleh, pak. Tapi jalannya masih jauh dari sini. Sekitar enam atau tujuh kilo dari sini. Nanti bapak ikuti saja jalan ini lurus, kemudian sekitar dua kilo dari sini, ada persimpangan, bapak belok ke kanan, kemudian lurus lagi, lalu nanti belok ke kiri, kemudian lurus, dan belok kiri lagi, nah sekitar beberapa ratus meter dari situ ada tanjakan, gak jauh dari tanjakan itu ada persimpangan ke kiri, di situlah jalan Mujahidin tu, pak." ucapku berusaha menjelaskan serinci mungkin.
"wah.. cukup ribet juga ya, bang. Jadi tambah bingung saya.." balas laki-laki itu.
"yah, mau gimana lagi, pak. Emang jalannya di situ." ucapku pelan.
Laki-laki itu terdiam sejenak dan terlihat berpikir.
"atau gini aja, bang. Abang lagi sibuk gak?" ucap laki-laki itu akhirnya.
Kali ini aku hanya menggeleng ringan.
"bagaimana kalau abang ikut sama saya, untuk memandu saya sampai ke sana? Nanti saya kasih tip deh, bang." laki-laki itu berujar lagi.
Aku pun terdiam mendengar tawaran tersebut. Aku bukannya gak mau membantu laki-laki itu, tapi rasanya pergi bersama orang yang belum aku kenal, cukup membuat aku merasa khawatir. Namun mengingat ia menawarkan aku tip, aku pun menjadi cukup tergiur untuk menerimanya. Apa lagi perut ku sudah mulai rewel sejak tadi.
"baiklah, pak. Tapi nanti bapak antar lagi saya kesini ya.." ucapku akhirnya.
Laki-laki itu pun tersenyum senang. Ia pun mempersilahkan aku masuk ke mobilnya.
"kenapa gak pake google maps aja sih, pak?" tanyaku sekedar berbasa-basi, saat mobil sudah mulai berjalan pelan.
"tadi udah aku coba, tapi aku malah jadi nyasar. Google maps kadang-kadang juga gak akurat kan?" balas laki-laki itu ringan.
"tapi... ngomong-ngomong, jangan panggil saya bapak lah. emangnya saya udah kelihatan tua banget ya?" laki-laki itu melanjutkan ucapannya.
"ya ... gak tua sih, masih sangat muda malah. Tapi panggilan bapak itu bentuk penghormatan pada orang yang lebih sukses. Itu sih menurut saya." balas ku apa adanya.
"udah santai aja.... abang panggil saja saya Bagus. Dan saya masih 27 tahun." balas laki-laki itu kemudian.
"abang siapa namanya?" tanya nya melanjutkan.
"Irfan.." jawab ku singkat.
"bang Irfan tadi lagi ngapain di sana? Saya gak ganggu kan?" ucap laki-laki yang mengaku bernama Bagus tersebut.
Bagus sebenarnya memang masih cukup muda. Dia juga memiliki bentuk wajah yang lumayan tampan dengan postur tubuh yang cukup atletis.
"saya gak lagi ngapa-ngapain, kok. Jadi saya gak merasa terganggu, malahan saya merasa senang bisa membantu. Dan lagi pula, saya jadi bisa naik mobil mewah ini kan." balasku mencoba sedikit akrab.
"ah, abang bisa aja.. tapi .. makasih loh, bang. Udah mau menemani saya.." ucap Bagus ringan.
"oh, ya... ngomong-ngomong kamu bukan orang sini? Sampai gak tahu jalan Mujahidin?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"aku baru satu bulan tinggal di sini, bang. Perusahaan tempat aku bekerja, baru buka cabang di kota ini, dan aku di percaya untuk mengelola cabang perusahaan kami di kota ini." jelas Bagus.
"aku juga tinggal sendirian di kota ini, gak ada kenal siapa-siapa. Semua keluarga ku berada di kota lain. Dan aku tinggal di sebuah apartemen, gak jauh dari tempat kita bertemu tadi." lanjut Bagus kemudian.
"dan aku juga belum menikah." Bagus berucap lagi, saat aku hendak mengajukan pertanyaan berikutnya.
"kenapa? Padahal kehidupan kamu sudah cukup mapan." ucap mengubah pertanyaan yang ingin aku ajukan tadi.
"karena aku... masih mencintai kebebasan ku.." jawab Bagus sedikit diplomatis.
Untuk sesaat suasana pun hening. Bagus sibuk menyetir mobilnya dan menghindari kemacetan. Sementara aku sibuk menahan rasa laparku.
"emangnya kamu mau ngapain di jalan Mujahidin?" tanyaku sekedar memecah keheningan, dan sekedar untuk menahan rasa lapar ku.
"aku mau ketemu sesorang, gak lama kok. Nanti abang bisa tunggu di mobil aja.." jawab Bagus.
"mau ketemu pacarnya?" tanya ku sekedar menebak.
"ah, gak lah, bang. Aku gak punya pacar. Pacaran itu ribet. Aku hanya sekedar ingin bertemu seorang rekan kerja, katanya dia punya file yang aku butuhkan." balas Bagus.
Tak lama kemudian, kami pun sampai ke tempat yang Bagus tuju. Ia segera turun untuk menemui orang tersebut. Setelah berbicara singkat dan mengambil file yang ia maksud, Bagus segera kembali ke mobil.
****
"bagaimana sebagai ucapan terima kasih saya, abang saya traktir makan dulu, sebelum saya antar ke tempat tadi. Abang tenang aja, itu di luar uang tip yang akan saya beri." ucap Bagus, ketika akhirnya kami sudah menuju arah kembali.
Tanpa menunggu persetujuan ku, Bagus segera mengarahkan mobilnya ke sebuah kafe. Kami pun sama-sama turun dan memasuki kafe tersebut.
Bagus mempersilahkan untuk memesan makanan dan minuman yang aku suka. Aku pun segera memasan makanan yang sekiranya bisa membuat aku kenyang. Karena perut ku sudah benar-benar keroncongan.
"bang udah nikah?" tanya Bagus, sambil menunggu makanan kami datang.
Aku hanya mengangguk ringan.
"udah berapa anaknya?" tanya Bagus lagi.
"baru satu.." jawabku singkat.
"jadi abang kerja apa?" tanya Bagus kemudian.
Untuk kali ini aku bingung harus menjawab apa. Haruskah aku menceritakan tentang persoalan hidup yang sedang aku hadapi saat ini pada Bagus? Apa ia akan peduli?
"abang gak usah malu, ngomong aja... siapa tahu aku bisa bantu.." ucap Bagus kemudian, melihat keterdiaman ku.
Saat aku hendak membuka mulut untuk berucap, pelayan pun datang mengantarkan pesanan kami.
"silahkan, pak.." ucap pelayan itu ramah.
"makasih.." balas Bagus pada pelayan tersebut.
Untuk sesaat kami pun mulai sibuk dengan makanan kami masing-masing.
"jadi abang kerja apa?" Bagus mengulang pertanyaannya, di sela-sela makan kami.
"aku... aku sudah sebulan menganggur..." jawabku akhirnya.
"emangnya dulu abang kerja dimana?" Bagus bertanya kembali.
"aku hanya bekerja di sebuah rumah makan kecil, jadi juru masak. Tapi rumah makan tersebut harus tutup karena bangkrut. Jadi sekarang aku gak punya pekerjaan." jelasku apa adanya.
"bang Irfan kuliah juruan apa emangnya?" tanya Bagus lagi.
"aku gak kuliah, aku hanya lulusan SMA. Keahlian ku satu-satunya ya hanya memasak. Itu pun cuma masakan biasa." jawab ku jujur.
"jadi apa rencana bang Irfan selanjutnya?" tanya Bagus kemudian.
"gak tahu, aku juga lagi bingung." balas ku lemah.
"kenapa bang Irfan gak buka usaha aja? kan abang bisa masak." ucap Bagus ringan.
"mau buka usaha kan butuh modal juga, Gus. Sekarang ini, jangan modal untuk buka usaha, untuk bayar kontrakan aja aku udah gak punya." balasku cukup terbuka dan mulai merasa akrab.
