Aku dan Faroz memang sudah seperti saudara. Kami sudah sangat dekat. Aku bahkan sudah teramat sering menginap di kost Faroz.
Awalnya ku pikir, dengan menjadi begitu dekat sama Faroz, akan bisa mengubah perasaanku padanya. Setidaknya, menjadi sahabat dekatnya harusnya sudah bisa membuat aku bahagia.
Aku memang bahagia. Tapi tidak pernah ada kata cukup dalam hidup ini. Rasanya belum cukup, kalau hanya sekedar menjadi sahabatnya. Dan lagi pula aku juga penasaran, seperti apa perasaan Faroz padaku sebenarnya.
Mungkinkah dia juga merasakan hal yang sama? Mengingat sudah begitu dekatnya kami. Dan sudah begitu banyak pengorbanan ku untuknya.
Karena itulah, akhirnya aku memberanikan diri untuk jujur pada Faroz, tentang perasaan ku padanya.
"aku ingin ngomong sesuatu sama kamu, Faroz.." ucapku pada suatu malam, saat untuk kesekian kalinya aku menginap di kost Faroz.
"tumben, bang Abe mau ngomong sesuatu pake izin segala. Biasanya langsung nyerocos aja.." balas Faroz, dengan nada sedikit bercanda.
"tapi kali ini, aku mau ngomong serius.." ucap ku lagi.
"jadi selama ini bang Abe gak pernah serius?" balas Faroz lagi, masih dengan nada canda.
"bukan begitu maksudnya, Faroz.." suara ku agak sedikit kesal.
"Iya, bang... iya... saya cuma becanda, kok. Jangan marah gitu dong. Bang Abe ngomong aja.." balas Faroz akhirnya.
"tapi... kamu janji dulu, gak bakal marah.." ucapku kemudian.
"iya, bang.. saya mana berani marah sama bang Abe..." balas Faroz.
Ada jeda beberapa saat. Aku menarik napas dalam beberapa kali. Mencoba mengumpulkan semua keberanian ku. Dan bersiap untuk segala resiko yang akan terjadi.
"sebenarnya..... sebenarnya... aku... aku sayang sama kamu, Faroz..." ucapku dengan sedikit terbata.
"iya.. aku tahu, bang. Kalau bang Abe gak sayang sama saya, bang Abe gak mungkin akan berkorban begitu banyak buat saya selama ini.." potong Faroz dengan nada santai.
"iya.. tapi saya sayang sama kamu... lebih dari itu, Faroz. Saya sayang sama kamu, lebih dari sahabat atau pun saudara seperti yang kamu anggap selama ini. Aku mencintai kamu, Faroz. Aku jatuh cinta sama kamu, bahkan sudah sejak pertama kali kita bertemu, beberapa tahun lalu.." suara ku terdengar bergetar.
Hening sesaat. Faroz terlihat terdiam. Entah ia kaget mendengar ucapan ku tersebut, entah ia masih mencoba mencerna kalimat ku barusana.
Aku pun hanya bisa terdiam menunggu reaksinya.
****
"maafkan saya, Faroz. Saya tahu ini salah. Saya tahu, ini seharusnya gak terjadi. Seharusnya saya lebih bisa menahan diri. Saya yakin, ini membuat kamu menjadi tidak nyaman. Tapi saya hanya ingin jujur sama kamu, Faroz. Saya hanya ingin kamu tahu, tentang perasaan saya sama kamu selama ini.." aku berucap lagi, setelah cukup lama kami hanya membisu.
Kali ini Faroz menatapku. Cukup lama. Aku merasa jengah.
"lalu apa yang bang Abe inginkan dari saya saat ini?" tanya Faroz dengan nada berat.
"saya... saya hanya ingin tahu, perasaan kamu terhadap saya, Faroz." balasku sedikit terbata.
"saya... saya gak bisa menjawabnya sekarang, bang. Saya masih bingung." ucap Faroz, "tapi... apa pun yang bang Abe inginkan malam ini dari saya, saya akan berusaha untuk memenuhinya, bang.." lanjut Faroz.
"kamu yakin, mau memenuhi keinginan saya malam ini?" tanyaku, sekedar meyakinkan diri ku sendiri.
"iya, bang. Malam ini, saya milik abang seutuhnya.." balas Faroz, terdengar pasrah.
Sebenarnya aku masih ragu, meminta Faroz untuk memenuhi keinginan saya malam ini. Tapi... aku juga gak mau melewatkan kesempatan ini. Bertahun-tahun aku memendam perasaanku pada Faroz. Bertahun-tahun, aku hanya bisa mengkhayalkannya setiap malam.
Dan sekarang, aku punya kesempatan untuk mewujudkan satu dari jutaan mimpi ku tentang Faroz. Aku tidak akan sia-siakan kesempatan ini. Tidak akan.
Meski pun aku gak tahu pasti, apa alasan Faroz sebenarnya? Dan bagaimana perasaannya padaku sebenarnya?
Mungkinkah ia melakukan semua ini, hanya untuk membalas kebaikan ku selama ini padanya? Atau mungkinkah ia juga menginginkan hal tersebut?
Aku tak berani menjawabnya. Aku takut menjawabnya. Aku tak ingin berharap lebih. Apa pun alasan Faroz melakukan semua ini, yang pasti, aku merasa bahagia. Bahkan sangat bahagia.
Malam ini, terasa sangat indah bagiku. Segala khayalku tentang Faroz selama ini, malam ini pun terwujud. Keindahan yang luar biasa bagiku. Aku sangat menikmatinya.
Aku tumpahkan segala kerinduan dan perasaaan ku yang terpendam selama ini. Aku curahkan seluruh isi hatiku, hanya untuk Faroz seorang. Dia adalah laki-laki istimewa dalam hidupku. Laki-laki sempurna, yang sudah menjadi idola ku selama bertahun-tahun.
Aku terbuai dalam lautan penuh cinta. Faroz seakan berusaha memberikan yang terbaik untuk ku malam ini. Dia seperti seorang joki yang menunggangi kudanya dengan penuh semangat.
Kami berlayar dan terus berlayar. Hingga kapal itu pun berlabuh di tepian mahligai keindahan. keindahan yang tiada tara. Keindahan yang baru pertama kali aku rasakan dalam hidup ku.
*****
Keesokan paginya aku pun terbangun, dengan perasaan yang begitu bahagia. Faroz masih tertidur pulas di sampingku. Tapi aku enggan membangunkannya. Aku hanya menatap wajah tampan itu sambil tersenyum bangga.
Tanpa berpamitan, aku pun keluar dari kost Faroz, karena aku harus segera pergi ke tempat kerja ku. Walau sebenarnya hati ku masih ingin disini, di samping Faroz.
Tiba-tiba Faroz terbangun, "bang Abe mau kemana?" tanya nya.
"saya harus kerja, Faroz." balas ku, sambil mulai melangkah keluar.
Sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, aku jadi senyum-senyum sendiri, membayangkan kejadian indah tadi malam bersama Faroz. Bahkan di tempat kerja pun, aku selalu mengingat hal tersebut.
Siang, ketika jam istirahat, aku coba menghubungi Faroz, tapi gak diangkat. Mungkin Faroz sedang berada di kampus, pikir ku.
Sore, sepulang kerja, aku coba menghubunginya lagi. Kali ini nomornya sudah tidak aktif.
Karena penasaran, aku pun langsung menuju ke tempat kost Faroz. Ternyata dia tidak ada di kost-nya. Untungnya aku punya kunci cadangan, yang memang sengaja Faroz berikan padaku, untuk sewaktu-waktu aku kost-nya dan dia tidak ada.
Aku langsung masuk ke dalam kamar kost tersebut. Dan alangkah kagetnya aku, ketika aku menemukan sepucuk surat tulisan tangan Faroz diatas meja belajarnya.
Aku membuka dan membaca surat itu dengan pelan. Dan air mataku pun tumpah, tak terbendung lagi. Aku terluka. Sangat dalam.
Begini kira-kira isi surat yang di tinggalkan Faroz untuk ku.
Teruntuk bang Abe yang baik..
Sebelumnya saya minta maaf, mungkin saat bang Abe membaca tulisan ini, saya sudah berada jauh dari sini. Sangat jauh.
Saya juga minta maaf, karena harus pergi tanpa pamit.
Seharian saya berpikir, bang. Saya terus berpikir, tentang pernyataan cinta abang pada saya.
Terus terang saya merasa kecewa dengan semua itu. Saya tidak pernah menyangka, kalau hubungan kita akan berakhir seperti ini.
Saya sayang sama bang Abe. Tapi hanya sebatas sebagai saudara. Itu semua karena bang Abe sudah sangat baik pada saya.
Karena itu juga, tadi malam, saya bersedia memenuhi keinginan bang Abe, hanya sebagai bentuk balas budi atas kebaikan abang selama ini.
Saya tahu, hal itu tidak akan bisa membalas semua kebaikan abang selama ini sama saya. Bahkan jutaan ucapan terima kasih pun tidak akan mampu untuk membalasnya. Abang terlalu baik pada saya.
Saya hanya bisa berdo'a semoga abang selalu bahagia, meski bukan dengan saya.
Maafkan saya, bang. Saya harap abang bisa menerima dengan bijak keputusan saya untuk pergi. Saya tidak ingin terjebak dalam dunia yang tidak saya inginkan.
Saya tidak marah sama bang Abe. Semua ini tidak sepenuhnya salah bang Abe. Ini juga salah saya.
Seharusnya dari awal, saya tidak memberi kesempatan untuk bang Abe masuk dalam hidup saya. Meski saya tidak tahu, tujuan abang sebenarnya mendekati saya waktu itu.
Tapi kini semua sudah terjadi, bang. Kita gak mungkin bisa memutar waktu. Tapi setidaknya, abang masih punya waktu untuk bertaubat. Untuk kembali ke kodrat abang sebagai laki-laki.
Jangan pernah menunggu saya, bang. Apa lagi sampai abang berniat untuk mencari saya. Karena saya tidak akan pernah kembali, dan tidak ingin di temukan.
Lebih baik bang Abe belajar untuk melupakan saya. Melupakan perasaan abang terhadap saya. Dan melupakan semua harapan-harapan abang tentang saya.
Saya yakin, abang sudah cukup dewasa untuk menerima semua ini.
Saya ini laki-laki normal, bang. Dan akan tetap seperti itu selamanya. Saya tidak akan pernah bisa mencintai bang Abe, seperti bang Abe mencintai saya.
Dan jika bang Abe benar-benar mencintai saya, izinkan saya pergi, bang. Ikhlaskan saya hidup dengan pilihan hidup saya, sebagai laki-laki normal.
Sekali lagi, maafkan saya, bang. Maafkan saya. Terima kasih untuk segala kebaikan abang selama ini.
Saya do'akan semoga abang menemukan jalan yang terbaik, untuk bisa menjalani kehidupan ini, sebagaimana layaknya seorang laki-laki.
Dari adik mu, Faroz...
****
Aku remas surat itu. Air mata ku terus mengalir tak henti. Meratapi kepergian Faroz dari hidup ku.
Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana hidupku ke depannya. Bagaimana hari-hari ku tanpa Faroz lagi. Aku sudah terlanjur terbiasa hidup bersamanya. Aku sudah terlanjur terbiasa, melewati hari-hari bersamanya.
Rasanya aku tidak akan sangggup, melanjutkan perjalanana hidupku lagi. Tanpa Faroz.
Tapi Faroz benar. Aku harus bijak dan berpikir menerima semua ini. Menerima keputusan Faroz untuk pergi. Aku harus menghargai pilihan hidupnya.
Mungkin inilah yang terbaik. Karena jika Faroz tetap disini, aku pasti tidak akan bisa menahan keingingan ku untuk memilikinya, seperti kejadian tadi malam. Dan itu akan membuat hidup Faroz hancur. Masa depannya akan berantakan.
Hanya saja aku kecewa, karena jika Faroz pergi, aku takut dia tidak kuliah lagi. Dan jika dia tidak kuliah lagi, dia akan kehilangan kesempatan untuk meraih masa depannya.
Mungkin akan butuh waktu sangat lama bagiku, untuk bisa melupakan Faroz. Bahkan mungkin butuh waktu seumur hidup ku.
Aku akan berusaha untuk memenuhi keinginannya, agar aku hidup sebagaimana takdir ku sebagai seorang laki-laki. Semoga saja aku mampu.
Faroz... Dimana pun kamu berada saat ini, aku harap kamu baik-baik saja. Aku harap kamu bisa meraih semua impianmu, meski kita tidak akan pernah bertemu lagi.
Aku pasti akan selalu merindukan mu. Tapi aku juga pasti akan melupakan semua harapan ku tentang mu. Semoga kamu bahagia, meski bukan dengan ku.
Dan semoga aku bisa memenuhi keinginan mu.
Ya, semoga saja..
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih