Langsung ke konten utama

Postingan

Adsense

Akibat jauh dari istri (part 3)

Pagi itu, selesai mandi dan sarapan, aku dan pak Imam pun berangkat ke kota. Dengan menggunakan mobil Fortuner mewah milik pak Imam. Aku duduk di samping pak Imam dengan perasaan yang tak karuan. "mas Thoriq udah berapa anaknya?" tanya pak Imam, entah ia hanya sekedar berbasa-basi atau memang benar-benar ingin tahu. "udah tiga, pak.." balas ku sopan. Pak Imam melirik ku sekilas, kemudian ia fokus kembali menatap jalanan yang masih lumayan sepi pagi itu. "mas Thoriq gak usah panggil saya pak lah.. emangnya saya udah setua itu ya?" ucap pak Imam kemudian. "tapi kan pak Imam atasan saya, rasanya kurang sopan kalau hanya panggil nama saja, meski pun saya tahu, pak Imam lebih muda dari saya." balasku apa adanya. "iya... tapi kalau lagi kayak gini gak usah panggil pak, panggil Imam aja. Mas Thoriq santai aja, saya lebih suka kalau mas Thoriq manggil saya dengan sebutan nama aja. Kecuali kalau lagi di tempat kerja." ucap pak Imam selanjutnya.

Akibat jauh dari istri (part 2)

Malam itu, sehabis mandi dan makan malam, aku pun duduk-duduk santai di depan rumah, bersama rekan-rekan kuli lainnya. Kami ngobrol seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya. Namun, jujur saja, pikiran ku sendiri masih tertuju pada Agri. Aku masih terus memikirkan tentang tawarannya siang tadi. Aku dilema. Sebagian hati ku berharap, agar Agri tidak jadi datang malam ini. Namun ada bagian hati ku yang lain, seakan ingin Agri datang ingin menjemputku. Aku pun menjadi gelisah tak menentu. Berkali-kali aku melirik jam di tangan ku, dan sekali-kali aku memperhatikan jalan masuk ke perumahan tersebut, sambil sedikit berharap, ada motor yang datang. Motor Agri. Dan tepat jam 9 malam, sebuah motor pun datang. Ternyata itu Agri. Ia menepati janjinya, untuk datang menjemputku. Tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Pikiran ku semakin tak karuan. "malam mas Thoriq.." sapa Agri, sambil turun dari motornya. "malam juga, Agri.." balasku berusaha sesantai mungkin. "yuk, mas.

Akibat jauh dari istri (part 1)

Namaku Thoriq. Saat ini aku sudah berusia 35 tahun lebih. Aku sudah menikah dan sudah memiliki 3 orang anak. Anak pertama ku perempuan, sudah berusia 10 tahun. Anak kedua ku juga perempuan, dan sudah berusia 6 tahun lebih. Sedangkan anak bungsu ku laki-laki, ia baru berusia satu tahun. Aku memang menikah pada saat usia ku masih 24 tahun waktu itu. Sementara istri ku sendiri saat itu masih 22 tahun usianya. Aku dan istri ku menikah atas dasar saling cinta. Kami sempat pacaran selama hampir tiga tahun. Setamat SMA, aku tidak melanjutkan kuliah, karena kondisi ekonomi orangtua ku yang memang hanya pas-pasan. Di tambah pula ketiga orang adik-adik ku masih butuh biaya banyak waktu itu. Sementara istri ku sendiri juga tidak kuliah, ia hanya lulusan SMA, sama seperti ku. Orang tua istri ku juga termasuk golongan orang yang tidak mampu. Sebenarnya aku dan istri ku berasal dari kampung yang sama, karena itulah kami sudah saling kenal sejak lama. Namun setelah menikah, kami memutuskan untuk perg

Bersama tunangan orang part 2

Hampr sebulan aku dan Bima tidak berkomunikasi sama sekali. Kami tidak pernah bertemu, kecuali saat di tempat kerja. Itu pun kami tidak pernah berbicara berdua. Kami pura-pura sibuk dengan pekerjaan kami, pura-pura sibuk ngobrol dengan rekan kerja yang lain. Aku gak tahu, apa sebenarnya yang terjadi diantara kami berdua saat ini. Bagaimana hubungan kami selanjutnya? Apakah Bima sudah membuat pilihan? Aku tak berani bertanya. Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal tersebut. Apa pun pilihan Bima saat ini, aku akan mencoba untuk ikhlas menerimanya. Hingga seminggu menjelang hari pernikahannya, Bima tidak lagi masuk kerja. Ia sengaja mengambil cuti lebih awal. Setidaknya begitulah yang aku ketahui, kabar tentang Bima sampai saat ini. Aku yakin, sebentar lagi, undangan pernikahan Bima dan Reina, akan segera menyebar, terutama di tempat kerja kami. Aku berusaha kuat untuk bisa menghadapi itu semua. Hal terpahit, yang akan aku alami beberapa hari lagi. Merelakan orang yang kita cintai menika

Bersama tunangan orang...

"aku gak sanggup, Ken." ucap Bima lemah. "kenapa?" tanyaku membalas. "aku... aku merasa kalau hubungan kita ini adalah sebuah kesalahan, Ken. Dan aku gak sanggup untuk berterus terang pada Reina. Aku gak sanggup untuk memutuskan pertunangan kami." balas Bima dengan suara sendu. "bukankah dari awal hubungan kita memang sebuah kesalahan, Bim? Lalu mengapa baru sekarang kamu mengatakan hal tersebut? Kenapa tidak dari dulu? Sebelum hubungan kita terlalu dalam seperti saat ini?" tanya ku lagi bertubi-tubi. "maafkan aku, Ken. Aku juga gak nyangka bakal seperti ini. Ini semua di luar rencana ku." balas Bima. Aku mengambil seonggok pasir dengan tangan kanan ku, lalu menggenggamnya erat, kemudian aku taburkan pasir itu melalui sela-sela jari ku. Hati ku meringis perih. Aku dan Bima memang sedang duduk berdua di pinggiran sebuah pantai. Kami sedang berliburan berdua. Hal ini sudah biasa kami lakukan. Setidaknya sejak kami mulai menjalin hubungan

Santri tampan idola hati part 3

Aku dan Faroz memang sudah seperti saudara. Kami sudah sangat dekat. Aku bahkan sudah teramat sering menginap di kost Faroz. Awalnya ku pikir, dengan menjadi begitu dekat sama Faroz, akan bisa mengubah perasaanku padanya. Setidaknya, menjadi sahabat dekatnya harusnya sudah bisa membuat aku bahagia. Aku memang bahagia. Tapi tidak pernah ada kata cukup dalam hidup ini. Rasanya belum cukup, kalau hanya sekedar menjadi sahabatnya. Dan lagi pula aku juga penasaran, seperti apa perasaan Faroz padaku sebenarnya. Mungkinkah dia juga merasakan hal yang sama? Mengingat sudah begitu dekatnya kami. Dan sudah begitu banyak pengorbanan ku untuknya. Karena itulah, akhirnya aku memberanikan diri untuk jujur pada Faroz, tentang perasaan ku padanya. "aku ingin ngomong sesuatu sama kamu, Faroz.." ucapku pada suatu malam, saat untuk kesekian kalinya aku menginap di kost Faroz. "tumben, bang Abe mau ngomong sesuatu pake izin segala. Biasanya langsung nyerocos aja.." balas Faroz, dengan

Santri tampan idola hati bagian 2

Beberapa bulan berlalu, semenjak kepergian Faroz. Semenjak kami berpisah subuh itu. Tidak ada kabar apa pun tentang Faroz. Apa lagi aku memang tidak punya kontaknya. Mungkin saja, Faroz sudah melupakan ku. Tapi tidak mudah bagiku untuk melupakannya begitu saja. Aku masih selalu memikirkannya. Aku masih selalu merindukannya. Merindukan suaranya yang merdu, senyumnya yang tulus dan tutur sapanya yang sopan dan lembut. Aku merindukannya setiap saat. Bahkan hampir di setiap do'a ku, aku selalu menyebut namanya. Aku selalu mendo'akan yang terbaik untuknya. Dan aku masih selalu berharap, suatu saat kelak kami bisa bertemu lagi. Dan untuk mewujudkan harapan ku itu, juga untuk menepati janji ku pada Faroz, akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi nya di pesantren tempat ia bersekolah. Namun ternyata, mengunjungi Faroz di pesantren nya bukanlah hal yang mudah. Karena mereka sudah punya jadwal untuk setiap orangtua yang ingin berkunjung. Tapi aku tidak menyerah begitu aja. Meski aku dat

Iklan google