Malam sudah menunjukan pukul sebelas. Mata ku masih enggan terpejam. Pikiran ku masih terus mengingat kejadian-kejadian menyakitkan yang menimpa hidupku akhir-akhir ini.
Berawal dari ayah ku yang harus masuk rumah sakit, karena serangan jantung. Dan seminggu kemudian ayahku pun meninggal dunia.
Kematian ayah sebenarnya sudah cukup membuat aku berduka. Di tambah pula, selama ayah di rawat di rumah sakit, ibu ku harus meminjam uang kepada rentenir, untuk biaya berobat ayah.
Kini hutang itu harus segera kami lunasi. Sementara kami sudah tidak punya uang lagi. Ibu ku hanya seorang pedagang sayur keliling, yang pendapatannya tidak seberapa. Dulu, semasih hidup, ayah ku hanya serang buruh bangunan.
Kehidupan kami secara ekonomi sejak dulu memang hanya pas-pasan. Kedua adik-adik ku masih kecil-kecil dan masih butuh biaya banyak untuk sekolah mereka. Sementara aku baru saja lulus SMA sekitar enam bulan yang lalu.
Aku tidak bisa kuliah, karena mengingat keadaan ekonomi keluarga kami yang tidak memungkinkan untuk aku bisa kuliah.
Kini, setelah ayah meninggal. Kehidupan kami semakin berantakan. Di tambah lagi kami harus melunasi hutang kepada rentenir, yang hampir setiap hari datang menagih ke rumah.
Aku merasa hidup ku benar-benar kacau. Sebagai anak sulung, aku merasa punya tanggungjawab untuk melunasi hutang tersebut. Tapi apa yang bisa aku lakukan saat ini. Aku belum punya pekerjaan yang tetap.
Sejak lulus SMA, aku hanya bekerja membantu ayah menjadi buruh bangunan. Selain itu, aku tidak punya keahlian apa-apa lagi. Aku hanya lulusan SMA. Pekerjaan apa yang bisa aku dapat dari ijazah tersebut.
"pokoknya, jika sampai besok pagi, kalian belum juga melunasi hutang kalian, saya akan sita rumah ini.." begitu ucap sang rentenir waktu itu, ketika untuk kesekian kalinya ia datang menagih ke rumah.
Aku dan ibu hanya bisa terdiam. Kami sudah berusaha semampu kami, untuk bisa melunasi hutang tersebut. Tapi tetap saja kami tidak bisa mendapatkan uang untuk melunasi hutang itu.
Jika rumah ini di sita, kami tentu saja tidak akan punya tempat tinggal lagi. Hanya rumah ini satu-satunya yang kami punya saat ini.
"mohon beri kami waktu lebih lama lagi, bang. Kami pasti akan bayar tersebut. Tapi mohon beri kami waktu lagi..." ucapku akhirnya dengan suara berat.
"ini sudah dua bulan loh, sejak ayah kamu meninggal. Bukankah perjanjiannya hanya sampai sebulan? Jadi sekarang sudah tidak ada waktu lagi. Kalian bayar besok pagi, atau rumah ini saya sita." suara rentenir itu sengit.
"tapi, bang... Apa gak ada cara lain?" tanya ku terbata.
"cara lain? Maksud kamu?" rentenir itu balik bertanya.
"yah... cara lain, bang. Aku akan melakukan apa saja untuk bisa melunasi hutang tersebut. Tapi saat ini, kami benar-benar tidak punya uang. Kami juga tidak ingin rumah ini di sita. Rumah ini satu-satunya yang kami punya saat ini.." balasku terdengar sedikit menghiba.
Kali ini si rentenir menatapku dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Lelaki yang ku perkirakan sudah berusia 40 tahun lebih itu, menatapku dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Ia memperhatikan ku dengan seksama.
"oke.. akan saya pertimbangkan hal tersebut. Jika besok pagi kalian belum juga bisa melunasi hutangnya, mungkin saya akan gunakana cara lain, selain menyita rumah ini tentunya." ucap rentenir itu akhirnya.
Untuk sesaat aku merasa lega mendengar hal tersebut. Meski aku tidak tahu pasti cara apa yang dimaksud si rentenir. Tapi setidaknya dia tidak akan menyita rumah ini.
Beberapa saat kemudian si rentenir pun pamit, meninggalkan kami yang masih merasa bingung.
"maafkan ibu ya, nak.." ucap ibu sesaat setelah sang rentenir itu pergi.
"udah, buk. Ibu gak perlu merasa bersalah seperti itu. Aku tahu, ibu terpaksa melakukannya." balasku sepelan mungkin.
Aku memang merasa kecewa terhadap ibu, karena telah meminjam uang kepada rentenir tersebut, dan itu ia lakukan tanpa sepengatahuan ku. Tapi aku juga mengerti, kalau hal itu ibu lakukan hanya karena terpaksa. Ibu pasti tidak punya pilihan lain saat itu.
Ayah memang harus menjalani perawatan yang intensif waktu itu, dan hal itu tentu saja butuh biaya yang banyak. Dan satu-satunya cara yang ibu tahu, hanyalah meminjam uang. Namun sayangnya, ibu meminjam uang kepada orang yang salah.
"lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Gam?" tanya ibu ku tiba-tiba. "apa kita pinjam uang saja sama pihak bank, dengan menggadaikan surat tanah ini?" lanjutnya.
"minjam uang sama pihak bank itu prosesnya lama, buk. Sementara kita butuh uangnya besok. Lagi pula jika kita pinjam sama bank, pasti jumlahnya tidak akan cukup untuk melunasi hutang kita pada rentenir itu." balas ku.
"jadi kita harus bagaimana, Agam?" ibu bertanya lagi.
"ibu tenang aja. Ibu gak usah terlalu memikirkan hal tersebut. Entar ibu sakit lagi. Biar Agam aja yang memikirkannya, buk." ucapku membalas.
Ibu hanya bisa terdiam mendengar kalimat ku tersebut. Aku tahu, ibu pasti sangat menyesal akan semua itu. Dia juga pasti sangat bingung sekarang. Tapi aku tidak tahu, harus berkata apa lagi pada ibu, agar ia bisa merasa lebih tenang.
Saat ini, kondisi keluarga kami sedang tidak baik-baik saja. Keluarga kami sedang kacau. Kami baru saja kehilangan sosok seorang ayah. Dan sekarang, kami harus di hadapi dengan persoalan keuangan yang sangat sulit.
Berkali-kali aku mencoba memejamkan mata, namun pikiran ku benar-benar kacau saat ini. Besok rentenir itu akan datang lagi. Dan aku belum punya sedikit pun uang untuk melunasi hutang kami.
Entah apa yang akan terjadi esok. Dan aku juga tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukana saat ini, hanyalah pasrah.
*****
"jadi gimana? Kalian sudah punya uangnya?" tanya rentenir itu tajam, saat keesokan harinya ia datang lagi.
"maaf, bang. Kami belum dapat uangnya.." balasku terdengar pasrah.
"oke... sesuai janji kamu, kalau kamu akan melakukan apa saja, untuk bisa melunasi hutang tersebut. Jadi sekarang kamu ikut saya.." ucap si rentenir lagi.
"saya mau di bawa kemana?" tanyaku ragu.
"udah... kamu ikut aja... atau kamu mau saya sita rumah ini sekarang?" balas si rentenir.
"baiklah, bang.." ucapku benar-benar pasrah.
"tolong jangan bawa anak saya. Lebih baik bawa saya aja..." ucap ibu ku tiba-tiba, dengan nada memohon.
"saya gak butuh kamu... saya hanya butuh anak mu ini.." balas si rentenir kasar.
"ibu tenang aja, ya.." ucap ku pelan, "Agam pasti bisa mengatasi hal ini. Ibu tunggu aja di rumah.." lanjutku.
"tapi, nak..." sela ibu, "ini semua salah ibu, jadi ibu yang harus bertanggungjawab..." lanjutnya.
"udah... gak usah banyak drama kalian. Sekarang kamu mau ikut saya, atau rumah ini saya sita?" potong si rentenir masih dengan nada kasar.
"saya akan ikut abang.." balasku cepat.
Dan ibu pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menangis melihat kepergian ku bersama si rentenir. Sementara perasaan ku sendiri mulai merasa tidak nyaman. Entah kemana si rentenir ini akan membawa ku. Entah apa yang akan dilakukannya padaku.
Namun aku memang sudah tidak punya pilihan lain saat ini, selain mengikuti kemauan sang rentenir.
****
Aku melangkah pelan mengikuti langkah sang rentenir menuju mobilnya yang terparkir di ujung gang rumah kami. Sebuah mobil mewah terparkir di sana.
Aku memasuki mobil tersebut dengan perasaan yang tak karuan. Sang rentenir menyetir mobilnya sendiri. Tidak seperti biasanya, ia selalu bersama sopirnya. Aku duduk di sampingnya dengan perasaan masih penuh tanda tanya.
Mobil itu berjalan pelan meninggalkan perumahan tempat kami tinggal. Berjalan pelan menuju keramaian jalan raya. Hingga beberapa menit kemudian, kami sampai di depan sebuah hotel mewah. Mobil itu memasuki halaman parkir hotel, kemudian sang rentenir pun memarkir mobilnya di sana.
"sekarang mari kita turun..." ucap sang rentenir, sambil ia membuka pintu mobil.
"kita mau kemana?" tanyaku.
"udah.. kamu ikut aja. Gak usah banyak tanya.." balas si rentenir.
Aku pun dengan perasaan berat, ikut turun dari mobil. Mengikuti langkah sang rentenir menuju lobi hotel. Sesampai di lobi, aku lihat si rentenir memesan sebuah kamar pada resepsionis.
Setelah memesan sebuah kamar, si rentenir pun mengajak aku naik ke lantai atas melalui sebuah lift yang ada di samping lobi. Aku mengikutinya tanpa berani bertanya. Aku tak ingin bertanya apa pun saat ini. Karena aku sudah pasti tidak akan mendapatkan jawabannya.
Sesampai di lantai atas, kami memasuki sebuah kamar yang cukup mewah, dengan perabotan yang lengkap dan juga mewah. Sebuah ranjang besar berada di tengah-tengah kamar. Sebuah lemari pakaian berada di bagian sudut ruangan. Ada sebuah meja dan kursi di ujung ranjang. Sebuah televisi berada tepat di atas meja. Di bagian lain, ada sebuah kamar mandi.
Terus terang seumur hidup, baru kali ini, aku memasuki sebuah kamar hotel. Aku masih merasa bingung. Kenapa si rentenir mengajak aku masuk ke kamar hotel? Apa sebenarnya yang dia inginkan dari ku?
"kamu duduk sini, dong. Jangan bengong aja.." ucap sang rentenir, kali ini suaranya benar-benar ramah.
Dengan perasaan heran, aku pun duduk di sisi ranjang, sedikit agak jauh dari si rentenir. Tapi si rentenir justru menggeser duduknya untuk mendekat.
"kita... kita ngapain disini?" tanyaku dengan nada terbata.
Untuk sesaat si rentenir hanya menarik napas. Kemudian ia menyilangkan kedua tangannya di dada.
"namaku Erwin." ucapnya pelan, "kamu belum tahu kan?" tanyanya meyakinkan.
"belum, bang." balasku ringan.
"aku suka kamu memanggilku bang. Bukan om atau bapak..." ucapnya lagi.
"iya, bang.." balasku.
"itu berarti kamu menganggap ku masih cukup muda. Padahal aku sudah berusia 42 tahun. Tapi aku memang lebih suka kamu memanggil ku bang. Rasanya lebih akrab aja..." si renterir berujar lagi.
"lalu untuk apa kita disini?" tanyaku mengulang pertanyaan ku yang tadi.
"bukankah kamu sudah berjanji akan melakukan apa saja, untuk bisa melunasi hutang kalian? Jadi sekarang saatnya kamu membuktikan hal tersebut." balas bang Erwin, si rentenir.
"maksudnya?" tanyaku benar-benar tidak mengerti.
"kamu pernah dengar tentang lelaki gay, kan?" tanya bang Erwin.
"iya.. aku pernah dengar.." balasku terdengar polos.
"aku salah satunya.." ucap bang Erwin pelan.
"maksudnya... maksudnya bang Erwin ini gay?" tanyaku ragu.
"iya... aku seorang laki-laki gay." balas bang Erwin lugas, "dan jujur... aku suka melihat kamu. Secara fisik kamu cukup menarik. Kamu tampan dan juga cukup atletis. Jadi, aku suka sama kamu, Agam. Aku sangat menginginkan kamu..." lanjutnya lagi.
Tiba-tiba aku merasa mual. Aku merasa geli seketika.
Aku memang pernah mendengar cerita-cerita tentang dunia gay. Namun selama ini aku tidak terlalu peduli akan hal tersebut. Karena itu memang bukan urusan ku.
Namun sekarang....
"jadi... apa kamu mau?" tanya bang Edwin selanjutnya.
"aku... aku... gak bisa, bang. Aku bukan... homo... " balasku terbata.
"iya.. aku tahu. Tapi sekarang ini emang kamu punya pilihan lain, selain mengikuti keinginan ku?" ucap bang Erwin terdengar tegas.
Aku terdiam.
Bang Erwin benar, aku memang tidak punya pilihan lain saat ini. Tapi...
"jika aku mengikuti keinginan bang Erwin sekarang, apa itu berarti hutang ku akan lunas semuanya?" tanyaku akhirnya.
"hutang ibu mu sangat banyak, jadi gak bisa langsung lunas hanya dengan kamu mengikuti keinginan ku kali ini." balas bang Erwin.
"jadi aku bagaimana agar semua hutang ku lunas?" tanya ku kemudian.
"dengan kamu mengikuti keinginan ku sekarang, bukan berarti hutang kamu lunas, atau pun berkurang. Ini hanya untuk memperpanjang jangka waktu pinjaman kamu, bukan untuk melunasi hutang kamu." balas bang Erwin tegas.
Huh! Dasar rentenir! Maki ku dalam hati.
"jadi kamu tetap harus mencari uang untuk melunasi semua hutang kalian. Sementara kamu belum mendapatkan uang untuk melunasi hutang tersebut, kamu harus tetap mengikuti keinginan ku kapan pun aku membutuhkan kamu, hingga kamu bisa melunasi semua hutangmu itu." ucap bang Erwin lagi menjelaskan.
"dan satu hal lagi, kamu jangan coba-coba menceritakan hal ini kepada siapa pun. Karena akibatnya akan sangat fatal bagi kamu dan keluarga mu." lanjutnya lagi, sedikit mengancam.
Dan kali ini aku kembali terdiam. Sungguh tidak aku sangka sama sekali, kalau bang Erwin akan melakukan semua ini terhadap ku. Namun sekali lagi, aku memang tidak punya pilihan lain, selain mengikuti semua keinginan bang Erwin. Setidaknya, aku jadi punya banyak waktu, untuk bisa mencari uang untuk melunasi hutang kami padanya.
Lalu seperti apakah pergu4latan ku dengan bang Erwin, si rentenir tersebut?
Mampukah aku menahan segala rasa jijik dan geli ku akan hal tersebut?
Dan seperti apa pula kah, kelanjutan kisah ku bersama bang Erwin?
Mampukah aku melunasi semua hutang ku? Atau kah aku akan selamanya terjebak dalam permainan indah bang Erwin?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi pada part berikutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua..
*****
Part 2
"jadi gimana?" tanya bang Erwin, sedikit mengagetkan ku.
"gimana apanya?" tanya ku tanpa sadar.
"apa kamu mau mengikuti keinginan ku malam ini?" tanya bang Erwin memperjelas.
"apa aku punya pilihan lain, bang?" balas ku sedikit bertanya.
"pilihannya ada sama kamu, Agam. Jika kamu menolak, itu artinya kamu harus siap kehilangan rumah kalian.." ucap bang Erwin.
"pilihannya terlalu sulit bagi saya, bang. Tapi saya memang harus memilih. Namun sebelum saya memutuskan hal ini, aku punya permohonan sama bang Erwin.." balasku pelan.
"permohonan? Permohonan apa?" tanya bang Erwin sedikit heran.
"saya baru saja lulus SMA beberapa bulan yang lalu, bang. Yang artinya saya belum punya pekerjaan. Karena belum bekerja, saya pasti akan sulit untuk bisa mengumpulkan uang, untuk membayar hutang kami pada bang Erwin. Dan pastinya tidak akan mudah bagi saya untuk bisa mendapatkan pekerjaan hanya dengan mengandalkan ijazah SMA."
"jadi saya memohon sama abang, agar saya di beri kesempatan untuk bisa bekerja bersama bang Erwin. Kerja apa aja, yang penting saya bisa menghasilkan uang dan mengumpulkannya untuk bisa membayar hutang saya sama bang Erwin." cerita ku menjelaskan.
Bang Erwin nampak terdiam beberapa saat. Ia terlihat sedang berpikir. Mungkin ia sedang mempertimbangkan permintaan saya barusan.
"saya gak yakin bisa memberi kamu pekerjaan saat ini, Agam. Bukan karena saya tidak menghargai permintaan mu tersebut. Tapi memang saat ini, aku tidak sedang butuh pekerja baru. Namun saya pasti akan memikirkan hal ini. Nanti akan saya kabari lagi, jika ada peluang kerja untuk kamu." ucap bang Erwin akhirnya.
"baiklah, bang. Saya akan tunggu kabar selanjutnya dari bang Erwin. Karena saya memang sangat membutuhkan pekerjaan saat ini, bang." balas ku penuh harap.
Aku mungkin saja bisa mencari pekerjaan di tempat lain, selain meminta tolong pada bang Erwin. Namun hal itu tentunya tidaklah mudah bagi ku. Mengingat aku tidak punya keahlian apa-apa dan hanya mengandalkan ijazah SMA. Dan lagi pula aku juga memang harus memenuhi keinginan bang Erwin untuk menjadi pelampiasan h4srat nya yang menyimpang tersebut.
Yang artinya, aku memang harus selalu bertemu dengannya, kapan pun ia membutuhkan ku. Jadi kenapa tidak aku manfaatkan saja kesempatan itu, untuk sekalian aku meminta pekerjaan pada bang Erwin, si rentenir tersebut.
"oke.. sekarang apa keputusan mu?" tanya bang Erwin tiba-tiba, memecah keheningan yang tercipta beberapa saat tadi.
"iya.. aku mau, bang. Asalkan bang Erwin mau berjanji untuk tidak menyita rumah kami, dan juga memberi aku sebuah pekerjaan." balasku berusaha terdengar meyakinkan.
"selama kamu bersedia memenuhi keinginan saya, saya janji tidak akan menyita rumah kamu, dan juga saya akan usahakan untuk memberi kamu sebuah pekerjaan." ucap bang Erwin terdengar serius.
Dan akhirnya malam itu, untuk pertama kalinya bagi ku, aku harus memenuhi keinginan bang Erwin yang menyimpang tersebut.
Awalnya aku memang merasa geli dan jijik, namun aku berusaha untuk bisa memainkan peran ku dengan baik. Aku berusaha untuk bisa menikmati hal tersebut. Aku tak ingin membuat bang Erwin merasa kecewa. Karena dengan begitu, aku akan lebih mudah menguasai bang Erwin secara keseluruhan.
Jika aku bisa membuat bang Erwin merasa terkesan, tentunya aku akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan darinya, dan juga ia pasti akan berpikir panjang untuk menyita rumah kami.
*****
Hari-hari pun terus berlalu, tanpa bisa di cegah atau pun di pacu. Bang Erwin pun akhirnya memberi aku sebuah pekerjaan.
Bukan sebuah pekerjaan yang aku harapkan sebenarnya. Karena bang Erwin justru mempekerjakan ku sebagai kaki tangannya. Ia meminta aku menemaninya untuk menagih hutang-hutangnya kepada orang-orang yang berhutang padanya.
Sementara itu, aku juga tetap harus memenuhi keinginannya pada malam-malam tertentu. Bang Erwin juga semakin sering mengajak aku menginap di hotel. Aku tak pernah berani untuk menolak, karena hanya itu satu-satunya cara, agar aku tetap bisa mempertahankan pekerjaan ku dan juga agar rumah kami tidak di sita oleh bang Erwin.
"jadi kamu bekerja sama si rentenir itu sekarang?" tanya ibu ku suatu pagi, sebelum aku berangkat kerja ke rumah bang Erwin.
"iya, buk. Itu satu-satunya cara agar rumah kita tidak di sita. Lagi pula, dengan bekerja bersama bang Erwin, aku juga bisa mengumpulkan uang, agar kita bisa segera melunasi hutang kita pada bang Erwin." jelasku ringan.
"maafkan ibu ya, Agam. Karena ibu kamu jadi begini." ucap ibu ku lagi.
"udah... gak apa-apa, buk. Agam baik-baik saja, kok." balasku berusaha tersenyum. Meski hatiku merintih menahan perih. Andai saja ibu tahu, apa yang aku lakukan bersama bang Erwin. Tentunya hati ibu akan semakin terluka.
Tapi ibu tidak boleh tahu. Ibu harus percaya kalau aku baik-baik saja. Aku tidak ingin menambah beban ibu. Aku hanya berharap, semua ini akan segera berakhir. Aku tidak ingin merasa terikat lagi dengan bang Erwin, hanya karena kami belum bisa melunasi hutang kami padanya.
"tapi ibu gak rela kamu kerja bersama rentenir itu, Gam. Ia bukan orang baik-baik." ucap Ibu kemudian.
"Agam juga tidak menginginkan hal ini sebenarnya, buk. Tapi kita memang tidak punya pilihan lain saat ini. Jadi ibu tenang aja. Mari kita sama-sama berdo'a semoga semua ini cepat berlalu." balasku pilu.
Dan ibu hanya terdiam, mendengarkan semua itu. Aku tahu, ibu sangat mencemaskan ku. Tapi aku memang tidak punya pilihan lain saat ini. Aku hanya mencoba melakukan sesuatu yang menurutku bisa mengurangi beratnya beban hidup yang sedang kami hadapi saat ini.
Untuk saat ini, aku memang harus lebih sabar. Aku harus bisa menahan diriku.
Saat ini, mungkin bang Erwin yang punya kuasa akan hidupku. Namun aku yakin suatu saat nanti, aku akan bisa mencapai apa yang menjadi rencana ku dari awal.
Tapi tentu saja semua itu, butuh proses, butuh waktu dan butuh pengorbanan yang tak terhingga. Aku akan melakukan apa saja, untuk bisa melunasi hutang kami kepada bang Erwin.
*****
Lebih dari setahun, aku menjadi kacung bagi bang Erwin. Aku pun sudah mengumpulkan uang dari upah yang aku dapat, selama bekerja bersama bang Erwin. Namun uang yang aku kumpulkan belum lah cukup untuk melunasi hutang kami pada bang Erwin. Di tambah lagi, hutang itu kian bertambah dari bulan ke bulan, karena bunga nya yang cukup besar.
Aku menyadari betul, sampai kapan pun, kami tidak akan pernah mampu mengumpulkan uang untuk bisa melunasi hutang tersebut. Bang Erwin tentu saja tidak akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Dia tidak akan dengan begitu saja melepaskan ku dari cengkeramannya.
Karena itu, aku harus melakukan sesuatu, untuk bisa menyelamatkan hidupku, menyelamatkan masa depan ku dan juga menyelamatkan keluarga ku.
"setelah lebih dari setahun kita bersama, bang. Entah mengapa, aku mulai merasa nyaman saat bersama bang Erwin." ucapku kepada bang Erwin, ketika suatu malam, untuk kesekian kalinya, kami bertemu di sebuah hotel.
"aku mulai jatuh cinta sama bang Erwin." lanjutku, berusaha terdengar meyakinkan.
"jadi sekarang kamu melakukan semua ini, bukan lagi karena terpaksa?" balas bang Erwin bertanya.
"iya, bang. Aku melakukan semua ini, karena aku memang mencintai bang Erwin." ucapku berusah untuk bersungguh-sungguh.
"aku juga sangat mencintai kamu, Agam. Semakin hari aku semakin sayang sama kamu. Jadi aku harap, hubungan kita bukan lagi hanya karena keterpaksaan, tapi bisa lebih dari itu. Aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku, Gam. Apa kamu bersedia?" bang Erwin berujar, sambil ia menatapku penuh harap.
"tapi aku ini hanya lelaki miskin, bang. Apa yang bisa abang harapkan dari lelaki seperti aku ini?" ucapku terdengar lirih. Aku mulai merasa ada peluang yang lebih besar, untuk aku bisa menjalankan rencana ku.
"bagi ku, kamu istimewa, Gam. Kamu lelaki hebat. Aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersama kamu. Aku bahagia bisa memiliki kamu. Jika kamu bersedia menjadi pendamping hidupku, kamu tidak perlu lagi memikirkan soal hutang keluarga mu pada ku. Aku menganggapnya sudah lunas."
"dan kamu juga tidak perlu lagi bekerja sebagai kaki tangan ku. Aku akan membelikan kamu sebuah apartemen, untuk kita bisa tinggal bersama di sana. Dan aku juga akan membantu semua biaya hidup keluarga mu dan juga biaya sekolah adik-adik mu." jelas bang Erwin panjang lebar.
Penjelasan bang Erwin tersebut, tentu saja membuat aku tersenyum senang. Karena memang itu yang menjadi tujuan ku dari awal. Aku memang ingin membuat bang Erwin terkesan dengan ku. Dengan begitu, dia akan dengan mudah untuk memenuhi keinginan ku.
"lalu bagaimana dengan istri dan anak-anak bang Erwin?" tanya ku, sekedar ingin tahu.
"istri dan anak-anak ku sudah punya rumah sendiri. Segala kebutuhan mereka juga sudah aku penuhi selama ini. Jadi kamu tak perlu mencemaskan mereka. Lagi pula, aku masih akan tetap tinggal bersama keluarga ku, kok. Aku akan bersama kamu hanya pada saat-saat tertentu." balas bang Erwin.
"tapi.. aku pasti akan merasa bosan, hanya berdiam diri di apartemen nantinya. Apa lagi bang Erwin tidak selalu bersama ku. Jadi aku juga butuh kegiatan. Aku mau buka usaha. Itu pun kalau bang Erwin mengizinkan, dan mau memberi aku modal." ucapku kemudian.
"kamu tenang aja. Apa pun keinginan kamu pasti akan abang penuhi. Asalkan kamu mau hidup bersama abang.." balas bang Erwin terdengar bersungguh-sungguh.
Dan aku tersenyum menang di dalam hati. Setelah sekian lama, aku hidup dalam cengkeraman si rentenir. Sekarang saatnya aku yang akan menguasai kehidupannya. Karena aku yakin, cinta telah membuat si rentenir tersebut menjadi buta.
Buta akan sebuah kenyataan, kalau sebenarnya aku tak benar-benar mencintainya. Aku hanya memanfaatkannya. Aku hanya ingin keluarga ku terbebas dari hutang kami pada bang Erwin. Aku hanya ingin merasakan hidup yang mewah, tanpa harus bekerja keras lagi. Dan sepertinya rencana ku berhasil. Bang Erwin mulai masuk dalam perangkap ku.
Tapi aku tetap harus berhati-hati. Aku harus tetap bisa berpura-pura kalau aku memang mencintai bang Erwin, agar ia semakin percaya padaku. Aku harus bisa merebut hatinya. Aku harus bisa mendapatkan kepercayaannya. Dan jika semua itu telah aku dapatkan, itulah saatnya aku akan menguasai bang Erwin sepenuhnya.
"jadi kamu mau kan, Gam?" tanya bang Erwin sedikit mengagetkan ku.
Aku kembali berusaha memasang senyum termanis ku. Aku tatap wajah bang Erwin yang penuh harap itu. Aku sentuh jemarinya, kemudian aku berucap, "yah... aku mau, bang. Aku mau menghabiskan hidupku bersama bang Erwin. Karena aku benar-benar mencintai bang Erwin." suara ku benar-benar terdengar bersungguh-sungguh.
Dan bang Erwin hanya bisa tersenyum mendengar kalimat indah ku barusan. Aku yakin, dia sangat mempercayai kalimat tersebut.
Lalu seperti apakah akhir dari kisah ku ini?
Mungkinkah aku akan mampu menguasai bang Erwin sepenuhnya?
Ataukah justru aku yang akan terjebak dalam cinta bang Erwin?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi pada part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Part 3
Akhirnya aku benar-benar bisa menguasai bang Erwin. Aku dibelikannya sebuah apartemen, untuk tempat aku tinggal. Tentu saja sekali-kali bang Erwin datang menemui ku, untuk meminta 'jatah' dari ku. Selain itu, bang Erwin juga memberi aku uang yang cukup untuk biaya hidup ku sehari-hari, dan juga untuk aku kirimkan kepada ibu dan adik-adik ku.
Secara keseluruhan hidup ku benar-benar terasa sempurna. Tanpa harus bekerja keras, aku tetap bisa mendapatkan uang dari bang Erwin. Aku hanya harus selalu siap, kapan pun bang Erwin membutuhkan ku.
Hari-hari aku lalui dengan perasaan bangga, karena aku bisa menaklukan hati bang Erwin. Aku berhasil merebut hatinya, yang membuat semua persoalan hidup ku, terutama persoalan keuangan, bisa teratasi dengan baik.
Aku hanya menghabiskan waktu di apartemen dengan hanya menonton tv, bermain game atau hanya sekedar tertidur. Untuk makan aku bisa pesan lewat online, mencuci pakaian, sudah loundry yang siap menjemput ke apartemen ku.
Bang Erwin biasanya datang tiga atau empat kali dalam seminggu, dan biasanya ia selalu menginap di apartemen yang ia belikan untuk ku tersebut. Kami akan menghabiskan waktu bersama, dan menikmati keindahan cinta.
Meski sejujurnya, aku melakukan semua itu, hanya untuk bersenang-senang semata. Aku tak benar-benar mencintai bang Erwin. Aku hanya mencoba mempertahankan apa yang sudah bang Erwin berikan padaku.
"jadi sekarang kamu tinggal di apartemen dan sudah punya pekerjaan tetap?" tanya ku ibu ku suatu hari, saat aku berkunjung ke rumah kami. Aku memang biasanya mengunjungi ibu sekali seminggu.
"iya, buk. Jadi ibu tenang aja. Ibu juga gak harus bekerja terlalu keras lagi. Saya akan selalu mengirimkan uang untuk membantu biaya hidup ibu dan adik-adik, dan juga untuk biaya sekolah mereka." balas ku terdengar penuh percaya diri.
Andai saja ibu tahu, apa yang aku lakukan sebenarnya. Tentunya beliau pasti akan marah besar padaku. Tapi ibu tidak perlu tahu. Karena itu pasti akan hanya menambah beban pikirannya.
****
Hari-hari berlalu dengan sempurna. Berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan hingga hampir satu tahun, aku tinggal bersama bang Erwin di apartemen tersebut.
Aku mulai merasa jenuh dengan semua rutinitas yang aku lakukan setiap harinya. Aku butuh sesuatu yang beda. Sesuatu yang benar-benar ingin aku lakukan. Bukan sesuatu yang biasa, yang aku lakukan hanya karena terpaksa. Seperti melayani bang Erwin misalnya.
Aku juga butuh dunia luar. Aku ingin menikmati hidupku sebagai seorang laki-laki normal. Karena itu, aku mencoba berselancar di dunia maya. Mencari kenalan cewek-cewek cantik yang bisa aku jadikan pacar.
Melalui dunia maya lah akhirnya aku mengenal Dinda. Seorang gadis cantik yang masih kuliah. Kami saling berkenalan, kemudian sepakat untuk saling bertemu. Setelah beberapa kali pertemuan, kami pun resmi berpacaran.
Kepada Dinda, tentu saja aku mengaku, kalau aku adalah seorang pengusaha muda, yang tinggal di sebuah apartemen. Dinda tentu saja percaya, melihat kemewahan yang aku persembahkan padanya. Bang Erwin memang memberi aku sebuah mobil mewah, tentu saja atas permintaan ku.
Bersama Dinda aku menghabiskan hari-hari ku, ketika bang Erwin tidak sedang bersama ku. Aku hanya harus pintar-pintar mengatur waktu, antara pertemuan ku dengan Dinda dan kunjungan bang Erwin ke apartemen. Seperti halnya bang Erwin yang bisa mengatur waktu, antara aku dan keluarganya.
Hidupku sekarang jadi bak pelangi, yang penuh warna dan terlihat indah. Aku jadi bisa merasakan dua keindahan sekaligus. Punya pacar seorang cewek cantik, dan juga menjadi simpanan seorang laki-laki homo yang kaya raya.
Kedua orang tersebut punya peran tersendiri dalam hidupku. Mereka berdua mampu menghiasi hidupku dengan keindahan yang berbeda. Keindahan yang membuat aku merasa menjadi orang yang beruntung.
Hingga beberapa bulan kemudian. Beberapa bulan sejak aku resmi menjalin cinta dengan Dinda. Aku dengan sedikit nekat mengajak Dinda untuk berkunjung ke apartemen ku. Kebetulan hari itu, memang bukan jadwal biasa bang Erwin datang ke apartemen.
Aku dan Dinda memang sudah sangat dekat. Hubungan kami juga sudah sering melampaui batas. Tapi Dinda tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Sepertinya hal itu bukan hal yang tabu bagi seorang Dinda, mengingat ia adalah seorang gadis kota yang modern. Apa lagi yang ia tahu, aku adalah seorang laki-laki kaya.
Aku memang sering mentraktir Dinda makan di restoran mewah, membelikannya pakaian mewah bahkan juga beberapa perhiasan mewah lainnya. Hal itulah yang membuat Dinda jadi semakin percaya kalau aku benar-benar orang kaya. Padahal semua uang itu aku dapat, tentunya dari bang Erwin.
Bang Erwin memang selalu menuruti semua keinginan ku. Apa pun yang aku minta padanya, pasti akan ia kabulkan. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan hal tersebut.
Namun malang tak dapat di tolak, untung tak dapat di raih. Saat aku sedang berduaan dengan Dinda di dalam kamar, tiba-tiba bang Erwin muncul dan memergoki kami berdua.
Bang Erwin memang punya kunci sendiri untuk masuk ke apartemen. Itu sengaja ia lakukan, agar sewaktu-waktu ia datang ke apartemen bisa langsung masuk, tanpa harus menunggu aku membuka pintu.
Melihat aku yang sedang bersama Dinda di dalam kamar, tentu saja bang Erwin terlihat kaget. Mukanya memerah menahan amarah.
Namun sebagai laki-laki dewasa, bang Erwin sepertinya tidak mau memancing keributan. Ia memilih untuk menutup pintu kembali, dan berpura-pura salah masuk kamar.
Justru aku yang merasa kelabakan. Aku merasa malu, takut dan tentu saja sangat merasa bersalah.
"siapa orang itu?" tanya Dinda yang ikut terlihat gelisah.
"dia... dia... dia itu paman ku. Kami memang ada janji mau ngomongin soal bisnis. Tapi... aku gak nyangka ia akan datang secepat ini.." balasku terbata.
Dinda terlihat sedikit tenang.
"jadi lebih baik kamu pulang aja ya..." ucapku lagi.
Dinda menatap ku sesaat.
"oke.. aku pulang.. aku juga gak mau mengganggu urusan bisnis mu, Gam." balas Dinda, sambil mulai melangkah keluar dari kamar.
Aku masih terdiam di dalam kamar, berusaha mengatur napas ku yang tiba-tiba saja terasa sesak. Aku benar-benar tidak menyangka, kalau bang Erwin akan datang berkunjung hari ini. Karena hari ini memang bukan jadwal ia berkunjung seperti biasanya.
****
"siapa gadis itu?" tanya bang Erwin tajam, saat ia akhirnya masuk ke kamar, ketika Dinda sudah pergi beberapa saat tadi.
"dia... dia ... teman saya, bang.." balasku terbata.
"teman? teman apaan? teman yang kamu ajak kencan? mana ada teman yang bisa di ajak masuk kamar seperti itu? Kalian juga terlihat mesra tadi." suara bang Erwin meninggi, "kamu gak usah bohong lagi, Agam. Kamu udah ketangkap basah seperti itu, masih mau mengelak juga?" lanjutnya masih dengan nada tinggi.
Pada akhirnya aku hanya bisa terdiam. Aku memang bersalah. Dan aku tidak ingin membela diri saat ini. Akan aku terima apa pun yang ingin di lakukan bang Erwin terhadapku.
"udah berapa lama?" tanya bang Erwin kemudian.
"hmm... baru beberapa bulan, bang..." jawabku jujur dengan suara lemah.
"beberapa bulan, kamu bilang baru?" nada suara bang Erwin meninggi lagi.
"tapi.. bang..." ucapan ku terputus.
"aku tahu kamu laki-laki normal, Gam. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya membawa perempuan ke apartemen ku ini. Dan lagi pula, bukankah kamu sendiri yang mengaku, kalau kamu sangat mencintai ku, yang artinya, seharusnya kamu gak perlu mencari orang lain lagi. Maksud kamu apa sebenarnya?" bang Erwin bukan saja terdengar marah, tapi juga terdengar sangat kecewa.
"atau jangan-jangan sebenarnya kamu selama ini hanya pura-pura mencintai ku, agar kamu terbebas dari hutang kamu dan juga agar kamu bisa hidup mewah dan mencari perempuan yang bisa kamu pacari? Benar, kan, Gam?" suara bang Erwin lantang.
Aku kembali terdiam. Aku tidak bisa membela diriku lagi. Dan percuma saja, aku membalas ucapan bang Erwin, karena dia dalam keadaan sangat marah.
"aku tak mau melihat kamu lagi, Gam. Sekarang kamu pergi dari apartemen ku ini!" tegas suara bang Erwin berucap.
"tapi, bang.." ucapku serak.
"udah, Gam. Kamu tak perlu mengatakan apa-apa lagi. Bagi ku semuanya sudah sangat jelas. Aku paling tidak suka di curangi. Aku paling tidak suka di khianati." bang Erwin berucap tegas lagi.
"bang Erwin egois.." ucapku sedikit berani.
"apa? Aku egois?" bang Erwin mengerutkan kening.
"iya.. abang egois." balas ku, "abang hidup bersama istri dan anak-anak abang, aku gak pernah mempermasalahkannya. Abang hanya datang sekali-kali kesini, aku juga tidak mempermasalahkannya. Jadi apa salah, kalau aku juga pengen mengisi kekosongan hari-hari ku saat tidak sedang bersama abang?" lanjutku sedikit meninggi.
"aku dan kamu itu beda, Gam. Aku sudah menikah jauh sebelum kita saling kenal. Dan lagi pula, aku pacaran sama kamu, itu karena kamu punya hutang padaku. Jadi sudah sewajarnya, kalau aku punya hak untuk memiliki kamu seutuhnya."
"aku berhak mengatur kehidupan kamu. Karena selama ini, aku yang menanggung semua biaya hidupmu. Aku yang memberikan kamu semua kemewahan itu. Dan kamu dengan begitu mudahnya, berbagi kemewahan tersebut dengan orang lain. Apa menurut kamu itu setimpal?" ucap bang Erwin terdengar kasar.
"sekarang aku gak mau tahu lagi. Apa pun alasan kamu melakukan semua ini. Aku ingin kamu segera pergi dari hidupku. Aku tak butuh orang yang hanya memanfaatkan ku. Harusnya kamu bersyukur bisa hidup mewah, tanpa harus bekerja keras. Tapi kamu malah mengkhianati ku." lanjut bang Erwin lagi.
Dan aku hanya bisa terdiam menerima semua penghinaan tersebut. Aku memang tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku memang bersalah. Bahkan dari awal, aku memang sudah bersalah. Aku memang berniat hanya untuk memanfaatkan bang Erwin. Menikmati kemewahan hidup darinya, dan berpura-pura mencintainya.
Tapi sekarang, bang Erwin sudah tidak akan percaya lagi padaku. Dan aku juga tidak akan mengemis padanya. Tidak akan lagi. Karena saat ini, semuanya hanya percuma. Bang Erwin sudah terlanjur sakit hati pada ku.
Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat ini, hanyalah segera pergi dari apartemen ini.
"dan ingat Agam!" tiba-tiba bang Erwin berucap lagi, "kamu silahkan pergi dari sini, dengan tidak membawa apa-apa. Karena kamu sudah tidak punya hak apa-apa lagi atas semua yang pernah aku berikan padamu selama ini." lanjutnya tegas.
Akhirnya aku hanya bisa mengemasi beberapa lembar pakaian ku. Lalu kemudian dengan pelan melangkah keluar dari apartemen tersebut. Bang Erwin seperti tak menghiraukan kepergian ku. Dia sepertinya benar-benar marah dan sangat kecewa padaku.
Sejujurnya, memang ada rasa penyesalan di hati ku. Aku menyesal bukan hanya karena aku harus kehilangan bang Erwin, tapi juga karena aku harus kehilangan kehidupan mewah yang aku jalani selama ini.
Lalu seperti apakah kisah hidupku selanjutnya?
Mungkinkah aku akan bisa kembali lagi kepada bang Erwin?"
Atau kah aku akan menemukan sesuatu yang baru dalam hidupku?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi pada part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua
*****
Part 4
Aku akhirnya benar-benar pergi dari kehidupan bang Erwin. Aku harus meninggalkan kehidupan mewah yang aku rasakan selama lebih dari setahun bersama bang Erwin. Semua itu hanya karena satu kesalahan.
Aku kembali tinggal bersama ibu dan adik-adik ku. Aku kembali harus menjalani kehidupan yang serba kekurangan. Apa lagi saat ini aku tidak bekerja. Aku tidak punya penghasilan sama sekali. Sementara penghasilan ibu ku, yang hanya mengandalkan berjualan sayur keliling, hasilnya tidaklah seberapa.
Aku mulai merasa menyesal, karena telah mengkhianati bang Erwin. Aku menyesal telah membohonginya selama ini, yang membuat aku harus kehilangan semuanya.
Aku menjalani hari-hari ku tanpa semangat. Aku merasa rapuh.
Tapi hidup harus tetap berlanjut. Aku harus tetap menjalani kehidupan ini, walau seberat apa pun. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan.
Hingga suatu saat, setelah hampir satu bulan aku jadi pengangguran, ibu ku tiba-tiba sakit. Ia tidak bisa lagi berjualan sayur keliling. Aku pun mau tidak mau harus menggantikan posisi ibu ku menjadi tukang sayur keliling.
Awalnya semua itu terasa cukup berat bagi ku. Apa lagi selama ini aku tidak terbiasa bekerja keras. Aku juga masih merasa cukup gengsi menjalani profesi tersebut. Namun demi biaya hidup kami, demi biaya sekolah adik-adik ku, dan juga demi kesehatan ibu ku, aku harus menjalani semuanya.
Aku berkeliling kompleks untuk menjajakan sayuran, yang aku dapat dari seorang agen, dengan menggunakan sebuah gerobak dorong. Rasanya hal itu cukup melelahkan. Dan itulah yang ibu ku rasakan selama ini.
Untungnya, para ibu-ibu di kompleks yang aku lewati, sangat antusias membeli sayur-sayuran yang aku bawa, sehingga kadang dagangan ku cepat habis.
"pedagangnya kasep pisan, jadi betah belanja sayuran sama dia.." bisik salah seorang ibu-ibu kepada temannya, yang membuat aku merasa jadi sedikit malu. Mungkin hal itu juga, yang membuat dagangan ku jadi cepat habis.
Mendengar kalimat-kalimat pujian yang terkadang sengaja para ibu-ibu itu lontarkan padaku, membuat aku jadi punya semangat untuk terus berjualan setiap harinya. Apa lagi jualan sayuran ku juga cukup laris.
****
Hari-hari pun kembali terus berlalu, sudah hampir dua bulan aku jadi pedagang sayur keliling.
Hingga suatu hari, aku tak sengaja bertemu Dinda, setelah beberapa bulan aku tak pernah lagi menghubunginya, sejak peristiwa di apartemen bang Erwin dulu.
"kamu jadi tukang sayur sekarang?" tanya Dinda, saat ia memergoki ku sedang berkeliling.
Aku tak kuasa menahan rasa malu. Selama ini yang Dinda tahu, aku adalah seorang pengusaha muda dan tinggal di sebuah apartemen mewah.
"pantas, aku gak bisa menghubungi kamu lagi. Aku coba datangi apartemen kamu, tapi selalu kosong. Kamu kenapa jadi penjual sayur keliling sih, Gam? Kamu bangkrut?" Dinda berucap lagi.
"aku.. aku.. aku minta maaf, Din. Aku tak pernah menghubungi kamu lagi. Aku malu bertemu kamu." balasku akhirnya.
"kenapa kamu harus malu?" tanya Dinda.
"karena.. karena aku selama ini telah membohongi kamu.." balasku pelan.
"maksud kamu?" Dinda bertanya lagi.
"semua yang aku katakan selama ini sama kamu adalah kebohongan, Din. Aku bukan pengusaha muda, aku juga bukan pemilik apartemen tersebut." balasku.
"untuk apa kamu membohongi aku?" tanya Dinda lagi.
"panjang ceritanya, Din. Dan kamu gak perlu tahu. Tapi yang pasti, aku tak seperti yang kamu pikirkan. Dan aku harap, kamu bisa melupakan aku.." balasku lagi.
"tanpa kamu minta pun, aku sudah melupakan kamu, Gam. Kamu pikir selama ini, aku benar-benar mencintai kamu? Aku hanya menginginkan harta kamu, Gam. Dan setelah aku tahu, kalau semua itu hanya kebohongan, aku semakin tak ingin mengenal kamu lagi.." ucap Dinda sedikit sinis.
"ya.. kamu pantas membenci ku, Din. Karena selama ini kita sama-sama berbohong. Jadi tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, kan?" balasku, sambil mulai mendorong kembali gerobak sayuran ku.
Dinda tak berniat mencegah ku. Dia juga tidak berniat berkata apa-apa lagi. Dia membiarkan ku pergi begitu saja.
****
Aku kembali menjalani hari-hari ku sebagai tukang sayur keliling. Aku mencoba menikmati semua itu. Namun hal itu tidaklah selalu mudah. Aku masih sering memikirkan bang Erwin.
Aku memikirkan bang Erwin, bukan lagi karena ia orang kaya. Bukan lagi karena kehidupan mewah yang pernah berikan pada ku dulu.
Aku memikirkannya, karena aku memang benar-benar merindukannya. Merindukan perhatian dan kasih sayangnya yang tulus.
Mungkin tanpa aku sadari, aku sebenarnya telah jatuh cinta kepada bang Erwin. Namun selama ini, ego ku selalu membantah hal tersebut.
Lebih dari setahun aku hidup bersama bang Erwin. Lebih dari setahun aku menjalani hari-hari bersamanya. Hal itu ternyata cukup membuat aku telah jatuh cinta padanya. Dan sayangnya, aku menyadari semua itu, saat aku tidak lagi bersamanya.
Kebersamaan melewati hari-hari bersama bang Erwin, tenyata telah mampu membuka hati ku. Aku telah jatuh cinta padanya. Seperti pepatah jawa mengatakan, 'witing tresno jalaran soko kulino', cinta tumbuh karena terbiasa.
Namun aku sudah terlambat menyadari hal tersebut. Setelah semuanya berlalu dan pergi, aku baru menyadarinya. Seperti sebuah lirik lagu mengatakan, 'kalau sudah tiada baru terasa'.
Dan hal itulah yang aku alami saat ini. Sebuah penyesalan yang selalu datang terlambat. Sebuah penyesalan yang membuat aku semakin menyesali semuanya.
Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Bang Erwin pasti sudah tidak mempercayai ku lagi. Ia pasti sudah sangat membenci ku saat ini.
Hanya saja, aku masih selalu memikirkannya hingga saat ini. Aku tak bisa melupakannya. Segala kenangan indah yang pernah kami lalui berdua, terus melintas di pikiran ku.
Aku pun bertekad untuk menemui bang Erwin kembali. Apa pun resikonya. Mungkin bang Erwin akan memaki ku. Mungkin ia juga tidak akan percaya lagi dengan semua yang aku katakan padanya. Tapi aku harus menemuinya. Bang Erwin harus tahu, kalau kehadirannya dalam hidupku, telah mampu mengubah sebagian besar, sesuatu yang ada di dalam diri ku.
*****
"untuk apa lagi kamu menemuiku, Gam?" tanya bang Erwin, saat akhirnya aku bertemu dia di apartemennya.
"aku mau minta maaf, bang." balasku lemah.
"kamu tidak perlu minta maaf, untuk sesuatu yang sengaja kamu lakukan, Gam." ucap bang Erwin tajam.
"aku tahu, aku salah, bang. Dan aku sangat menyesal." balasku, tanpa peduli kan ucapan bang Erwin barusan.
"tidak seharusnya aku mengkhianati abang. Tidak seharusnya aku membohongi abang. Padahal sebenarnya aku hanya mencoba membohongi perasaan ku sendiri." lanjutku.
"apa maksud kamu?" tanya bang Erwin, sedikit mengerutkan kening.
"sebenarnya aku telah jatuh cinta pada bang Erwin. Aku sebenarnya juga mencinta bang Erwin. Tapi aku selalu berusaha menutupi semua itu. Karena aku tidak ingin mengingkari kodrat ku sebagai seorang laki-laki." balasku pelan.
"bukankah dulu, kamu juga mengakui kalau kamu mencintai ku, Gam Tapi nyatanya semua itu hanya sebuah kebohongan." ucap bang Erwin sinis.
"abang boleh tidak percaya. Abang boleh menganggap ku hanya ingin membohongi abang lagi. Tapi kali ini aku benar-benar serius, bang. Apa yang aku utarakan saat ini, benar-benar dari hati ku yang paling dalam.." balasku sedikit lirih.
"aku tidak tahu, entah bagian mana dari semua kalimat-kalimat yang pernah kamu ucapkan padaku, yang masih dapat aku percaya, Gam. Aku tak benar-benar mengenal kamu." ucap bang Erwin terdengar pilu.
"abang telah mampu mengubah sebagian besar dari diriku, bang. Aku bukan lagi Agam yang abang kenal ketika pertama kali kita bertemu dulu. Sekarang aku sama seperti bang Erwin. Aku sudah tidak tertarik lagi pada perempuan, bang. Aku hanya mencintai bang Erwin. Hatiku sudah tertutup, akan kehadiran cinta lain. Hatiku telah tertutup oleh cinta yang tumbuh untuk bang Erwin." aku berucap dengan penuh perasaan.
Kali ini bang Erwin terdiam. Sepertinya ia mulai percaya dengan apa yang aku ucapkan padanya.
"aku mengatakan ini, bukan karena aku berharap bisa kembali lagi pada bang Erwin. Sama sekali tidak, bang. Aku mengatakan ini, hanya agar bang Erwin tahu tentang perasaan ku yang sebenarnya. Aku ingin abang tahu, kalau aku juga sangat mencintai abang." ucapku melanjutkan, masih terus berusaha untuk meyakinkan bang Erwin tentang perasaan ku yang sebenarnya.
"aku juga masih sangat mencintai kamu, Gam. Aku juga masih sering merindukanmu. Hidupku hampa tanda kehadiran mu. Namun sebagai orang yang pernah dibohongi, tidak mudah bagiku untuk bisa membangun kepercayaan itu lagi. Aku sudah terlanjur terluka." bang Erwin berucap juga akhirnya.
"aku ngerti, bang. Aku sangat mengerti. Karena itu, aku tidak akan memohon untuk bisa kembali lagi kepada bang Erwin. Sekali lagi, aku mengatakan ini semua, hanya agar bang Erwin tahu, kalau aku juga mencintai bang Erwin. Itu saja.." balasku penuh perasaan.
"tapi aku akan memberi kamu satu kesempatan lagi, Gam. Hanya satu kesempatan. Dan jika kamu mengkhianati ku lagi, maka jangan harap aku akan memaafkan mu." ucap bang Erwin kemudian.
"bang Erwin serius?" tanyaku setengah tak percaya.
"aku selalu serius pada setiap ucapan ku, Gam. Aku bukan orang yang pandai berbohong." balas bang Erwin seakan sengaja menyindir ku.
Tapi bang Erwin pantas melakukannya. Biar bagaimana pun, aku pernah hidup dalam kebohongan bersamanya.
Namun kini, aku tidak akan menyia-nyiakan bang Erwin lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ia berikan. Aku akan mencintainya dengan tulus.
Aku akan mencintainya, bukan karena hartanya. Bukan karena bang Erwin orang kaya. Bukan karena aku ingin hidup mewah bersamanya. Tapi aku mencintainya, karena aku memang mencintainya. Dan cinta tidak butuh alasan apa pun untuk mencintai.
Begitulah kisah cinta ku bersama bang Erwin, si rentenir tampan tersebut. Kami pun kembali hidup bersama. Namun kali ini, kami benar-benar saling mencintai, benar-benar saling menyayangi.
Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di kisah-kisah menarik lainnya, salam sayang untuk kalian semua.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih