Aku memanggilnya mas Baron. Dia seorang laki-laki tampan yang baru aku kenal beberapa bulan yang lalu. Aku berkenalan dengan mas Baron, ketika aku diajak ibuku untuk menemaninya ke sebuah pasar tradisional yang berjarak tak begitu jauh dari gang tempat aku tinggal.
Itu adalah kali pertamanya aku menemani ibu ke pasar. Karena biasanya ayah ku yang melakukannya. Namun karena saat ini ayahku sedang sakit, jadi aku yang diminta ibu untuk menemaninya ke pasar.
Ibu memang selalu berbelanja kebutuhan dapur setiap pagi minggu.
Ibu dan ayahku membuka warung sarapan pagi di depan rumah kontrakan kami. Dari warung tersebutlah sumber pendapatan utama keluarga kami. Penghasilan ayah dan ibu dari warung tersebut memang tidak seberapa, namun masih cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari dan juga untuk membayar kontrakan rumah.
Aku anak sulung dari empat bersaudara. Ketiga adik-adik ku masih kecil-kecil. Aku sekarang sudah duduk di tahun terakhir sebuah SMA. Beberapa bulan lagi aku akan lulus.
Oke, kembali ke kisah pertemuan ku dengan mas Baron.
Aku ke pasar bersama Ibu dengan menaiki sebuah motor butut. Aku memarkir motor ku di tempat parkir. Sebenarnya ibu meminta ku untuk menamaninya berkeliling pasar mencari barang belanjaannya. Tapi aku dengan tegas menolak. Sebagai seorang anak laki-laki yang mulai tumbuh dewasa, tentu saja aku masih merasa gengsi, untuk berkeliling pasar menemani ibu.
Akhirnya ibu pergi sendiri ke dalam pasar tradisional tersebut. Dan aku memutuskan untuk menunggu ibu di tempat parkir.
Namun setelah beberapa saat aku merasa jenuh. Aku memutuskan untuk memasuki pasar sendirian. Di dekat pintu masuk tersebut, aku melihat seorang laki-laki tampan yang sedang menggelar dagangannya di bawah sebuah tenda kecil.
Laki-laki itu menjual berbagai jenis barang pecah belah dan peralatan dapur, mulai dari piring-piringan, gelas-gelasan, berbagai macam sendok, baskom ,ember dan segala macam alat dapur lainnya.
Laki-laki tersebut tiba-tiba menjadi perhatian ku. Selain sosoknya yang energik, dia juga terlihat sangat ramah. Rambut panjang sebahunya di ikat rapi ke belakang, di telingan kirinya terpasang sebuah anting kecil. Saat itu ia memakai baju kaos oblong dan celana jeans pendek, yang sepertinya memang sengaja di potong.
Bentuk tubuhnya sangat atletis dan kekar. Otot-otot lengannya terlihat jelas, saat ia mengangkat beberapa barang. Dan aku terkesima melihat laki-laki tersebut. Hati ku meronta ingin mendekati laki-laki tampan tersebut.
Aku melangkah mendekati laki-laki itu, namun saat itu masih ramai pembeli. Aku coba menunggu beberapa saat, menunggu keadaan agak sepi.
"mau cari apa, mas?" suara laki-laki itu mengagetkan ku, saat aku sudah berdiri di depan tenda dagangannya.
Aku berusaha memasang senyum termanis ku.
"hmm.. anu... saya.... saya mau cari.... sendok nasi..." ucapku terbata, saat ku lihat setumpuk sendok nasi berada di dekat laki-laki tersebut.
"sendok ini maksudnya?" laki-laki itu bertanya sambil mengangkat beberapa buah sendok di tangannya.
"i... iya, mas.." balas ku tergagap.
"mau berapa biji?" tanya laki-laki ramah.
"satu aja, mas." jawab ku asal.
Laki-laki itu tiba-tiba mengerutkan kening menatapku.
"yakin cuma satu?" tanyanya ragu.
"iya, mas. Ibu ku pesan cuma satu katanya." balasku berbohong.
"ya udah, ini.." ucap laki-laki itu, sambil menyodorkan sendok nasi tersebut.
Aku sedikit menunduk untuk meraih sendok tersebut.
"berapa?" tanya ku.
"lima ribu aja.." balas laki-laki itu.
Aku merogoh uang di salam saku celana ku. Beruntunglah ada sisa uang jajan ku di dalamnya.
"saya... saya boleh numpang istirahat sebentar disini, mas?" ucapku, sambil menyerahkan uang lima ribuan kepada laki-laki tersebut.
"iya, boleh. Duduk aja.." balas laki-laki tersebut.
Aku melangkah mendekat. Aku sengaja duduk agak dekat dengan laki-laki tersebut, agar aku bisa lebih leluasa untuk ngobrol dengannya.
"sudah lama jualan di sini, mas?" tanya ku cukup berani.
"belum begitu lama, sih. Mungkin baru sekitar dua tahunan." jawab laki-laki yang memiliki hidung mancung itu.
"dua tahun sudah cukup lama lah, mas." sela ku ringan.
"iya, sih." balas laki-laki itu, "tapi ngomong-ngomong, kamu ke pasar cuma mau beli sendok itu doang?" tanya nya melanjutkan, sambil ia sedikit memonyongkan bibirnya menunjuk ke arah sendok yang sudah aku pegang.
Melihat bibirnya yang dimonyongkan sedemikian rupa, hatiku tiba-tiba meronta kembali. Bibir cowok itu memang terlihat menarik, apa lagi jika ia monyongkan seperti tadi, membuat aku jadi berpikiran macam-macam.
"kok gak dijawab pertanyaan saya?" laki-laki itu berucap lagi, melihat aku yang hanya terdiam.
"eh.. iya... aku cuma mau beli sendok ini.." ucapku akhirnya dengan sedikit salah tingkah. Sebenarnya aku juga merasa aneh dengan hal tersebut. Masa' iya, aku ke pasar cuma mau beli sendok nasi doang? Tapi demi perjuanganku untuk bisa kenal dengan laki-laki tampan tersebut, aku rela menahan semua keanehan tersebut.
"mas... siapa namanya?" tanya ku memberanikan diri, setelah beberapa saat laki-laki itu sibuk melayani seorang pembeli.
"panggil saja saya mas Baron." di luar dugaan ku laki-laki itu ternyata bersedia menjawab dengan ramah. "kamu siapa namanya?" lanjutnya bertanya.
"saya Reyhan, mas." jawabku mantap.
"oh." laki-laki yang mengaku bernama Baron tersebut sedikit membulatkan bibir.
"saya boleh.. minta nomor hp mas Baron?" ucapku lagi.
Mas Baron menatapku cukup lama, keningnya mengerut. Mungkin ia merasa heran, karena aku cukup berani meminta nomor hp nya.
"aku takutnya sendok yang aku beli ini salah, jadi kalau nanti salah, saya bisa menghubungi mas Baron." ucapku kemudian, sungguh sebuah alasan yang sangat tidak masuk akal sebenarnya. Tapi aku memang sudah kehabisan akal. Pesona mas Baron, benar-benar membuat akal sehat ku tidak berjalan dengan normal.
"ah, kamu ada-ada aja, Reyhan. Tapi kalau kamu mau nomor hp ku, boleh kok. Gak apa-apa. Siapa tahu nanti kalau kamu butuh alat-alat rumah tangga bisa hubungi saya aja." ucap mas Baron akhirnya, setelah untuk beberapa saat ia terdiam.
Mas Baron kemudian membacakan nomor hp nya. Aku segera mencatatnya di hp ku.
"tapi hp ku cuma hp jadul seperti ini." ucap mas Baron kemudian, sambil memperlihatkan sebuah hp lawas yang hanya bisa untuk menelpon dan sms. "jadi aku gak punya media sosial. Kalau kamu mau mengubungi saya, ya cuma bisa lewat telpon biasa atau hanya sms." lanjut mas Baron berucap.
"iya, mas." jawabku lemah. Aku merasa sedikit kecewa sebenarnya. Kalau mas Baron gak punya media sosial, bagaimana pula aku bisa mengetahui tentang dirinya lebih lanjut.
"makasih ya, mas." ucapku kemudian.
Untuk selanjutnya mas Baron kembali mulai sibuk melayani beberapa orang ibuk-ibuk yang menawar dagangannya. Aku juga segera pamit pada mas Baron, karena ibu ku sudah menghubungi ku, katanya ia sudah berada di tempat parkir.
****
"untuk apa kamu membeli sendok nasi ini, Rey?" tanya ibu ku heran, saat kami sudah menuju pulang.
"itu untuk di kumpulkan di sekolah, buk." jawabku asal.
"kenapa harus di beli, sih? di rumah kan ada.." ucap ibu ku lagi.
"ya... gak apa-apa, buk. Aku juga belinya pake uang jajan ku, kok." balas ku.
Untuk selanjutnya, ibu ku hanya bisa terdiam. Sementara pikiran ku terus berkelana memikirkan wajah tampan milik mas Baron. Ah, indah sekali wajah itu. Aku benar-benar telah terpesona di buatnya.
Untuk pertama kalinya, aku merasakan sebuah rasa yang begitu indah tumbuh di hatiku tiba-tiba. Mungkinkah ini cinta? Atau cuma sebuah kekaguman sesaat?
Aku coba menepis bayangan mas Baron dari benak ku. Tapi bayangan wajah tampan itu, seakan telah melekat dalam pikiran ku. Aku tak mampu memupusnya.
"ibu perhatikan, dari tadi kamu senyum-senyum sendiri, kenapa?" tanya ibuku, saat kami sudah sampai di rumah.
"gak kenapa-kenapa, buk. Aku hanya merasa bahagia bisa menemani ibuk belanja ke pasar." balasku sedikit berbohong.
"alah.. tadi waktu ibu ajak kamu ke pasar kamu malah ogah-ogahan. Sekarang ngakunya kamu bahagia karena menemani ibuk." ucap ibu ku mencibir, "bilang aja, tadi di pasar kamu pasti bertemu seorang gadis yang membuat kamu tertarik, iya, kan? Karena itu kamu jadi senyum-senyum sendiri." lanjut ibu ku lagi.
Seorang gadis? bathinku. Andai saja ibu ku tahu, kalau yang membuat aku senyum-senyum sendiri, bukan seorang gadis, tapi justru seorang cowok? Ibu pasti bakal mengutuk ku jadi batu.
"ya udah sekarang, bantu ibu mengangkat barang-barang ke dalam rumah." ucap ibu kemudian.
Dengan perasaan sedikit berat, aku mengangkuti barang belanjaan ibu ke dalam rumah. Sementara pikiran ku masih terus membayangkan senyum indah mas Baron.
****
Telepon gak? telepon gak? telepon gak? timbang hatiku ragu.
Separoh hati ku ingin sekali menghubungi mas Baron, agar aku bisa mendengar suaranya yang maskulin itu, agar aku bisa mengenalnya lebih dekat. Namun separoh hati ku yang lain, merasa malu untuk melakukannya. Malu kalau mas Baron tidak akan mengangkat telepon ku, malu kalau mas Baron tidak ingat lagi dengan ku.
"kamu belum tidur?" suara ibu ku mengagetkan ku.
Aku hanya menggeleng lemah.
"ibu mau bicara." ucap ibu ku lagi.
"mau bicara tentang apa sih, buk?" tanya ku dengan nada malas. Sebenarnya aku lagi enggan berbicara dengan siapa pun saat ini, aku hanya ingin berbicara dengan mas Baron.
"mengenai kuliah mu itu, Reyhan." ucap ibu pelan. "ayah dan ibu sudah bahas hal tersebut. Kami tahu, kalau kamu sangat ingin sekali kuliah. Tapi ayah dan ibu minta maaf, kalau tahun ini kami belum bisa membiayai kuliah kamu. Adik-adik mu juga masih butuh biaya banyak, Rey. Ibu harap kamu bisa mengerti ya.." ibu melanjutkan ucapannya.
Meski pun aku sudah bisa menduga hal tersebut dari awal, tapi tetap saja merasa kecewa mendengarnya. Aku tahu, pendapatan ayah dan ibu ku memang tidak seberapa, di tambah lagi ketiga adik ku juga butuh biaya banyak. Tapi aku ingin sekali kuliah. Aku ingin meraih cita-cita ku.
"mungkin tahun depan, kalau kita punya rejeki lebih, kamu bisa kuliah, Rey." ibu berucap lagi melihat kemurungan ku.
Sebenarnya aku tidak begitu yakin, kalau aku akan bisa kuliah. Tapi jika aku tidak kuliah, aku juga tidak tahu harus ngapain setelah lulus SMA nanti. Kalau pun aku harus kerja, mau kerja apa? Dengan mengandalkan ijazah SMA, rasanya akan sangat sulit bagi ku untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.
Namun aku juga tidak mungkin ngotot memaksa kedua orangtua ku agar aku bisa kuliah. Aku tahu betul perekonomian keluarga ku. Apa lagi sekarang, ayah ku juga sudah sering sakit-sakitan. Jadi mau tidak mau, aku memang harus mulai memikirkan untuk mencari sebuah pekerjaan.
*****
Keesokan harinya, aku kembali nekat untuk mendatangi tempat mas Baron berjualan. Sepulan sekolah aku mampir di pasar tersebut.
"eh, Reyhan." sapa mas Baron, saat aku sudah berada di tempatnya berjualan.
"kenapa? Apa sendoknya salah beli?" tanya mas Baron kemudian.
"gak, mas. Cuma lagi gabut aja. Boleh kan aku duduk disini, ngobrol lagi sama mas Baron." balasku pelan, sambil mulai duduk di dekat mas Baron.
"boleh aja, sih. Selama kamu merasa nyaman dengan hiruk pikuk di pasar ini." ucap mas Baron.
"tapi aku gak ganggu kan, mas?" tanya ku.
"ya.. gak lah, aku malah senang jadi ada teman untuk ngobrol. Kan pembeli juga jarang singgah di tempat ku, Rey." balas mas Baron, tiba-tiba terdengat akrab di telinga ku.
"emangnya mas Baron, setiap hari ya, jualan di sini?" tanyaku kemudian.
"iya.." balas mas Baron singkat.
"mas Baron sampai jam berapa disini?" aku bertanya lagi.
"biasanya sih cuma sampai sore.." jawab mas Baron.
"mas Baron udah nikah?" tanyaku sediki hati-hati.
Untuk sesaat mas Baron tidak menjawab, ia pura-pura sibuk menyusun barang dagangannya.
Aku melihat mas Baron menarik napas beberapa kali, kemudian ia berucap,
"aku pernah nikah, dulu, beberapa tahun yang lalu." suara mas Baron terdengar berat.
"aku juga sempat punya anak. Pernikahan kami juga baik-baik saja sebenarnya. Tapi sebuah peristiwa tragis telah merenggut kebahagiaan kami. Sebuah kecelakaan telah merenggut nyawa anak kami, yang baru berusia tiga tahun."
"istri ku menyalahkan ku akan kecelakaan tersebut, karena saat itu, anakku memang sedang bersama ku, menaiki sebuah motor. Motor kami di senggol sebuah mobil. Tidak terlalu parah sebenarnya. Anak ku bahkan juga sempat di bawa ke rumah sakit. Dia selamat dari kecelakaan tersebut. Tapi efek dari kecelakaan itu ternyata, membuat anak ku mengalami kelumpuhan pada otaknya."
"anak ku sempat bertahan selama beberapa bulan, tapi akhirnya ia pun meninggal. Karena terjadi pembekuan darah pada otaknya. Dokter sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Di tambah lagi kami juga tidak punya banyak uang. Orang yang menabrak kami tidak bertanggungjawab. Ia melarikan diri bersama mobilnya."
"sejak anak ku meninggal. Istriku tiba-tiba berubah. Ia tak lagi semanis dulu. Ia tetap menganggap aku sebagai penyebab kematian anak kami. Setiap kali ia melihat ku, ia seakan melihat seorang pembunuh. Aku tidak tahan di perlakukan seperti itu. Dia tak pernah mengerti, betapa besarnya rasa bersalahku akan peristiwa tersebut. Karena itu, aku memintanya untuk kembali ke orangtuanya."
"pada akhirnya kami pun resmi bercerai. Setahun kemudian, aku mendapat kabar, kalau mantan istri ku sudah menikah lagi. Aku mencoba mengikhlaskannya. Mungkin dengan menikah lagi, ia bisa melupakan peristiwa pahit tersebut. Aku juga berusaha untuk mengikhlaskan semuanya. Mengikhlaskan kepergian anak ku, dan juga mengikhlaskan pilihan hidup istri ku."
"tidak mudah sebenarnya bagi ku untuk melupakan itu semua. Tapi aku juga tidak ingin hidup dalam penyesalan seumur hidupku. Karena itu, aku terus berusaha mencari kesibukan. Aku tak ingin berdiam diri, karena setiap kali aku terdiam, peristiwa tragis itu terus menghantui ku."
Cerita mas Baron yang panjang lebar itu, sungguh membuat aku terhenyak. Tak ku sangka di balik wajah mas Baron yang selalu ceria, tersimpan sebuah kenangan pahit, yang tidak semua orang mampu menghadapinya.
"maaf ya, Rey. Aku jadi curhat sama kamu." ucap mas Baron kemudian.
"gak apa-apa, mas. Aku yang harus minta maaf. Tak seharusnya aku bertanya hal tersebut pada mas Baron. Aku turut berduka, mas." balasku lemah.
"iya, Rey. Gak apa-apa. Lagi pula hal itu sudah cukup lama berlalu. Sudah hampir empat tahun yang lalu." ucap mas Baron.
"jadi sekarang usia mas Baron berapa?" tanya ku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"aku menikah pada saat usia ku 28 tahun, pernikahan ku hanya bertahan selama lima tahun, aku bercerai dari istri ku sudah empat tahun. Jadi sekarang usia ku sudah 37 tahun lebih." balas mas Baron.
"apa mas gak pengen nikah lagi?" aku bertanya kembali.
"untuk sekarang belum, Rey. Aku masih belum siap." balas mas Baron terdengar lirih.
Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan mas Baron pun tiba-tiba menjadi dekat. Aku jadi semakin sering datang ke tempat mas Baron berjualan. Aku juga jadi sering menelponnya. Mas Baron juga cukup terbuka menerima kehadiran ku. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Setidaknya untuk saat ini, aku sudah bisa menjadi teman dekat mas Baron.
Tapi mungkinkah aku bisa mengetuk hati mas Baron?
Mungkinkah ia bisa menerima kehadiran ku lebih dari sekedar teman dekat? Mengingat ia pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya. Mengingat ia pernah mengalami kegagalan dalam berumah tangga.
Lalu seperti apa pula perjuangan ku selanjutnya untuk bisa merebut hari mas Baron?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini, ya. Atau bisa langusng klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Part 2
Aku semakin rajin datang ke tempat mas Baron berjualan. Kami juga semakin dekat dan akrab. Setiap pulang sekolah, aku selalu menyempatkan untuk mampir di tempat mas Baron. Mengobrol dengannya dan juga membantunya berjualan.
"jadi apa rencana mu setelah lulus SMA, Rey?" tanya mas Baron suatu siang.
"gak tahu, mas. Aku masih bingung. Aku sih pengennya kuliah, tapi orangtua ku gak mampu untuk membiayainya. Apa lagi ketiga adik-adik ku masih butuh biaya banyak untuk sekolah mereka." balasku lemah.
"kalau gak kuliah, terus kamu mau kerja apa?" mas Baron bertanya lagi.
"aku juga gak tahu mau kerja apa, mas. Aku gak punya keahlian apa-apa.." balasku masih dengan nada lemah.
"bagaimana kalau untuk sementara kamu bantu-bantu saya aja di sini dulu? Ya... penghasilannya sih gak seberapa, tapi kamu bisa menambah pengalaman di sini. Menghadapi berbagai karakter orang setiap hari, akan membuat kita lebih bijak menyikapi hidup." ucap mas Baron menawarkan.
"ya, mas. Sepertinya hanya itu satu-satunya pilihan yang aku punya saat ini." balasku pelan.
"emang berapa lama lagi sih kamu akan lulus?" tanya mas Baron kemudian.
"ya... satu atau dua minggi lah, mas. Hanya menunggu pengumuman kelulusan aja lagi." jelas ku.
"ya udah, nanti kalau kamu udah lulus, kami datang aja pagi-pagi kesini, bantu-bantu saya.." ucap mas Baron selanjutnya.
"oke, mas. Tapi untuk sementara aku masih boleh datang kesini kan, sepulang sekolah?" balasku sedikit bertanya.
"boleh aja. Selama kamu senang berada disini." ucap mas Baron.
"aku senang berada disini, mas. Aku senang ngobrol sama mas Baron." balasku.
"saya juga senang bisa kenal sama kamu, Rey. Saya jadi punya teman untuk ngobrol." ucap mas Baron pelan.
Dan begitulah, setelah menamatkan SMA, aku mulai bekerja bersama mas Baron. Seperti yang mas katakan, penghasilannya sih tidak seberapa, namun aku merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama mas Baron seharian.
Hampir setiap hari, aku selalu bersama mas Baron. Hal itu justru membuat aku semakin mengagumi sosok mas Baron. Selain memiliki wajah yang tampan dan tubuh yang gagah, mas Baron juga sangat baik dan ramah. Aku semakin mencintainya.
Berbulan-bulan aku menjalani hari-hari ku bersama mas Baron. Berbulan-bulan aku memendam perasaan padanya. Aku selalu mencintainya dalam diam. Mengaguminya dengan sepenuh hati ku. Menjadikannya bagian terindah dalam hidupku.
Aku tak tahu, sampai kapan aku akan mampu memendam semua rasa ini. Namun yang pasti, aku akan selalu berusaha membuat mas Baron merasa nyaman saat bersama ku. Aku ingin dia juga jatuh cinta padaku. Aku ingin suatu saat nanti, kami bisa menjalin hubungan yang lebih dalam lagi.
****
"kamu pernah pacaran?" tanya mas Baron suatu hari.
Aku hanya menggeleng ringan. Karena sejujurnya, aku memang belum pernah pacaran sama sekali. Aku bahkan belum pernah jatuh cinta, selain kepada mas Baron. Mas Baron adalah cinta pertama ku.
"kenapa?" tanya mas Baron lagi.
"sulit untuk di jelaskan, mas. Tapi yang pasti, sebenarnya saat ini aku sedang menyukai seseorang." balasku ringan.
"kalau kamu sedang menyukai seseorang, kamu jangan tinggal diam aja. Kamu harus mengungkapkannya, sebelum semuanya terlambat." ucap mas Baron.
"aku takut mengungkapkannya, mas. Aku takut di tolak." balasku.
"bagaimana kamu tahu bakal di tolak, kalau kamu gak berani untuk mengungkapkannya." ucap mas Baron lagi.
"tapi rasa suka ku ini berbeda, mas." ucapku membalas.
"berbeda? Maksudnya?" mas Baron sedikit mengerutkan kening.
"aku malu, mas. Mengatakannya.." ucapku pelan.
"kenapa harus malu. Kita kan sudah sangat dekat, Rey. Kamu ngomong aja sama saya." balas mas Baron.
"tapi mas Baron harus janji, untuk tidak marah." ucapku ragu.
"marah? kenapa aku yang harus marah?" sekali lagi mas Baron mengerutkan kening.
"karena... seperti yang saya katakan, rasa suka saya ini beda. Aku takut, mas Baron justru akan membenci saya karenanya.." balasku.
"kamu cerita aja dulu. Soal saya marah atau tidak, itu urusan belakangan..." timpal mas Baron.
Aku terdiam sesaat. Mungkin memang sudah saatnya aku untuk jujur pada mas Baron. Mengingat kami juga sudah sangat dekat. Selain itu, aku juga tidak mampu lagi memendamnya. Terlepas mas Baron mau menerimanya atau tidak, aku memang harus mengatakannya. Jika pun nanti mas Baron akan membenci ku, aku juga sudah siap. Setidaknya mas Baron harus tahu tentang perasaan ku selama ini padanya.
"tapi aku gak bisa ngomong itu sekarang di sini, mas." ucapku akhirnya.
"bagaimana kalau nanti malam aku datang ke rumah mas Baron." lanjut ku sedikit ragu.
"jika hal itu bisa membuat kamu merasa nyaman, ya gak apa-apa. Nanti malam aku akan tunggu kamu di rumah ku." balas mas Baron terdengar santai.
"iya, mas. " balasku dengan perasaan tak karuan. Apa jadinya, jika mas Baron tahu, kalau selama ini aku mencintainya? Mungkinkah ia akan bisa menerima semua itu? Mungkinkah ia akan membenci ku?
Berbagai pertanyaan pun terus menghantui pikiran ku sepanjang hari itu. Aku jadi gelisah tak menentu. Aku merasa takut. Takut kalau pada akhirnya, aku hanya akan menelan kekecewaan.
****
Setelah memantapkan hatiku, dan bersiap dengan segala resiko yang akan aku terima, aku pun melangkah dengan berani menuju rumah mas Baron.
Tepat sekitar jam delapan aku sampai, mas Baron menyambutku dengan senyum ramahnya.
Sebenarnya itu bukan pertama kalinya, aku berkunjung ke rumah mas Baron. Aku sudah sering datang ke rumah mas Baron, terutama saat malam hari. Hanya saja selama ini, aku datang hanya sekedar untuk mengobrol dan berbincang hal-hal yang bersifat umum dan biasa.
Tapi kali ini, kedatangan ku berbeda. Aku harus mengungkapkan sesuatu yang selama ini hanya bisa aku pendam. Aku harus mengatakan semuanya pada mas Baron. Dengan resikonya, mungkin aku akan kehilangan mas Baron untuk selama-lamanya. Tapi aku memang harus siap untuk itu.
"jadi... kamu mau cerita sekarang?" tanya mas Baron sedikit mengagetkan ku, setelah kami berada di dalam kamarnya.
Hatiku kembali berdebar-debar tak menentu. Perasaan ku menjadi kacau balau. Aku sebenarnya tak mau kehilangan keakraban kami seperti saat ini. Namun jika aku tidak mengungkapkannya, aku juga tidak akan pernah tahu bagaimana perasaan mas Baron sebenarnya pada ku.
"kok jadi melamun?" suaru mas Baron kembali mengagetkan ku.
Aku mencoba memasang senyum termanis ku. Menarik napas lebih dalam, kemudian menghempaskannya perlahan.
"sebenarnya... sebenarnya... aku .... aku suka... sama ... mas Baron..." suara ku benar-benar terbata, aku hanya bisa tertunduk. Aku tak ingin melihat reaksi mas Baron.
"maksud kamu?" mas Baron bertanya heran.
"aku jatuh cinta sama mas Baron. Aku sangat menyayangi mas Baron. Aku ingin menjadi pacar mas Baron." balas ku mulai merasa berani, meski aku memilih untuk tetap menunduk.
Lama suasana hening. Aku masih terus tertunduk. Aku belum berani untuk sekedar menatap mas Baron.
"kenapa diam, mas? Mas pasti jijik melihat ku sekarang ya?" aku memberanikan diri untuk berucap kembali, sambil tetap terus menunduk.
Aku dengar mas Baron menarik napas berat.
"aku gak tahu harus ngomong apa, Rey. Aku benar-benar tidak menyangka semua ini. Tapi aku tidak akan membenci kamu karena ini. Hanya saja, mungkin aku butuh waktu... aku butuh waktu untuk sendiri. Mungkin untuk sementara, lebih baik kita tidak bertemu dulu..." ucap mas Baron akhirnya.
Perih rasa hatiku mendengar kalimat tersebut. Meski pun dari awal aku sudah mempersiapkan hati ku untuk menerima semua itu, tapi tetap saja aku gak kuat. Aku sakit. Kecewa. Dan marah.
Aku marah pada diriku sendiri. Aku marah pada perasaan ku. Tidak seharusnya aku jatuh cinta pada mas Baron, dan tidak seharusnya aku mengungkapkan itu semua padanya.
Kini aku akan kehilangan dia selama-lamanya. Aku akan kehilangan keakraban kami selama ini. Keakraban yang sebenarnya sudah mampu membuat aku bahagia. Tapi entah mengapa, aku justru menginginkan hal yang lebih dari mas Baron. Dan karena keingian ku itu, aku justru harus kehilangan semuanya.
"aku minta maaf, Rey." ucap mas Baron tiba-tiba. "mungkin salah ku, telah membiarkan kamu masuk dalam kehidupan ku. Tapi aku benar-benar tidak menyangka, kalau kamu akan jatuh cinta padaku." lanjutnya.
"ini bukan salah, mas Baron. Ini murni salahku. Sebenarnya, sebelum kita saling kenal, aku sudah tertarik pada mas Baron. Karena itu, aku berusaha untuk bisa mendekati mas Baron. Mungkin mas masih ingat, saat pertama kali kita bertemu. Aku sengaja membeli sebuah sendok nasi sama mas Baron, dengan alasan atas permintaan ibu ku. Padahal sebenarnya itu hanya cara ku, agar aku bisa mengenal mas Baron."
"setelah kita berkenalan dan kemudian menjadi dekat, perasaan itu terus berkembang. Semakin hari aku semakin menyayangi mas Baron. Sampai akhirnya, aku tak sanggup lagi untuk memendamnya. Karena itulah, malam ini aku nekat untuk jujur pada mas Baron." jelasku cukup panjang lebar.
Suasana kembali hening. Mas Baron tiba-tiba berdiri memunggungi ku.
"sebenarnya aku merasa nyaman saat bersama kamu, Rey. Aku yang selama ini merasa kesepian, jadi merasa sedikit terhibur dengan kehadiranmu mengisi hari-hari ku. Aku juga suka sama kamu. Tapi perasaan suka ku hanya sebatas perasaan suka kepada seorang teman, kepada seorang adik. Aku sudah menganggap kamu seperti adik ku sendiri, Rey." mas Baron berucap pelan.
"namun setelah aku tahu semua ini. Jujur, aku merasa kecewa sama kamu. Aku gak menyangka sama sekali, kalau selama ini kamu diam-diam mencintai ku." lanjut mas Baron berucap, "aku gak jijik melihat kamu, Rey. Tapi aku juga gak bisa terus-menerus dekat-dekat sama kamu, sementara aku tahu, kalau kamu menginginkan ku." lanjutnya.
"sekali lagi, aku minta maaf, Rey. Aku harap kamu mengerti.." ucap mas Baron lagi.
Dan aku tertunduk lemas. Hatiku terasa semakin perih. Tapi aku juga tidak mungkin menyalahkan mas Baron. Biar bagaimana mas Baron gak salah dalam hal ini. Dia berhak menolak. Tapi bukankah aku juga berhak untuk mencintainya?
Ah, sudahlah...
Mungkin benar, cinta tak harus memiliki. Mungkin benar, perasaanku pada mas Baron adalah sebuah kesalahan. Cintaku pada mas Baron adalah sebuah kesalahan. Karena cinta ku hanya bertepuk sebelah tangan. Dan aku tak berhak untuk memiliki cinta yang memang tidak ditakdirkan untuk ku.
****
Dengan perasaan hampa aku meninggalkan rumah mas Baron. Hatiku terasa di cabik-cabik. Hanya saja, aku tidak tahu harus marah kepada siapa. Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa.
Haruskah aku menyalahkan cinta yang tumbuh di hatiku untuk mas Baron?
Haruskah aku menyalahkan mas Baron karena telah menolak rasa cinta ku untuknya?
Atau haruskah aku membenci waktu, yang telah mempertemukan aku dengan mas Baron?
Ah, mengapa cinta begitu rumit? Mengapa ia begitu menyakitkan?
Sementara aku tak pernah menginginkan hal tersebut. Aku tak pernah ingin jatuh cinta kepada mas Baron. Perasaan itu hadir begitu saja. Aku tak mampu mencegahnya.
"melamun aja, bro.." sebuah suara mengagetkan ku, saat aku sedang sibuk meratapi nasib cinta ku di sebuah bangku taman.
Aku melirik ke arah suara tersebut.
"kamu siapa?" tanya ku heran, melihat seorang pemuda yang duduk di dekat ku dengan santai.
"nanti kamu juga bakal tahu, tapi yang pasti, aku sudah tahu kamu sejak lama.." balas pemuda itu ringan.
"maksud kamu?" tanya ku jadi penasaran.
"mungkin kamu tidak mengenal saya, tapi selama ini saya selalu memperhatikan kamu." balas pemuda itu misterius.
Aku menatap pemuda itu dengan heran. Mencoba mengenalinya. Tapi aku benar-benar tidak mengingatnya.
"siapa kamu sebenarnya? Dan mau mu apa?" aku bertanya lagi.
Kali ini pemuda itu hanya terdiam. Sepertinya ia juga tidak berniat untuk menjawab pertanyaan ku.
Lalu siapa kah sebenarnya pemuda itu?
Dan bagaimana pula kisah ku bersama mas Baron selanjutnya?
Mungkinkah akan terjalin cinta segitiga, antara aku mas Baron dan pemuda yang belum aku kenal tersebut?
Simak kelanjutan kisahnya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.
*****
Part 3
"siapa kamu sebenarnya?" aku mengulang pertanyaaku, pada pemuda yang sudah duduk di samping ku sejak tadi.
"oke, kalau kamu memang ingin tahu. Sebenarnya aku ini teman sekolah kamu. Lebih tepatnya mantan teman sekolah kamu, karena kita sudah sama-sama lulus." balas pemuda itu akhirnya.
"mungkin kamu tak mengenali ku, karena aku selama sekolah aku memang tidak pandai bergaul. Tapi aku sudah memperhatikan mu sejak lama." lanjutnya.
"untuk apa kamu memperhatikan aku? Sementara kita tak saling kenal." tanya ku.
"sebenarnya aku sudah berusaha untuk mendekati kamu. Tapi kamu orangnya cuek. Aku memperhatikan kamu, karena aku.... aku suka sama kamu.." balas pemuda itu lugas.
"maksud kamu?" tanya ku heran.
"iya... aku suka sama kamu. Aku jatuh cinta sama kamu. Sebenarnya aku malu mengakui ini, apa lagi kita bahkan belum saling kenal. Tapi aku tidak ingin ini semua lebih lama lagi. Aku hanya ingin kamu tahu..." balas pemuda itu pelan.
"oh, ya. Nama ku Arya. Sekedar kamu tahu aja. Meski mungkin itu gak penting bagi kamu." lanjutnya lagi.
"kenapa kamu cukup berani untuk mengungkapkan itu semua, sementara aku tak mengenal kamu?" aku bertanya kembali, benar-benar ingin tahu.
"justru karena kamu tidak mengenali ku, aku jadi berani untuk mengungkapkannya. Setidaknya sekali pun kamu akan membenci ku, aku tidak perlu merasa malu." jelas pemuda yang mengaku bernama Arya tersebut.
"aku tidak akan membenci kamu. Aku sangat menghargai kejujuran mu. Hanya saja, aku benar-benar belum mengenal kamu. Bagaimana mungkin aku bisa tahu perasaan ku sama kamu saat ini." ucapku.
"mungkin kita bisa lebih saling mengenal, kalau kamu gak keberatan. Kita bisa berteman terlebih dahulu, dan jika nanti kamu memang tidak tertarik padaku, kamu bisa mundur." balas Arya.
Aku menatap pemuda itu sekali lagi. Wajahnya lumayan tampan, hanya saja ia terlihat sedikit kurus, meski ia tetap terlihat kekar. Secara fisik Arya tidak terlalu mengecewakan. Tapi fisik tidak selalu menjadi tolak ukur bagi ku untuk menyukai seseorang.
"baiklah, Arya. Mungkin kita memang harus saling mengenal lebih dekat lagi." ucapku akhirnya.
Dan begitulah, di saat aku sangat merasa kecewa akan penolakan mas Baron, tiba-tiba Arya hadir dengan membawa cintanya dari masa lalu. Aku pun mencoba mengakrabkan diri dengan Arya. Mencoba mengenalinya lebih dekat.
Arya saat ini ternyata sudah kuliah. Ia merupakan anak seorang pengusaha kaya. Kehidupannya secara ekonomi memang sangat mapan. Selama sekolah, aku memang hampir tidak mengenalnya. Padahal kelas Arya bersebelahan dengan kelas ku.
Tapi itu semua sudah tidak penting lagi, Arya juga baru berani mendekati ku sekarang. Dan aku baru menyadari, kalau selama ini ada yang diam-diam menyukai ku.
Arya merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya laki-laki, sedang kuliah semester akhir. Adiknya perempuan, masih SMA.
Karena aku sudah tidak pernah lagi datang ke tempat mas Baron, aku jadi punya waktu untuk bisa bersama Arya. Arya jadi sering mengajak ku jalan. Makan-makan, atau sekedar nonton di bioskop.
Terus terang, kehadiran Arya mengisi hari-hari ku, cukup membuat aku merasa terobati akan kekecewaan ku terhadap mas Baron. Aku jadi jarang mengingat mas Baron sekarang, karena Arya selalu bisa membuat aku tersenyum.
Kedekatan ku dengan Arya, benar-benar mampu mengobati luka ku. Mampu menepis rasa kesepian ku. Mampu mengisi kekosongan hati ku. Meski tidak bisa aku pungkiri, kalau sampai saat ini, aku masih mencintai mas Baron.
Berbulan-bulan aku dan Arya berteman dekat. Perlahan aku pun mulai membuka hati ku untuk Arya. Cinta Arya yang terasa begitu tulus, mampu mencairkan hati ku yang membeku. Tapi ternyata tak mudah bagi ku, untuk menerima kehadiran laki-laki lain dalam hatiku, karena bayangan mas Baron masih terus melintas di benak ku.
Hanya saja aku menyadari, kalau aku tidak mungkin lagi bisa mengharapkan mas Baron. Dia mungkin sudah melupakan ku. Dan aku harus bisa menghapus namanya di hati ku.
*****
Waktu terus berlalu, aku dan Arya pun semakin dekat dan akrab. Sudah berkali-kali Arya coba mengungkapkan perasaannya padaku. Tapi aku selalu berusaha untuk meminta waktu padanya. Aku belum benar-benar bisa menerima kehadirannya dalam hati ku. Aku masih ragu.
Aku takut, Arya hanya akan jadi pelarian bagiku, atas kekecewaan ku terhadap mas Baron. Aku takut, aku tak akan pernah bisa mencintanya, karena aku masih sering memikirkan mas Baron.
Aku tak berniat untuk menceritakan tentang mas Baron kepada Arya. Aku tak ingin ia tahu. Meski pun Arya selalu mendesak ku untuk mengungkapkan alasan ku sebenarnya, meminta waktu padanya.
"aku tidak bisa menjelaskannya padamu, Arya. Namun yang pasti, untuk saat ini, aku belum bisa menerima cinta kamu." begitu selalu alasan ku pada Arya, setiap kali ia bertanya tentang hal tersebut.
"tapi aku butuh kepastian, Reyhan. Aku gak mungkin selamanya kamu gantung seperti ini kan? Kita sudah dekat lebih dari enam bulan. Dan aku selalu sabar menunggu selama enam bulan ini. Tapi kamu tak pernah memberi aku kepastian." ucap Arya lirih.
"maafkan aku, Arya. Jika kamu merasa bosan menunggu ku, kamu boleh pergi kok. Aku gak apa-apa. Tapi jangan paksa aku untuk menjawabnya sekarang." balasku pelan.
"aku akan pergi, Rey. Dan jika kamu berubah pikiran, kamu tahu harus mencari aku dimana." ucap Arya kemudian.
Aku berusaha untuk tidak menanggapi ucapan Arya barusan. Meski sebenarnya aku merasa berat harus membiarkan Arya pergi. Tapi aku juga tidak mungkin memaksanya untuk tetap tinggal, sementara aku belum bisa memberikan kepastian kepadanya.
Kadang aku merasa benci dengan diriku sendiri. Entah mengapa aku masih mengharapkan mas Baron. Padahal sudah jelas-jelas mas Baron tak menginginkan ku. Sementara Arya hadir dengan cintanya yang tulus, tapi aku justru mengabaikannya.
****
Arya akhirnya pergi. Dia tak pernah lagi menemui ku. Dan tiba-tiba saja aku merasa kehilangan. Kehadiran Arya selama ini telah mampu mengisi kesepian hati ku. Namun sekarang, Arya telah pergi. Ia pergi dengan membawa kekecewaanya pada ku.
Hingga sebulan kemudian, semenjak kepergian Arya dari hidupku. Sebuah keajaiban pun terjadi dalam hidupku.
Mas Baron tiba-tiba menghubungiku melalui ponselnya. Ia meminta aku untuk datang ke rumahnya.
Dengan perasaan berat aku mencoba memenuhi permintaan mas Baron. Sudah lebih dari tujuh bulan, aku tak pernah bertemu mas Baron. Sebenarnya aku sangat merindukannya. Tapi selama ini, aku hanya bisa memendamnya.
Sekarang mas Baron tiba-tiba meminta aku untuk datang menemuinya. Aku tak berani untuk sekedar menduga, gerangan apa yang membuat mas Baron tiba-tiba meminta aku datang ke rumahnya.
Mungkinkah ia sudah berubah pikiran? Atau kah mungkin ada hal lain?
Sesampai di rumah mas Baron, aku di minta mas Baron untuk langsung masuk ke kamarnya. Dengan perasaan masih penuh tanya, aku melangkah masuk ke kamar mas Baron.
Saat aku masuk ke dalam kamar mas Baron, aku sangat merasa kaget.
"Arya?" sapa ku heran, saat ku lihat Arya sedang duduk di ranjang mas Baron. "kenapa kamu bisa berada di sini? Bagaimana kamu bisa mengenal mas Baron?" tanyaku bertubi-tubi.
"kamu tanyalah sama mas Baron mu itu.." jawab Arya santai, sambil sedikit tersenyum.
Aku mengalihkan pandangan ku, menatap mas Baron yang berdiri tepat di samping Arya. Menatapnya penuh tanya.
"aku hanya ingin tahu, seberapa besar sebenarnya kamu mencintaiku." ucap mas Baron tiba-tiba.
Aku mengerutkan kening mendengar kalimat tersebut. Aku benar-benar tidak mengerti.
"sebenarnya aku sudah tahu sejak awal, kalau kamu berusaha mendekati ku, karena kamu memang menginginkan ku. Tapi aku tidak begitu yakin, kalau kamu benar-benar mencintaiku. Aku hanya takut, kalau perasaanmu padaku, hanya sebuah ketertarikan secara fisik. Jadi aku tidak langsung percaya, saat kamu mengungkapkan perasaanmu padaku."
"karena itu, aku menolakmu, seolah-olah aku tidak punya perasaan apa-apa sama kamu. Namun diam-diam, aku meminta Arya untuk mendekati mu. Untuk mencoba merebut hati mu. Tapi ternyata kamu tidak tergoda sedikit pun. Hal itu membuat aku sadar, kalau kamu memang benar-benar tulus mencintai ku." jelas mas Baron panjang lebar.
"lalu bagaimana mas Baron bisa mengenal Arya?" tanya ku ingin tahu.
"aku mengenal Arya, jauh sebelum kita saling kenal. Kami pernah dekat. Dan sebenarnya kami juga saling tertarik. Tapi karena kami sama-sama top, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan kami. Tapi kami tetap berteman, makanya aku meminta Arya untuk membantu ku mendekati mu. Hanya sekedar untuk membuktikan, kalau kamu benar-benar mencintaiku." jelas mas Baron.
"jadi selama ini mas Baron juga 'sakit'?" tanyaku sedikit menekan suara.
"sejak aku bercerai dari istri ku, aku pun mulai berubah haluan. Namun selama ini, aku belum pernah benar-benar berhubungan dengan laki-laki. Saat berkenalan dengan Arya, aku pun menyadari kalau aku menyukainya, tapi karena kami sama-sama top, hubungan kami tidak berlanjut. Sampai akhirnya aku bertemu kamu, Rey. Dan aku pun menyadari kalau aku merasa tertarik sama kamu." jelas mas Baron lagi.
Aku benar-benar tidak menyangka sama sekali semua ini. Aku juga tidak tahu mengapa mas Baron harus melakukan hal tersebut.
"oke... sekarang saatnya saya pergi. Kalian silahkan lanjutkan ya..." tiba-tiba Arya berucap, sambil ia mulai berdiri.
"kamu mau kemana?" tanya mas Baron pada Arya, yang mulai melangkah keluar. "bukankah lebih baik kalau kita melakukannya bertiga?" mas Baron melanjutkan.
"emangnya mas Baron rela, harus berbagi Reyhan dengan ku?" ucap Arya membalas, sambil terus berlalu pergi.
****
"kenapa mas Baron harus melakukan ini semua padaku?" tanyaku akhirnya, setelah kami hanya tinggal berdua di dalam kamar tersebut.
"seperti yang aku katakan tadi, Rey. Aku hanya ingin membuktikan sebesar apa sebenarnya kamu mencintai ku." balas mas Baron.
"iya, tapi kenapa?" tanyaku lagi.
"karena ... jika aku memutuskan untuk berpacaran sama kamu, Rey. Akan banyak hal yang harus aku korbankan. Jadi aku tidak ingin mengorbankan hidupku, untuk orang yang hanya mencintaiku karena fisik. Aku harus benar-benar yakin, kalau kamu adalah orang yang tepat untuk menemaniku menghabiskan sisa hidupku." jelas mas Baron, terdengar serius.
"tapi apa iya harus sampai segitunya ya, mas?" tanyaku lagi.
"iya, dan itu setimpal kan?" balas mas Baron.
"bagaimana kalau seandainya aku benar-benar tergoda oleh Arya?" aku bertanya lagi, sekedar ingin tahu.
"itu berarti kamu bukan orang yang tepat untukku, simple kan?" balas mas Baron.
"jadi mas Baron benar-benar mencintai ku?" tanyaku kemudian.
"jika aku tidak benar-benar mencintaimu, Rey. Aku tidak perlu melakukan semua itu." timpal mas Baron terdengar yakin.
Dan aku kembali terdiam. Mencoba memahami semua cerita yang di ungkapkan mas Baron. Meski akal sehat belum benar-benar bisa menerima semua itu, tapi setidaknya sekarang aku sudah tahu, kallau mas Baron juga mencintai ku. Dan itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku tak peduli, seperti apa pun cara mas Baron untuk membuktikan perasaannya padaku, yang penting aku ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
"jadi... apa kamu mau menjadi pacar ku?" tanya mas Baron tiba-tiba.
"masihkah hal itu harus di pertanyakan, mas? Bukankah mas Baron sudah tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya?" balasku pelan.
"aku hanya ingin memastikan, kalau kamu gak marah akan tindakan ku tersebut." ucap mas Baron.
"aku sih sebenarnya marah, mas. Mas Baron telah mempermainkan perasaan ku. Tapi aku tidak pernah benar-benar bisa marah, kepada orang yang paling aku cintai di dunia ini." balasku penuh perasaan.
"tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan lagi sama mas Baron." ucapku melanjutkan.
"apa?" tanya mas Baron singkat.
"kenapa mas Baron tadi menawarkan pada Arya untuk kita melakukannya bertiga? Emangnya aku ini cowok apaan?" tanyaku sedikit cemberut.
"karena ternyata Arya juga telah jatuh cinta sama kamu, Rey. Namun karena ia tahu, bagaimana perasaan mu padaku, ia memilih untuk menyerah." jelas mas Baron.
"kalau begitu, aku juga mau melakukannya bertiga sama Arya..." ucapku sedikit menggoda.
"kamu jangan macam-macam ya, Rey. Langkahi dulu mayat ku, jika ada yang coba merebut kamu dari ku." balas mas Baron terdengar tegas.
Ah, betapa aku merasa bahagia mendengar itu semua. Mas Baron rela mati untuk bisa mempertahankan ku. Cinta seperti itulah yang aku dambakan selama ini. Cinta yang rela mengorbankan apa saja untuk bisa bersama. Cinta yang penuh perjuangan.
"bagi ku, mas Baron sudah lebih dari cukup. Jadi aku tidak butuh siapa pun lagi dala hidup ku. Tidak Arya, dan tidak siapa pun. Hanya mas Baron seorang." tegasku berucap.
"aku juga tidak butuh siapa pun lagi, Rey. Cukup kamu seorang. Dan kita akan mengarungi indahnya cinta bersama, sampai kita menua." balas mas Baron penuh perasaan.
Kebahagiaan terus menjalari setiap aliran darah ku. Cinta ini terasa begitu indah. Cinta ini terasa begitu sempurna. Dan aku selalu berharap, semoga cinta ku dan mas Baron tetap bertahan selamanya.
Ya, semoga saja...
Terima kasih sudah menyimak kisah ini, dari awal sampai akhir, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi pada kisah-kisah lainnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih