Langsung ke konten utama

Adsense

Santri tampan idola hati bagian 2

Beberapa bulan berlalu, semenjak kepergian Faroz. Semenjak kami berpisah subuh itu. Tidak ada kabar apa pun tentang Faroz. Apa lagi aku memang tidak punya kontaknya. Mungkin saja, Faroz sudah melupakan ku.

Tapi tidak mudah bagiku untuk melupakannya begitu saja. Aku masih selalu memikirkannya. Aku masih selalu merindukannya. Merindukan suaranya yang merdu, senyumnya yang tulus dan tutur sapanya yang sopan dan lembut. Aku merindukannya setiap saat.

Bahkan hampir di setiap do'a ku, aku selalu menyebut namanya. Aku selalu mendo'akan yang terbaik untuknya. Dan aku masih selalu berharap, suatu saat kelak kami bisa bertemu lagi.

Dan untuk mewujudkan harapan ku itu, juga untuk menepati janji ku pada Faroz, akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi nya di pesantren tempat ia bersekolah.

Namun ternyata, mengunjungi Faroz di pesantren nya bukanlah hal yang mudah. Karena mereka sudah punya jadwal untuk setiap orangtua yang ingin berkunjung.

Tapi aku tidak menyerah begitu aja. Meski aku datang bukan pada jadwal kunjungannya. Aku berusaha melakukan berbagai cara, untuk bisa meyakinkan sang satpam yang menjaga gerbang pesantren tersebut, agar aku diperbolehkan masuk dan bertemu Faroz langsung.

Setelah berhasil memohon kepada sang satpam, dengan sedikit pelicin tentunya, aku akhirnya bisa bertemu Faroz. Hanya saja, waktunya terlalu singkat, hanya sepuluh menit.

"apa kabar kamu, Faroz?" tanyaku,sesaat setelah kami berjabat tangan. Kami ngobrol di bangku taman yang ada di halaman pesantren tersebut.

"alhamdulillah kabar saya baik, bang. Bang Abe apa kabar?" balas Faroz.

"kabar saya juga baik." ucapku membalas.

"ada apa abang tiba-tiba datang kesini?" tanya Faroz kemudian.

"hmmm... gak ada apa-apa, sih. Cuma... yah... mungkin saya kangen sama kamu, Faroz. Saya rindu mendengar suara kamu lagi." balas ku, tiba-tiba menjadi sedikit grogi.

"saya juga kangen sama bang Abe, sama suasana kampung bang Abe juga." ucap Faroz terdengar datar. Entah ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya, atau hanya sekedar untuk membuat aku merasa senang.

"oh, ya... ini saya ada sedikit oleh-oleh buat kamu. Kebetulan kemarin saya sempat pergi jalan-jalan. Ingat kamu, kemudian saya belikan ini buat kamu.." ucapku kemudian, sambil menyerahkan sebuah bungkusan pada Faroz.

Dengan sedikit ragu, Faroz menerima bungkusan tersebut. Ia segera membuka kantong plastik itu, dan berusaha mengeluarkan isi nya. Sebuah Al-Qur'an kecil dengan terjemahannya. Memang sengaja saya beli, untuk Faroz.

Faroz menatap Al-Qur'an itu, lalu ia tersenyum kecil.

"makasih ya, bang Abe. Tapi sebenarnya bang Abe gak usah sering-sering kasih saya hadiah. Sudah terlalu banyak hadiah yang saya terima dari bang Abe. Saya merasa jadi tidak enak hati. Padahal kita baru saja saling kenal. Tapi bang Abe terlalu baik sama saya.." ucap Faroz, terdengar lemah.

"itu karena di mata saya, kamu itu orang baik, Faroz. Dan sejujurnya, aku salah seorang pengagum suara indah kamu. Saya hanya kamu tahu, kalau saya peduli sama kamu. Dan saya ingin, kamu jangan menganggap saya orang asing lagi. Meski pun kita baru saling kenal. Karena saya merasa sudah sangat dekat sama kamu.." balasku pelan.

"ya udah... kalau begitu, saya pamit dulu ya.. Karena saya hanya di beri waktu 10 menit, untuk ngobrol sama kamu.." lanjutku kemudian.

"kamu belajar yang rajin ya.. jangan lupa jaga diri dengan baik.." lanjutku lagi.

"iya, bang Abe.. makasih sekali lagi.." balas Faroz.

Lalu kemudian, aku mulai melangkah meninggalkan Faroz. Melangkah pelan menuju gerbang sekolah tersebut. Lalu pamit kepada sang satpam, dengan sedikit mengucapkan terima kasih.

****


 

Bebrapa kali aku datang mengunjungi Faroz, dengan tetap memberikannya beberapa hadiah. Mulai dari jam tangan, peci, baju dan beberapa hadiah lainnya.

Faroz sudah berusaha dengan keras untuk menolak hadiah-hadiah tersebut. Namun aku selalu berhasil meyakinkannya, yang membuat ia harus menerima hadiah tersebut.

Aku gak tahu, apa tujuan ku sebenarnya dengan semua ini. Apa sebenarnya yang aku kejar. Sebegitu bodoh kah aku karena cinta? Hingga rela menghabiskan uang ku, hanya untuk memberi hadiah kepada orang yang aku suka.

Padahal aku tahu, sekeras apa pun aku berjuang, untuk mendapatkan perhatian lebih dari Faroz, dia akan tetap menganggap ku orang asing. Dia tidak akan pernah membuka hatinya untuk ku. Walau dengan cara dan alasan apa pun.

Faroz itu cowok normal, dan saya tahu itu. Tambah lagi, Faroz adalah sosok yang alim. Tidak akan mudah bagi ku, untuk bisa membuatnya goyah.

Sekali pun nantinya, Faroz akan tersentuh, dengan semua kebaikan ku padanya selama ini. Lalu untuk apa semua itu? Aku juga tidak ingin menjadi orang yang menghancurkan masa depannya.

Aku mencintainya tulus. Aku berusaha untuk tidak berharap apa pun darinya. Tapi sebagai manusia, kadang ada keinginan itu muncul. Keinginan untuk bisa memilikinya, lebih dari sekedar teman biasa.

Tiba-tiba saja aku menjadi dilema.

Di satu sisi, aku hanya ingin melihat Faroz bahagia, dan membiarkan dia melanjutkan hidupnya, tanpa harus ada aku di dalamnya.

Namun di sisi lain, ada keinginan untuk bisa menaklukan hatinya dan memilikinya selamanya, sebagai kekasih.

Aku sadar, keinginan ku itu, bukanlah sesuatu yang wajar. Keinginan ku itu adalah sebuah kesalahan, dan juga merupakan sesuatu yang sangat mustahil bisa terjadi.

Tapi setiap kali, aku berusaha untuk melupakan Faroz, setiap kali aku berusaha untuk mengubur semua impian ku tentangnya, setiap kali pula aku merasa sakit. Aku gak bisa melupakannya begitu aja. Namanya sudah terlalu dalam terukir di relung hati ku. Mungkin aku memang terlalu mencintainya.

Kini aku hanya bisa pasrah. Jika memang Faroz tidak bisa aku miliki sebagai kekasih, aku akan berusaha untuk ikhlas. Tapi aku tidak akan pernah berhenti berjuang untuk bisa meluluhkan hatinya.

*****

Dan waktu pun masih terus berputar, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu. Aku dan Faroz pun semakin akrab dan dekat.

Faroz sudah lulus dari pesantrennya, dan sekarang ia sudah mulai kuliah. Aku juga sudah punya kontak Faroz, sehingga kami juga sering ngobrol lewat ponsel. Boleh di bilang saat ini, kami sudah jadi teman dekat. Faroz sudah tidak menganggap aku orang asing lagi.

Sejujurnya aku merasa bahagia, bisa menjadi bagian penting dalam hidup Faroz. aku bahagia bisa menjadi sahabatnya, meski pun untuk sampai ke tahap itu, aku sudah mengorbankan banyak hal.

Tapi aku gak peduli, selama hal itu bisa membuat Faroz bahagia.

Aku masih sering membarinya hadiah, bahkan aku juga ikut membantu biaya kuliahnya. Aku ikut mencarikan tempat kost-nya, dan membayar kost tersebut untuk beberapa bulan ke depan.

Faroz sudah tidak sungkan lagi menerima apa pun dari ku. Dia sudah mulai terbiasa. Mungkin juga karena dia sudah menganggap ku, seperti saudara sendiri.

"jadi kapan abang akan menikah?" tanya Faroz suatu hari.

Aku memang sudah berusia kepala tiga sekarang. Dan pertanyaan kapan menikah, sudah menjadi santapan ku setiap hari, terutama dari keluarga ku.

"nanti.. kalau udah ketemu yang cocok.." balasku tanpa selera.

"kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya ku melanjutkan.

"karena menurut saya, kehidupan abang kan sudah cukup mapan, jadi bang Abe tunggu apa lagi?" balas Faroz, terdengar akrab.

'aku hanya ingin menikah sama kamu Faroz'. rintih ku membathin.

Aku memang belum berpikir untuk menikah, dengan siapa pun. Aku sedang menikmati indahnya kebersamaan ku bersama Faroz. Aku sedang menikmati rasa cinta yang tumbuh subur di hati ku untuk Faroz. Dan aku tidak ingin mengakhiri itu semua, walau dengan cara dan alasan apa pun.

Kebersamaan ku bersama Faroz terlalu indah. Bahkan sangat indah. Meski hanya aku yang merasakan hal tersebut. Faroz tak perlu tahu hal itu. Tidak. Dia tidak boleh tahu. Karena itu akan merusak semuanya.

"saya akan menikah, kalau kamu sudah sukses nantinya, Faroz. Hanya itu keinginan saya satu-satunya saat ini.." ucapku akhirnya dengan nada serius.

"bang Abe gak boleh gitu, dong. Kalau nunggu saya sukses, itu masih lama. Dan saya juga tidak bisa menjamin, kalau saya bakal sukses." balas Faroz.

"makanya, kamu harus bisa membuktikan kepada saya, kalau kamu pasti bisa sukses. Jika kamu ingin melihat saya menikah, kamu harus sukses, Faroz.." ucap ku kemudian.

"kenapa harus seperti itu, bang?" tanya Faroz heran.

"karena kamu penting bagi saya Faroz. Kalau saya menikah sebelum kamu sukses, saya takut, saya tidak bisa membantu kamu lagi nantinya. Dan saya gak ingin, perjuangan kita selama ini akan sia-sia." balasku masih dengan nada serius.

"oke, bang. Jika hal itu bisa membuat bang Abe bahagia. Saya akan berusaha semampu saya, bang. Do'a kan saya ya.." ucap Faroz terdengar pasrah.

"saya akan selalu mendo'akan yang terbaik buat kamu Faroz. Selalu.." balasku pilu.

"makasih ya, bang. Saya pasti tidak akan pernah melupakan jasa-jasa bang Abe.. Apa pun akan saya lakukan untuk bisa membalasnya, bang." ucap Faroz lagi.

Dan akhirnya, kami pun saling tatap, kemudian saling tersenyum. Hal-hal sesederhana itulah yang kadang-kadang bisa membuat aku bahagia. Hanya dengan melihatnya tersenyum.

****

Ada suatu moment dimana kami punya kesempatan untuk pergi jalan-jalan berdua. Saat itu memang musim liburan. Dan aku berhasil, membujuk Faroz, untuk mau ikut dengan ku pergi berliburan.

Kami pergi berliburan berdua ke suatu daerah yang memang cukup terkenal dengan keindahan alamnya, terutama pantainya.

"makasih ya, bang. Sudah mengajak saya kesini. Ini salah satu daerah yang memang sudah lama ingin saya kunjungi." ucap Faroz, saat kami sudah berada di salah satu pantai di daerah tersebut.

"makasih juga, sudah mau menemani saya kesini.." balasku.

"tapi bukannya bang Abe sudah pernah kesini?" tanya Faroz.

"iya.. pernah.. tapi suasananya beda. Sekarang ada kamu.." balasku apa adanya.

"emang apa bedanya, bang?" tanya Faroz lagi.

"yah.. jelas beda lah Faroz. Kalau bersama kamu, sesuatu yang indah akan semakin terasa indah.." balasku pelan.

"ah, bang Abe bisa aja.." ucap Faroz ringan.

Dan begitulah, aku selalu berusaha, untuk pelan-pelan mengungkapkan perasaan ku pada Faroz. Meski sampai saat ini, dia tidak pernah mengerti. Dia tetap menganggap ku hanya sebagai seorang sahabat. Tidak lebih.

Faroz memang belum punya pacar, setidaknya begitulah yang aku ketahui tentangnya sampai saat ini. Tapi saya yakin, dia pasti punya seseorang yang dicintainya diam-diam. Dan itu bukan aku.

"saya memang tidak ingin pacaran dulu, bang. Saya takut, kalau saya pacaran, kuliah saya akan terganggu, dan itu pasti akan membuat abang kecewa. Saya hanya akan pacaran, kalau bang Abe sudah nikah, itu berarti kalau saya sudah sukses nantinya." jelas Faroz, ketika suatu saat aku bertanya tentang hal tersebut.

Dan entah mengapa, aku merasa bahagia mendengar hal itu. Setidaknya, jika Faroz tidak punya pacar, dia akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama ku. Dan hal itu sudah cukup untuk membuat aku bahagia.

"tapi kamu pasti punya seseorang yang kamu cintai diam-diam, kan?" tanya ku sedikit penasaran.

"ada sih, bang. Tapi aku gak berani mengungkapkannya. Aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Karena dia terlalu tinggi untuk bisa aku gapai.." jelas Faroz lagi.

"padahal kamu itu cowok sempurna loh, Faroz. Gak ada yang kurang dalam diri kamu. Kamu tampan, gagah, punya suara indah, dan juga punya prestasi.. Siapa sih yang berani nolak kamu.." ucapku mencoba untuk jujur.

"jangan terlalu tinggi memuji saya, bang. Saya takut jatuh.. he..he.." balas Faroz dengan di akhiri sebuah tawa kecil.

"saya tidak sedang memuji kamu, Faroz. Saya hanya sedang berusaha mengungkapkan kekaguman say sama kamu.." ucapku lagi.

"iya, bang. bang Abe sudah terlalu sering mengatakan hal tersebut." balas Faroz, "cuma masalahnya sekarang, saya memang lagi ingin fokus sama kuliah dan masa depan saya. Jadi saya memang tidak ingin pacaran saat ini.." lanjutnya lagi.

"baguslah.." ucapku akhirnya, entah untuk tujuan apa.

Entah karena saya memang merasa senang mendengarnya, entah karena saya memang berharap, kalau Faroz benar-benar bisa fokus dengan kuliah dan masa depannya.

Tapi yang pasti, aku hanya ingin yang terbaik buat Faroz. Aku hanya ingin dia bahagia. Sekali pun, mungkin, kebahagiaannya itu, bukan karena ku dan bukan untuk ku.

*****

Santri Tampan Idola Hati bag. 1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google