Namaku Rafif. Aku seorang laki-laki yang sudah berusia 21 tahun saat ini. Aku kuliah di sebuah fakultas swasta. Aku mengambil jurusan teknologi dan informatika.
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak perempuanku sudah menikah dan sudah punya seorang anak perempuan.
Kakakku menikah dengan seorang laki-laki yang bekerja di sebuah perusahaan swasta.
Karena belum mempunyai rumah sendiri, kakakku dan suaminya beserta sang anak, masih tinggal serumah dengan kami.
Rumah kami cukup besar untuk menampung kami semua. Dirumah ada ayah, Ibu, aku dan keluarga kecil kakakku. Kehidupan kami berjalan dengan baik. Secara ekonomi, kami juga tidak pernah merasa kekurangan. Demikian juga kakakku dan suaminya, kehidupan rumah tangganya terlihat harmonis.
Abang iparku, namanya bang Abe, seorang laki-laki yang sangat tampan menurutku, tubuhnya atletis dan kekar. Dadanya ditumbuhi bulu-bulu halus yang tipis. Aku sering memperhatikannya dari kejauhan, saat bang Abe sering keluar kamar, dengan hanya bertelanjang dada.
Entah mengapa akhir-akhir ini, aku jadi sering memikirkan bang Abe, abang iparku tersebut. Aku selalu berkhayal tentangnya. Aku selalu melamunkan, bisa berada dalam dekapan tubuh kekarnya itu.
Sudah lebih dari dua tahun aku merasakan hal tersebut. Sejak lulus SMA, dan mulai kuliah. Rasa kagumku kepada bang Abe, kian hari kian tak bisa ku bendung. Namun selama ini aku hanya bisa memendam semua rasa itu. Rasanya sangat mustahil, aku bisa mendapatkan bang Abe, walau dengan alasan apapun. Yang bisa aku lakukan sampai saat ini, hanyalah mengkhayalkan tubuh atletisnya di hampir setiap malamku.
Hingga pada suatu malam, saat itu hanya ada aku dan bang Abe dirumah. Ayah, Ibu dan kakakku beserta anaknya, pulang ke kampung, karena ada keluarga yang melaksanakan pesta pernikahan disana. Aku tidak bisa ikut, karena ada ujian di kampus. Begitu juga abang iparku, ia tidak bisa ikut, karena tidak mendapat izin dari atasannya.
Malam itu hujan sangat lebat, diiringi suara gemuruh petir yang bertubi-tubi. Aku terdiam sendiri di kamarku. Rasa takut mulai menyerangku. Sejak kecil aku memang menderita penyakit fobia, yakni rasa takut yang teramat sangat ketika mendengar suara petir menggelegar, terutama pada malam hari.
Biasanya jika hujan yang sangat deras seperti malam ini, aku akan berlari ke kamar Ibu dan tertidur disana hingga hujan reda.
Namun malam ini, Ibu tidak ada dirumah. Mereka kemungkinan akan pulang pada esok malam. Sementara hujan semakin lebat, dan suara petir terus saling bersautan di luar.
Aku menggigil ketakutan. Sendiri membuatku semakin merasa takut. Aku tidak tahu harus berlari kemana.
Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk mengetuk pintu kamar bang Abe. Mungkin dia sudah tertidur, namun aku tidak peduli. Aku hanya butuh tempat untuk berlindung.
Setelah mengetuk pintu kamar dengan keras beberapa kali. Beberapa saat kemudian, kulihat pintu kamar terbuka. Bang Abe berdiri menatapku, ia hanya memakai celana pendek dan bertelanj4ng d4da.
Darahku berdesir tiba-tiba, melihat pemandangan indah di depanku. Dada bang Abe benar-benar bid4ng dan k3kar, Bulu-bulu halus itu menambah keindahannya. Bulu-bulu itu, bahkan sampai ke sekitaran p3rut dan pus4r bang Abe.
Aku mendekap tubuhku sendiri dengan erat, karena merasa dingin dan juga merasa sangat takut. Aku malam itu hanya memakai baju tidur tipis transparan, sehingga celana dalamku kelihatan.