Bagus pun hanya terdiam mendengarkan cerita ku barusan. Seperti yang aku duga, dia juga gak bakal peduli. Apa lagi kami memang baru saja saling kenal.
"kalau seandainya. Ini seandainya ya, bang." ucap Bagus tiba-tiba. "seandainya abang punya modal, abang rencananya mau buka usaha apa?" lanjut Bagus bertanya.
"dulu di kampung, aku pernah bantu-bantu bapak jualan pisang crispy. Jadi kalau aku punya sedikit modal, aku pengen buka usaha jualan pisang crispy pake gerobak." balasku pelan.
"tapi bukannya sekarang ini, memang lagi maraknya jualan pisang crispy ya? Dan itu artinya persaingannya lumayan ketat. Apa abang siap bersaing dengan pedagang lainnya, yang tentu nya sudah berpengalaman dan sudah punya pelanggan?" ucap Bagus.
"di kampung bapak punya resep rahasia, untuk membuat pisang crispy yang enak dan beda. Pisang crispy bapak juga cukup laris, meski tentu saja saingannya tidak sebanyak di kota. Tapi saya yakin, dengan resep dan pengolahan yang tepat serta di bantu dengan promosi yang benar, saya pasti bisa bersaing dengan para pedagang pisang crispy lainnya." balasku dengan nada cukup meyakinkan.
Kali ini Bagus terdiam kembali. Entah ia merasa terkesan dengan kalimat ku barusan, atau entah sebenarnya dia sedang memikirkan hal lain.
"bang Irfan percaya gak, dengan istilah, jika kamu good looking, maka separoh dari persoalan hidupmu akan selesai begitu saja?" tanya Bagus tiba-tiba, yang membuat ku sedikit bingung.
"aku gak tahu. Aku gak ngerti maksudnya apa." balas ku jujur, "tapi apa hubungan hal tersebut dengan pembicaraan kita barusan?" tanya ku melanjutkan.
"nanti juga bang Irfan pasti ngerti maksudnya apa. Tapi yang pasti, dalam berdagang, selain skill memasak, kita juga butuh tampang yang mendukung. Jadi aku rasa, bang Irfan sudah memenuhi kedua hal tersebut." balas Bagus semakin membuat ku tidak mengerti.
"maksudnya?" tanya ku dengan kening berkerut.
"saya akan beri abang modal, dan abang bisa membayarnya dengan cara di cicil." balas Bagus terdengar serius.
"kamu serius?" tanyaku masih ragu.
"iya, aku serius, bang. Dengan wajah abang yang tampan dan postur tubuh yang gagah, saya yakin, abang akan mudah mendapatkan pelanggan. Karena itu saya percaya untuk meminjamkan modal pada bang Irfan." jelas Bagus meyakinkan.
"lalu apa keuntungannya bagi kamu, Gus?" tanyaku kemudian.
"keuntungannya bagi saya, ya... mungkin saya jadi punya teman di kota ini.." balas Bagus santai.
"bagaimana kalau, kamu yang kasih modal, saya yang jalankan usahanya, dan keuntungannya kita bagi dua?" ucapku menawarkan.
"saya tidak ingin menjadikan ini bisnis, bang. Tujuan saya hanya ingin membantu abang. Jadi abang gak perlu terlalu memikirkan keuntungannya bagi saya. Saya akan pinjamkan abang modal, dan abang bisa membayarnya dengan cara di cicil, sebarapa pun abang mampu setiap bulannya. Dan saya tidak akan mengambil keuntungan atau laba dari pinjaman tersebut." balas Bagus menjelaskan.
Ah, mimpi apa aku semalam? Bisa bertemu orang sebaik Bagus?
Atau sebenarnya, aku yang terlalu percaya dengan kebaikan Bagus? Padahal bisa saja ada maksud tertentu dengan kebaikannya tersebut?
Lalu bagaimanakah kelanjutan dari kisah ini?
Benarkah Bagus memang tulus untuk membantu ku?
Atau adakah maksud tertentu dari Bagus untuk membantu ku?
Mengingat kami baru saja saling kenal.
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi pada part berikutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua..
*****
Part 2
Sesuai perjanjian, setelah makan, Bagus pun mengantarku ke tempat kami pertama kali bertemu tadi.
"bagaimana kalau aku antar bang Irfan ke rumah aja langsung?" tawar Bagus saat kami sudah di perjalanan.
"apa itu tidak terlalu merepotkan?" balasku ringan.
"bukan aku juga sudah merepotkan abang dari tadi?" ucap Bagus kemudian, "lagi pula aku juga ingin tahu dimana rumah abang." lanjut Bagus.
"sebenarnya rumahku tidak terlalu jauh dari tempat kita bertemu tadi, tapi kalau kamu memang ingin tahu rumahku, juga gak masalah. Itung-itung biar kamu lebih percaya aja sama aku." balasku kemudian.
"sebenarnya aku juga sudah percaya sama bang Irfan. Tapi, kalau aku tahu rumah abang, nanti aku jadi lebih gampang untuk bertemu lagi sama abang." jelas Bagus.
"ya udah, kalau begitu kita langsung ke rumah ku aja. Sekalian aku perkenalkan kamu sama istri dan anak ku." balasku akhirnya.
Bagus segera memacu mobilnya menuju arah rumah ku, dan beberapa menit kemudian kami pun sampai.
Aku mempersilahkan Bagus untuk masuk ke rumah kontrakan kami yang kecil, dan memperkenalkannya pada istriku.
"beginilah rumah kami, Gus." ucapku ringan.
"iya, gak apa-apa, bang. Tapi aku gak bisa lama-lama disini, bang. Soalnya masih ada urusan lain. Besok saya kabari abang lagi ya, soal pinjaman modal itu." balas Bagus.
"iya, Gus. Aku akan tunggu kabar dari kamu." ucapku lagi.
Tak lama berselang, Bagus pun pamit untuk pulang, setelah ia aku suguhi minuman apa adanya.
"jadi kalian baru kenal tadi, tapi ia mau memberi kita modal?" tanya istri ku, setelah kepergian Bagus.
"bukan memberi tapi meminjami." ucapku memperjelas.
"iya, tapi ... apa mas gak curiga? Masa' iya baru kenal sudah langsung percaya gitu?" timpal istri ku.
"kita gak boleh berprasangka buruk dulu sama orang, toh niatnya baik kan? Lagian apa sih yang mau dia tipu dari kita?" ucapku membalas.
"ya... benar juga, sih. Tapi..." istriku berucap ragu.
"sudahlah, gak usah terlalu di pikirkan, yang penting sekarang aku jadi punya usaha, kalau Bagus jadi meminjamkan aku uang." aku memotong ucapan istri ku cepat.
"ini.." ucapku lagi, sambil menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada istri ku. Uang itu memang di berikan oleh Bagus tadi, sebelum ia pamit pulang.
"ini uang apa?" tanya istri ku heran.
"udah ambil aja, buat beli beras dan juga buat bayar kontrakan. Itu uang pemberian Bagus, sebagai ucapan terima kasih karena saya sudah menunjukkan alamat yang dia cari tadi." jelasku.
Istriku pun tersenyum, "baik ya dia. Cuma nunjukin alamat di kasih uang sebanyak ini." ucapnya pelan.
****
Keesokan harinya, Bagus pun mengajak ku bertemu di sebuah kafe, yang tidak terlalu jauh dari rumah tempat aku tinggal. Jadi aku hanya berjalan kaki ke sana.
"ini ada uang lima belas juta, mudah-mudahan cukup buat abang untuk buka usaha jualan pisang crispy." ucap Bagus, setelah kami memesan makanan.
"ini sih lebih dari cukup, Gus. Makasih ya, kamu udah percaya sama aku." balasku merasa senang.
"jadi gimana cara pengembaliannya?" tanyaku melanjutkan.
"abang cicil aja berapa pun abang mampu setiap bulannya.." balas Bagus terdengar santai.
"sekali lagi terima kasih ya, Gus. Kamu sudah menyelamatkan keluarga saya dari kelaparan." ucapku penuh perasaan.
"biasa aja, bang. Aku cuma niat untuk membantu aja, kok." balas Bagus.
"tapi bantuan kamu, sangat berarti bagi saya dan keluarga, Gus. Saya janji, saya tidak akan sia-sia kan kesempatan ini." suara ku sedikit parau, karena menahan rasa di hatiku yang tiba-tiba saja aku rasakan.
"iya, bang. Saya juga berharap, abang bisa menjalankan usaha ini dengan baik, dan juga bisa memperbaiki perekonomian keluarga abang." balas Bagus lagi.
"tapi kira-kira abang mau jualan dimana?" tanya Bagus kemudian.
"ya di pinggiran jalan raya itu, Gus. Yang di depan rumah saya itu. Kan cukup ramai orang berlalu lalang disana. Lagi pula di daerah situ belum ada orang yang berjualan pisang crispy." jelas ku.
"sekalian abang promosi juga di media sosial, biar lebih di kenal orang." ucap Bagus.
"tapi aku gak punya media sosial, Gus. Aku cuma punya HP ini.." balasku, sambil memperlihatkan sebuah HP senter model lama, yang sudah kelihatan usang.
"ya udah, aku yang akan bantu nanti promosi kan di media sosial ku." ucap Bagus lagi.
"makasih banyak ya, Gus. Kamu benar-benar orang baik. Saya do'a kan semoga kamu semakin sukses, dan semoga segera bertemu jodoh yang baik." timpalku kemudian.
"aamiiin, bang." balas Bagus ringan.
****
Sorenya aku mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk membuka usaha baru ku. Mulai dari mencari gerobak bekas dengan harga miring, dan aku renovasi seadanya, agar terlihat baru. Membeli bahan-bahan yang aku butuhkan untuk membuat pisang crispy, dan juga segala perlengkapan peralatan memasak.
Keesokan harinya, aku pun sudah mulai berjualan. Aku membuka jualan ku setiap sore hinggan malam.
Awalnya semua itu memang terasa sulit bagiku. Tidak mudah bagiku untuk bisa menemukan pelanggan. Namun aku tetap berusaha. Aku tak ingin menyerah. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesmepatan ini. Biar bagaimana pun, aku harus bisa membuktikan, kalau aku tidak akan mengecewakan Bagus.
"wah, sudah mulai jualan nih." ucap Bagus, ketika ia mampir di tempatku, saat hari pertama aku berjualan.
"jadi gimana, bang jualannya? Laku?" tanya Bagus melanjutkan.
"ya.. masih belum banyak yang laku sih, Gus. Maklum lah, ini kan baru hari pertama." balasku.
"ya, gak apa-apa, bang. Yang penting abang tetap samangat ya." ucap Bagus lagi.
Aku pun hanya tersenyum membalas ucapan Bagus barusan. Sepertinya Bagus benar-benar ingin memberi aku semangat.
"kamu mau saya buatkan satu porsi, sebagai uji coba? Nanti kamu bisa promosikan ke teman-teman kantor kamu." ucapku kemudian.
"boleh, bang." balas Bagus singkat.
"oke, tunggu sebentar ya..." ucapku, sambil mulai mengolah bahan yang aku butuhkan untuk membuat pisang crispy tersebut.
"yang ini gratis buat kamu, Gus." ucapku sambil menghidangkan pisang crispy tersebut pada Bagus.
Bagus pun mulai mencicipi pisang crispy tersebut.
"wah.. ini enak, bang. Rasanya beda dari pisang crispy yang biasa saya makan. Aku photo ya, bang." ucap Bagus, terdengar jujur.
"makasih, Gus." balasku.
"nanti aku bantu promosi ya.." ucap Bagus lagi.
Dan sejak saat itu, aku pun setiap sore hingga malam terus berjualan pisang Crispy di pinggiran jalan tersebut. Dan hampir setiap malam juga Bagus mampir di tempat ku. Kami jadi semakin sering mengobrol. Bagus juga setiap malam selalu membeli pisang crispy ku.
"aku malah jadi ketagihan makan pisang cripsy bang Irfan setiap malam, rasanya enak. Teman-teman kantor ku juga bilang gitu." ucap Bagus suatu malam.
"iya, Gus. Makasih. Pelangganku sekarang juga sudah banyak." balasku ringan.
Aku dan Bagus memang semakin dekat dan akrab. Aku benar-benar merasa beruntung bisa mengenal Bagus. Dia sudah sangat banyak membantu ku selama ini. Berkat promosinya di media sosial, orang-orang semakin banyak yang mengetahui jualan pisang crispy ku.
****
"makasih ya, Gus." ucapku, saat suatu pagi kami bertemu di sebuah kafe. Kali ini atas inisiatif ku, dan aku berniat untuk mentraktir Bagus, sekaligus untuk membayar cicilan pinjaman ku padanya.
"aku yang makasih loh, bang. Udah ditraktir.." balas Bagus ringan.
"tapi ini semua berkat kamu juga, Gus. Dan ini cicilan ku untuk bulan pertama ini." ucapku, sambil menyerahkan sejumlah uang pada Bagus.
Bagus menerima uang tersebut, sambil tersenyum menatapku.
"sebenarnya ada yang mau aku omongkan sama bang Irfan." ucap Bagus tiba-tiba serius.
"kamu mau ngomong apa? Ngomong aja.." balasku yakin.
"tapi gak di sini, bang." ucap Bagus.
"emangnya kenapa?" tanya ku heran.
"apa yang ingin aku omongkan ini, bersfiat agak rahasia, bang. Jadi gak bisa di omongkan di tempat umum seperti ini." jelas Bagus.
"lalu kamu maunya dimana?" tanya ku penasaran.
"abang nanti malam ada waktu gak?" tanya Bagus kemudian.
"nanti malam aku kan jualan." balas ku.
"maksud ku setelah abang jualan." ucap Bagus lagi.
"ya.. kalau memang itu penting, saya usaha kan. Tapi dimana?" balasku sedikit bertanya.
"nanti malam aku jemput abang, kita ngobrol di apartemen ku aja." ucap Bagus kemudian.
"baiklah, Gus. Nanti malam aku kabari, kalau dagangan ku sudah habis ya.." balasku selanjutnya.
"oke, bang." ucap Bagus terdengar senang.
Entah apa yang ingin Bagus bicarakan dengan ku. Aku malah jadi penasaran. Tak biasanya Bagus seperti ini. Sepertinya pembicaraannya kali ini, memang cukup serius. Tiba-tiba saja aku merasa tak karuan. Aku terus bertanya-tanya, apa sebenarnya yang ingin Bagus omongkan dengan ku?
Mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan uang yang aku pinjam darinya?
Atau adakah hal lain yang tidak aku ketahui tentang Bagus?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini ya.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di kisah selanjutnya, salam sayang untuk kalian semua.
*****
Part 3
Dengan perasaan berdebar-debar, aku mengikuti langkah Bagus memasuki apartemennya. Setelah tadi Bagus menjemputku ke rumah. Malam memang sudah cukup larut, sudah hampir jam sebelas malam. Namun karena aku merasa tidak enak hati menolak permintaan Bagus, aku pun dengan sangat terpaksa harus meninggalkan istri dan anak ku di rumah.
"ada apa sebenarnya, Gus?" tanyaku akhirnya, setelah kami masuk dan duduk di ruang tamu apartemen Bagus tersebut. Apartemen itu memang cukup luas. Di lengkapi dengan dapur di bagian belakang, kamar mandi, ruang tamu dan juga sebuah kamar tidur.
Bagus terlihat menarik napas berat. Wajahnya terlihat serius.
"aku ingin jujur sama bang Irfan." suara Bagus cukup berat.
"tentang apa?" tanyaku penasaran.
"tentang perasaanku." balas Bagus, "tentang siapa aku sebenarnya." lanjutnya.
Perasaanku kembali tak karuan. Emang siapa Bagus sebenarnya? Bathin ku bertanya. Namun aku tak mampu melontarkan pertanyaan apa pun pada Bagus lagi.
"sebenarnya... aku... aku ini bukan seperti laki-laki pada umumnya, bang." suara Bagus cukup terbata.
"maksudnya?" aku bertanya juga akhirnya.
"aku ini.... a... aku sebenarnya lebih punya ... ketertarikan pada laki-laki.. bang.." Bagus berucap semakin terbata, namun mampu membuat aku terkesima.
Lidah ku kelu tiba-tiba, tak mampu berucap apa-apa lagi. Aku mulai mengerti maksud Bagus sebenarnya, meski aku belum begitu yakin.
"aku... aku ini... seorang.. gay, bang." ucap Bagus selanjutnya, "dan... sebenarnya... aku.. aku suka sama bang Irfan... Aku sudah jatuh cinta sama bang Irfan, sejak pertama kali melihat bang Irfan. Karena itu, aku terus berusaha untuk bisa mendekati bang Irfan.." lanjut Bagus lagi.
Aku masih terdiam. Mencoba untuk tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar.
Bagus gay? Ah, rasanya itu sangat tidak mungkin. Bagus terlihat normal. Dia juga terlihat gagah. Tidak ada kesan feminim sedikit pun. Tapi pengakuan Bagus barusan, benar-benar tidak bisa di terima akal.
"kamu... kamu.. hanya lagi bercanda kan, Gus. Kamu gak serius kan?" suara ku ikut terbata.
"aku serius, bang. Aku jatuh cinta sama bang Irfan. Aku tahu ini salah. Aku tahu abang sudah menikah. Tapi... aku benar-benar tidak mampu lagi memendam semua rasa ini. Aku hanya ingin abang tahu." balas Bagus mulai cukup berani.
"tapi.. aku.. kita.. kita gak mungkin, Gus." aku tak tahu lagi harus berucap apa. Aku benar-benar shock menyadari itu semua.
"iya, bang. Aku tahu.. aku juga tidak berharap bisa memiliki abang. Aku hanya ingin jujur pada bang Irfan. Sekali pun resikonya, mungkin abang akan membenci ku." timpal Bagus kemudian.
Kalau saja. Kalau saja, Bagus tidak pernah berbuat baik padaku. Kalau saja aku tidak merasa berhutang budi padanya. Mungkin sudah ku layangkan tangan ku untuk memukul Bagus. Aku merasa geli mendengarnya. Atau setidaknya aku pasti akan segera pergi dari sini.
Tapi mengingat semua kebaikan Bagus selama ini padaku, mengingat ia telah menyelamatkan aku dan keluarga ku. Aku masih berusaha untuk tetap menahan diri. Setidaknya aku tidak ingin membuat Bagus merasa tersinggung.
"jadi... kebaikan kamu selama ini? Niat kamu meminjamkan aku modal? Hanya untuk bisa mendekati ku?" ucapku penuh tanya akhirnya. Hatiku bergejolak.
"gak juga, bang. Abang jangan salah pengertian akan hal itu. Aku melakukannya tulus." balas Bagus cepat.
"iya, kamu membantuku karena kamu memang suka sama aku kan? Kalau seandainya, kamu gak punya perasaan apa-apa padaku, apa kamu masih mau membantu ku?" tiba-tiba suara ku meninggi.
Kali ini Bagus terdiam. Aku yakin, apa yang aku katakan barusan sangat benar adanya.
"jadi ini maksud kamu waktu itu mengatakan, jika kamu good looking maka sebagian dari masalahmu sudah terselesaikan." aku berucap lagi, "karena kamu merasa tertarik dengan ku, kamu pun bersedia membantu ku dan dengan begitu masalah ku pun terselesaikan." lanjutku masih dengan nada tinggi.
"ya gak sepenuhnya seperti itu juga, bang." balas Bagus pelan.
"udahlah, Gus. Apa pun alasan kamu, aku benar-benar tidak bisa menerima semua ini." potongku cepat.
"abang gak seharusnya memvonis aku seperti itu, bang. Aku ini juga manusia. Aku memang suka sama abang, tapi itu bukan satu-satunya alasan untuk aku membantu abang. Aku juga merasa perihatin dengan kehidupan abang. Abang juga kan yang awalnya curhat padaku tentang kehidupan abang?"
"kalau seandainya abang tidak menceritakan tentang persoalan yang sedang abang hadapi waktu itu, aku juga belum tentu berani untuk mendekati abang, meski pun aku menginginkannya." ucap Bagus akhirnya, suaranya mulai ikut meninggi.
"aku tahu, mencintai abang adalah sebuah kesalahan. Tapi aku juga tahu, membantu orang yang membutuhkan itu adalah sebuah tanggung jawab. Dan karena aku merasa mampu, aku pun membantu abang. Apa itu salah?" Bagus berucap lagi, setelah ia menatap ku sesaat.
Aku kembali terdiam. Sejujurnya, aku juga tidak bisa menyalahkan Bagus sepenuhnya. Dari awal istriku pun sudah mengingatkan hal tersebut. Harusnya aku tidak menerima bantuan Bagus waktu itu. Harusnya aku menolak. Harusnya aku cari tahu dulu, alasan Bagus untuk membantu ku.
Tapi aku terlalau percaya pada Bagus waktu itu. Dan aku sangat tidak menyangka semua ini akan terjadi. Aku benar-benar di buat bingung. Aku tidak mungkin membanci Bagus, hanya karena ia mencintai ku. Tapi aku juga tidak mungkin terus bersamanya.
Tiba-tiba aku bangkit dari duduk ku, dan melangkah tergesa untuk keluar dari apartemen Bagus.
"abang mau kemana?" tanya Bagus sedikit berteriak.
"pulang." balasku, "aku punya istri dan anak, Gus. Tempat ku bukan disini." lanjutku, sambil terus melangkah keluar.
"lalu bagaimana dengan kita?" aku masih mendengar suara Bagus berucap, tapi aku sengaja mengabaikannya. Pikiran ku benar-benar kacau saat ini.
****
Aku menghempaskan tubuhku di ranjang. Istri ku kaget menyadari kepulangan ku.
"ada apa, mas? Bagus ngomong apa?" tanya istriku parau.
"gak ada apa-apa. Hanya masalah laki-laki." jawabku.
Istriku pun tak berucap apa-apa lagi. Ia kembali melanjutkan tidurnya. Sementara pikiran ku terus melayang, membayangkan semua yang di ucapkan Bagus tadi.
Bagus tak sepenuhnya salah dalam hal ini. Aku yang telah memberinya kesempatan. Tapi aku juga tidak mungkin menjalin hubungan dengannya. Membayangkannya saja aku mulai merasa mual.
Aku kadang tidak mengerti, mengapa ada laki-laki yang menyukai laki-laki juga, apa di dunia ini sudah kekurangan perempuan?
Tapi bukankah tidak seorang pun manusia ingin terlahir sebagai penyuka sesama jenis? Saya yakin mereka juga tak menginginkan hal tersebut. Mereka juga pasti merasa tersiksa dengan semua itu.
Lalu apakah orang-orang seperti Bagus tidak berhak untuk mencintai? Apakah mereka juga tidak layak untuk di cintai?
Ah, aku semakin bingung dengan semua ini. Aku jadi dilema.
Di satu sisi, Bagus sudah sangat terlalu baik padaku. Aku juga masih punya hutang padanya. Namun di sisi lain, jiwa laki-laki ku juga tidak bisa menerima kalau Bagus mencintai ku. Andai saja dia perempuan, mungkin ceritanya akan berbeda.
Tapi begitulah kenyataan yang harus aku hadapi saat ini. Kenyataan kalau aku di cintai oleh seorang pria gay. Dan pria itu sudah terlanjur menanam budi padaku. Aku mulai merasa tidak enak hati untuk menolaknya. Emangnya siapa aku? Aku juga bukan laki-laki suci. Aku juga bukan laki-laki sempurna. Meski aku sudah punya istri dan anak, bukan berarti aku sudah sempurna menjadi seorang laki-laki.
****
"aku minta maaf, bang." ucap Bagus pelan. Saat itu ia sengaja mampir di tempatku berjualan. Suasana memang sudah mulai sepi. Aku juga sebenarnya sudah mau tutup.
"aku minta maaf, karena sudah terlanjur jatuh cinta pada bang Irfan. Tidak seharusnya aku mengungkapkan itu semua. Seharusnya aku lebih bisa menahan diri." Bagus berucap lagi, karena aku hanya diam.
"aku janji, bang. Mulai saat ini, aku tidak akan menemui abang lagi. Dan kalau abang ingin membayar cicilan, abang cukup transfer aja. Nanti setelah hutang abang lunas, anggaplah kita tak pernah salah saling kenal." lanjut Bagus berucap.
"aku juga minta maaf, Gus. Karena aku tidak seperti yang kamu harapkan." balasku akhirnya.
"gak ada yang perlu di maafkan, bang. Ini semua bukan salah abang. Ini semua salahku. Aku yang salah telah mencintai abang. Aku yang salah telah terlahir ke dunia ini, sebagai laki-laki yang berbeda. Aku yang salah, karena tidak bisa membendung perasaanku sendiri." ucap Bagus terdengar pilu.
"kamu jangan berkata seperti itu, Gus. Gak ada yang salah dengan semua ini. Mungkin aku yang kurang bisa menerima kenyataan. Mungkin aku yang terlalu egois." balasku lemah.
"sudahlah, bang. Mungkin memang lebih baik, kalau aku belajar untuk melupakan abang. Cintaku kepada abang adalah sebuah kesalahan. Dan aku tak mungkin tetap bertahan, pada sesuatu yang sudah jelas-jelas salah." ucap Bagus lagi masih terdengar pilu.
Tiba-tiba rasa bersalah menyeruak dalam hatiku mendengar kalimat-kalimat Bagus barusan. Tak seharusnya aku memperlakukan Bagus seperti ini. Tak seharusnya aku menghakiminya. Bagus adalah sosok laki-laki baik. Dia hanya terlahir dengan keadaan yang salah.
"apa kamu tidak akan pernah mampir kesini lagi?" tanyaku tiba-tiba, diantara rasa bersalah ku.
Tiba-tiba Bagus berdiri dan melangkah memasuki mobilnya, tanpa mengeluarkan satu kata pun. Ingin rasanya saat itu aku memanggil Bagus kembali, tapi sebagian dari hatiku mencegahnya.
****
Sejak saat itu, Bagus pun menghilang dari kehidupan ku. Dia tak pernah lagi mampir di tempatku, atau sekedar menelpon ku.
Tiba-tiba saja aku merasa kehilangan dia. Aku kehilangan orang yang selama ini sudah sangat baik padaku. Aku mulai merasa ada yang kurang dari hari-hari ku. Sepi. Hampa.
Beberapa kali aku ingin menghubungi Bagus. Tapi selalu saja, ada pergulatan bathin dalam diriku. Sebagian dari hati ku, ingin bertemu Bagus kembali. Namun sebagiannya lagi berusaha menolak keinginan tersebut.
Aku melewati hari-hari ku tanpa semangat. Aku tidak tahu, apa yang sebenarnya aku rasakan saat ini. Aku selalu teringat akan kebersamaan ku bersama Bagus dulu. Mungkinkah aku merinduinya?
Ah, rindu? Bukankah itu hal yang wajar? Ketika seseorang yang biasa menemani hari-hari kita tidak ada lagi, saat itu lah sang rindu berperan. Saat itulah kita akan merasa kehilangan.
Kalau begitu, benarlah salah satu lirik lagu bang Haji, 'kalau sudah tiada baru terasa'.
Dan itulah yang aku rasakan saat ini. Ketiadaaan Bagus menemani hari-hari ku, membuat aku merasa telah kehilangan sesuatu yang penting dalam hidup ku.
Penting? Benarkah Bagus begitu penting bagi ku?
Kalau memang dia begitu penting, mengapa aku malah membiarkan dia pergi?
Mengapa aku tidak mencoba menerima kehadirannya dalam hidupku?
****
Hari-hari terus berlalu, dengan rasa kesepianku, dengan rasa kehilanganku dengan kehadiran Bagus. Tidak bisa aku pungkuri, kalau aku semakin merindukan Bagus. Semakin hari rindu itu semakin dalam aku rasakan. Dan aku sudah tidak mampu menahannya.
Karena itu aku pun memutuskan untuk mencoba menghubungi Bagus melalui ponselnya. Namun ternyata nomor handphone nya sudah tidak aktif lagi. Aku mencobanya berkali-kali, selalu saja tidak pernah nyambung. Aku yakin, Bagus sengaja mengganti nomor ponselnya.
Aku pun mencoba mendatangi apartemen Bagus. Berharap bisa bertemu dia di sana. Tapi menurut keterangan para tetangga, Bagus sudah lama pindah dari apartemen tersebut.
Aku mendatangi kantor Bagus, tapi kata teman kerjanya, Bagus sudah tidak bekerja di situ lagi.
Lalu kemana sebenarnya Bagus?
Mungkinkah ia telah kembali ke kota asalnya?
Mungkinkah juga ia telah mampu melupakan ku?
Lalu bagaimana dengan hutang-hutang ku padanya?
Oh, Bagus! Andai engkau tahu, betapa aku sangat merindukan mu saat ini.
Dan pada akhirnya aku hanya bisa pasrah. Tidak tahu lagi harus melakukan apa. Tidak tahu lagi harus mencari Bagus kemana.
Lalu seperti apakah akhir dari kisah ku ini?
Mungkinkah aku akan bertemu Bagus lagi?
Atau aku akan kehilang dia selamanya?
Simak kelanjutannya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Part 4
Kepergian Bagus benar-benar membuat aku merasa kehilangan. Rasanya ada sebagian hatiku yang di bawanya pergi. Hidupku jadi tanpa warna. Benar-benar datar.
Mungkin aku memang terlalu egois, membiarkan Bagus pergi tanpa pertimbangan yang lebih dalam lagi. Kini hanya penyesalan yang tersisa.
Semakin hari, aku semakin tidak bisa membohongi perasaan ku sendiri, kalau aku sebenarnya juga sayang sama Bagus. Namun sialnya, aku baru menyadari hal tersebut, setelah Bagus tiada.
Kini hari-hari ku semakin terasa sepi. Sudah berbagai cara aku lakukan, untuk bisa menemukan dimana keberadaan Bagus saat ini. Namun Bagus benar-benar menghilang seperti di telan bumi. Dan aku tidak bisa menemukannya.
Mengapa sesuatu menjadi sangat berharga setelah ketiadaannya. Mengapa aku baru menyadari kalau Bagus begitu penting bagi ku, setelah dia menghilang.
Ah, aku benar-benar sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa saat ini. Kehilangan Bagus membuat separoh dunia ku hancur. Kehilangan Bagus telah menyadarkan ku, bahwa ia begitu berharga bagi ku.
Cinta mungkin telah bersarang di hatiku untuk Bagus. Dan cinta juga yang akhirnya menyadarkan ku, bahwa tidak semua hal yang terjadi bisa kita atur sesuai keinginan kita.
Awalnya aku merasa bahwa perasaan ku pada Bagus selama ini, hanyalah sebuah perasaan sayang dan kagum kepada seorang teman. Biar bagaimana pun sosok Bagus adalah sosok laki-laki yang cukup sempurna. Selain tampan dan gagah, Bagus juga sudah punya kehidupan yang sangat mapan.
Namun sekarang aku mulai menyadari, kalau perasaan yang tumbuh di hati ku untuk Bagus bukan hanya sekedar rasa kagum belaka. Ada keinginan untuk selalu bersamanya. Ada keinginan untuk bisa menghabiskan waktu berdua dengannya. Sayangnya, selama ini aku selalu berusaha memungkiri hal tersebut.
Segala kebaikan Bagus selama ini padaku, telah mampu mengetuk pintu hati ku yang terdalam. Perlakuan istimewanya terhadapku selama ini, telah mampu menumbuhkan benih-benih rasa yang tidak bisa lagi aku hindari. Kini hati ku semakin yakin, kalau aku memang telah jatuh cinta pada Bagus. Terlepas hal itu wajar atau tidak. Terlepas hal itu normal atau tidak.
Hanya saja, sayangnya, sekali lagi, Bagus kini telah menghilang. Ia telah pergi bersama cinta yang tumbuh di hatiku untuknya.
Ah, betapa aku merasa bodoh dengan semua ini. Mengapa juga aku waktu itu membiarkan dia pergi? Mengapa aku tidak mencoba untuk mencegahnya?
Kini hanya keping-keping penyesalan yang tersisa di hatiku, membuat aku semakin merasa terluka. Terluka oleh keputusan ku sendiri.
Oh, Bagus. Dimana kah dirimu saat ini? Mengapa engkau menghilang, setelah engkau mampu membuka hati ku untuk mu?
*****
Aku sengaja duduk di bangku taman, tempat pertama kali aku dulu bertemu dengan Bagus. Pikiran ku melayang, mengingat semua kejadian yang pernah aku alami bersama Bagus. Hingga tanpa aku sadari, sebuah mobil mewah parkir di depan ku.
"boleh numpang tanya, bang?" seorang laki-laki menyembulkan kepalanya di kaca mobil.
Aku melirik ke arah suara itu. Sesosok laki-laki tampan tersenyum menatap ku.
"Bagus?" ucapku tanpa sadar.
Bagus seperti tak menghiraukan keterkejutan ku akan kedatangannya, segera turun dari mobil tersebut dan melangkah pelan menuju ke arah ku, lalu kemudian dengan santai ia duduk di samping ku.
"apa kabar, bang?" tanya Bagus pelan.
"aku... aku ... baik.." ucapku sedikit terbata, "kamu sendiri apa kabar? Kemana aja kamu selama ini?" lanjutku bertanya.
"aku masih berputar-putar di tempat yang sama, bang." jawab Bagus tanpa bisa aku maknai.
"kenapa kamu menghilang begitu saja, Gus? Aku sudah coba telpon kamu, tapi gak aktif lagi. Aku datangi apartemen kamu, tapi kamu udah pindah. Aku juga sudah coba datangi kantor kamu, tapi kamu sudah tidak bekerja di sana." ucapku mengungkapkan keingintahuan ku.
Bagus menarik napas ringan beberapa kali.
"aku hanya ingin belajar melupakan bang Irfan. Karena itu aku pun memutuskan untuk pindah. Pindah tempat tinggal dan juga pindah kerja. Aku juga sengaja mengganti nomor handphone ku. Agar aku tidak lagi terlarut akan perasaaan ku pada bang Irfan." jelas Bagus akhirnya.
"lalu apa kamu berhasil?" tanya ku penasaran.
"gak sepenuhnya sih, bang. Buktinya aku masih lewat di sini kan? Entah mengapa setiap kali aku lewat di sini, aku berharap bisa melihat bang Irfan." balas Bagus.
"aku minta maaf, Gus." ucapku tiba-tiba.
"abang gak perlu minta maaf. Semuanya sudah berlalu, kan?" balas Bagus.
"bagi ku belum, Gus." ucapku lemah.
"maksud bang Irfan?" tanya Bagus terdengar heran.
Untuk sesaat aku menarik napas dalam. Mencoba menenangkan hati ku sendiri.
"aku gak bisa ngomong hal itu di sini, Gus. Bagaimana kalau kita ke apartemen kamu yang baru aja, sekalian aku juga pengen tahu, kamu tinggal di mana sekarang." ucapku akhirnya.
"emang bang Irfan mau ngomong apa?" tanya Bagus.
"ini tentang kita, Gus." jawabku misterius.
Bagus pun hanya terdiam.
Lalu kami pun segera menaiki mobil Bagus untuk menuju tempat apartemennya yang baru.
Aku memang sudah bertekad untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya kepada Bagus. Aku tak ingin lagi memendamnya, mumpung aku sudah bertemu dengan Bagus sekarang.
****
"bang Irfan mau ngomong apa?" tanya Bagus, setelah kami masuk ke dalam apartemennya.
Sebuah apartemen yang cukup luas, hampir sama dengan apartemennya yang lama.
"jadi kamu kerja dimana sekarang?" tanya ku tiba-tiba teringat akan hal tersebut.
"abang ngajak aku ke sini, hanya mau menanyakan hal itu?" balasku Bagus cukup heran.
"ya, gak sih, Gus. Hanya saja saya penasaran. Kalau kamu sudah gak kerja di kantor yang lama, sekarang kamu kerja dimana?" ucapku masih ingin tahu.
"sebenarnya aku pindah kerja gak ada hubungannya dengan yang terjadi diantara kita, bang. Ada perusahaan lain yang menawarkan aku pekerjaan dengan jabatan yang lebih tinggi. Kebetulan aku juga ingin melupakan bang Irfan. Jadi aku menerimanya. Sekalian aku juga pindah apartemen agar lebih dekat ke tempat kerja ku yang baru." jelas Bagus.
"namun apa pun itu, intinya, aku memang sedang berusaha untuk bisa melupakan bang Irfan." lanjut Bagus lagi.
"oh, ya. Tadi bang Irfan mau ngomong apa sih sebenarnya?" Bagus berucap lagi, sambil kali ini ia menatap ku cukup lama.
"aku cuma mau ngomong, kalau.... setelah kamu pergi, aku benar-benar merasa telah kehilangan kamu, Gus. Aku merasa hidupku hampa. Sampai akhirnya aku sadar, kalau sebenarnya aku juga sayang sama kamu, Gus."
"karena itu aku pun berusaha menghubungi kamu, tapi nomor kamu sudah tidak aktif. Aku mendatangi apartemen lama kamu, kamu juga sudah pindah. Aku juga mendatangi kantor kamu, tapi kamu sudah tidak bekerja di sana."
"aku benar-benar kehilangan kamu, Gus. Dan aku sangat menyesal telah menolak kamu waktu itu. Aku menyesal telah membiarkan kamu pergi, tanpa berusaha untuk mencegahnya. Setelah kamu tiada, hidupku berantakan, Gus."
"berbulan-bulan aku coba mencari kamu, tapi kamu tidak pernah bisa aku temukan. Aku mulai kehilangan semangat. Namun semakin lama, aku semakin menyadari, kalau aku sangat membutuhkan kamu dalam hidupku, Gus. Kamu sangat penting bagi ku."
"karena itu, aku minta maaf. Tak seharusnya aku berkata kasar pada mu waktu itu. Tak seharusnya aku membiarkan kamu pergi. Aku ingin kamu tahu, Gus. Kalau aku... aku... juga cinta sama kamu. Aku juga ingin kita menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman biasa. Apa aku masih punya kesempatan itu, Gus?" tanya ku mengakhiri cerita ku.
Cukup lama Bagus terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.
"maaf, bang. Abang terlambat." ucap Bagus pelan.
"maksud kamu?" tanyaku penasaran.
"aku sudah bersama orang lain, bang. Namanya Arya. Dia teman kerja baru ku. Kami jadian sekitar sebulan yang lalu." jelas Bagus.
Entah mengapa hatiku terasa semakin sakit mendengarkan hal tersebut. Aku kecewa. Hatiku tiba-tiba patah.
"jadi ... aku sudah tidak punya harapan lagi untuk bisa bersama kamu?" tanyaku lemah.
"maaf, bang. Mungkin aku masih mencintai bang Irfan. Tapi aku juga sudah terlanjur menjalin hubungan dengan Arya. Meski aku sendiri tidak yakin, apa aku benar-benar mencintai Arya. Namun yang pasti, Arya sangat mencintaiku. Dan itu sudah cukup bagi ku." balas Bagus lugas.
"semudah itu kamu melupakan ku, Gus?" tanyaku tanpa sadar.
"bukankah abang yang dulu meminta aku untuk melupakan bang Irfan? Dan aku pun belajar, bang. Untuk bisa melupakan abang. Walau pada kenyataan, aku tak pernah benar-benar berhasil." balas Bagus.
"lalu mengapa kamu tetap menjalin hubungan dengan Arya?" tanyaku lagi.
"karena aku juga butuh di cintai, bang. Dan aku menemukan hal itu pada Arya." balas Bagus.
"tapi sekarang kamu kan sudah tahu, kalau aku juga mencintai kamu. Mengapa tak kamu lepaskan saja Arya? Dan kita mulai hubungan yang baru." ucap ku.
"gak semudah itu lah, bang. Arya juga manusia. Dia juga punya perasaan. Aku gak mungkin memutuskannya begitu saja. Apa lagi kami baru saja memulainya." balas Bagus.
Aku terhempas kecewa. Hatiku sakit. Tapi aku juga tidak mungkin menyalahkan Bagus dalam hal ini. Biar bagaimana pun, dulu aku yang mengabaikan perasaan Bagus padaku. Dan sekarang perasaan ku sendiri yang terabaikan.
"maafkan aku, bang." tiba-tiba Bagus berucap lagi, "dan mungkin lebih baik, kalau kita tidak usah bertemu lagi. Lagi pula, abang kan sudah punya istri dan anak. Jadi lebih baik abang fokus saja sama keluarga kecil abang. Abang tidak perlu ikut terlarut dalam dunia kami." lanjut Bagus.
"sudah terlambat, Gus. Aku sudah terlanjur jatuh cinta sama kamu. Dan aku tidak tahu lagi, bagaimana cara mengakhirinya." balasku berucap.
"abang pasti bisa, bang. Tidak ada kata terlambat untuk mengakhiri sesuatu yang sudah jelas salah dari awalnya." timpal Bagus.
"mungkin ini mudah bagi kamu, Gus. Tapi ini tidak mudah bagi ku. Untuk pertama kalinya aku merasakan sebuah cinta yang beda. Cinta yang menurutku cukup unik. Namun ternyata aku harus menelan kepahitan akan semua itu." ucapku sedikit puitis.
"aku juga pernah menelan kepahitan itu, bang. Aku sakit dan kecewa. Tapi kemudian aku sadar, bahwa cinta memang tidak bisa di paksakan. Bahwa tak selamanya cinta itu harus memiliki. Maafkan aku, bang. Jika aku telah membawa abang hanyut begitu dalam. Mungkin ini sudah menjadi jalan takdir untuk kita." Bagus berujar, sambil berdiri memunggungi ku.
Aku ikut berdiri, dan perlahan mulai melangkah menuju ambang pintu apartemen Bagus.
"kalau begitu aku pamit, Gus. Salahku, jika selama ini aku berharap bisa bertemu kamu lagi. Ternyata ini jauh lebih menyakitkan dari sekedar aku kehilangan jejak kamu selama ini." ucapku akhirnya, sambil terus melangkah keluar dari apartemen tersebut.
Aku melangkah dalam kegelapan malam. Aku melangkah dalam ketidakpastian. Tidak aku sangka sama sekali, kalau nasib cinta ku akan seperti ini.
Ah, cinta... dia yang begitu di puja banyak orang, begini menyakitkan kah?
Mengapa cinta datang, hanya untuk menyiksa?
Mengapa kisah cinta tidak selalu berakhir indah?
Ada begitu banyak tanya di hatiku, namun tak pernah mampu aku jawab.
Lalu seperti apakah nasib cinta ku selanjutnya?
Mungkinkah masih ada harapan untuk ku, untuk bisa bersama Bagus lagi?
Atau semuanya hanya akan tenggelam dalam ketidakpastian hidupku.
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Part 5
Mengapa kisah cinta ku harus kandas, saat aku bahkan belum memulainya? tanya hatiku.
Karena kamu mencintai orang yang salah. Balas hati ku yang lain.
Aku pun kembali menjalani hari-hari ku. Aku kembali berjualan pisang crispy lagi, setelah beberapa hari aku menutupnya. Istriku pun ikut heran sebenarnya melihat perubahan sikapku akhir-akhir ini. Tapi ia tak pernah berani bertanya, karena ia sudah paham betul bagaimana watak ku, jika sedang dalam masalah.
Aku mulai belajar untuk melupakan Bagus. Belajar melupakan segala kenangan ku dengannya. Meski sebenarnya tidak ada kenangan apa-apa antara aku dan Bagus. Hubungan kami selama ini, hanya sebatas berteman.
Kini aku harus menerima kodrat ku sebagai seorang laki-laki. Menjadi seorang suami, menjadi seorang ayah dan menjadi seorang kepala rumah tangga yang bertanggungjawab kepada istri dan anak ku.
Cinta memang sesuatu yang rumit. Bahkan lebih rumit dari perjalanan hidupku yang penuh liku-liku. Tapi setidaknya sekarang, aku sudah punya usaha untuk aku bisa menafkahi istri dan anak ku. Dan itu semua berkat Bagus.
Ah, kenapa harus Bagus lagi? Kenapa namanya tak pernah hilang dari ingatan ku? Kenapa wajahnya selalu terpapar jelas dalam angan ku. Ia sudah seperti bayangan, selalu mengikuti ku kemana pun aku pergi.
"pisangnya masih ada, bang?" sebuah suara mengagetkan ku. Saat itu memang sudah mulai sepi.
Aku melirik ke arah suara tersebut. Sesosok wajah tampan tersenyum menatap ku.
"Bagus?" ucapku heran, "ngapain kamu kesini?" lanjutku bertanya.
"ya, mau beli pisang crispy abang lah.." jawab Bagus terdengar santai.
"kamu masih suka pisang crispy saya?" tanyaku tanpa sadar.
"bukankah dari dulu aku memang menyukainya, bang. Dan aku tidak akan pernah berhenti untuk menyukainya." balas Bagus penuh makna.
"tapi bukankah saat ini kamu sudah bersama orang lain?" ucapku kemudian.
"sudah tidak lagi, bang. Kami sudah putus. Arya sudah tahu, kalau aku tak pernah mencintainya. Karena itu kami pun sepakat untuk mengakhiri hubungan kami." jelas Bagus.
Entah aku merasa lega mendengar hal itu, entah aku merasa takut.
Lega, karena setidaknya sekarang Bagus sudah tidak terikat dengan siapa pun lagi, yang berarti kesempatan aku untuk bisa memilikinya semakin besar. Namun aku juga takut, takut kalau semua itu hanyalah sebuah harapan yang tak pasti.
"jadi apa aku sekarang masih punya peluang?" tanyaku tiba-tiba.
"iya, bang. Abang punya peluang sebesar-besarnya saat ini. Tapi ... aku ini sekarang sudah menjadi bekas orang lain, bang." balas Bagus lugas.
"gak apa-apa, Gus. Bukankah aku juga seorang suami? Lalu apa bedanya?" ucapku kemudian.
"iya, bang. Aku siap menerima abang apa adanya." balas Bagus lagi.
"jadi apa malam ini aku boleh menginap di apartemen mu, Gus?" tanya ku kemudian.
"jika abang memang menginginkannya, pintu apartemen ku selalu terbuka untuk abang.." balas Bagus dengan senyum mengembang.
"baiklah, Gus. Aku tutup jualan ku dulu, ya. Sekalian aku mau pamit sama istri ku dulu." ucapku sambil mulai berkemas.
"oke, bang." jawab Bagus mantap.
*****
Sejak malam itu, aku dan Bagus pun resmi berpacaran. Meski hubungan kami hanyalah sebuah rahasia. Entah mengapa aku merasa sangat bahagia dengan semua itu. Aku sungguh sangat menyayangi Bagus. Apa lagi kesan yang ia berikan padaku sungguh sangat indah.
Bagus sangat pandai membuat aku terlena dengan cinta yang indah. Dia memperlakukan ku bak seorang raja. Membuat aku merasakan sensasi keindahan cinta yang penuh warna. Setiap malam minggu aku selalu menginap di tempat Bagus. Kami menghabiskan malam berdua. Menikmati indahnya cinta kami.
"kita hanya melakukan hal ini sekali seminggu, apa kamu gak merasa keberatan akan hal itu?" tanya ku pada suatu malam.
"gak apa-apa, bang. Abang kan punya keluarga. Aku ngerti, kok. Lagi pula kan hampir setiap malam aku juga mampir di tempat abang. Ya.. walau hanya sekedar membeli pisang crispy abang, sih. Tapi hal itu sudah cukup bagi ku, bang. Karena kontak fisik bukanlah hal yang utama bagiku. Yang penting hati kita tetap saling menyayangi." balas Bagus.
"aku sungguh beruntung bisa mendapatkan kamu, Gus." ucapku kemudian.
"aku yang beruntung mendapatkan abang. Pisang crispy abang memang luar biasa enak. Aku ket4gihan untuk bisa mencicipinya, meski cuma sekali seminggu." balas Bagus.
"tapi bukannya setiap malam kamu selalu membeli pisang crispy ku?" ucapku lagi.
"iya, bang. Tapi itu hal yang berbeda. Abang ngerti kan?" balas Bagus.
"aku ngerti, Gus. Aku ngerti maksud kamu. Karena itu aku bertanya, kamu gak apa-apa, cuma dapat pisang crispy nya sekali seminggu?" ucapku selanjutnya.
"gak apa-apa, bang. Sekali seminggu sudah cukup membuat aku kenyang. Karena rasanya bisa bertahan selama berhari-hari, bang." balas Bagus lagi.
Dan begitulah, hubungan cinta kami terus berjalan dengan indah. Kami saling menyayangi. Kami saling membutuhkan. Aku sangat menikmati kehidupan ku saat ini. Ada Bagus dengan sensasi cintanya yang berbeda. Dan juga aku tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang suami terhadap istri ku. Serta tanggungjawabku sebagai seorang ayah terhadap anak ku.
Sungguh sebuah kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Rasanya aku mendapatkan keindahan hidup yang berlipat ganda dalam waktu bersamaan. Dan aku merasa beruntung.
****
Berbulan-bulan, bahkan lebih dari dua tahun, hubungan cinta ku dan Bagus terjalin. Hubungan kami semakin dalam dan mesra.
Sampai suatu saat...
"orangtua ku ingin aku segera menikah, bang. Mereka juga sudah mempersiapkan jodoh untuk ku." ucap Bagus dengan suara lemah.
"ya udah, kamu nikah aja." balas ku.
"abang gak marah?" tanya Bagus.
"untuk apa aku marah, Gus? Bukannya itu memang kodrat kita sebagai seorang laki-laki? Dan lagi pula, aku juga sudah punya istri dan anak kan? Kamu juga gak pernah mempermasalahkan hal itu selama ini. Jadi gak ada alasan bagi ku untuk marah." balasku lugas.
"abang gak merasa cemburu?" tanya Bagus lagi.
"kamu cemburu gak selama ini dengan istri ku?" aku balik bertanya, sekedar ingin tahu bagaimana sebenarnya perasaan Bagus akan semua itu.
"jujur... aku selalu merasa cemburu, bang. Tapi aku cukup sadar diri. Hubungan abang dengan istri abang adalah kodrat yang tidak bisa di hindari. Sementara hubungan kita adalah sesuatu yang kita inginkan. Aku sangat mengerti, kalau aku memang tidak akan bisa memiliki abang seutuhnya." ucap Bagus menjawab.
"terus terang... setiap kali melihat kamu dekat dengan orang lain, aku memang merasa cemburu, Gus. Aku gak rela kamu dimiliki orang lain. Aku hanya ingin kamu menjadi milik ku satu-satunya. Tapi bukan berarti itu bisa menjadi alasan bagi ku, untuk mencegah kamu menikah. Aku gak berhak untuk itu." balasku apa adanya.
"seandainya saja kamu ini seorang perempuan, Gus. Aku pasti sudah menikahi kamu. Aku akan rela meninggalkan apa pun, demi bisa bersama kamu. Aku akan berjuang mati-matian, untuk bisa memiliki kamu seutuhnya. Tapi kita memang harus realistis, kan? Kita harus menerima kenyataan ini."
"kita memang saling mencintai, Gus. Tapi hubungan kita tidak bisa di terima, dimana pun dan oleh siapa pun. Karena itu, kita harus tetap menjalankan kodrat kita sebagai seorang laki-laki. Meski sebenarnya itu bukanlah yang terbaik." aku melanjutkan ucapan ku, berusaha membuat Bagus mengerti, kalau aku memang benar-benar sangat mencintainya.
"tapi aku merasa berat harus hidup bersama orang yang tidak aku cintai, bang. Itu gak akan mudah bagiku. Dan jujur... aku juga akan merasa bersalah sama bang Irfan." ucap Bagus kemudian, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.
"kamu gak harus memikirkan tentang perasaan ku, Gus. Kamu harus pikirkan perasaan orangtua kamu. Keluarga kamu. Dan juga perasaan calon istri kamu. Kita gak boleh egois. Cinta diciptakan bukan untuk membuat kita menjadi orang yang egois. Cinta diciptakan untuk membuat kita lebih memahami pasangang kita masing-masing." balasku berucap.
"ini bukan hanya tentang perasaan bang Irfan. Ini juga tentang perasaan ku. Aku gak mau hidup dalam kepalsuan hatiku. Aku gak bisa hidup dalam kebohongan. Aku sangat mencintai bang Irfan. Dan aku tidak ingin merusak indahnya rasa itu, walau dengan alasan apa pun." ucap Bagus terdengar lirih.
"lalu kamu mau nya gimana?" tanya ku akhirnya.
"aku juga gak tahu, bang. Aku bingung. Di satu sisi, seperti yang abang katakan, aku harus menjalankan kodrat ku sebagai laki-laki. Namun di sisi lain, aku juga tidak mau menjadi orang yang munafik. Aku tidak mau menjadi orang yang berpura-pura mencintai istri ku nantinya, tapi sebenarnya aku mencintai orang lain." balas Bagus dengan nada bimbangnya.
"kalau begitu lepaskan aku, Gus. Dan belajarlah mencintai istri mu nantinya." ucapku tiba-tiba.
"itu bukan pilihan, bang. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melepaskan bang Irfan, walau dengan cara dan alasan apa pun. Aku lebih rela kehilangan apa pun di dunia ini, asalkan aku tidak kehilangan abang." balas Bagus dengan nada sendu penuh perasaan.
"kalau kamu memang mencintaiku, Gus. Aku minta kamu untuk menerima perjodohan tersebut. Kamu harus menikah, Gus. Dan kamu harus percaya, bahwa aku akan selalu ada buat kamu, apa pun yang akan terjadi nantinya." ucapku akhirnya, meski aku sendiri ragu, apa memang itu sebenarnya yang aku inginkan dari Bagus.
Sebagai orang yang sangat mencintainya, sedikit pun aku tidak rela, kalau Bagus akan menikah dengan orang lain. Tapi aku juga tidak boleh egois. Jika Bagus bisa menerima dengan rela status ku yang sudah menikah, kenapa aku tidak bisa merelakannya juga?
Bukankah cinta tidak boleh egois?
****
Bagus akhirnya menikah. Meski aku tahu, ia melakukan semua itu hanya karena terpaksa. Itu bukan keinginannya. Tapi tetap saja hati ku merasa sakit. Aku benar-benar tidak rela Bagus ku di miliki orang lain.
"maafkan aku, bang. Sudah dua minggu aku gak kasih kabar sama abang." ucap Bagus, saat akhirnya ia kembali, setelah pesta pernikahannya.
"iya, gak apa-apa, Gus. Aku ngerti, kok." suara ku terdengar lemah.
"lalu gimana dengan istri mu?" tanyaku melanjutkan.
"untuk sementara mungkin kami akan tinggal secara terpisah dulu. Istriku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan di kota sana. Sementara aku sudah mulai bekerja di sini." jelas Bagus.
"berapa lama." tanya ku.
"ya.. mungkin satu atau dua bulan lah, bang." balas Bagus.
"berarti kita masih punya waktu untuk bisa bersama." ucapku.
"kita akan selalu punya waktu untuk bersama sampai kapan pun, bang." tegas Bagus.
"tapi jika nanti istri mu pindah kesini.." kalimat ku tertahan, ada perih yang tiba-tiba aku rasakan di hatiku.
"abang tenang aja. Aku sudah beli rumah kok, di kota ini. Untuk aku tinggal bersama istri ku nantinya. Dan apartemen ini, akan tetap menjadi tempat pertemuan kita setiap malam minggu." ucap Bagus membalas ucapan ku.
"kamu yakin, Gus?" tanyaku merasa sedikit ragu.
"aku sangat yakin, bang. Dan abang gak perlu meragukan hal itu." balas Bagus terdengar tegas.
"aku hanya tidak ingin kehilangan kamu, Gus." ucapku lirih.
"aku lebih tidak ingin kehilangan bang Irfan. Bang Irfan satu-satunya orang yang aku cintai saat ini. Dan aku ingin selamanya bisa bersama bang Irfan." balas Bagus penuh perasaan.
Dan begitulah, aku dan Bagus tetap menjalin hubungan, meski pun kami sama-sama sudah punya istri. Walau tentu saja, waktu pertemuan kami sangat terbatas. Namun itu tidak mengurangi keindahan cinta yang kami rasakan.
Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di kisah-kisah lainnya, salam sayang untuk kalian semua..
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih