Hampir seminggu aku terlunta-lunta di jalanan kota besar ini. Aku tidak tahu lagi harus kemana. Langkahku goyah, tubuhku terasa lemas tak berdaya. Perutku melilit menahan lapar, sudah lebih dari dua hari aku tidak dapat makan dengan normal. Sudah dua hari ini, aku hanya makan sisa-sisa makanan yang aku pungut dari tong sampah.
Berkali-kali aku menarik napas berat, tubuhku terasa gerah dan kotor. Sudah seminggu juga, aku tidak bisa merasakan nikmatnya mandi dengan sempurna. Seminggu ini aku hanya mandi dengan air hujan, yang turun baru dua kali selama seminggu ini.
Aku duduk di sebuah bangku yang ada di depan gerbang sebuah perumahan elit. Kakiku terasa lelah melangkah. Sudah seminggu aku melangkah berkeliling kota ini, melangkah tanpa tujuan yang jelas. Saat lelah, biasanya aku beristirahat di halte bus atau pun di teras-teras ruko yang tertutup. Malam hari aku biasanya tidur di bangku-bangku taman.
Pikiranku menerawang lagi, mengingat semua kejadian yang menimpa hidupku akhir-akhir ini. Aku menangis lagi, mataku memerah dan terasa perih.
Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa saat ini. Aku bahkan tidak berhak menyalahkan takdir. Semua ini terjadi begitu saja. Semua ini terjadi diluar kendaliku sebagai laki-laki biasa.
Beberapa minggu yang lalu, sebuah kejadian tragis menimpaku. Sebuah kejadian yang merubah segalanya.
Dulu hidupku cukup bahagia, meski aku bukan dari keluarga kaya. Kedua orangtuaku hanya bekerja sebagai petani di kampung. Aku sendiri setelah menamatkan SMA, langsung bekerja di sebuah kebun sawit, milik salah seorang juragan kaya di desa kami. Tentunya aku bekerja disana, hanya sebagai seorang tukang panen. Namun itu semua sudah mampu membuatku merasa senang, meski gajiku tidak seberapa. Setidaknya aku sudah bisa membantu kedua orangtuaku, untuk biaya hidup kami sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah adik-adikku yang masih kecil-kecil.
Lebih dari setahun aku bekerja di perkebunan sawit tersebut. Awalnya semua berjalan dengan biasa saja. Aku bekerja sebagaimana biasanya, bersama beberapa orang pekerja lainnya.
Kebun sawit tempat aku bekerja itu sangat luas. Kebun itu milik pak Manik, ia salah satu orang terkaya di desa kami. Pak Manik sudah cukup tua, usianya kira-kira udah lebih ddari 50 tahun. Ia mempunyai 3 orang anak yang sudah besar. Dua anaknya bahkan sudah berkeluarga. Anak bungsu sedang kuliah di luar negeri. Namun istri pertama pak Manik sudah meninggal beberapa tahun lalu. Untuk itu, pak Manik menikah lagi. Ia menikah dengan seorang gadis cantik yang berasal dari desa tetangga.
Tentu saja, gadis itu menikah dengan pak Manik, hanya karena terpaksa. Kedua orangtua gadis tersebut, memiliki hutang yang sangat banyak kepada pak Manik. Sebagai gantinya, sang gadis harus bersedia dinikahi oleh pak Manik. Karena orangtuanya tidak mampu lagi membayar hutang mereka.
Istri muda pak Manik, namanya Indah. Sesuai dengan namanya ia memang memiliki wajah yang indah dengan postur tubuh yang seksi. Banyak pemuda yang patah hati, ketika mengetahui, Indah akan menikah dengan pak Manik. Namun semua orang juga tahu siapa pak Manik. Ia seorang yang sangat disegani dikampung, bahkan juga oleh orang-orang yang berada di kampung tetangga.
Aku mengenal Indah, meski tidak terlalu dekat, ia kakak seniorku dulu semasa di SMA. Semenjak menikah dengan pak Manik, aku justru semakin takut untuk sekedar menegurnya. Biar bagaimanapun Indah sekarang adalah istri dari pemilik kebun sawit tempat aku bekerja.
