"aku ingin kita putus.." ucapku dengan suara tertahan.
Hendra menatapku tajam. Aku hanya bisa tertunduk pada akhirnya.
"kenapa?" tanya Hendra dengan nada keras.
"aku capek, Hend. Aku capek menjalani hubungan ini. Kamu terlalu mengekang ku.." balasku pelan.
"itu hanya alasan kamu saja, kan? Karena sebenarnya kamu sudah punya yang baru." ucap Hendra membalas.
"aku gak pernah berpikir sekali pun, untuk mencari yang baru, Hend. Tapi aku juga sudah tidak mampu lagi bertahan dengan hubungan seperti ini." ucapku kemudian.
"hubungan seperti apa yang kamu maksud?" Hendra balas bertanya.
"kamu terlalu posesif, Hend. Kamu tidak memberikan aku sedikit pun kebebasan. Kamu juga terlalu mengatur hidupku." jawab ku apa adanya.
"itu karena aku sangat mencintai kamu, Mahesa. Aku gak ingin kamu dekat-dekat sama siapa pun, karena kamu hanya milik ku." ucap Hendra, terdengar sedikit kasar.
"tapi tidak dengan cara seperti itu, Hend. Jika kamu memang benar-benar mencintai ku, kamu juga harus percaya padaku. Aku gak mungkin macam-macam, Hend. Karena aku juga sangat mencintai kamu." balasku.
"kalau kamu juga mencintai ku, kenapa sekarang tiba-tiba ingin putus?" Hendra bertanya lagi.
"bukankah tadi sudah aku jelaskan alasan apa yang membuat aku ingin putus? Kenapa kamu selalu menanyakan hal yang sama?" aku balas bertanya.
"aku gak ingin kita putus, Mahesa. Aku ingin kita tetap bersama-sama. Dan aku janji, aku akan berubah.." ucap Hendra dengan suara sedikit menghiba.
"kamu sudah terlalu sering berjanji seperti itu, Hendra. Dan kamu selalu mengingkarinya. Sekarang aku sudah tidak percaya lagi, akan janji kamu." balasku berusaha bersikap tenang.
"aku mohon, Mahesa. Jangan tinggalkan aku. Kali ini aku benar-benar akan menepati janji ku. Aku tidak akan mengekang kamu lagi. Aku akan memberikan kamu kebebasan sepenuhnya, asalkan kita jangan putus.." suara Hendra kian menghiba.
Dan aku sudah terlalu terbiasa mendengar hal tersebut. Bukan sekali ini saja, Hendra berucap demikian. Sudah sering. Bahkan sudah teramat sering. Hingga aku tidak ingat lagi, kapan terakhir kali ia memohon padaku seperti ini.
****
Aku dan Hendra sudah pacaran lebih dari enam tahun. Kami pacaran, sejak kami masih SMA, hingga kini kami sudah sama-sama memasuki tahun terakhir masa kuliah.
Kami memang kuliah di kampus yang sama, tapi kami mengambil jurusan yang berbeda. Aku mengambil jurusan hukum, sedangkan Hendra jurusan tehnik industri.
Hendra merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya laki-laki, dan adik bungsunya perempuan. Sebagai anak tengah, watak Hendra memang sedikit keras.
Aku sendiri adalah anak tunggal. Papa ku seorang pengusaha, sedangkan mama ku bekerja di sebuah kantor advokat swasta.
Aku dan Hendra kenal, karena kebetulan kami sekolah di SMA yang sama. Sejak dari kelas satu SMA, kami selalu satu kelas. Karena itu, kami pun menjadi dekat dan akrab. Hingga akhirnya, ketika kami sudah duduk di kelas tiga, kami pun memutuskan untuk menjalin hubungan asmara.
Awalnya hubungan kami berjalan dengan sangat baik. Kami bahagia dengan hubungan cinta kami. Semuanya terasa indah. Bahkan sangat indah. Tak ada waktu yang kami lewati tanpa kebersamaan.
Hingga setelah hampir setahun pacaran, tiba-tiba aku merasa sifat Hendra berubah. Atau sebenarnya itulah sifat aslinya. Dia jadi suka mengatur setiap tindakan ku. Apa pun yang aku lakukan, harus melalui persetujuannya.
Hendra jadi suka melarang aku berteman dengan siapa pun. Dia selalu marah, kalau aku nongkrong atau pun berkumpul bersama teman-teman ku yang lain.
Aku kira awalnya hal itu, mungkin karena dia merasa takut akan kehilangan diriku. Aku mencoba mengikuti semua keinginannya. Aku turuti setiap permintaannya.
Tapi anehnya, Hendra justru tidak suka jika aku melarangnya berteman dengan orang lain. Dia selalu marah, jika aku melarangnya melakukan sesuatu yang tidak aku suka.
Pada akhirnya, kami pun jadi sering bertengkar. Hendra selalu marah, jika melihat aku jalan bersama teman laki-laki ku yang lain. Dia tidak pernah mengizinkan aku berteman dengan siapa pun, baik teman perempuan apa lagi teman laki-laki.
Aku sudah beberapa kali minta putus darinya. Namun ia selalu berhasil membujuk ku, untuk tetap bertahan dengannya. Dan dia selalu berjanji, akan berubah. Tidak akan mengekang ku lagi.
Tapi hal itu hanya bertahan beberapa minggu. Setelah itu, Hendra akan kembali dengan sifatnya yang posesif dan suka mengekang. Hingga akhirnya, kami pun bertengkar kembali.
Dan seperti biasa, setiap kali aku minta putus, Hendra akan meminta maaf, dan berjanji lagi untuk berubah.
Hal itu terus terjadi berulang-ulang. Hingga tak terhitung lagi, sudah berapa kali ia berjanji akan berubah, tapi selalu ia ingkari.
Pada akhirnya aku tahu, itulah sifat asli Hendra. Suka mengatur, tapi tidak suka diatur. Suka mengekang dan terlalu posesif. Bahkan terkesan sangat egois. Ia bebas berteman dengan siapa saja, sementara ia selalu melarang aku untuk dekat dengan siapa pun.
Hendra akan bersikap sangat kasar, jika ia tahu, kalau aku jalan sama teman ku yang lain. Ia selalu menuduhku berselingkuh, tanpa mau mendengarkan penjelasan ku sedikit pun.
Dan sekarang aku mulai lelah dengan semua itu. Betapa pun aku sangat mencintainya, namun sikapnya tersebut, membuat aku merasa tidak di hargai.
***
"pokoknya sekarang aku sudah tidak percaya lagi sama kamu, Hend. Mulai sekarang, kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kita putus. Aku gak peduli, sekali pun kamu bermohon pada ku.' ucapku akhirnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.
"kamu egois, Mahesa. Kamu tidak pernah memikirkan perasaan ku. Kamu hanya memikirkan perasaan mu sendiri.." suara Hendra masih terdengar menghiba.
"kamu yang egois, Hendra. Kenapa sih kamu selalu melimpahkan semua kesalahan padaku? Kamu tidak pernah mau mengakui kesalahan kamu. Sekarang kamu bilang aku egois?" suaraku mulai serak.
"enam tahun, Hend. Enam tahun aku coba bertahan dengan segala sikap kamu yang gak jelas itu. Enam tahun, aku hidup dalam kekangan. Aku gak bebas jadi diri ku sendiri. Aku mencoba bertahan, karena aku selalu berharap, kalau kamu akan benar-benar berubah."
"tapi kenyataannya, sampai saat ini, kamu masih saja sama. Kamu gak pernah menghargai perasaan ku. Kamu gak pernah menghargai pengorbanan ku. Kamu gak peduli dengan segala perjuangan ku untuk mempertahankan hubungan kita ini.." aku terus berucap.
Aku melihat Hendra mulai tertunduk. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat ia menangis.
"maafkan aku, Mahesa. Maafkan aku, jika selama kita pacaran, ternyata kamu tidak bahagia dengan ku. Aku memang tidak pantas buat kamu.." suara Hendra sedikit terisak.
Sejujurnya, hati ku mulai tersentuh melihat hal tersebut. Hendra menangis di depan ku, seperti orang yang sangat menyesali perbuatannya. Tapi...
"kamu gak perlu buang-buang air mata, hanya untuk membuat aku merasa iba. Kamu gak perlu melakukan hal itu, hanya untuk meyakinkan ku, Hend." aku berucap pelan.
"jika kamu memang benar-benar mencintai ku, biarkan aku pergi, Hend. Biarkan aku menjalani kehidupan ku sendiri. Aku tidak ingin terjebak lagi, dalam hubungan yang hanya menyiksa ku. Apa pun yang kamu lakukan, tidak akan lagi mengubah keputusan ku." lanjutku kemudian.
"tapi aku gak bisa hidup tanpa kamu, Mahesa. Aku gak ingin kamu pergi. Kita mulai lagi semuanya dari awal, ya... kita perbaiki semuanya.." balas Hendra masih dalam isaknya.
"gak ada yang harus diperbaiki, Hend. Gak ada yang harus di mulai lagi. Bagi ku... semuanya sudah berakhir. Akan lebih baik, jika kita tidak lagi bersama. Maafkan aku, Hend. Aku harus pergi.." ucapku akhirnya.
Dan setelah berkata demikian, aku pun segera berlalu dari situ, meninggalkan Hendra yang masih saja menangis terisak. Tapi aku sudah tidak peduli. karena aku tahu, itu hanya taktik Hendra untuk membuat aku merasa lemah, dan memberikannya kesempatan lagi.
Sekarang aku tidak mau lagi tertipu dengan segala kebohongan Hendra. Aku sudah cukup bersabar menghadapi sikapnya selama ini. Kini saatnya aku bebas dari semua penderitaan itu.
Aku hanya berharap, semoga aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan orang seperti Hendra, yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Yah... semoga saja.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih