Langsung ke konten utama

Adsense

Berondong tampan si tukang parkir

Namaku Hasan. Saat ini usia ku sudah 40 tahun. Aku sudah menikah sekitar 13 tahun yang lalu, tepatnya saat aku berusia 27 tahun. Saat ini aku sudah punya dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan.

Aku lahir dari keluarga yang cukup berada. Orangtua ku kedua nya ASN. Mereka juga punya kebun sawit yang cukup luas. Selain itu, kami hanya dua bersaudara. Adik ku yang perempuan sekarang sudah jadi seorang dosen. Dia juga sudah menikah, dan juga sudah punya dua orang anak. Jarak usia kami memang cuma beda tiga tahun.

Kehidupanku sejak kecil secara ekonomi memang serba berkecukupan. Namun konsekuensi dari itu semua, aku harus terbiasa hidup dalam aturan orangtua ku. Aku tidak bisa sembarangan bergaul dengan orang-orang. Jam bermain ku juga sangat terbatas. Orangtua ku lebih mengutamakan aku untuk belajar. Mengikuti berbagai les dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya di sekolah.

Karena itu, aku pun tumbuh menjadi remaja yang cukup pendiam, sedikit pemalu, dan tidak punya banyak teman. Hari-hari ku lebih banyak aku habiskan hanya untuk belajar, sesuai dengan tuntutan orangtua ku.

Ketika akhirnya aku menyelesaikan kuliah ku dan sudah mendapatkan pekerjaan, orangtua ku pun masih mengekang ku. Pergaulan ku masih di batasi. Kesempatan ku untuk sekedar nongkrong-nongkrong juga tidak pernah ada. Sepulang kerja aku harus pulang ke rumah.

Sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Karena aku yakin, tujuan orangtua ku pasti baik. Namun sebagai laki-laki yang butuh kebebasan, kadang aku juga sering merasa bosan dengan semua itu.

Tapi selama ini aku tidak pernah mampu melawan semua aturan orangtua ku. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, aku memang harus jadi anak yang penurut. Aku harus jadi contoh bagi adik ku.

Hingga aku berusia 27 tahun, orangtua ku pun mencarikan jodoh untuk ku. Dan aku mau tidak mau harus menerima perjodohan tersebut. Sekali lagi, aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti. Itu saja!

Namun sekarang, saat usia ku sudah mencapai 40 tahun, saat aku sudah punya dua anak, saat kedua orangtua ku telah tiada. Tiba-tiba hasrat untuk menjadi diri ku sendiri, muncul kepermukaan.

Sebuah hasrat yang selama ini hanya bisa aku pendam. Sebuah hasrat yang tersimpan rapi di dalam lubuk hati ku. Sesuatu yang selama ini tidak pernah aku munculkan kepermukaan. Sebuah rahasia besar dalam hidupku.

Sebenarnya aku sudah menyadari hal tersebut sejak aku remaja. Tapi aku selalu berusaha memendamnya, karena aku tahu, itu bukanlah sesuatu yang wajar. Apa lagi kehidupanku selama ini, yang selalu terkekang.

Kini aku memiliki kebebasan untuk mengekspresikan semua itu.

Saat remaja, aku pernah jatuh cinta pada seorang cowok, teman kelas ku. Aku tak tahu, bagaimana rasa itu bisa hadir di hati ku. Namun yang pasti, hampir setiap malam aku selalu mengkhayalkan cowok teman kelasku tersebut. Aku selalu memikirkannya. Hingga aku sadari itu adalah cinta.

Tapi aku tak pernah berani untuk mengungkapkannya. Hingga semuanya berlalu begitu saja.

Dan hal itu terus terjadi dalam perjalanan hidupku. Berkali-kali aku harus jatuh cinta pada seorang laki-laki. Mulai dari teman sekelas, kakak senior, hingga juga pernah aku jatuh cinta pada dosen ku, saat aku masih kuliah.

Namun semua itu hanya bisa aku pendam. Aku tidak pernah sekali pun berani untuk mengungkapkannya. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang perasaan ku tersebut. Sebagai seorang laki-laki, aku selalu berusaha untuk menjalani hidup, sebagaimana mestinya seorang laki-laki pada umumnya.

Aku bahkan pernah berpacaran beberapa kali dengan perempuan. Meski itu semua aku lakukan, hanya untuk sekedar menutupi perasaanku yang sebenarnya. Aku tetap jatuh cinta pada laki-laki, tapi aku justru berpacaran dengan perempuan. Aku selalu memikirkan laki-laki yang aku cintai, tapi aku tetap berusaha menjalin hubungan dengan perempuan.

Mungkin terdengar munafik. Tapi sebagai anak yang terlahir dari keluarga terhormat, aku diharuskan untuk menjaga kehormatan tersebut. Jika orang-orang tahu bagaimana aku sebenarnya, tentu saja hal itu akan membuat malu keluarga ku.

Dan sekarang, aku tidak bisa menahan diriku lagi. Aku telah lelah berpura-pura. Aku telah lelah hidup dalam kebohongan. Kini, aku benar-benar ingin menjadi diri ku sendiri.

Mungkin kehidupan ku memang terlihat sempurna bagi orang-orang. Terlahir dari keluarga mapan, hidup dalam kemewahan. Punya istri yang cantik dan pengertian, punya anak-anak yang lucu-lucu. Punya pekerjaan yang gajinya fantastis.

Sungguh sebuah kehidupan yang di impikan setiap orang. Namun di balik itu semua, ada resah yang selalu aku pendam selama puluhan tahun. Aku tak pernah benar-benar bahagia dengan semua itu.

Satu-satunya hal yang membuatku bahagia, hanyalah kehadiran anak-anak ku. Tapi itu semuanya rasanya belum cukup. Aku juga ingin merasakan, memiliki orang yang aku cintai. Hal yang selama ini, tidak pernah bisa aku rasakan.

****

Untuk mengekspresikan perasaan ku tersebut, aku pun mulai berselancar di dunia maya. Aku mulai mengunduh sebuah aplikasi yang khusus digunakan oleh kaum gay. Aku pun mulai berkenalan dengan beberapa orang laki-laki gay di aplikasi tersebut. Tentu saja aku tidak pernah menunjukkan identitas ku yang sebenarnya. Aku sengaja memakai akun palsu.

Jujur, aku masih merasa takut melakukan hal tersebut. Aku takut orang-orang akan tahu. Tapi aku juga tidak bisa lagi memendamnya. Aku harus bisa menemukan laki-laki yang aku cintai, dan juga mencintaiku.

Namun dari sekian banyak laki-laki gay yang chatting dengan ku, tidak ada satu pun bisa membuat aku merasa tertarik. Kebanyakan dari mereka lebih mengutamakan fisik, bukan hati.

Aku pun menjadi jenuh sendiri dengan semua itu. Aku mulai bosan membalas chat mereka. Karena yang mereka bahas hanya soal fisik.

Sampai akhirnya suatu saat...

Aku tak sengaja bertemu seorang pemuda yang memiliki wajah cukup tampan. Pemuda itu sebenarnya hanya seorang juru parkir di sebuah minimarket. Aku melihatnya pertama kali, saat aku mampir di minimarket tersebut, untuk membeli beberapa keperluan ku.

Sejak melihat pemuda tampan tersebut, aku jadi semakin sering singgah di minimarket itu, kadang hanya sekedar membeli minuman dingin. Karena tujuan ku sebenarnya, hanya untuk melihat pemuda tampan si tukang parkir tersebut.

Semakin lama, perasaan ku semakin merasa tertarik dengan pemuda itu. Hingga akhirnya aku pun memberanikan diri untuk mendekatinya.

"sudah lama jadi tukang parkir?" tanya ku berbasa-basi, dalam usaha ku untuk bisa berkenalan dengannya.

Kebetulan saat itu si tukang parkir sedang beristirahat, karena kendaraan cukup sepi. Hanya mobil ku satu-satunya yang parkir di depan minimarket tersebut.

"sudah lumayan lama sih, om. Sudah hampir dua tahun." balas pemuda itu.

"berapa rata-rata penghasilan yang kamu dapat dalam satu bulan?" tanyaku cukup formal.

Pemuda itu menyembutkan jumlah pendapatan yang ia peroleh rata-rata perbulannya. Sebenarnya aku tidak terlalu menyimaknya, karena bukan itu tujuan utama ku bertanya.

"penghasilan segitu cukup untuk biaya hidup?" tanya ku lagi.

"ya.. cukup gak cukup lah, om. Dari pada jadi pengemis kan?" balas pemuda itu.

"emangnya kamu udah nikah?" tanyaku kemudian.

"belum sih, om. Aku kan baru 20 tahun." balas pemuda itu lagi.

"21 tahun? Kamu gak kuliah?" aku bertanya dengan nada heran.

"kalau aku kuliah, aku gak mungkin jadi tukang parkir, om." balasnya pelan.

"iya, sih. Tapi... siapa tahu, kamu kuliah sambil kerja?" timpal ku ringan.

"pengennya sih gitu, om. Tapi... kalau aku gak kerja, keluarga ku mau makan apa?" balas pemuda itu kemudian.

"keluarga? maksud kamu?" aku bertanya heran.

"iya, ibu dan dua orang adik-adik ku, om. Apa lagi kedua adik-adikku juga masih sekolah, mereka masih butuh biaya banyak.. Sementara ibu ku sudah sering sakit-sakitan. Jadi aku harus kerja keras." balas pemuda yang memiliki hidung yang cukup mancung tersebut.

"ayah kamu?" tanya ku lagi.

"ayah sudah meninggal beberapa tahun lalu, om." timpal pemuda itu.

Untuk sesaat aku terdiam. Aku cukup terharu mendengar kisah singkat kehidupan pemuda tersebut.

"oh, ya. Nama saya Hasan. Nama kamu siapa?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"aku Bram, om." balas pemuda tersebut.

"saya boleh minta nomor handphone kamu, Bram?" ucap ku kemudian.

Bram menatapku sesaat. Mungkin ia bingung, kenapa aku tiba-tiba meminta nomor handphone nya.

"siapa tahu, nanti aku ada kerjaan buat kamu." ucapku beralasan.

"oh." Bram membulatkan bibir, kemudian ia pun menyebutkan nomor handphone nya, yang segera aku catat di hp ku. Aku pun segera memanggil nomor tersebut.

"itu nomor saya." ucapku ketika Bram memperhatikan hp nya yang berdering.

"kamu simpan, ya." lanjut ku.

Beberapa saat kemudian, Bram pun kembali sibuk dengan pekerjaannya. Minimarket itu sudah mulai ramai pengunjung. Aku pun segera pergi dari sana, dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya aku sudah tahu nama pemuda tersebut. Setidaknya aku sudah punya nomor handphone nya.

****

Sejak saat itu, aku jadi semakin sering ngobrol dengan Bram. Aku juga jadi sering menghubunginya lewat ponsel. Bram sangat terbuka menerima kehadiran ku. Aku dan Bram pun menjadi dekat. Aku bahkan sering mentraktir Bram untuk sekedar makan siang, dan juga makan malam bersama. Dan setiap kali parkir di minimarket tersebut, aku sengaja memberi uang lebih pada Bram.

Kedekatan ku dengan Bram, semakin membuat perasaan yang tumbuh di hati ku kian berkembang. Aku bahagia bisa mengenal Bram. Aku bahagia bisa dekat dengannya. Untuk kesekian kalinya, aku merasakan jatuh cinta pada seorang laki-laki. Tapi kali ini, aku tidak akan memendamnya lagi.

Aku harus berani untuk mengungkapkannya. Aku harus bisa memiliki Bram, walau dengan cara apa pun. Aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa mendapatkannya. Apa pun akan aku lakukan, untuk bisa bersama Bram.

Aku dan Bram memang sudah cukup dekat. Tapi aku masih bingung, bagaimana caranya untuk aku bisa mengungkapkan perasaan ku padanya. Aku masih takut, jika aku berkata jujur pada Bram tentang perasaan ku padanya, aku takut justru Bram akan menjauhi ku. Tapi aku juga tidak mungkin selamanya, memendam perasaan ku padanya.

****

Hari-hari pun terus berlalu. Hingga sudah hampir enam bulan, aku kenal dan dekat dengan Bram. Aku bahkan sudah sering datang ke rumahnya. Aku juga sudah berkenalan dengan ibu dan adik-adik Bram. Aku juga menawarkan untuk membantu biaya sekolah adik-adik Bram. Membantu biaya berobat ibunya yang sering sakit-sakitan.

"om Hasan begitu baik padaku dan juga kepada keluarga ku. Aku tak tahu, bagaimana aku bisa membalas semua itu." ucap Bram suatu malam, saat kami makan malam berdua lagi.

"kamu gak perlu terlalu memikirkan hal tersebut, Bram. Aku senang bisa membantu kamu." balasku santai.

"kenapa om Hasan begitu baik padaku?" tanya Bram lagi.

"karena kamu orang baik, Bram. Kamu mau bertanggungjawab atas ibu dan adik-adik mu. Tidak banyak pemuda yang mau melakukan hal yang sama, seperti yang kamu lakukan, Bram. Jujur, aku kagum akan semua itu." balasku kemudian.

"tapi apa yang om Hasan berikan pada saya dan keluarga saya, sungguh tidak bisa saya balas, om." ucap Bram lagi.

"sudah saya katakan, Bram. Kamu gak usah pikirkan hal tersebut." balasku ringan.

Dan Bram pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku cukup tahu, kalau Bram sudah merasa sangat berhutang budi padaku. Dan itu memang sudah menjadi tujuan ku. Seperti yang aku katakan, apa pun akan aku lakukan, untuk bisa merebut hati Bram.

Kini secara otomatis, Bram sudah terikat dengan ku. Dan aku akan terus melakukan banyak hal untuknya, sampai ia benar-benar tidak lepas lagi dari ku.

Lalu seperti apakah kelanjutan dari kisah ini?

Mampukah aku menaklukan hati Bram dengan segala kebaikan ku padanya?

Lalu hal apa lagi yang akan aku lakukan, untuk membuat Bram bertekuk lutut padaku?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi pada part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.

****


Part 2

"aku pengen kamu kuliah lagi, Bram." ucapku suatu hari, pada pemuda tampan tersebut. "dan aku yang akan menanggung semua biayanya." lanjut ku.

"tapi aku harus kerja, om. Keluarga ku membutuhkan ku." balas Bram ringan.

"kamu tetap bisa kerja, sambil kuliah kok, Bram. Dan mengenai keluarga kamu, aku juga akan bantu untuk biaya hidup kalian sehari-hari, dan juga untuk biaya sekolah adik-adik mu." ucapku meyakinkan.

"kenapa om mau melakukan ini semua untukku?" tanya Bram.

"karena kamu pantas menerimanya, Bram. Kamu orang baik." balas ku pelan.

"tapi apa yang om lakukan untuk ku, menurutku sudah berlebihan, om. Om bukan siapa-siapa saya, kita juga baru kenal beberapa bulan. Aku gak bisa menerimanya, om." ucap Bram kemudian.

Untuk sesaat aku terdiam. Bram benar. Mungkin apa yang aku lakukan untuknya cukup berlebihan. Terutama karena memang baru beberapa bulan saling kenal.

"tapi aku tulus ingin membantu mu, Bram." ucapku akhirnya.

"beri aku satu alasan aja, om. Kenapa aku harus menerima semua itu?" balas Bram bertanya.

"karena... ya... karena kamu orang baik, Bram. Aku salut dengan perjuangan mu. Orang-orang seperti kamu berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kamu berhak untuk mengejar cita-cita kamu, Bram. Kamu gak selamanya jadi tukang parkir, kan?" ucapku berusaha membuat Bram mengerti.

"lalu keuntungan apa yang om dapat dengan melakukan semua itu untuk ku?" tanya Bram kemudian.

"keuntungan? Maksud kamu apa? Aku tidak mencari keuntungan apa-apa dalam hal ini, Bram. Sekali lagi aku tegas kan, aku tulus membantu kamu." balasku sedikit meninggikan nada suara ku.

"tapi om bukan siapa-siapa saya, kita juga baru saling kenal. Kenapa om tiba-tiba jadi begitu baik sama saya? Wajar, kan? Kalau saya merasa ada yang salah dengan semua ini?" ucap Bram.

Aku terdiam kembali. Sulit rasanya untuk meyakinkan Bram agar ia bersedia menerima semua bantuan ku untuknya dan juga untuk keluarganya. Tapi aku juga gak mungkin jujur untuk saat ini. Aku takut, jika aku jujur, Bram justru akan menjauhi ku.

"jadi apa alasan om sebenarnya?" tanya Bram kemudian.

"aku gak tahu lagi, bagaimana caranya untuk bisa meyakinkan kamu, kalau aku cuma ingin membantu kamu, Bram. Mungkin di mata mu ini aneh. Tapi aku tetap menganggap hal ini sesuatu yang wajar. Jadi aku harap, kamu mau mempertimbangkan hal ini." balasku akhirnya.

Kali ini Bram terdiam. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Namun aku sangat berharap, agar Bram mau menerima semua bantuan ku.

"maaf, om. Aku tidak bisa menerima kebaikan seseorang yang baru aku kenal, tanpa ada alasan yang jelas." Bram berucap juga akhirnya, yang membuat ku sedikit kecewa.

"oke. jika itu sudah prinsip kamu, om gak masalah. Tapi kita tetap bisa berteman kan?" ucapku pasrah.

"selama om tidak berniat macam-macam sama saya, bagi saya gak masalah jika cuma sekedar berteman." balas Bram.

Aku merasa sedikit lega. Meski aku harus berjuang lebih keras lagi, untuk bisa mendapatkan Bram.

*****

Hari-hari kembali terus berlalu, tanpa bisa di cegah atau pun di pacu.

Aku dan Bram masih tetap berteman. Aku masih sering mentraktirnya makan. Aku masih sering berkunjung ke rumahnya. Aku masih di beri kesempatan untuk membantu biaya sekolah adik-adik Bram. Satu-satunya hal yang tak Bram izinkan untuk aku membantunya, ialah untuk membiaya ia kuliah. Padahal aku ingin sekali ia kuliah, agar ia punya masa depan yang lebih baik.

Tapi itu tidaklah terlalu menjadi masalah bagi ku. Aku cukup merasa bahagia bisa berteman dekat dengan Bram. Aku merasa bahagia bisa melihat ia tersenyum. Aku merasa bahagia bisa sering-sering berada di dekatnya. Aku masih tetap mencintanya dalam diam.

"ibu sakit, om." ucap Bram di ponsel suatu hari. "aku butuh bantuan om untuk membawa ibu ke rumah sakit." lanjutnya ringkih.

"kamu tunggu di rumah ya, Bram. Aku akan segera ke sana." balas ku cepat.

Aku segera memacu mobil ku menuju rumah Bram. Ini merupakan salah satu kesempatanku untuk bisa membuktikan pada Bram, kalau aku tulus untuk membantunya.

Sesampai di rumah Bram, kami segera membawa ibu Bram ke rumah sakit terdekat. Ibu Bram sudah tak sadarkan diri. Beliau langsung di bawa ke ruang ICU, untuk proses pengobatan.

Aku dan Bram menunggu di ruang tunggu. Bram terlihat sangat gelisah.

"ibu mu mengalami gagal ginjal. Beliau harus segera di operasi." jelas seorang dokter beberapa jam kemudian.

"jika tidak, kami tidak bisa menjamin beliau akan bertahan lebih lama lagi." lanjut sang dokter.

"sebagai proses awal, kamu harus mengisi beberapa formulir, untuk registrasi. Dan juga kamu harus membayar uang muka nya. Agar kami bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya." ucap Dokter itu lagi.

"berapa, dok?" tanya Bram lirih.

"kamu bisa bayar sepuluh juta dulu untuk uang mukanya. Nanti setelah operasi selesai, kamu bisa melunasinya. Perkiraan biayanya mungkin bisa sampai 30 atau 40 juta." jelas dokter tersebut.

Bram terlihat hanya terpaku. Matanya berkaca. Aku merasa perihatin melihatnya. Aku yakin, Bram tidak punya uang sebanyak itu. Dan itu yang membuat ia terlihat sedih.

"oke, dok. Lanjutkan saja prosesnya. Kami akan segera melakukan pembayaran." aku berucap juga akhirnya, tak tega melihat Bram yang kebingungan. Biar bagaimana pun, ia masih cukup muda, untuk menghadapi itu semua.

Bram menatapku tajam. Tapi aku mengangguk meyakinnya.

"aku gak punya uang sebanyak itu, om." Bram berujar, ketika kami sudah keluar dari ruangan dokter tersebut.

"kamu tenang aja, biar om yang ngurus semuanya." balas ku ringan.

"tapi, om..." Bram terbata.

"kamu gak usah mempertahankan ego kamu, Bram. Kamu harus pikirkan ibu mu." timpal ku memotong.

"sekarang mari kita ke bagian administrasi, untuk menyelesaikan segala sesuatunya." lanjutku, sambil mulai melangkah.

Bram tak bisa berbuat apa-apa, selain mengikuti langkah kaki ku. Kali ini niat ku, bukan lagi untuk menarik simpati Bram. Tapi aku benar-benar ingin membantunya. Aku tahu Bram sangat menyayangi ibunya. Dan aku yakin, dia akan melakukan apa saja, untuk bisa menyelamatkan nyawa ibunya.

"terima kasih, om." ucap Bram akhirnya, ketika semua proses registrasi dan pembayaran uang muka itu selesai kami lakukan.

"udah... kamu jangan terlalu memikirkan hal tersebut. Yang penting saat ini adalah keselamatan ibu kamu." balas ku pelan.

"iya, om. Tapi bagaimana dengan pelunasannya nanti? Aku pasti tidak akan bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat ini." ucap Bram lemah.

"kamu tenang aja. Om yang akan melunasi semuanya." balas ku.

Bram kemudian hanya bisa terdiam. Aku tahu, banyak yang ingin Bram ucapkan. Dan aku juga yakin, kalau ia merasa berat menerima semua itu. Tapi saat ini, Bram benar-benar tidak punya pilihan.

"nanti aku akan melunasi semuanya, om. Jika aku punya uang.." hanya itu yang di ucapkan Bram akhirnya.

"yah.." balasku ringan, hanya sekedar membuat Bram merasa tenang. Karena aku percaya, butuh waktu yang lama bagi Bram untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Dan selama itu, Bram akan tetap merasa berhutang budi padaku.

*****

Beberapa minggu kemudian, ibu Bram sudah pulih kembali. Ia bahkan sudah di perbolehkan pulang. Aku pun sudah melunasi semua biaya rumah sakit, selama ibu Bram di rawat.

"terima kasih, om." ucap Bram, saat kami makan malam berdua.

"berapa kali kamu harus mengucapkan terima kasih sama saya, Bram. Padahal kamu gak perlu melakukannya. Aku turut senang, ibu mu sudah pulih kembali." balasku.

"tapi aku tetap merasa berhutang budi pada om Hasan. Aku gak tahu bagaimana caranya bisa membayar itu semua." ucap Bram lirih.

"aku ingin kamu kuliah, Bram. Agar kamu bisa meraih cita-cita mu. Agar kamu bisa menjadi orang yang sukses. Nanti kalau kamu sudah sukses, kamu bisa melunasi hutang mu sama saya." balasku.

"tapi itu akan semakin menambah banyak hutang ku sama om Hasan. Dan lagi pula, itu butuh waktu yang sangat lama, om. Bertahun-tahun. Apa om bersedia menunggu selama itu?" ucap Bram.

"lalu apa kamu punya rencana lain?" tanyaku pelan.

Bram pun hanya terdiam. Aku yakin, dia gak punya pilihan.

"baiklah, om. Jika itu yang om Hasan inginkan." ucap Bram akhirnya.

"iya, Bram. Dan itu semua demi kebaikan kamu juga. Demi masa depan kamu yang lebih baik." balas ku.

"tapi aku ingin tetap bekerja jadi tukang parkir, om. Setidaknya aku tidak harus bergantung sepenuhnya pada om Hasan." ucap Bram lagi.

"terserah kamu, Bram. Yang penting kamu tidak perlu lagi menolak bantuan ku padamu. Yang penting kamu mau kuliah." timpalku ringan.

Kali ini Bram tersenyum. Jujur, senyum itu sangat manis. Bram memang sangat tampan dan gagah. Aku semakin mencintainya. Apa pun akan aku berikan untuknya. Apa pun akan aku lakukan untuknya. Selama hal itu bisa membuat ia bahagia.

Ah, cinta kadang memang membuat kita setengah gila. Cinta kadang membuat kita kehilanga akal sehat. Padahal jauh dari dasar hatiku harus mengakui, kalau untuk bisa mendapatkan Bram bukanlahhal yang mudah. Tapi aku gak peduli. Aku akan korbankan apa saja, untuk bisa mendapatkannya.

****

"kenapa akhir-akhir ini mas jarang di rumah?" protes istriku, Lastri, suatu saat.

"aku kan kerja, Las." balasku dengan nada enggan.

"dulu mas juga kerja, tapi selalu punya waktu untuk anak-anak. Kenapa sekarang mas jadi jarang pulang?" ucap Lastri lagi.

"kamu apaan sih, Las. Biasanya kamu juga gak pernah protes." suaraku sedikit meninggi.

"tapi anak-anak juga butuh perhatian kamu, mas. Mereka sangat merasa kehilangan." timpal istri ku lagi.

"sudahlah Lastri, kamu gak perlu menjadikan anak-anak sebagai alasan." balasku.

Lastri terdiam sesaat.

"kenapa mas tiba-tiba berubah?" ucapnya pelan.

"aku bukan berubah, kamu hanya baru tahu siapa aku sebenarnya." balasku tanpa sadar.

"maksud, mas?" tanya istri ku heran.

"udahlah, kamu gak perlu tahu. Yang penting aku tetap bertanggungjawab sama keluarga ini. Yang penting aku tetap memenuhi nafkah lahir dan bathin kamu. Apa lagi yang kamu harapkan dari semua ini?" balasku dengan nada tinggi.

"apa... apa... karena ada perempuan lain." suara Lastri terbata.

"kamu jangan sembarangan ya, Las. Gak pernah ada perempuan lain di hatiku. Gak akan pernah ada. Dan kamu harus camkan itu!" balas ku tegas.

Lastri pun hanya terdiam. Semenjak kami menikah, boleh di bilang kami tidak pernah bertengkar sebelumnya. Rumah tanggan kami berjalan baik-baik saja. Karena begitulah yang diinginkan oleh kedua orangtua ku. Tapi sekarang, kedua orangtua ku telah tiada. Dan aku sudah lebih berani menjadi diriku sendiri.

Kini aku memang lebih jarang pulang. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bram. Meski hubungan ku dengan Bram, hanya sebatas teman biasa. Tapi aku yakin, beriring berjalannya waktu, Bram akan bisa aku taklukkan. Dan hanya itu satu-satunya yang perting bagi ku saat ini.

Bram adalah segalanya bagi ku saat ini.

Mungkin hati ku telah di butakan oleh cinta ku kepada Bram. Tapi aku tak peduli. Sebelum aku bisa mendapatkan Bram, aku tak akan pernah berhenti untuk mengejarnya.

Lalu mungkinkah aku bisa medapatkan cinta Bram, setelah semua pengorbananku untuknya?

Mampukah aku untuk jujur pada Bram, tentang perasaanku padanya?

Lalu bagaimana dengan Bram sendiri? Bagaimanakah perasaannya selama ini padaku?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langusng klik link nya di dekripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi pada part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.

*****

 


Part 3

Hari-hari pun terus berlalu. Bram pun kian dekat dengan ku. Apa lagi semenjak ia mulai kuliah. Aku selalu punya alasan untuk bisa bertemu dengannya. Meski pun Bram memilih untuk tetap bekerja sebagai tukang parkir. Tapi setidaknya saat ini, Bram sudah bersedia menerima semua bantuan ku padanya.

Pelan-pelan aku pun mulai terbuka pada Bram tentang perasaanku padanya. Mulai dari aku semakin sering memujinya, memberi ia perhatian-perhatian kecil, hingga mengajak ia pergi berliburan berdua saat akhir pekan.

Bram pun sudah bisa menerima kehadiran ku dalam hidupnya. Dan aku merasa bahagia dengan semua itu. Keinginanku untuk bisa memiliki Bram pun semakin besar. Aku tak bisa menahannya lagi. Hingga pada suatu malam, aku pun nekat mengajak Bram untuk bertemu di sebuah hotel.

"kenapa om Hasan tiba-tiba mengajak aku bertemu di hotel seperti ini? Biasanya kita ngobrol, kan... kalau gak di kafe ya di tempat kerja ku." tanya Bram, setelah akhirnya kami sudah berada di dalam kamar hotel.

"ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kamu, Bram." balasku pelan.

"hal penting apa, om? Dan kenapa harus di hotel?" tanya Bram kemudian.

"tapi om harap kamu jangan marah sama om, jika om mengatakan ini semua sama kamu." ucapku membalas.

"emanganya apa yang ingin om katakan?" Bram bertanya lagi.

"sebenarnya om suka sama kamu, Bram. Om jatuh cinta sama kamu. Om ingin bisa memiliki kamu, bukan hanya sekedar teman biasa. Apa kamu bersedia menjalin hubungan yang lebih dengan om?" ucapku dengan suara cukup bergetar.

"emangnya om suka cowok? Om ini gay?" Bram bertanya dengan kening berkerut.

"iya, Bram. Dan om sangat mencintai kamu." balasku yakin.

Kali ini Bram terdiam. Aku tahu, Bram pasti kaget mendengar pengakuan ku barusan. Ia pasti tidak menyangkanya sama sekali.

"tapi bukannya om sudah punya istri dan anak? Kenapa om masih menginginkan laki-laki?" Bram tiba-tiba bertanya kembali.

"antara aku sudah menikah dan sudah punya anak, dengan aku menginginkan kamu, itu dua hal yang berbeda, Bram." balasku.

"iya... tapi kenapa bisa seperti itu?" Bram bertanya lagi.

"ya... karena memang seperti itulah keadaannya. Aku menikah karena aku memang harus menjalankan kodrat ku sebagai seorang laki-laki. Meski pun aku sebenarnya tidak menginginkan hal tersebut sepenuhnya. Dan aku mencintai kamu itu karena aku memang menginginkan hal tersebut. Meski aku tahu itu salah." jelas ku.

"tapi aku tidak punya peraaan apa-apa sama om Hasan. Selama ini aku sudah menganggap om Hasan seperti ayahku sendiri. Meski pun om Hasan selama ini sudah sangat baik padaku. Namun bukan berarti itu bisa membuat aku jatuh cinta sama om Hasan." ucap Bram kemudian.

Jujur, aku cukup merasa kecewa mendengar ucapan Bram barusan. Tadi nya aku berharap, dengan semua kebaikan serta perhatian ku selama ini pada Bram, setidaknya hal itu bisa sedikit membuka pintu hati Bram untuk kehadiran ku.

"namun jika hal itu bisa membuat om Hasan merasa bahagia, aku akan mencobanya, om. Anggaplah hal itu sebagai bentuk balas budi ku sama om Hasan." ucap Bram tiba-tiba, setelah ia terlihat berpikir sejenak.

"kamu serius ingin mencobanya, Bram?" tanyaku sekedar ingin meyakinkan diriku sendiri.

"emangnya aku punya pilihan lain, om?" balas Bram lemah, "om Hasan sudah sangat baik padaku selama ini. Aku juga punya hutang yang sangat banyak sama om Hasan. Satu-satunya cara agar aku bisa membalas semua itu, hanyalah dengan cara membuat om Hasan merasa bahagia." lanjut Bram masih terdengar lemah.

"dan satu-satunya hal yang bisa membuat aku bahagia saat ini, ialah menghabiskan waktu bersama kamu, Bram. Satu-satunya hal yang membuat aku bahagia, hanyalah dengan aku bisa memiliki kamu seutuhnya." balasku lirih.

"aku tak peduli, apa pun alasan kamu menerima ku, Bram. Yang penting aku bisa memiliki kamu selamanya." lanjutku lagi.

"lalu bagaimana dengan istri dan anak-anak, om?" tanya Bram.

"aku tidak akan meninggalkan mereka, Bram. Tapi jika kamu ingin aku meninggalkan mereka, untuk bisa bersama kamu, aku akan melakukannya." balasku.

"om tak perlu melakukan hal itu. Itu sangat tidak sebanding, om." ucap Bram kemudian.

"jadi apa kamu bersedia menjadi pacar, om?" tanya ku, sekedar memastikan keputusan Bram yang sebenarnya.

"seperti yang aku katakan, om. Aku gak punya pilihan lain." balas Bram.

"jadi mulai malam ini, kita sudah pacaran?" tanya ku lagi.

"iya, jika itu yang om Hasan ingin kan." ucap Bram membalas.

"aku sangat merasa bahagia mendengarnya, Bram. Terima kasih sudah memberikan aku kesempatan ini. Aku jamin, kamu tidak akan pernah menyesalinya." ucap akhirnya.

Perlahan aku pun mulai mendekari Bram. Aku ingin melakukan hal yang selama ini hanya ada dalam khayal ku.

"om mau ngapain?" tanya Bram canggung, ketika aku berusaha menyentuhnya.

"aku sangat mencintai kamu, Bram. Dan izinkan aku memiliki mu malam ini." ucapku lirih.

"tapi aku masih merasa geli, om. Aku belum siap untuk hal itu. Aku harap om mau memberi aku waktu. Setidaknya sampai aku benar-benar yakin, kalau aku juga menginginkannya. Semoga om mau mengerti." Bram berucap, sambil terus berusaha menghindari ku.

"baiklah, Bram. Aku akan memberi kamu waktu, sampai kamu benar-benar siap." ucapku akhirnya.

Aku juga tidak mungkin memaksa Bram. Aku ingin Bram melakukanya, atas keinginannya sendiri, bukan karena terpaksa. Dan untuk itu, aku memang harus lebih sabar. Tapi setidaknya, sekarang Bram sudah tahu tentang perasaan ku padanya. Setidaknya Bram masih mau memberikan aku kesempatan, dan ia juga sudah bersedia menjadi pacarku. Pacar lelaki pertama ku.

****

Sejak saat itu, aku dan Bram pun resmi menjalin hubungan asmara. Meski aku tahu, Bram menerima ku tidak dengan sepenuh hati. Meski Bram masih tetap menjaga jarak dari ku. Namun Bram tidak pernah menolak, setiap kali aku mengajaknya bertemu di hotel.

Pertemuan-pertemuan kami itu sungguh membuat aku merasa bahagia. Walau Bram masih belum mau melakukanya dengan ku. Ia masih merasa takut untuk memulainya. Namun aku tidak pernah menyerah. Berbagai cara telah aku lakukan, untuk bisa membuat Bram mau melakukannya.

Hingga setelah hampir dua bulan hubungan asmara kami terjalin, Bram pun akhirnya menyerah. Dia sudah bersedia melakukannya dengan ku. Dan aku merasa sangat bahagia.

"apa benar om belum pernah melakukannya dengan laki-laki lain?" tanya Bram.

"iya, Bram. Selama ini aku selalu berusaha memendam hal tersebut. Aku tidak pernah berani. Namun semenjak aku mengenal kamu, aku tidak bisa lagi menahannya." balasku.

"jadi aku ini yang pertama buat om Hasan?" tanya Bram lagi.

"iya, Bram. Kamu yang pertama bagiku dan juga yang terakhir." balasku terdengar yakin.

"om Hasan juga yang pertama bagiku, dan semoga juga yang terakhir..." ucap Bram pelan.

"jadi gimana menurut kamu?" tanya ku.

"gimana apanya?" Bram malah balik bertanya.

"ya.. gimana rasanya?" balasku bertanya lagi.

"hmmm... gimana ya... asyik sih, cukup menantang dan sangat menarik. Tapi aku kan gak punya perbandingan, om. Ini adalah yang pertama bagi ku, baik dengan perempuan apa lagi dengan laki-laki." ucap Bram lugas.

"jadi selama ini kamu gak pernah pacaran?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"pacaran sama perempuan maksudnya?" tanya Bram membalas.

Aku mengangguk ringan.

"pernah sih, tapi kan cuma sekedar pacaran biasa. Cuma sekedar cinta monyet. Belum berani ngapa-ngapain. Paling ya ... cuma sekedar pegangan tangan. Itu pun sudah cukup membuat bahagia." jelas Bram kemudian.

"malam ini kamu bahagia gak? Setelah melakukan hal tadi?" tanyaku selanjutnya.

"aku gak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan saat ini, om. Aku masih bingung. Tapi yang pasti aku sangat menikm4tinya." balas Bram ringan.

"jadi ... untuk selanjutnya .. kamu masih mau kan?" tanya ku lagi.

"ya.. terserah om Hasan sih. Aku ngikut aja, om." balas Bram terdengar ragu.

"aku sih pasti mau, Bram. Aku sungguh sangat terkesan. Apa lagi hal itu baru pertama kali aku rasakan." ucapku lugas.

"tapi om Hasan kan udah nikah." balas Bram.

"itu hal yang berbeda, Bram. Posisi ku juga beda kan? Dan Rasanya juga beda." ucapku santai.

"dan om lebih suka yang mana?" tanya Bram.

"aku lebih suka yang ini, bersama kamu. Rasanya aku lebih bisa menjadi diri ku sendiri. Rasanya jauh lebih indah." balas ku apa adanya.

****

Sejak saat itu, aku dan Bram pun semakin sering melakukannya. Dan lama kelamaan, kami pun sudah mulai terbiasa dengan semua itu. Bram juga sudah mulai bisa membuka hatinya untukku.

"semakin lama, aku semakin menyadari, om. Kalau juga sayang sama om Hasan. Aku juga mulai jatuh cinta sama om Hasan." ucap Bram penuh perasaan, saat suatu malam kami bertemu lagi untuk kesekian kalinya.

"aku bahagia mendengarkannya, Bram. Jadi kamu gak merasa terpaksa lagi kan, melakukannya?" aku membalas dengan sedikit bertanya.

"aku justru sangat menginginkannya sekarang, om. Om benar-benar luar biasa. Aku selalu merindukan hal tersebut." balas Bram terdengar yakin.

"aku tidak akan pernah melepaskan om Hasan. Aku sangat mencintai om Hasan." ucap Bram melanjutkan.

"aku juga sangat mencintai kamu, Bram. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan mu. Selamanya." balasku penuh perasaan.

Dan begitulah kisah cintaku bersama Bram terjalin. Sebuah kisah cinta yang sangat indah bagiku. Meski aku harus mengorbankan banyak hal, untuk bisa mendapatkan Bram seutuhnya. Namun semua pengorbanan itu sangat setimpal dengan apa yang aku rasakan.

Kini hari-hari ku jadi semakin indah dan penuh warna. Bram mampu menghiasi hatiku dengan cinta yang sempurna. Kini pemuda tampan si tukang parkir itu, telah menjadi milik ku seutuhnya, bukan hanya raganya tetapi juga hatinya. Semoga cinta kami akan bertahan selamanya, ya semoga saja.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di kisah-kisah menarik lainnya, salam sayang untuk kalian semua.

****

 

Simak kisah menarik lainnya :

Penjual pisang crispy

OB tampan menggoda hati

Abang penjual es krim

Pesona cowok pantai

Bersama ABK kapal

Pentongan pak hansip

Cowok penjaga toilet

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google