Kami memang sering bertemu, karena biasanya pak Manik sering membawa Indah datang ke kebun, untuk melihat kami bekerja. Biasanya kami hanya sekedar saling tersenyum dari kejauhan.
Hingga suatu hari, aku dan Indah tanpa sengaja bertemu di kebun sawit tersebut. Indah datang sendirian. Ia datang untuk melihat kami yang sedang bekerja. Menurut keterangan Indah pada waktu itu kepada kami, pak Manik sedang berada di luar daerah, untuk mengurus kebun sawitnya yang lain. Untuk itu, Indah ditugaskan untuk datang ke kebun sendirian.
Pada saat jam istirahat siang, para pekerja bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing, sekedar untuk makan siang. Memang biasanya pada saat jam istirahat siang, kami pulang ke rumah, lalu akan kembali ke kebun sekitar jam satu. Karena jarak kebun tersebut dari rumah kami, tidak seberapa jauh.
Saat aku ikut bersiap-siap untuk pulang, tiba-tiba Indah menahan langkahku. Aku sempat kaget dan tidak mengerti. Namun ketika semua teman-teman pekerja lainnya sudah pulang, saat itu hanya tinggal aku dan Indah disana. Saat itulah akhirnya Indah dengan blak-blakan mengungkapkan perasaannya padaku. Indah mengatakan kalau sudah sangat lama ia memendam perasaannya padaku.
Aku tahu, Indah menikah dengan pak Manik, hanya karena terpaksa. Tapi aku tidak menyangka kalau ia akan menaruh perasaan suka padaku. Sejujurnya, secara fisik, Indah adalah wanita yang sangat menarik. Tidak ada seorang pria pun yang akan mampu menolaknya.
Tapi biar bagaimanapun, Indah adalah istri dari pemilik kebun sawit tempat aku menyambung hidup. Karena itu, aku pun berusaha menolak keinginan Indah, untuk menjalin hubungan secara diam-diam denganku.
Indah terlihat kecewa awalnya, namun dengan berbagai cara Indah masih berusaha untuk membujukku agar mau memenuhi keinginannya.
"aku tidak bahagia dengan pernikahanku, aku tak pernah mencintai pak Manik, suamiku." ucap Indah suatu hari padaku, masih dalam upayanya untuk membujukku. "aku hanya ingin merasakan berhubungan dengan orang yang aku suka.." lanjut Indah lagi, yang membuatku tiba-tiba merasa kasihan melihatnya.
Usaha Indah untuk mendapatkanku cukup keras, hingga akhirnya aku tak mampu menolaknya lagi. Biar bagaimanapun, Indah adalah wanita yang sangat menarik. Seperti yang pernah aku katakan, tidak ada seorang pria normal pun yang akan mampu menolaknya.
Karena itu, aku akhirnya menerima tawaran Indah untuk menjalin hubungan secara diam-diam. Sampai akhirnya kami pun melakukan hubungan layaknya sepasang suami istri.
Berbulan-bulan hubungan kami berjalan. Aku justru semakin menikmati hubungan terlarang tersebut. Aku mungkin bahkan telah jatuh cinta kepada Indah. Berkali-kali kami melakukan pertemuan secara diam-diam. Hubungan intim kami sudah semakin dalam dan parah. Kami begitu menikmati hal tersebut. Kami merasa bahagia, setiap kali kami bisa melepaskan hasrat kami.
Namun itu semua tidak berjalan lama. Setelah lebih dari enam bulan, akhirnya hubungan kami pun tercium oleh pak Manik. Beliau secara diam-diam berhasil memergoki kami, yang sedang melakukan hubungan badan. Mungkin pak Manik, memang sudah lama mencurigai kami Hingga akhirnya ia benar-benar memergoki kami berdua.
Malam itu, pak Manik bersama beberapa warga lainnya, menghajarku habis-habisan. Aku tak mampu lawan, selain karena aku memang bersalah, aku juga tahu siapa pak Manik. Semua orang sudah pasti akan berada di pihaknya, tak terkecuali keluargaku. Bahkan kedua orangtuaku.
Tidak cukup hanya sampai disitu, pak Manik pun meminta kepada semua warga, untuk mengusirku dari kampung. Aku dengan sangat terpaksa dan dengan kondisi tubuhku yang babak belur, terpaksa meninggalkan kampungku malam itu juga. Aku tak sanggup menahan amukan para warga.
Aku tidak tahu pasti, apa yang terjadi dengan Indah. Yang jelas aku sempat melihat, pak Manik memaksa dan menyeret Indah untuk pulang. Indah terlihat histeris dan menangis tersedu-sedu. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Biar bagaimanapun, perbuatan kami adalah sebuah kesalahan besar. Tidak ada seorang pun yang akan bisa memaklumi hal tersebut.
Aku tak ingin menyalahkan Indah, tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Seperti yang kukatakan aku bahkan tak ingin menyalahkan takdir. Semua sudah terjadi, dan aku harus menerimanya. Menerima resiko dari perbuatanku sendiri.
Sebab itulah aku sekarang berada disini, di keramaian kota, yang terasa asing bagiku. Tidak ada seorang pun yang aku kenal disini. Aku hanya melangkah tanpa tujuan.
Karena merasa sangat lelah dan lapar, serta terlarut dalam ingatanku tentang kejadian yang menimpaku, aku pun hampir tertidur di bangku yang berada tidak jauh dari gerbang sebuah peruamahan elit itu. Hari sudah semakin senja. Perutku semakin terasa perih.
Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku. Aku membuka mata, seorang laki-laki berbadan tegap dengan seragam satpam, telah berdiri di depanku. Aku cukup kaget, kupikir satpam itu akan mengusirku.
Tapi ia kemudian hanya duduk di sampingku. Sambil menanyakan beberapa hal padaku. Entah mengapa aku menjadi sedikit terbuka dengan satpam itu. Kami pun berkenalan. Namanya Dedi, sesuai dengan yang tertera di bajunya.
"namaku Azam..." ucapku memperkenalkan diri, sambil kami berjabat tangan. Satpam itu, menggenggam tangaku erat dan cukup lama.
Mas Dedi hanya lebih tua tiga tahun dariku, wajahnya tampan dan bersih. Postur tubuhnya tegap dan berotot. Orangnya ramah dan sopan. Hal itu justru membuatku semakin terbuka padanya. Tanpa sadar aku pun menceritakan kejadian yang menimpaku.
Kulihat mas Dedi menatapku dengan perasaan iba. Tak lama kemudian, ia pun mengajakku ke sebuah rumah makan, untuk memberiku makan mala. Awalnya aku berusaha menolak, karena merasa tidak enak hati. Dan lagi pula kami baru saja saling kenal. Namun mas Dedi bersikeras, hingga akhirnya aku pun mengikutinya. Apa lagi perutku benar-benar sudah keroncongan.
Selesai makan, mas Dedi pun mengajakku ke kost-nya yang berada tidak begitu jauh dari situ. Menurut cerita mas Dedi, ia sudah lebih lima tahun menjadi satpam di perumahan elit tersebut. Ia juga mengambil kost yang tidak begitu jauh dari tempat ia bekerja, sehingga bisa ditempuh dengan jalan kaki. Menurut cerita mas Dedi juga, malam itu bukan gilirannya untuk bertugas, karena ia sudah bertugas siang tadi. Untuk itu, mas Dedi menawarkanku untuk menginap di kost-nya malam itu.
Dengan sedikit merasa berat, aku pun menerima tawaran mas Dedi. Setidaknya di kost itu, aku bisa mandi dan berganti pakaian, serta tentu saja beristirahat dari semua rasa lelahku.
Malam itu, setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku pun mulai merebahkan tubuhku di sebuah kasur yang ada dalam kamar kost mas Dedi. Kamar kost itu tidak begitu luas, namun aku merasa nyaman disana. Setelah hampir seminggu aku tidur dijalanan.
Aku berbaring disamping mas Dedi, yang hanya memakai boxer tipis. Ternyata mas Dedi memiliki tubuh yang atletis, otot dadanya bagus dan perutnya ramping. Sepanjang kaki hingga pahanya ditumbuhi bulu-bulu yang sangat lebat.
Aku hanya memakai baju kaos oblong dan celana pendek, karena memang kamar itu cukup gerah. Bahuku dan bahu mas Dedi saling bertautan, karena kasurnya sangat kecil.
Karena merasa sangat lelah, aku pun mencoba memejamkan mata. Namun pikiranku kembali melayang, mengingat semua kejadian pahit tersebut. Apa lagi saat ini, akua merasa sangat merindukan kedua orangtuaku dan juga adik-adikku. Entah apa kabar mereka sekarang, setelah semua kejadian yang menimpaku. Bisa saja mereka dikucilkan oleh warga lainnya, karena kesalahanku.
Aku merasa menyesal tiba-tiba. Karena perbuatanku, keluargaku pun ikut menanggung akibatnya. Namun sekuat mungkin aku mencoba menabahkan hatiku, mencoba menerima semua hukuman dari perbuatanku.
Aku menarik napas lagi, manahan rasa perih dihatiku, mengingat semua kejadian itu.
Saat tiba-tiba, aku merasakan tangan hangat mas Dedi melingkar di dadaku.
Aku membuka mata. Entah sudah berapa jam aku terlarut dalam pikiranku sendiri, meski aku tak jua kunjung tertidur. Aku melirik tangan mas Dedi yang berada diatas dadaku. Kemudian aku memutar kepala untuk menatap wajah mas Dedi. Kulihat mata mas Dedi terpejam, entah ia berpura-pura tidur atau memang telah tertidur, aku tidak berani memastikannya.
Perlahan aku mengangkat tangan mas Dedi yang di dadaku, lalu meletakkannya di kasur. Dan aku pun memejamkan mataku lagi.
Jelang beberapa saat kemudian, aku merasakan lagi tangan mas Dedi, kali ini tepat berada diatas pahaku yang sedikit terbuka. Aku merasa kaget, dan segera membuka mata. Namun kali ini, kulihat mas Dedi sedang tersenyum padaku. Tangannya pun mulai aku merasakan mengusap-usap pahaku.
Aku bergetar dan merasa sedikit geli. Segera ku tepis tangan itu. Tapi mas Dedi justru tetap menahan tangannya agar tetap berada di pahaku.
"jangan, mas..." ucapku sedikit memohon.
"kenapa? Kamu gak suka?" suara mas Dedi cukup kasar ditelingaku. Suara lembut dan sopan yang kudengar senja tadi tidak lagi kutemukan. Tiba-tiba aku merasa takut. Aku hendak duduk, namun dengan cekatan mas Dedi menahan tubuhku dan segera menindihku.
Aku kaget bukan kepalang, aku berusaha melawan sekuat tenaga. Tenagan mas Dedi sangat kuat, aku hampir kewalahan. Mas Dedi berusaha untuk menciumi bibirku. Aku memejamkan mata dan menutup mulutku rapat.
Aku pun mengumpulkan semua tenaga yang aku punya, untuk mendorong tubuh mas Dedi yang berada diatasku. Mas Dedi sedikit terdorong, aku pun memanfaatkan kesempatan itu, untuk melepaskan diri. Mas Dedi masih berusaha memegangku, namun aku terus saja meronta.
"lepaskan aku mas, aku mau pergi.." ucapku bergejolak, manahan amarahku.
"dasar kamu ya, gak tahu terima kasih, udah aku kasih makan, kasih tumpangan nginap, kamu malah melawan seperti ini.." balas mas Dedi semakin kasar. Ia terus berusaha memeluk tubuhku yang sudah berdiri.
"maaf, mas. Tapi aku bukan homo. Aku masih normal.. dan aku gak bisa.." ucapku terbata, sambil terus mendorong tubuh kekar mas Dedi. Setelah cukup longgar, aku pun melarikan diri dan segera membuka pintu kamar kost itu, serta dengan tergesa aku pun berlari keluar dalam kegelapan malam. Aku tak pedulikan rasa lelahku, aku bahkan tidak pedulikan tasku yang tertinggal di kamar kost tersebut.
Aku hanya ingin berlari sejauhnya dari mas Dedi. Tak kusangka, kebaikan mas Dedi padaku, ternyata punya tujuan yang jahat. Antara menyesal dan kesal aku pun terus melangkah menjauh meninggalkan kost mas Dedi tersebut.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih