Dewa terlihat menarik napas dalam, kemudian ia hempaskan dengan berat. Seperti ada beban yang ingin ia lepaskan. Aku masih menatapnya dengan rasa tak percaya.
"aku tahu ini berat bagi kamu, Roy. Tapi aku memang harus pergi. Dan asal kamu tahu, ini juga tidak mudah bagi ku..." suara Dewa terdengar serak.
"tapi apa tidak ada cara lain, Wa? Apa hanya itu satu-satunya cara?" tanya ku bergetar.
"permintaan orangtua ku sudah bulat, Roy. Dan jika aku tidak memenuhinya, mereka pasti akan sangat kecewa." jelas Dewa kemudian.
"bukan itu maksud ku, Dewa. Aku tidak masalah jika kamu memang harus kuliah ke Jerman, atau kemana pun. Tapi kenapa kamu harus mengakhiri hubungan kita, hanya karena kita akan terpisah oleh jarak dan waktu? Padahal semua itu tidak akan mengubah perasaan ku padamu.." kali ini aku berucap sambil sedikit tertunduk. Hati ku mulai meragu.
Aku dan Dewa memang sudah menjalin hubungan asmara lebih dari dua tahun. Sejak kami duduk di kelas dua SMA. Berawal dari sebuah hubungan persahabatan.
Aku dan Dewa kenal, karena kebetulan kami masuk di SMA yang sama. Kami satu kelas dan duduk bersebelahan. Semakin hari kami semakin dekat dan akrab. Kedekatan kami ternyata mampu menumbuhkan sebuah rasa di antara kami. Sebuah rasa yang tidak bisa kami cegah.
Kami saling tertarik, dan akhirnya saling jatuh cinta. Karena itu, ketika kami naik ke kelas dua, kami pun akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan cinta. Meski di mata orang-orang, kami hanyalah dua orang sahabat.
Tapi kami selalu punya kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Kadang-kadang, Dewa sengaja menginap di rumah ku, dan begitu juga sebaliknya. Kedua belah pihak keluarga kami juga sangat mendukung persahabatan kami. Dewa sudah sangat dekat dengan keluarga ku, terutama dengan ibu ku. Aku juga sudah dekat dengan keluarga Dewa.
Dewa adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kaya. Mama nya juga seorang wanita karir yang cukup sukses. Kehidupan Dewa memang terbilang cukup mewah. Namun Dewa bukanlah anak manja. Dia juga tidak suka memamerkan harta orangtua nya.
Selain itu, Dewa juga seorang anak yang penurut. Dia juga sangat pintar di sekolah. Karena itulah, orangtua nya sangat ingin Dewa kuliah ke luar negeri, tepatnya ke negera Jerman.
Sebenarnya, aku juga sangat mendukung hal tersebut. Aku juga ingin Dewa bisa menggapai cita-citanya dan impiannya selama ini.
Hanya saja, aku tidak ingin Dewa mengakhiri hubungan kami, hanya karena itu. Hanya karena jarak yang akan memisahkan kami.
"tapi hubungan yang terpisah oleh jarak dan waktu, tidak akan bertahan lama, Roy. Aku tidak ingin kita merasa tersiksa akan hal itu. Aku hanya ingin yang terbaik untuk hubungan kita." ucap Dewa tiba-tiba sedikit mengagetkan ku.
"yang terbaik?" tanya ku heran, "yang terbaik untuk kita saat ini adalah, kita tetap berhubungan meski jarak dan waktu akan memisahkan kita, Wa...." balasku pelan.
"tapi, Roy..." sela Dewa terputus.
"atau jangan-jangan, kamu ingin mengakhiri hubungan kita, bukan karena itu..." potong ku tiba-tiba.
"kamu ngomong apa sih, Roy? Kamu jangan memperburuk keadaan deh.." balas Dewa sedikit meninggi.
"tapi alasan kamu gak masuk akal, Dewa." ucapku membalas.
"gak masuk akal apanya? Bukankah semua itu demi kebaikan kita juga?" balas Dewa lagi.
"demi kebaikan kita? Bukannya demi kebaikan kamu? Agar kamu bisa lebih leluasa di sana?" ucapku sedikit ketus.
"tuh kan? Kamu selalu... aja curiga sama aku." balas Dewa.
"gimana aku gak curiga? Kamu ingin kita putus, di saat kamu akan kuliah ke Jerman. Itu bukan alasan yang masuk akal, Dewa. Apa salahnya sih, kita menjalin hubungan jarak jauh?" timpal ku kemudian.
"gak ada yang salah, Roy. Gak ada yang salah dengan hubungan jarak jauh. Tapi sejujurnya aku gak sanggup. Jika kita tetap berhubungan, itu akan membuat aku merasa tersiksa dengan semua rindu ku padamu. Dan aku pasti gak bakal kuat." ucap Dewa terdengar lirih.
"kita kan masih bisa telpon-telponan, Dewa. Video call, atau apalah. Yang penting kita masih bisa tetap berhubungan." balas ku pelan.
"itu yang aku gak bisa, Roy. Aku gak bisa jauh-jauh dari kamu." ucap Dewa.
"kalau begitu, kamu batalkan saja kuliah mu ke Jerman itu.." timpalku lagi.
"yah... gak bisa gitu juga dong, Roy. Orangtua ku pasti akan sangat marah pada ku. Kamu harusnya ngerti posisi ku saat ini. Ini bukan hal yang mudah bagi ku." ucap Dewa lagi.
"lalu apa salahnya jika kita tetap berhubungan?" tanyaku pilu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran Dewa saat ini. Jika ia benar-benar mencintai ku, mengapa ia ingin kami putus? Mengapa ia tak ingin menjalin hubungan jarak jauh dengan ku?
"terserah kamu, Roy. Tapi saat aku sudah berada di Jerman nanti, aku menganggap kalau hubungan kita sudah berakhir.." ucap Dewa akhirnya.
Setelah berucap demikian, Dewa pun segera berdiri dan berlalu pergi dari hadapan ku. Aku masih terpaku dengan perasaan yang masih tidak mengerti dengan keputusan Dewa tersebut.
****
Dewa akhirnya benar-benar pergi. Ia tak pernah lagi menghubungi ku. Ia juga tidak pamit pada ku. Ia pergi begitu saja, meninggalkan ku dengan sejuta kecewa.
Dua tahun kami berpacaran. Dua tahun yang sangat indah bagi ku. Tapi semua itu harus berakhir begitu saja. Aku masih tak percaya, kalau Dewa telah pergi meninggalkan ku.
Aku sudah coba menghubungi Dewa, tapi ia tak mengangkatnya. Pesan ku pun tidak ia balas. Dan aku semakin merasa kecewa. Hati ku sakit. Begitu mudah Dewa meninggalkan ku, tanpa memberikan aku sedikit pun kesempatan.
Kini hari-hari ku jadi terasa hampa. Aku jadi tidak punya semangat.
"kamu sudah memasukan lamaran kerja ke minimarket tersebut?" tanya ibu ku sedikit mengagetkan ku.
"sudah, buk.." balasku pelan.
"kamu yakin mau kerja di sana?" tanya ibu ku lagi.
"emangnya aku punya pilihan lain, buk?" balasku semakin pelan.
Ibu menarik napas berat, kemudian menghempaskannya perlahan.
"maafkan ibu ya, Roy. Seharusnya kamu bisa kuliah, tapi kamu sendiri kan tahu, bagaimana keadaan keluarga kita. Bapak mu sudah sering sakit-sakitan, beliau sudah tidak bisa bekerja keras lagi. Ibu juga sudah jarang dapat orderan nyuci. Sementara kedua adik-adik mu, masih butuh biaya banyak untuk sekolah mereka." ucap ibu ku terdengar lirih, yang membuat ku jadi semakin merasa perih.
Keluarga kami memang hanya keluarga yang sederhana, kalau tak mau di bilang miskin sih. Bapak ku hanya seorang buruh bangunan, dan sekarang beliau sudah sering sakit-sakitan. Sementara ibu hanya seorang buruh cuci keliling, yang tidak setiap hari dapat orderan. Kedua adik ku juga masih butuh biaya banyak untuk sekolah.
Karena itu aku harus segera mencari pekerjaan, setelah aku baru saja lulus SMA. Aku memang sudah memasukan lamaran ke sebuah minimarket yang berada tak jauh dari perumahan tempat kami tinggal, atas saran bapak ku. Kebetulan bapak punya kenalan di sana, jadi kemungkinan besar aku bisa di terima.
Terlepas dari semua beban hidup yang harus aku jalani ke depannya. Aku juga harus kehilangan orang yang sangat aku cintai. Dewa.
Saat-saat seperti ini, aku sangat membutuhkannya. Biasanya Dewa selalu ada untuk menghibur ku. Dia selalu bisa membuat aku merasa tenang dan selalu tersenyum.
Ah, tiba-tiba saja aku merasa sangat merindukan Dewa. Entah dimana ia sekarang? Entah apa kabarnya sekarang?
****
Aku pun akhirnya mulai bekerja di minimarket. Aku mulai menyibukan diri ku dengan pekerjaan ku. Aku mulai belajar untuk melupakan Dewa. Melupakan segala kenangan yang pernah terjadi di antara kami. Meski hal itu tidaklah mudah bagiku. Biar bagaimana pun, Dewa adalah cinta sekaligus pacar pertama ku.
"kamu Roy, kan? Anak baru itu?" tanya seorang laki-laki paroh baya, yang aku ketahui beliau adalah manager di minimarket tersebut. Beliau bernama Arifin.
"iya, pak." jawabku sopan.
"kamu sudah tahu tugas-tugas kamu kan?" tanya pak Arifin lagi.
"sudah, pak." balasku lagi.
"oke, kalau begitu, selamat bekerja, dan bekerjalah dengan baik." ucap pak Arifin kemudian.
"baik, pak. Terima kasih.." balasku pelan.
Pak Arifin segera berlalu dari hadapan ku. Lelaki yang aku perkirakan sudah berusia 40 tahun itu, melangkah dengan pelan. Tubuhnya cukup jangkung, mungkin sekitar 180 cm. Badannya gempal, padat dan berisi. Kulitnya putih, dengan bentuk wajah yang lumayan tampan. Lebih mirip orang barat. Mungkin ia bule. Pikir ku.
Aku pun kembali sibuk dengan pekerjaan ku. Merapikan beberapa barang, dan mulai melayani beberapa orang pengunjung.
Selain aku, ada beberapa orang pramuniaga lain yang bekerja di minimarket tersebut, dan juga dua orang kasir. Aku pun sudah berkenalan dengan rekan-rekan kerja ku tersebut.
"pak Arifin tadi bilang apa?" tanya Deni, salah satu teman kerjaku, saat pak Arifin telah berlalu.
"gak ada. Cuma mengucapkan selamat bekerja aja." balasku apa adanya.
"tumben." ucap Deni pelan, "biasanya setiap kali ia kesini, ia selalu marah-marah gak jelas." lanjutnya.
Aku berusaha untuk tidak menanggapi ucapan Deni barusan.
"kabarnya sih, meski pun sudah berusia lebih dari 40 tahun, pak Arifin itu belum menikah loh." Deni berucap lagi.
"masa' iya?" tanyaku tak percaya.
"iya... semua orang di minimarket ini juga tahu, kalau pak Arifin itu belum menikah. Padahal kehidupannya sudah sangat mapan, dan ia juga tidak jelek-jelek amat, tapi entah mengapa ia belum juga menikah?" jelas Deni kemudian.
"emang pak Arifin itu bule ya?" tanya ku mulai merasa tertarik.
"iya, dia itu keturuan Indo-Jerman. Makanya jangkung gitu." jelas Deni.
"kamu kok bisa tahu banyak tentang pak Arifin?" tanya ku sedikit menyelidiki.
"iya... kebetulan kami tinggal di kompleks yang sama." balas Deni.
"oh," aku hanya membulatkan bibir, tak berniat untuk bertanya lebih lanjut.
****
Hari-hari selanjutnya, pak Arifin semakin sering menyapa ku. Ia jadi sering mengajak aku mengobrol, terutama saat jam istirahat ku.
Aku yang awalnya merasa sedikit sungkan, tiba-tiba jadi merasa terbiasa dengan kehadiran pak Arifin. Aku juga cukup terbuka padanya, terutama tentang kehidupan keluarga ku.
"jadi bapak mu sudah gak bisa kerja lagi?" tanya pak Arifin suatu siang.
"iya... begitulah, pak." balasku sendu.
"jadi sekarang kamu yang menjadi tulang punggung keluarga mu?" tanya pak Arifin lagi.
"iya, pak. Ibu juga gak bisa kerja lagi, karena harus mengurus bapak yang sakit." jelasku pelan.
"kenapa bapak kamu gak dibawa ke rumah sakit aja?" tanya pak Arifin kemudian.
"kami gak punya biaya nya, pak. Jadi bapak berobat di rumah aja.." balasku apa adanya.
Untuk sesaat pak Arifin terdiam. Ia terlihat sedang berpikir.
"bagaimana kalau kamu bawa aja bapak kamu ke rumah sakit, nanti segala biayanya saya yang tanggung." ucap pak Arifin tiba-tiba.
"gak usah, pak. Saya jadi gak enak." balasku.
"kamu gak harus merasa gak enak, yang penting itu kesehatan bapak mu. Kalau beliau tidak segera dibawa ke rumah sakit, justru sakitnya akan semakin parah." ucap pak Arifin lagi.
"tapi, pak..." ucapku tertahan.
"udah... kamu tenang aja. Saya tulus kok, buat bantu kamu. Itung-itung sebagai bentuk perhatian dari seorang atasan kepada bawahannya." potong pak Arifin cepat.
Kali ini aku yang terdiam. Berpikir.
Kenapa pak Arifin tiba-tiba begitu baik padaku?
Kenapa ia jadi begitu peduli dengan keluarga ku? Padahal kami baru saja saling kenal.
Lalu benarkah pak Arifin tulus ingin membantu ku? Atau kah ada maksud lain dari semua itu?
Lalu bagaimana pula hubungan ku dengan Dewa selanjutnya? Mungkinkah kami akan bertemu kembali?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Part 2
Pak Arifin akhirnya benar-benar membantu ku. Ia langsung yang membawa bapak ku ke rumah sakit dengan menggunakan mobilnya. Dia juga yang menanggung semua biaya nya. Aku tak kuasa menolak hal tersebut. Selain karena aku merasa kasihan melihat bapak ku yang terlihat selalu menahan sakit, aku juga tidak berani menolak bantuan dari pak Arifin tersebut.
"terima kasih, pak Arifin. Bapak begitu baik pada keluarga ku." ucapku, saat bapak ku sudah di tangani oleh dokter di ruang perawatan. Kami ngobrol di sebuah kantin di dekat rumah sakit tersebut. Ibu ku yang menunggu di ruang tunggu rumah sakit.
"iya, sama-sama, Roy." balas pak Arifin terlihat santai.
"tapi... kenapa bapak begitu baik pada ku? Padahal kita baru saling kenal..." tanya ku kemudian.
"karena aku suka sama kamu, Roy.." jawab pak Arifin lugas.
Dan aku pun hanya bisa terdiam.
"aku jatuh cinta sama kamu, Roy. Bahkan sejak pertama kali aku melihat kamu. Karena itu aku selalu berusaha untuk mendekati kamu, dan aku berharap kamu bisa menerima ku sebagai kekasih mu." pak Arifin berucap lagi, melihat keterdiaman ku.
"tapi... tapi apa ini tidak terlalu cepat, pak. Kita baru saja saling kenal. Aku.. aku takut ini bukan cinta, tapi hanya sekedar kekaguman sesaat." balasku akhirnya.
"cinta tidak butuh waktu lama untuk bisa tumbuh dan berkembang, Roy. Tapi jika kamu memang belum siap, aku akan sabar menunggu sampai kamu benar-benar siap, Roy." ucap pak Arifin selanjutnya.
"ini bukan hanya soal siap atau tidak siap, pak. Tapi juga tentang kita yang belum benar-benar saling kenal. Dan lagi pula, aku juga belum tahu, bagaimana perasaan ku sebenarnya terhadap pak Arifin." balasku lagi.
"karena itu, aku akan memberi kamu waktu, Roy." ucap pak Arifin singkat.
"baiklah, pak. Aku akan memikirkan ini dulu. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada pak Arifin. Aku harap pak Arifin bisa mengerti." balasku pelan.
"ya udah... kalau begitu mari kita kembali ke rumah sakit..." ucap pak Arifin kemudian.
Lalu kami pun sama-sama keluar dari kantin tersebut, untuk segera menuju ke rumah sakit kembali.
****
Keadaan bapak sudah mulai membaik, setelah di rawat selama hampir seminggu. Bapak sudah di perbolehkan pulang. Dan selama bapak di rawat, pak Arifin lah yang menanggung semua biaya rumah sakit.
Pak Arifin juga memberi sejumlah uang kepada ibu, untuk biaya hidup kami sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah adik-adik ku. Terlihat sekali, kalau pak Arifin memang berusaha untuk merebut hati ku.
Sejujurnya, aku memang merasa berhutang budi kepada pak Arifin. Tapi... aku belum bisa jatuh cinta padanya. Bayangan Dewa masih terus menghantui ku setiap malam. Aku masih sering merindukan Dewa.
Namun di sisi hatiku yang lain, aku cukup sadar, kalau aku tidak bisa lagi mengharapkan Dewa. Dewa telah pergi untuk mengejar impian nya. Dan aku harus bisa melupakannya. Aku harus bisa membuka hatiku untuk kehadiran pak Arifin.
"sudah lebih dari seminggu, Roy. Apa kamu sudah punya jawabannya?" tanya pak Arifin, saat akhirnya ia mengajak ku bertemu di sebuah kafe.
"iya, pak Arifin. Aku mau. Aku mau menjalin hubungan yang lebih serius bersama pak Arifin." balasku pelan. Meski sebenarnya hati ku masih ragu.
Ada dua alasan mengapa akhirnya aku memilih untuk menerima cinta pak Arifin. Yang pertama karena aku ingin belajar untuk melupakan Dewa, dan yang kedua karena pak Arifin sudah sangat baik pada ku dan juga kepada keluarga ku. Jadi gak ada salahnya, aku mencoba menjalin hubungan asmara bersama pak Arifin.
"jadi mulai sekarang kita pacaran?" tanya pak Arifin setengah ragu.
"iya, pak. Jika hal itu bisa membuat pak Arifin bahagia." balasku ringan.
"aku memang merasa bahagia bisa menjalin hubungan bersama kamu, Roy. Aku sangat mencintai kamu." ucap pak Arifin terdengar tulus.
"iya, pak. Aku juga merasa bahagia.." balasku sekedar membuat pak Arifin merasa senang. Karena sebenarnya hatiku sendiri masih ragu. Aku tak yakin bisa mencintai pak Arifin, sementara di dalam hati ku masih ada bayang-banyang Dewa di sana.
***
Sejak saat itu, aku dan pak Arifin pun resmi menjalin hubungan asmara. Meski hubungan kami hanya sebuah rahasia. Di tempat kerja, kami berusaha untuk bersikap sewajar mungkin, sebagaimana layaknya hubungan antara atasan dan bawahannya.
Kami selalu punya waktu dan tempat untuk kami bisa menghabiskan waktu berdua, menikmati kebersamaan kami. Menikmati indahnya cinta kami.
Pelan namun pasti aku pun mulai membuka hati ku untuk kehadiran pak Arifin. Aku mulai belajar untuk mencintainya, belajar untuk menerima kehadirannya sebagai bagian dari hidup ku.
Aku mulai melupakan sosok Dewa dalam hati ku. Bagi ku ia hanyalah masa lalu. Aku telah menguburnya jauh di dasar hati ku. Semua tentang Dewa kini hanya tinggal kenangan. Aku telah memulai cerita baru bersama pak Arifin. Sebuah cerita cinta yang cukup indah.
"aku ingin mengajak kamu jalan-jalan ke negara ku.." ucap pak Arifin suatu malam, saat kami bertemu di sebuah hotel.
"ke Jerman maksud nya?" tanya ku pelan.
"iya... anggap saja kita liburan di sana. Mungkin satu atau dua minggu.." jelas pak Arifin.
"tapi aku kan kerja, pak. Aku mana bisa libur selama itu.." balas ku.
"kamu lupa ya? Aku ini kan manager kamu.. Jadi gampang lah soal itu. Kamu mau izin berapa lama pun gak akan jadi masalah..." ucap pak Arifin santai.
"ya.. terserah pak Arifin aja sih. Aku ngikut aja. Yang penting kita tetap bersama.." balasku akhirnya pasrah. Lagi pula aku juga sangat pergi berliburan ke negara Jerman.
"tapi emangnya di sana masih ada keluarg pak Arifin?" tanyaku berucap lagi.
"keluarga dekat sih gak ada.. Tapi adalah beberapa orang kerabat yang aku kenal. Kalau kedua orangtua ku emang sudah meninggal sejak lama kan? Jadi kami juga sudah tidak punya keluarga lagi di Jerman. Keluarga ku lebih banyak di Indonesia sih.." jelas pak Arifin.
"ya udah.. jadi kapan kita berangkat?" tanya ku.
"mungkin minggu depan. Kita kan harus mengurus beberapa hal dulu disini, terutama pasport nya. Nanti kalau semuanya sudah siap, kita langsung berangkat." balas pak Arifin, terdengat antusias.
"oke, pak." balasku mantap.
*****
Dan seminggu kemudian aku dan pak Arifin pun terbang ke negara Jerman. Kami sampai disana setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Sesampai disana kami langsung menyewa sebuah kamar hotel, untuk kami bisa tinggal selama beberapa hari di sana.
Hari pertama kami di sana, hanya kami habiskan di dalam kamar hotel, sekaligus untuk melepas lelah, setelah perjalanan panjang.
Tiba-tiba aku ingat Dewa. Bukankah Dewa juga kuliah di Jerman?
Tapi aku tidak tahu, dimana dan di kota mana sebenarnya Dewa kuliah. Dewa tidak pernah menceritakan hal tersebut pada ku. Aku pun berniat untuk menghubunginya. Tapi karena sudah tinggal di luar negeri, tentu saja Dewa sudah mengganti nomor ponsel nya. Karena itu aku tidak bisa menghubunginya. Aku hanya berharap bisa bertemu Dewa tanpa sengaja di sini.
Ah, entah mengapa aku masih mengharapkan cowok itu? Padahal sudah jelas-jelas ia telah meninggalkan ku, dan bahkan mungkin dia sudah melupakan ku.
Aku pun akhirnya segera menepis harapan ku untuk bisa bertemu Dewa kembali. Aku harus menikmati liburan ku bersama pak Arifin.
Pak Arifin mengajak ku berjalan-jalan ke beberapa tempat. Mengunjungi beberapa rumah kerabatnya yang masih ia kenal.
"sudah berapa lama pak Arifin tidak ke sini?" tanya ku pelan, saat kami berjalan-jalan santai mengitari taman kota.
"sebenarnya aku lahir dan tumbuh di Indonesia. Boleh di bilang aku ini asli Indonesia. Papa ku juga sudah sejak kecil tinggal di Indonesia. Jadi aku sangat jarang datang ke sini. Terakhir aku ke sini itu sudah dua puluh tahun yang lalu. Saat itu papa dan mama ku masih hidup." jelas pak Arifin.
"oh.. pantas nama bapak itu Indonesia banget ya..." sela ku.
"iya... karena yang ngasih aku nama itu, kakek ku, ayah dari mama ku. Kata mama sih, kakek tidak ingin ada embel-embel Jermannya di dalam nama ku." jelas pak Arifin lagi.
"jadi sejak kapan pak Arifin jadi seperti ini?" tanya ku mengalihkan pembicaraan.
"jadi seperti ini maksudnya?" pak Arifin balik bertanya.
"ya... jadi penyuka sesama jenis maksud ku.." jelasku singkat.
Sesaat pak Arifin terlihat menarik napas beberapa kali, kemudian ia mulai berujar,
"sebenarnya sejak remaja aku sudah menyadari nya. Tapi aku selalu berusaha memendamnya. Namun setelah aku tumbuh dewasa, tepatnya saat aku masih kuliah, aku mulai berani untuk mengekspresikan hal tersebut, terutama sejak aku mulai mengenal media sosial."
"aku mulai mencoba menjalin hubungan dengan beberapa orang laki-laki yang punya selera yang sama dengan ku. Aku mulai berpacaran dengan laki-laki. Tapi hubungan ku tidak pernah bertahan lama. Hubungan cinta ku selalu kandas."
"sejak mulai bekerja, aku mulai jarang menjalin hubungan dengan laki-laki. Selain untuk menjaga image ku sebagai seorang laki-laki, aku juga sudah mulai bosan menjalin hubungan dengan laki-laki. Aku juga ingin berubah sebenarnya, tapi ternyata hal itu tidak mudah. Aku masih saja terus memikirkan laki-laki dalam hidupku." cerita pak Arifin panjang lebar.
"lalu mengapa pak Arifin tidak coba untuk menikah?" tanyaku menyela.
"karena aku tidak ingin menjadi orang yang munafik. Aku tidak ingin menjadi orang yang berpura-pura mencintai istri ku nantinya, padahal aku justru mencintai laki-laki. Aku juga tidak ingin menyakiti perasaan istri ku nantinya, saat ia tahu kalau aku tidak mencintainya." jelas pak Arifin.
"karena itu aku memilih untuk tetap hidup sendiri, meski banyak yang menginginkan aku untuk segera menikah. Aku berusaha untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Aku bertekad untuk berubah. Hingga akhirnya aku bertemu kamu, Roy."
"sejak bertemu kamu, aku kembali merasakan jatuh cinta. Tapi rasanya kali ini beda. Cinta yang tumbuh di hati ku untuk kamu itu beda, Roy. Kamu istimewa, dan aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku ingin kamu menjadi pacar terakhir ku." cerita pak Arifin lagi.
Dan entah mengapa, aku merasa bahagia mendengar hal tersebut. Mungkin karena pak Arifin mengungkapkannya dengan penuh perasaan.
****
Setelah lebih dari seminggu berada di negara Jerman, kami pun akhirnya kembali ke Indonesia.
Kami mulai melakukan aktivitas kami kembali. Aku mulai bekerja lagi, setelah lebih dari seminggu aku tidak masuk kerja.
Hari-hari kembali berlalu dengan indah. Hubungan ku dengan pak Arifin juga semakin erat. Tidak ada waktu yang kamu lewati tanpa kebahagiaan.
Sudah hampir dua tahun, aku dan pak Arifin menjalin hubungan asmara. Dua tahun yang sangat indah. Dua tahun yang penuh kesan. Apa lagi, pak Arifin memperlakukan ku dengan sangat istimewa.
Setelah lebih dari dua tahun, tiba-tiba aku bertemu Dewa kembali.
Yah, Dewa tiba-tiba muncul lagi dalam hidup ku. Dia telah pulang dari Jerman.
"apa kabar?" tanya Dewa, saat akhirnya ia datang ke rumah ku.
"kabar baik." jawabku sesantai mungkin, "kamu?" tanyaku melanjutkan.
"baik juga," balas Dewa pelan.
"jadi gimana Jerman?" tanya ku kemudian.
"yah.... begitulah.. aku harus melewati dua tahun terberat dalam hidup ku..." balas Dewa.
"maksud kamu?" tanya ku heran.
"selama dua tahun, aku harus berusaha untuk bisa memendam semua kerinduan ku padamu, Roy." ucap Dewa lirih.
"lalu kenapa kamu tidak mencoba untuk menghubungi ku?" tanya ku lagi.
"karena jika aku menghubungi kamu, aku pasti bakalan semakin sakit." jelas Dewa.
Dan kali ini aku pun terdiam. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Entah aku merasa bahagia bisa bertemu Dewa kembali. Entah aku merasa takut. Takut kalau Dewa tahu, aku telah melupakannya dan menggantikan sosoknya dengan pak Arifin.
Lalu seperti apakah kelanjutan dari kisah ini?
Haruskah aku memilih antara Dewa atau pak Arifin?
Simak kelanjutannya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini ya..
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Part 3
"aku masih mencintai kamu, Roy. Maukah kamu memulai semuanya lagi dari awal?" suara Dewa terdengar berat.
"maaf, Dewa. Aku gak bisa." balasku hati-hati.
"kenapa? Jangan bilang kalau kamu sudah gak cinta lagi pada ku?" Dewa sedikit mengerutkan kening.
"setelah dua tahun kamu pergi tanpa kabar, Dewa. Aku tidak tahu lagi apa yang aku rasakan saat ini terhadap kamu. Mungkin sebagian hati ku masih mengharapkan kamu, namun sebagian hati ku yang lain sudah di tempati oleh sosok pria lain. Maafkan aku..." balasku masih berusaha untuk hati-hati.
Biar bagaimana pun aku harus tetap menjaga perasaan Dewa. Tapi aku juga tidak ingin berbohong padanya. Aku ingin Dewa tahu, kalau saat ini aku sudah bersama orang lain.
"jadi kamu sekarang sudah punya pacar baru?" suara Dewa terdengar lirih.
"iya... begitulah, Dewa. Sekarang aku bukan Roy yang dulu lagi. Aku sudah bersama orang lain." balasku pelan.
"jadi aku sudah terlambat?" Dewa bertanya lagi.
"seandainya saja waktu itu, kamu lebih memilih untuk tetap mempertahankan hubungan kita, meski kita harus terpisah oleh jarak dan waktu, tentu saja sampai saat ini aku masih tetap setia padamu, Dewa." ucapku berusaha mengingatkan Dewa, kalau semua ini berawal dari kesalahannya sendiri.
"maafkan aku untuk itu, Roy. Maafkan aku untuk semuanya. Aku memang salah. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, bahwa hingga detik ini, aku masih sangat mencintai kamu. Aku masih selalu setia sama kamu, Roy." Dewa berucap lagi.
Untuk sesaat aku hanya bisa menarik napas beberapa kali. Aku tidak benar-benar tahu, siapa yang salah dalam hal ini.
Salahkan Dewa yang memilih untuk memutuskan kami, hanya karena ia harus melanjutkan kuliahnya ke luar negeri? Lalu kemudian ia kembali lagi, dengan masih membawa cinta yang sama.
Atau salahkah aku yang dengan begitu mudah melupakan Dewa, dan menerima kehadiran pak Arifin yang memiliki cinta yang begitu tulus, selain itu dia juga sudah membantu aku dan keluarga ku.
Atau mungkinkah aku harus menyalahkan pak Arifin yang hadir pada saat yang tepat. Pak Arifin yang hadir pada saat aku merasa rapuh?
Atau sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini.
Satu-satunya yang mungkin bisa di persalahkan, hanyalah cinta yang tumbuh di antara aku, Dewa dan pak Arifin. Ya.. hanya itu.
****
"aku perhatikan beberapa hari ini, kamu lebih sering melamun, baik di tempat kerja mau pun saat kita berdua seperti ini. Ada apa?" tanya pak Arifin suatu malam padaku, saat kami bertemu kembali di sebuah kamar hotel, seperti biasa.
"aku lagi bingung, pak.." balas ku lemah.
"bingung? Bingung kenapa?" tanya pak Arifin perhatian.
"mantan pacarku pengen balikan lagi, pak." balasku jujur.
"terus kamu mau?" suara pak Arifin sedikit tercekat.
"ya gak lah, pak. Aku kan sudah bersama pak Arifin." balasku.
"jadi masalahnya apa? Apa kamu masih mencintai dia?" tanya pak Arifin curiga.
"ini bukan soal apa aku masih mencintai dia atau tidak, pak. Tapi ... aku hanya merasa bersalah.." balasku serak.
"kenapa kamu harus merasa bersalah? Bukankah dia sudah menjadi mantan mu?" pak Arifin bertanya lagi.
"karena kami putus bukan karena ada masalah. Tapi hubungan kami harus berakhir karena dia harus pergi kuliah ke luara negeri. Dan sekarang ia sudah kembali. Dia masih mencintai ku, meski sudah lebih dari dua tahun, kami tak ada komunikasi apa pun. Hal itu membuat aku sadar, kalau dia sangat mencintai ku. Dan hal itulah yang membuat aku merasa bersalah." jelasku apa adanya.
"bukan salah kamu, dong. Kalau kamu memilih untuk berhenti mencintainya. Karena pada kenyataannya selama lebih dari dua tahun ia pergi tanpa kabar. Jadi wajar kalau perasaan kamu berubah." ucap pak Arifin sedikit terdengar tegang.
"tapi kenyataannya, perasaannya padaku tidak berubah sama sekali. Dia masih tetap mencintai ku. Sementara aku..." aku sengaja menggantung kalimatku, karena aku yakin pak Arifin pasti mengerti maksud ku.
"apa kamu yakin, kalau dia selalu setia selama ia berada di luar negeri, di Jerman lagi. Godaannya di sana pasti kuat. Bisa saja ia sebenarnya sudah berpaling dari mu selama ia di Jerman. Namun karena ia sudah kembali lagi ke sini, dia berusaha untuk mendapatkan kamu kembali. Kamu gak harus percaya begitu saja dong." ucap pak Arifin membalas.
Untuk sesaat aku pun terdiam. Aku mulai berpikir, bisa saja pak Arifin benar. Terbukti selama lebih dari dua tahun, Dewa tak pernah menghubungi ku sama sekali. Jika ia memang selalu mencintai ku, pastinya ia akan berusaha untuk menghubungi ku. Setidaknya untuk sekedar mengetahui kabar ku.
"lalu gimana sekarang?" tanya pak Arifin tiba-tiba melihat keterdiaman ku.
"gimana apanya?" tanya ku balik.
"yah.. apa kamu punya rencana untuk balikan lagi sama dia?" pak Arifin memperjelas pertanyaannya.
"aku gak mungkin balikan lagi sama dia, pak. Itu udah pasti." jawabku tegas.
"lalu sekarang masalahnya apa?" tanya pak Arifin lagi.
"masalahnya dia masih terus berusaha untuk menghubungi ku sampai sekarang." balasku jujur.
Selama beberapa hari terakhir ini, Dewa memang semakin rajin menghubungi ku. Sekedar menanyakan keadaan ku, atau sekedar mengajak aku jalan. Meski aku tak pernah benar-benar menanggapinya.
"kamu harus lebih tegas lagi dong sama dia.." ucap pak Arifin membalas.
"iya, pak. Aku hanya ingin sekedar bercerita sama pak Arifin. Aku tak ingin pak Arifin salah sangka nantinya. Jadi lebih baik aku jujur dari sekarang..." balasku akhirnya.
Kali ini pak Arifin pun terdiam. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Entah ia masih merasa curiga padaku, entah ia sudah sepenuhnya percaya kalau aku tidak mungkin kembali kepada Dewa.
Namun yang pasti saat ini, aku memang harus bersikap tegas terhadap Dewa.
*****
"aku hanya ingin bertanya satu hal sama kamu, Dewa. Dan tolong kamu jawab dengar jujur." ucapku, ketika untuk kedua kalinya aku bertemu kembali dengan Dewa, kali ini di sebuah bangku taman.
"kamu mau bertanya apa?" balas Dewa bertanya.
"kamu yakin, kalau selama dua tahun berada di Jerman, kamu tidak pernah mengkhianati ku sama sekali?" tanya ku, entah untuk apa aku bertanya hal tersebut.
Dewa terdiam. Berpikir. Lalu ia menarik napas beberapa kali, kemudian menghempaskannya perlahan.
"aku... aku memang pernah dekat dengan seorang laki-laki selama di sana, Roy. Tapi aku tidak mencintainya. Aku mendekatinya, hanya untuk sekedar melarikan kesepian ku." jawab Dewa akhirnya.
"lalu apa kalian menjalin hubungan?" tanya ku lagi.
"sejujurnya iya... tapi sekali lagi, aku melakukan semua itu, hanya untuk memupus segala kerinduan ku padamu, Roy. Aku tak benar-benar mencintai laki-laki itu.." balas Dewa pelan.
"apa pun alasan mu, Dewa. Yang pasti hal itu sudah jelas membuktikan, kalau kamu gak se setia yang sempat aku pikirkan. Dan lagi pula itu semua sudah tidak penting lagi saat ini." ucapku kemudian.
"tapi seandainya, aku tidak menceritakan hal tersebut padamu, apa kamu masih mau kembali padaku?" tanya Dewa.
"mungkin saja... tapi suatu hubungan yang di mulai dengan sebuah kebohongan, tidak akan pernah bertahan lama, Dewa. Jadi keputusan mu untuk jujur itu jauh lebih baik." balasku pelan.
"iya... dan aku minta maaf untuk itu..." timpal Dewa terdengar pilu.
"dan aku harap kamu tidak lagi berusaha untuk mendekati ku, Dewa. Karena aku sekarang sudah bersama orang lain. Aku harap kamu bisa melupakan ku. Anggaplah itu sebagai permintaan terakhir ku pada mu..." ucapku sedikit memohon.
"tapi aku sangat mencintai kamu, Roy. Aku gak bisa melupakan kamu begitu saja.." balas Dewa lirih.
"tapi aku bukan yang dulu lagi, Dewa. Aku gak pantas untuk kamu perjuangkan. Jadi lebih baik kamu mencari orang lain yang lebih pantas untuk mendampingi kamu. Orang yang bisa mencintai kamu, seperti kamu mencintai ku." timpal ku dengan nada penuh harap.
Kali ini Dewa hanya terdiam. Aku tahu, Dewa merasa terluka dengan semua ini. Namun ia akan semakin terluka, jika ia terus berusaha untuk mendapatkan ku lagi.
Karena biar bagaimana pun, aku tak mungkin meninggalkan pak Arifin. Dia sudah sangat berjasa padaku dan juga kepada keluarga ku. Selain itu, cinta pak Arifin padaku juga begitu tulus. Jadi tak ada satu alasan pun bagiku, untuk kembali kepada Dewa.
****
"aku ingin kembali ke Jerman." ucap pak Arifin pelan, ketika malam itu kami bertemu lagi, seperti biasa di sebuah kamar hotel.
"kenapa?" tanya ku dengan nada heran.
"aku ingin tinggal di sana, Roy. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di tanah kelahiran papaku. Dan aku sangat ingin kamu ikut dengan ku." balas pak Arifin kemudian.
"tapi ... aku punya tanggung jawab di sini, pak. Aku tak mungkin meninggalkan keluarga ku." ucapku.
"kaluarga mu tidak lagi menjadi tanggungjawab mu, Roy. Bukankah ayah mu sudah sehat seperti sedia kala, beliau sudah bisa bekerja kembali seperti biasa. Dan lagi pula, jika kamu memang ingin membantu keluaga mu, kamu bisa mengirimi mereka uang setiap bulannya." balas pak Arifin berusaha meyakinkan ku.
"disana kita bisa hidup bebas, Roy. Kita bebas membangun cinta kita di sana. Tanpa rasa was-was. Kita akan menikah, dan membentuk rumah tangga kita berdua. Tak ada yang melarang hal tersebut di sana." lanjut pak Arifin berucap, masih dalam upaya nya untuk meyakinkan ku.
Aku tahu, alasan pak Arifin sebenarnya mengajak aku pindah ke Jerman. Aku yakin, ia merasa khawatir, kalau aku akan kembali lagi pada Dewa. Karena itu, ia berusaha untuk menjauhkan aku dari Dewa.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Aku juga setuju. Lagi pula, aku juga ingin merasakan bisa menjalin hubungan yang bebas bersama pak Arifin. Aku juga ingin merasakan hidup di negara orang lain. Dan aku berharap, aku bisa selamanya hidup bersama pak Arifin, dalam sebuah ikatan cinta yang indah.
Karena itu, aku pun akhirnya menyetujui keputusan pak Arifin tersebut. Dan pak Arifin tentu saja terlihat bahagia dengan semua itu.
Akhirnya, setelah meminta izin kepada orangtua ku, dengan alasan aku mendapatkan pekerjaan di sana, aku dan pak Arifin segera mengurus segala sesuatunya, untuk kami bisa pindah ke Jerman.
Dan begitulah akhir kisah cinta ku bersama Arifin. Kami akhirnya hidup berbahagia di Jerman.
Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi pada kisah-kisah lainnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih