Langsung ke konten utama

Adsense

Duda vs Duda (Part 2)

Keringat ku bercucuran di sekujur tubuhku. Hampir seluruh tubuhku dibasahi oleh keringat. Tubuh ku merasa sedikit lelah. Tapi aku senang melakukannya. Karena Sudir sudah sangat baik padaku. Ia yang telah mampu mengubah ku. Dan bahkan ia juga sudi menampungku untuk tinggal di rumahnya.

Sejak tinggal di rumah Sudir, aku memang harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang sebelumnya belum pernah aku lakukan, apa lagi ketika aku masih hidup bersama istri ku dulu. Pekerjaan rumah yang semestinya hanya sering dilakukan oleh perempuan. Mulai dari memasak, mencuci piring, mencuci pakaian dan juga membersihkan rumah.

Meskipun sebenarnya Sudir selalu melarang aku melakukan semua itu. Dia melarang aku melakukannya, karena menurutnya itu adalah tugasnya sebagai tuan rumah. Tapi sebagai orang yang sudah diberi tumpangan tempat tinggal, aku bersikeras untuk tetap melakukannya. Aku tidak ingin hanya menjadi beban bagi Sudir.

Setiap hari aku melakukan hal tersebut dengan perasaan senang, demi untuk membalas semua kebaikan Sudir padaku. Meski awalnya terasa berat bagi ku, karena aku tak terbiasa melakukannya. Aku jadi teringat bagaimana istriku dulu melakukan semua itu. Pantas saja, jika ia sering marah-marah padaku, karena tidak pernah membantunya sama sekali.

Namun sekarang, setelah beberapa bulan tinggal bersama Sudir dan karena sudah terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah tersebut, aku mulai menikmati nya. Aku justru merasa senang bisa melakukan semua itu. Karena aku tidak ingin hanya tinggal disini, tanpa melakukan apa pun. Mungkin dengan begitu, Sudir juga akan bisa melihat, kalau aku benar-benar telah berubah.

Berbulan-bulan, bahkan hampir satu tahun, aku tinggal bersama Sudir. Menghabiskan waktu bersamanya hampir setiap hari. Rasanya dunia ku menjadi berbeda. Dunia hitam yang pernah aku lalui, kini telah jauh tertinggal di masa lalu. Aku memang harus berubah.

Aku hanya berharap, jika aku bisa berubah jadi lebih baik, maka akan ada kemungkinan istri ku mau kembali lagi padaku. Meski aku sendiri sangat meragukan hal tersebut. Karena meski pun aku sudah tidak m4buk-m4bukan lagi, tapi sampai saat ini, aku masih seorang pengangguran.

Aku sudah berusaha untuk bekerja sebagaimana biasanya, sebagaimana layaknya pekerjaan yang dilakukan umumnya dilakukan oleh orang-orang di kampung ini, menjadi seorang nelayan. Namun tetap saja, penghasilan ku tidak pernah memadai. Apa lagi pekerjaan ku tidak di dukung oleh peralatan yang lengkap, seperti nelayan lainnya.

Sudir sendiri bukanlah seorang nelayan, karena ia sudah punya kebun sawit miliknya sendiri. Kebun yang meski pun tidak begitu luas, tapi masih cukup untuk biaya hidupnya dan juga untuk biaya sekolah anaknya.

Sudir memang tidak merasa keberatan, jika aku tetap tinggal di rumahnya, meski pun aku tidak bekerja sama sekali. Yang penting baginya, aku tidak lagi terjerumus ke dunia hitam tersebut. Kalau sekedar untuk makan ku sehari-hari, ia masih mampu membiayainya.

Tapi sebagai seorang laki-laki, tentu saja aku masih punya harga diri. Aku tak mungkin selamanya bergantung hidup kepada Sudir. Aku harus punya penghasilan sendiri. Tapi ternyata semua itu tidaklah mudah. Hampir setahun tinggal bersama Sudir, semua biaya hidupku, masih ia yang menanggungnya.

Dan hal itu cukup membuat aku merasa semakin berhutang budi padanya.

****

Aku dan Sudir memang sudah sangat dekat dan akrab. Kami tinggal serumah, meski kami tidur di kamar yang berbeda. Sudir memang menyediakan satu kamar tersendiri untuk ku.

Aku masak setiap untuk kami berdua, mencuci piring, mencuci pakaian dan juga membersihkan rumah. Sekali-kali Sudir mengajak ku untuk ikut bersamanya ke kebun sawit. Sekedar membantunya bekerja disana.

Jujur saja, aku merasa bahagia dengan semua itu. Entah mengapa setiap kali menghabis waktu berdua bersama Sudir, aku merasa nyaman dan tenang. Sudir mampu membuat ku selalu merasa aman. Dia bagai dewa penolong bagi ku.

Dan ternyata, rasa nyaman dan tenang itu, semakin lama semakin berkembang. Diam-diam rasa kagum dan rasa sayang mulai tumbuh di hatiku untuk Sudir. Rasanya aku tidak ingin jauh-jauh darinya. Aku selalu ingin menghabiskan waktunya. Mendengarkan setiap cerita dan tawanya. Aku jadi begitu memujanya.

Tapi apakah itu semua pantas untuk disebut cinta?

Tidak. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada Sudir. Dia laki-laki. Aku juga.

Namun semakin aku coba memungkiri hal tersebut, semakin aku merasa terjebak di dalamnya. Aku merasa terjebak, dengan cinta yang tiba-tiba tumbuh dihatiku untuk Sudir. Cinta yang begitu besar, sampai aku merasa tak mampu membendungnya.

Kebaikan Sudir padaku selama ini, ketulusannya untuk membantuku, telah mampu mengetuk bagian terdalam di hatiku. Bagian kosong hatiku, yang sudah lama tak berpenghuni.

Sejak aku bercerai dari istriku, aku memang tidak pernah lagi jatuh cinta. Aku bahkan tak pernah memikirkan hal tersebut. Bagi ku cinta itu terlalu menyakitkan untuk tetap ku ingat. Dan aku biarkan hatiku kosong, tanpa penghuni.

Sejujurnya aku memang masih berharap bisa kembali lagi pada istriku, tapi bukan karena aku masih mencintainya. Aku hanya memikirkan kedua anakku. Aku ingin hidup bersama kedua anak ku lagi. Hanya itu. Dan cinta untuk istri ku telah lama tenggelam, sejak ia menginjak-injak harga diri ku.

Kini, tiba-tiba saja, ada cinta lain hadir di hatiku. Cinta yang berbeda. Cinta yang begitu unik. Indah dan terasa begitu nyaman. Cinta yang begitu ingin aku miliki.

Ah, sebenarnya apa yang terjadi pada diriku?

Sebegitu kecewanya kah aku, kepada istri ku, hingga aku lebih merasa nyaman saat bersama seorang laki-laki?

Tapi bukankah sudah seharusnya seperti itu?

Berbulan-bulan hidup bersama, melakukan banyak hal bersama, perhatian dan kebaikan Sudir yang begitu tulus, wajar saja rasanya, jika aku ingin selalu bersamanya. Karena untuk saat ini, hanya itu satu-satunya hal yang mampu membuat aku merasa bahagia.

***

"terima kasih ya, Dir. Kamu sudah sangat baik padaku selama ini. Kamu juga sudah mau menampung ku tinggal di sini. Aku benar-benar merasa berhutang budi sama kamu. Dan aku tidak tahu, bagaimana cara membalas itu semua.." ucapku suatu malam.

Saat itu kami baru saja selesai makan malam, dan seperti biasa, kami duduk-duduk di ruang tamu sambil menonton TV.

Sudir melirik ku sekilas. Meski pun kami sudah sangat akrab, dan hampir setiap hari bertemu dan bercerita. Namun sangat jarang kami membahas hal tersebut. Sudir seperti sengaja untuk tidak ingin membahasnya.

"tidak usah berterima kasih dulu..." jawab Sudir akhhirnya.

"kenapa?" tanya ku heran.

"karena... jika kamu tahu alasan ku yang sebenarnya melakukan semua itu, mungkin kamu akan membenci ku karenanya..." balas Sudir sedikit tertekan.

"kenapa aku harus membenci mu?" aku bertanya lagi, semakin merasa heran.

"kamu yakin ingin tahu?" Sudir justru balik bertanya.

"kita sudah tinggal selama hampir setahun, Dir. Dan selama ini semuanya baik-baik saja. Jika kamu tanya apa aku ingin tahu, jelas aku ingin sekali tahu.. Karena aku tidak ingin menjadi beban bagi kamu selamanya..." balas ku pelan.

"kamu bukan beban bagi ku, Ron. Aku senang bisa melakukan semua itu untuk mu. Aku merasa bahagia, bisa berbuat sesuatu untuk kamu..." suara Sudir terdengar sedikit pelan.

"maksud kamu apa sih sebenarnya, Dir. Kamu ngomong yang jelas, dong. Aku ... malah jadi penasaran.." balasku kemudian.

Sudir menarik napas panjang, kemudian menghempasnya perlahan. Ia melirik ku lagi, kali ini cukup lama. Sebelum akhirnya ia berucap, "sebenarnya.... sebenarnya... sudah lama aku menaruh hati sama kamu, Ron.. Jauh sebelum kamu tinggal bersama ku..." ia sengaja menghentikan kalimatnya, seperti ingin melihat reaksi ku akan hal tersebut.

Aku diam. Sedikit bingung juga sih. Aku benar-benar belum mengerti apa arti semua itu.

Sudah lama? Maksudnya apa sebenarnya.

Tak mungkin Sudir menyukai ku sejak lama kan?

Dia kan juga laki-laki normal. Dia pernah menikah dan bahkan sudah punya anak. Rasanya sangat tidak mungkin, jika Sudir sudah menaruh rasa padaku sejak lama.

Aku malah semakin bingung. Mungkin lebih baik, aku biarkan saja Sudir melanjutkan ceritanya..

"dulu... sebelum aku menikah karena dijodohkan oleh orangtua ku, aku pernah ingin sekali memiliki kamu, Ron. Di mata ku sejak dulu, kamu adalah sosok laki-laki yang sempurna. Kamu tampan dan gagah. Aku menyukai mu dan mungkin juga telah jatuh cinta padamu.."

"meski pun sejak dulu, kita tidak begitu dekat, bahkan kamu mungkin tidak pernah menyadari kehadiran ku. Tapi aku selalu mengagumi mu dari kejauhan. Aku selalu mengkhayalkan mu setiap malam. Sampai akhirnya, kamu pun menikah. Dan hal itu cukup membuat aku patah hati.." Sudir menghela napas sejenak.

"hingga akhirnya aku menerima perjodohan ku dengan gadis yang tidak aku cintai. Aku mencoba menjalani takdir ku sebagai seorang laki-laki. Menjadi seorang suami dan juga menjadi seorang ayah. Aku berhasil menghasil harapan ku tentang kamu, Ron. Tapi aku tidak pernah berhasil untuk melupakan kamu.."

"selama ini aku hidup dalam bayang-bayang indah tentang kamu. Aku selalu berharap, suatu saat aku bisa menjadi bagian penting dalam hidup kamu. Sampai akhirnya istri ku meninggal. Dan entah mengapa justru aku tidak merasa kehilangan sama sekali. Semuanya biasa saja bagi ku. Dalam pikiran ku hanya ada kamu dan kamu, Ron.." sekali lagi Sudir menghembuskan napas berat.

Aku masih terdiam. Bingung juga harus berkata apa. Pikiran ku terasa kacau tiba-tiba. Semua ini sungguh diluar dugaan ku. Jika memang Sudir sudah menyukai ku sejak lama, rasanya wajar jika ia begitu peduli padaku. Semua kebaikannya padaku, bukan tanpa alasan. Dan aku benar-benar tidak menyadarinya selama ini.

****

"aku mencintai kamu, Ron. Dulu, sekarang dan bahkan selama-lamanya. Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan mu di hatiku. Dan maafkan aku akan hal tersebut..." Sudir berucap lagi.

"kamu gak perlu minta maaf, Dir. Aku justru merasa tersanjung dengan semua itu. Tidak aku sangka sama sekali, ada orang yang mencintaiku begitu dalam. Dan aku tak pernah menyadarinya.." balasku akhirnya.

"jadi... setelah kamu tahu siapa aku sebenarnya.. apa kamu akan membenciku?" tanya Sudir pelan.

"tidak, Dir. Aku tidak akan membenci kamu. Kamu sudah sangat baik padaku. Dan aku tidak punya alasan untuk membenci kamu..." balasku lagi.

"lalu... apa kamu mau memberi aku kesempatan untuk menjadi kekasih mu?" Sudir bertanya kembali.

Kali ini aku terdiam. Aku memang kagum dan sayang sama Sudir. Dan bahkan aku memang telah jatuh cinta padanya. Tapi setelah aku tahu semua itu, setelah aku tahu alasan kenapa Sudir begitu peduli dan baik padaku selama ini, aku jadi ragu.

"kamu tidak harus menjawabnya sekarang, Ron. Tapi aku hanya berharap, kamu jangan membenciku dan jangan pernah pergi dari rumah ini. Aku sudah teranjur bahagia menjalani hari-hari bersama mu selama hampir setahun ini. Aku tak ingin kehilangan kamu, Ron.. Aku benar-benar sayang sama kamu..." suara Sudir sedikit memelas.

"jujur saja.. selama aku tinggal disini aku memang merasa nyaman dan tenang. Aku seakan menemukan tempat untuk aku jadikan rumah. Aku tidak ingin hanya sekedar singgah disini, aku ingin menetap. Tapi... mungkin untuk saat ini, aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Terus terang aku masih merasa kaget mendengar kejujuran kamu barusan..." balasku akhirnya, karena tidak tahu lagi harus berkata apa.

"yah.. aku mengerti, Ron. Aku sangat mengerti. Tapi.. aku mohon, beri aku kesempatan untuk membuktikan betapa aku begitu tulus mencintai mu..." ujar Sudir kemudian.

"baiklah... kita jalani saja dulu seperti ini. Kita lihat saja ke depannya akan seperti apa.." balasku berusaha semisterius mungkin. Aku masih belum ingin Sudir tahu, akan perasaan ku yang sebenarnya saat ini.

****

Waktu kembali terus berlalu. Tanpa bisa dicegah dan tanpa bisa dipacu.

Sejak aku tahu perasaan Sudir yang sebenarnya padaku, aku jadi semakin sering memikirkannya. Entah aku merasa bahagia dengan semua itu, entah aku justru merasa kecewa.

Aku bahagia, karena ternyata cinta ku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi aku juga merasa kecewa, karena ternyata Sudir sepenuhnya tidak seperti yang aku duga selama ini. Dia bukan laki-laki normal, yang telah mampu membuat ku merasa kagum. Dia hanya laki-laki yang telah mampu membuat aku jatuh cinta padanya.

Ironis memang, aku yang tadinya begitu memuja Sudir karena segala kebaikan dan ketulusannya membantu ku keluar dari lembah hitam penuh dosa. Justru ternyata adalah orang yang sudah menginginkan ku sejak lama, dan dengan terang-terangan membawa ku tenggelam ke lembah hitam lainnya, yang juga mungkin penuh dosa.

Tapi aku juga telah kehilangan akal sehat ku. Aku tidak lagi peduli, akan kodrat kami sebagai laki-laki. Cinta telah bersarang dihatiku untuk Sudir. Cinta telah membuat aku merasa rapuh, tak berdaya. Keinginan untuk bisa memiliki Sudir, semakin tumbuh besar dihatiku. Apa lagi sejak aku tahu, kalau ia juga memuja ku.

Karena itu, aku pun ingin mengungkapkan hal tersebut kepada Sudir. Suatu malam, aku sengaja masuk ke dalam kamar Sudir, tanpa meminta izin darinya. Aku ingin berterus terang akan semua itu.

"ada apa?" tanya Sudir pelan, ketika aku sudah disisi ranjang disampingnya.

 "aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu.." balasku.

"tentang apa?" Sudir bertanya lagi.

"sebenarnya... aku juga telah jatuh cinta sama kamu, Dir. Tapi itu semua terjadi, karena kamu sudah begitu baik padaku selama ini. Perhatian dan kebaikan mu yang tulus padaku, telah membuat aku merasa nyaman dan tenang. Aku juga diam-diam mulai kagum dan sayang sama kamu..." ucapku apa adanya.

"kamu serius, Ron?" Sudir bertanya dengan nada ragu.

"iya.. aku serius... dan aku mau menjadi kekasih kamu selamanya.." balasku tegas.

Sudir memperlihatkan senyum bahagianya. Ia menatap ku lama. Aku juga tersenyum. Senyum yang bahagia. Kami pun saling tatap.

"jadi mulai malam ini... kita pacaran?" suara Sudir bergetar, entah karena apa.

"iya... kita pacaran..." balasku pelan.

"aku boleh...." kalimat Sudir tertahan.

"boleh..." balasku sengaja memotong ucapannya, karena aku sudah tahu kemana arahnya, "kamu boleh melakukan apa saja padaku, Dir. Karena mulai malam ini, aku milik mu seutuhnya..." lanjutku semakin pelan.

Sudir tersenyum kembali. Aku juga. Mata kami kembali saling tatap. Kali ini lebih lama. Bahkan Sudir dengan cukup berani, mulai mendekatkan wajahnya. Jantung ku berdebar tak karuan. Biar bagaimana pun, ini adalah hal baru bagi ku. Rasanya aneh. Tapi aku menginginkannya.

Dan malam itu, entah siapa yang memulai, semuanya terjadi begitu saja. Kami hanya ingin memenuhi keinginan kami satu sama lain. Kami hanya ingin saling memiliki. Dan ternyata semua itu terasa begitu indah. Bahkan sangat indah. Lebih indah dari yang pernah aku bayangkan sebelumnya.

****

Sejak malam itu lah, aku dan Sudir pun menjalin hubungan yang indah. Hubungan yang hanya menjadi rahasia antara kami berdua. Hubungan yang membuat kami merasa bahagia. Sebuah kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Rasanya berbeda. Tapi penuh warna.

Aku dan Sudir tetap menjalani aktivitas kami seperti biasa. Kami saling bahu membahu dalam segala hal. Kadang aku yang memasak, Sudir yang mencuci pakaian. Aku yang mencuci piring, Sudir yang membersihkan rumah. Kami melakukannya secara bergantian. Dan kami melakukan semuanya sepenuh hati.

Aku mulai melupakan sosok istri ku, dan mulai tergantikan oleh sosok Sudir yang terasa jauh lebih baik, lebih menghargai dan lebih penuh pesona. Sudir mampu membuatku merasa penting dalam hidupnya. Ia mampu membuat ku tenggelam dalam dunia cintanya yang terasa sempurna.

Aku juga mulai sering bertemu anak-anak ku kembali. Mereka sering aku ajak bermain di rumah Sudir, terutama saat mereka libur sekolah. Istri ku juga tidak keberatan akan hal tersebut. Apa lagi, aku juga mulai rutin memberi mereka uang belanja, meski tak seberapa.

Sementara anak Sudir yang bersekolah di pesantren tersebut, yang hanya pulang ketika musim liburan, juga telah bisa menerima kehadiran ku di rumah mereka. Meski pun, ketika ia berada di rumah, aku dan Sudir berusaha untuk menahan diri dan bersikap biasa saja, seolah tak terjadai apa-apa diantara kami.

Jika anak Sudir ada di rumah, maka kami akan tidur di kamar masing-masing. Dan jika ia telah berangkat sekolah lagi, maka kami akan kembali tidur di kamar yang sama. Kami harus berusaha dengan keras, untuk tetap menjaga kerahasiaan hubungan kami. Kami tidak ingin siapa pun tahu. Karena hal itu jelas merupakan sebuah kesalahan, yang tidak bisa diterima oleh siapa pun juga.

Cinta memang unik dan aneh. Kehadirannya tidak bisa diduga. Kita tidak bisa memilih, kepada siapa kita akan jatuh cinta. Namun selama cinta itu bisa berbalas, maka merupakan hak kita untuk tetap memilikinya. Sekalipun, mungkin, dunia tak merestuinya.

Aku tahu, ini tidak akan mudah, tapi selama kami bisa menjaga rahasia tersebut, semuanya akan baik-baik saja. Yang paling penting dari semua itu, adalah kebahagiaan kami berdua. Meski kami harus mendapatkannya dengan cara yang salah.

Aku juga tahu, semua kisah pasti ada akhir yang harus dilalui. Meski aku tidak tahu pasti, seperti apa akhir dari kisah ini nantinya. Namun aku selalu percaya, cinta selalu punya kekuatan untuk membuat kita tetap bertahan, meski pun harus menempuh banyak rintangan.

Aku hanya berharap, semoga cinta kami bisa berakhir dengan indah, semoga cinta kami bisa bertahan selamanya..

Yah... semoga saja...

****

Simak kisah sebelumnya :

Duda vs duda (part 1) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla...

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendenga...

Adik tiriku (bukan) kekasihku [part 2]

Fikri Semenjak mengenal dan dekat dengan Bayu, adik tiriku itu, sekarang beberapa kebiasaanku berubah. Aku yang dulunya tidak begitu suka membaca, sekarang jadi sering menghabiskan waktu dengan membaca, terutama membaca hasil karya Bayu. Aku yang dulunya sangat jarang berolahraga, sekarang bahkan aku jadi ikut-ikutan suka fitness bersama Bayu. Dan aku menyukai semua aktivitas baruku itu. Aku memang baru mulai nge-gym, jadi postur tubuhku belum benar-benar terbentuk. "kamu baru nge-gym sebulan, Fik. Tapi hasilnya udah lumayan, loh..." ujar Bayu suatu hari di tempat gym langganan kami. Aku hanya tersenyum mendengar kalimat Bayu barusan. Sejujurnya hatiku memang terasa tersanjung mendengarnya. Tapi aku tetap berusaha bersikap biasa saja. Biar bagaimana pun Bayu belum saatnya tahu, tentang perasaanku padanya. Aku masih belum mau merusak kedekatan kami saat ini. Setahun lebih kami bersama, rasanya semua itu sangat indah bagiku. Bayu bukan hanya sekedar adik tiri bagiku sekarang, d...

Iklan google