"Rafif? Ada apa?" tanya bang Abe dengan kening berkerut.
"Rafif takut, bang..." jawabku dengan suara bergetar.
Aku yakin bang Abe sudah tahu, kenapa aku merasa takut. Aku yakin, kakakku sudah menceritakan tentang penyakit fobia-ku. Karena tak lama kemudian, bang Abe menarik tanganku masuk.
"ya udah kamu tidur disini aja.." ucap bang Abe sambil menutup dan mengunci pintu kamar.
aku masuk ke dalam dan segera membaringkan tubuhku di ranjang, sambil terus mendekap tubuhku ketakutan. Suara gelegar semakin keras di luar, ketakutanku semakin menjadi. Tubuhku gemetaran.
Entah karena merasa kasihan melihatku yang katakutan, tiba-tiba bang Abe berbaring di sisiku. Ia melingkarkan tangannya di tubuhku yang ramping. Aku merasa h4ngat dan nyaman. Tubuh kek4r bang Abe benar-benar membuatku merasa tenang. Aku pun repleks menyandarkan kepalaku di dada bidang bang Abe yang berbulu itu. Bulu-bulu tersebut menyentuh pipiku dengan lembut. Bang Abe membiarkanku melakukan hal tersebut, mungkin ia merasa kasihan melihatku yang ketakutan dan menggigil.
Cukup lama aku berada dalam dekapan hangat bang Abe, hingga hujan diluar mulai reda, suara petir sudah tidak terdengar lagi.
Bang Abe pun mulai merenggangkan tubuhnya, ia hendak duduk. Ketika akhirnya dengan cukup berani, mengecup dada bidang bang Abe dengan bibirku. Aku memanfaatkan moment itu untuk sekedar melampiaskan hasratku yang sudah lama terpendam.
Bang Abe kaget, tentu saja, dan ia pun segera menepis wajahku dengan tangannya. Tapi aku tak kunjung melepaskan tanganku dari tubuh bang Abe. Aku justru semakin kuat menarik tubuh bang Abe, agar tetap berada dalam dekapanku.
"kamu kenapa lagi? Hujan udah reda dan tidak ada suara petir lagi.." ucap bang Abe dengan suara cukup keras, ia masih berusaha melepaskan tubuhnya.
"aku suka sama abang..." jawabku lebih keras, meski dengan suara yang terdengar bergetar.
Kulihat bang Abe semakin mengerutkan keningnya. Ia dengan sekuat tenaga melepaskan tubuhnya dari rangkulan tanganku. Ia segera duduk, lalu dengan tergesa ia berdiri memunggungiku.
"maksud kamu apa?" tanya bang Abe, tanpa menatapku. "Kamu gay?" lanjutnya lagi, dengan masih membelakangiku.
Aku segera bangkit dan duduk di sisi ranjang. aku tidak segera menjawab pertanyaan bang Abe. Karena aku yang masih membisu, bang Abe segera memutar kepalanya untuk melirikku.
Aku pun mengangguk lesuh. Entah dorongan dari mana, yang membuatku jadi begitu berani mengungkapkan itu semua.
Selama ini, aku terkenal cukup pendiam. Bahkan dengan bang Abe sendiri aku jarang berbicara. Aku sedikit tertutup dan lebih sering berada di kamar. Aku lebih sering menghabiskan waktuku dengan membaca buku dan bermain game. Aku jarang keluar rumah, kecuali pergi kuliah atau ada keperluan penting di luar.
Aku dan bang Abe memang hampir tak pernah berbicara selama ini, kecuali saat makan bersama atau ada acara kumpul keluarga.
Tapi entah mengapa, malam itu, aku jadi punya keberanian untuk berterus terang tentang perasaanku dan tentang siapa aku sebenarnya kepada bang Abe. Mungkin karena aku sudah tidak sanggup lagi memendam semua rasa ini.
Rasa kagumku kepada bang Abe sudah terlalu dalam. Setiap kali melihat bang Abe, ada keinginan yang menggebu-gebu untuk bisa memilikinya.
"sejak kapan?" suara parau bang Abe cukup mengagetkanku. Untuk sesaat, aku hanya terdiam. Kuperhatikan bang Abe melangkah menuju kursi yang ada di sudut ruangan tersebut. Ia duduk disana, dengan masih hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada.
Aku menarik napas panjang dan mulai bercerita.
"dulu waktu aku duduk di kelas 2 SMP. Itu pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta. Aku jatuh cinta dengan teman sekelasku. Dan anehnya, dia itu seorang laki-laki. Aku tidak tahu, mengapa tiba-tiba aku menyukainya. Aku sering berkhayal tentangnya setiap malam. Meski tentu saja, aku tak pernah mengungkapkannya. Aku hanya memendamnya hingga kamu lulus dan terpisah, karena harus bersekolah di SMA yang berbeda..."
Aku menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan.
"pada saat di SMA, aku juga sempat jatuh cinta pada teman sebangku-ku. Namanya Arya, ia seorang pemuda yang sangat tampan. Namun tentu saja, aku hanya bisa mencintainya dalam diam. Aku tak pernah berani mengungkapkannya, karena aku tahu, ia seorang laki-laki normal."
Aku berhenti sejenak, dan melirik bang Abe. Merasa aku lirik, bang Abe menengadah, lalu berdiri dengan perlahan. Ia kelihatan gelisah. Kemudian ia pun bersandar pada dinding kamar.
"dan sekarang, entah apa yang merasukiku, hingga akhir-akhir ini, aku sering memikirkan bang Abe. Aku selalu mengkhayalkan bang Abe setiap malam..." aku melanjutkan dengan blak-blakan.
Bang Abe masih terdiam, mendengarkanku bercerita. Ia kelihatan bingung dan semakin gelisah. Aku tidak tahu pasti, apa yang ada dalam pikiran bang Abe malam itu.
Namun tak lama kemudian, ia pun menatapku tajam.
"lalu sekarang kamu maunya apa?" tanya bang Abe kemudian.
"aku mau bang Abe, aku mau m*****tinya bers4ma bang Abe.."balasku semakin blak-blakan.
"kamu sadar, kan? kalau aku ini abang iparmu?" tanya bang Abe lagi, kali ini lebih keras.
"ya. Aku tahu. Tapi aku tak lagi memikirkan tentang hal itu. Bagiku bang Abe sangat tampan dan gagah. Aku menyukai bang Abe. Aku ingin mer4sakan ke*****tan dari bang Abe..." ucapku semakin berani.
Bang Abe kembali terdiam, ia seperti sedang berpikir.
"maaf, Fif. Abang gak bisa. Abang tak mungkin melakukan hal itu kepadamu.." ucap bang Abe lagi.
"Rafif mohon, bang. Sekali ini saja, izinkan aku merasakan sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalku. Izinkan aku mer4sakannya keh****tan dari bang Abe.." ujarku sedikit memelas.
"Rafif janji, bang. Setelah ini, semua akan berjalan seperti biasa. Rafif tidak akan pernah mengungkit hal ini lagi. Rafif tidak akan pernah meminta apapun lagi kepada abang..." lanjutku semakin memelas.
Kali ini bang Abe terdiam cukup lama. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada. Hal itu justru membuatku semakin tergoda.
"aku...aku hanya tidak tahu, harus melakukan apa..." ucap bang Abe akhirnya, dengan suara bergetar.
"abang nik**ti saja, apa yang Rafif lakukan terhadap abang. Kalau abang geli atau merasa jijik, abang pejamkan mata saja. Atau jika perlu, abang matikan lampunya." aku berucap sambil bangkit dan berdiri.
Pelan aku melangkah mendekati bang Abe yang masih bersandar di dinding. Bang Abe terlihat kaget, ia menatapiku semakin tajam. Namun aku tak mempedulikannya, aku terus saja mendekat.
"oke! Baik.. kita coba. Tapi kalau kamu tidak bisa membuatku berg****h, atau pun aku merasa jijik, kamu harus segera berhenti.." ucap bang Abe akhirnyan, terdengar pasrah.
Aku tersenyum menang, sambil terus mendekat. Aku melangkah sambil membuka b4ju tidurku, hingga aku hanya memakai ce***a d4lam.
Setelah sangat dekat, kulihat bang Abe memejamkan mata. Aku langsung saja mendek4tkan b***rku ke b***r bang Abe.
Namun tiba-tiba bang Abe membuka matanya kembali, membuatku menghentikan tindakanku.
"tidak usah pakai c**m..." mohon bang Abe.
Aku coba mengerti, mungkin bang Abe merasa jijik harus berc**man dengan sesama laki-laki. Untuk itu aku menurunkan kepalaku, bang Abe memejamkan mata lagi. Aku pun mulai me****kan aks! ku.
Dan malam itu, aku pun berhasil membuat bang Abe menjadi laki-laki pertama yang men***ahku. Ia men****hku dengan p3nuh n***u. Ia yang awalnya berusaha menolak, justru pada akhirnya semakin berg***ah. Bang Abe benar-benar terb**i dengan per***nan ku.
Aku merasa begitu bahagia malam itu. Segala impianku tentang bang Abe, terwujud sudah. Segalanya bahkan jauh lebih indah dari yang pernah aku khayalkan selama ini.
Aku begitu merasa bangga, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa merasakan keind4han dari laki-laki yang selama ini aku impikan. Hingga akhirnya aku pun tertidur pulas dalam de****n h4ngat bang Abe, abang iparku.
Cinta ku yang selama ini terpendam kini tercurah sudah, kerinduan ku akan kasih sayang dari bang Abe, kini telah terwujud.
****
Sejak malam itu, aku dan bang Abe jadi semakin sering mel4kukannya. Bukan saja hanya di rumah, saat orang-orang tidak berada di rumah, tapi juga kadang kami membuat janji bertemu di luar.
Bang Abe sudah berhasil aku miliki, bukan hanya tu**hnya tapi juga hatinya.
Namun ternyata semua itu tidak bertahan lama. Karena beberapa bulan kemudian, bang Abe memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Dan aku merasa sangat kecewa.
Aku tidak bisa terima begitu saja. Aku merasa di permainkan. Aku merasa dimanfaatkan oleh abang ipar ku sendiri.
Tapi sekuat apa pun aku berjuang untuk bisa mempertahankan hubungan kami,bang Abe tetap pada keputusannya, untuk mengakhiri semuanya.
"kita gak mungkin lagi melanjutkan ini, Fif. Aku gak bisa lagi. Kakakmu udah mulai curiga. Jadi sebelum semuanya semakin terlambat, lebih baik kita akhiri semuanya sekarang." ucap bang Abe berusaha membuat aku mengerti.
"tapi aku sangat mencintai bang Abe. Aku gak bisa berpisah dari bang Abe. Aku mohon, bang. Jangan hancurkan harapan ku." balasku menghiba.
"maaf, Fif. Aku benar-benar udah gak bisa lagi. Bukan saja karena kamu adik iparku. Tapi juga, karena hubungan kita ini sudah jelas-jelas salah. Aku sarankan, kamu sebaiknya berubah. Kamu gak mungkin selamanya harus seperti ini, Fif. Kamu harus berubah." ucap bang Abe lagi, yang membuatku terdiam.
Sebenarnya apa yang dikatakan bang Abe sangatlah masuk akal. Tapi cintaku padanya terlalu besar. Tak mudah bagiku untuk bisa melupakannya. Apa lagi kami masih tinggal satu atap. Hampir setiap hari, kami pasti bertemu. Dan aku gak akan bisa menahan perasaan ku.
Karena itu, aku pun memutuskan untuk pergi. Aku pergi dari rumah rumah, tanpa memberi tahu siapa-siapa, bahkan orangtua ku.
Aku hanya ingin pergi sejauh-jauhnya, agar aku bisa melupakan bang Abe, meski tentu saja hal itu butuh waktu yang sangat lama.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih