Namaku Roni. Dan aku seorang duda.
Aku lahir dan tumbuh besar di sebuah desa kecil, yang berada cukup jauh dari perkotaan. Aku sekolah hanya sampai lulus SMP. Dan setelah itu aku mulai bekerja serabutan di kampung.
Ibu ku meninggal pada saat aku masih berusia 5 tahun. Sejak saat itu, aku hanya dibesarkan oleh seorang ayah, bersama seorang kakak laki-laki ku.
Ayah ku hanya lah seorang nelayan biasa, yang penghasilan hanya pas-pasan. Sehingga aku dan kakak ku tidak bisa bersekolah tinggi, sebagaimana layaknya teman-teman kami yang lain, yang berasal dari keluarga mampu.
Sejak lulus SMP, aku jadi sering ikut bekerja bersama ayahku dan juga kakak ku. Hingga aku pun tumbuh menjadi laki-laki yang sudah terbiasa bekerja keras. Semua pekerjaan kasar di kampung ku sudah pernah aku coba. Mulai dari jadi nelayan, mencari rotan di hutan, jadi buruh angkut barang, hingga mencari kayu bakar.
Desa ku sendiri sebenarnya termasuk desa yang cukup berkembang, selain menjadi nelayan kebanyakan para warga di desa kami juga memiliki kebun karet atau pun kebun sawit. Tapi mereka yang memiliki kebun sawit atau kebun karet, hanyalah mereka yang tergolong cukup mampu di desa kami.
Karena untuk membuat kebun sawit dan kebun karet, butuh biaya yang besar. Selain itu, kita juga harus punya warisan tanah yang luas. Sementara kami tidak memiliki warisan tanah apa pun, dan kami juga tidak punya cukup uang untuk modal membuat kebun sawit atau pun kebun karet.
Untuk itulah, kami harus bekerja keras, agar tetap bisa bertahan hidup.
Pada saat usia ku memasuki 22 tahun lebih, kakak ku menderita penyakit yang cukup parah, yang membuat ia akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di usianya yang masih cukup muda.
Sejak kematian kakak ku, ayahku jadi banyak berubah. Ia jadi sering murung dan melamun sendiri. Ia seperti kehilangan semangat untuk hidup. Ia juga jadi cukup malas untuk bekerja. Kerjanya hanya melamun seorang diri hampir setiap hari.
Hal itu jadi cukup berpengaruh padaku. Aku seperti kehilangan sosok ayah, yang selama ini selalu berhasil menghiburku. Aku merasa rapuh, tak berdaya.
Sejak kecil aku sudah kehilangan kasih sayang seorang ibu, setelah besar, aku kehilangan kakak satu-satunya yang aku punya, dan sekarang, aku merasa ayahku tidak lagi bersama ku. Ayahku terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia khayalnya, yang aku sendiri tidak tahu itu apa.
Hingga dua tahun kemudian, ayahku pun pergi menyusul ibu dan kakak ku. Ayahku meninggal karena serangan jantung. Dan tinggallah aku sendiri, menjalani kehidupan yang berat ini.
Aku semakin merasa rapuh. Aku kecewa pada kehidupan ini. Aku marah pada keadaan. Bahkan aku membenci semua takdir hidup yang harus aku jalani. Aku kehilangan semua orang yang aku sayang. Dan itu benar-benar membuat aku hampir putus asa.
Hingga akhirnya, dalam kerapuhan hatiku, aku bertemu Wiwin, seorang gadis cantik yang juga berasal dari desa tempat aku tinggal. Meski sebenarnya, kami sudah saling kenal sejak lama, tapi karena selama ini Wiwin bersekolah di kota, kami sangat jarang bertemu.
Setelah lulus kuliah, Wiwin kembali ke desa, dan karena itu kami jadi sering bertemu. Entah mengapa, Wiwin sangat baik padaku. Ia begitu penuh perhatian. Hingga aku merasa nyaman bersamanya. Aku seakan menemukan kembali semangat hidup yang meredup dalam diriku.
Aku dan Wiwin akhirnya berpacaran. Ternyata selama Wiwin memang telah menaruh perhatian padaku sejak lama. Ia diam-diam telah mengagumiku sejak dulu. Dan aku tidak pernah menyadari hal tersebut, hingga Wiwin cukup terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku.
Aku pun menerima cinta Wiwin. Karena hanya dia satu-satunya gadis, yang mau menerima aku apa adanya. Meski pun sebenarnya Wiwin berasal dari keluarga yang serba berkecukupan, tapi ia tak malu meski pun harus berpacaran dengan laki-laki miskin dan yatim piatu seperti ku.
Namun tentu saja, hubungan kami tidaklah mudah. Kedua orangtua Wiwin sangat menentang hubungan kami. Mereka jelas tidak setuju, jika anak gadisnya harus menikah dengan laki-laki miskin, pengangguran dan juga yatim piatu seperti ku.
Namun kekuatan cinta dan doa kami mampu meluluhkan semua tantangan tersebut. Berawal dari kami yang nekat untuk kabur dari kampung, sebagai peringatan kepada orangtua Wiwin, kalau hubungan kami sangatlah serius.
Dan setelah bersusah payah mereka pun akhirnya menemukan kami berdua, dan kami bersikeras hanya akan bersedia kembali ke kampung, jika kami segera dinikahkan. Hal itu cukup melembutkan hati orangtua Wiwin, yang membuat mereka akhirnya setuju dengan hubungan kami.
Aku dan Wiwin pun akhirnya menikah, meski kedua orangtuanya tidak begitu menyukai pernikahan kami tersebut. Tapi kami tidak terlalu peduli akan hal itu, yang penting kami bisa menyatu dalam sebuah ikatan pernikahan selamanya.
****
Awal-awal pernikahan aku dan Wiwin berjalan dengan indah. Kami merasa sangat bahagia, hingga kami pun mendapatkan seorang putri dari hasil pernikahan kami tersebut. Meski tentu saja, secara ekonomi kehidupan kami masih berantakan, karena aku yang hanya bekerja sebagai nelayan biasa.
Sejak menikah, kami memang tidak lagi bersama orangtua Wiwin. Kami memutuskan untuk pisah rumah dari mereka, karena ingin membuktikan, kalau kami juga bisa mandiri. Kami menyewa sebuah rumah petak kecil, untuk tempat kami tinggal.
Wiwin yang merupakan seorang sarjana tersebut, pun mencoba untuk melamar pekerjaan di sebuah sekolah SMP negeri yang berada di kampung tetangga.
Wiwin merasa perlu untuk ikut bekerja, demi kelangsungan hidup kami. Karena biar bagaimana pun, pendapatan ku tidaklah pernah cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Apa lagi, kami juga sudah punya seorang putri yang mulai tumbuh besar.
Wiwin akhirnya diterima bekerja sebagai guru di SMP tersebut, meski hanya masih seorang guru honorer, yang gajinya tidaklah seberapa. Tapi setidaknya, hal itu cukup membantu keuangan kami saat ini.
Lima tahun usia pernikahan kami, masalah demi masalah mulai datang silih berganti. Dan semua masalah itu, hanya bermuara pada satu hal. Uang.
Yah... Wiwin yang sudah terbiasa hidup serba berkecukupan sejak kecil, sudah mulai merasa bosan dengan kehidupan sederhana kami saat ini. Apa lagi ia juga harus ikut bekerja mencari uang, yang membuat ia merasa punya kendali penuh akan kehidupan kami.
Ternyata cinta yang indah, yang pernah kami bangga-bangga kan dulu, kini sudah menjadi tidak penting lagi. Sepertinya cinta itu mulai memudar, oleh kehidupan kami yang serba kekurangan saat ini. Istriku sudah mulai tidak perhatian lagi padaku. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Dan aku merasa diabaikan.
Pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi diantara kami, hampir setiap harinya, membuat rumah tangga kami, benar-benar sudah berada di ujung tanduk. Aku menjadi tidak betah berada di rumah. Karena setiap apa yang aku lakukan, selalu saja salah di mata istri ku.
Hingga puncak dari pertengkaran itu pun terjadi. Aku memutuskan untuk pergi dari rumah, dan memilih untuk kembali ke rumah ku yang lama, yang sudah mulai usang di makan waktu. Aku merasa kecewa dengan istriku, dia tidak lagi bisa menghargai ku sebagai seorang suami. Bahkan ia tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
Aku memutuskan untuk pergi, hanya untuk membuat istri ku sadar, kalau ia telah melupakan kodratnya sebagaia istri, kalau ia sudah melupakan betapa indahnya cinta kami dulu. Dan aku berharap, istri bisa segera sadar akan semua kesalahannya tersebut.
****
Satu tahun kami berpisah, satu tahun kami tidak lagi tinggal bersama. Aku masih sering datang untuk sekedar menemui anak ku. Aku masih memberikannya uang belanja secukupnya, karena biar bagaimana pun anak ku tetap akan menjadi tanggungjawab ku.
Hingga setelah lebih satu tahun berpisah, istri ku akhirnya mau menerima ku kembali untuk bisa hidup bersamanya lagi. Aku memang beberapa kali meminta kembali kepada istri ku, bukan karena aku menyesali keputusan ku untuk pergi dari rumah, tapi itu semua demi anak ku.
Aku tidak ingin anak ku tumbuh dalam kehancuran rumah tangga kami, hanya karena ego ku. Aku memang harus mengalah, dan mengabaikan semua keegoan istriku. Setidaknya demi anak ku. Demi anakku, agar ia tidak kekurangan kasih sayang sama sekali.
Karena sudah rujuk kembali, aku pun berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik. Dan sepertinya istri ku juga berusaha untuk hal tersebut. Meski pun sampai saat ini, aku masih bekerja sebagai nelayan, yang penghasilan tidaklah seberapa.
Hingga setahun kemudian, istri ku kembali melahirkan putri kedua kami. Kebahagiaan kembali menyinari rumah tangga kami. Namun tentu saja, kebutuhan hidup kami juga semakin meningkat, apalagi anak pertama kami sudah mulai bersekolah.
Sementara penghasilan ku sebagai nelayan biasa, masih saja sangat sedikit. Istri ku juga masih seorang honorer. Dan hal itu cukup mampu untuk memicu kembali pertengkaran diantara kami berdua. Istriku menganggap kalau aku tidak sungguh-sungguh dalam bekerja, sehingga hasilnya tidak sebanyak yang ia harapkan.
Rumah tangga kami kembali memanas. Pertengkaran diantara kami makin sering terjadi. Hingga akhirnya, istriku benar-benar mengusirku dari rumah. Katanya, aku tidak cukup bertanggungjawan sebagai seorang suami dan ayah. Aku tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga kami dengan baik.
Aku terpaksa pergi. Aku tak ingin bertengkar lagi dengan istriku. Untuk kedua kalinya, aku harus mengikuti egoku sebagai seorang laki-laki. Aku merasa dihina dan direndahkan oleh istriku. Dan hal itu cukup membuat aku merasa frustasi.
****
Pernah beberapa kali aku meminta maaf pada istriku dan berharap ia mau menerima ku lagi. Tapi sepertinya, kali ini, istri ku sudah bulat dengan keputusannya berpisah dari ku. Ia tak mau lagi menerimaku, walau dengan alasan apapun.
Setahun setelah perpisahan kedua tersebut, aku mendapat kabar, kalau istri ku sekarang sudah diangkat menjadi seorang guru PNS. Dan itu berarti kehidupannya pasti akan jauh lebih baik Dan itu berarti juga, ia tak akan lagi membutuhkan ku dalam hidupnya.
Aku tak punya harapan lagi, untuk bisa kembali kepada istri dan anak-anak ku. Aku tak punya kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya. Dan aku harus menerima semua itu sebagai kenyataan yang menyakitkan bagi ku.
Aku kecewa, aku frustasi dan aku merasa putus asa.
Dan hal itulah yang membuat aku akhirnya terjerumus dalam dunia kelam penuh dosa. Aku mulai salah pergaulan. Aku mulai mabuk-mabukan. Aku mulai tidak bisa mengendalikan diriku lagi. Aku merasa hidup ini tidak adil bagiku.
Perjalanan hidup ku terlalu pahit untuk bisa aku terima sebagai sebuah kenyataan. Karena itu lah aku butuh pelarian. Aku butuh sesuatu yang bisa membuat aku lupa akan semua kepahitan yang aku jalani selama ini. Dan mabuk-mabukan adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan saat ini, untuk menghilangkan semua kepahitan hidup tersebut.
Bertahun-tahun aku terlarut dalam dunia hitam yang penuh dosa. Bertahun-tahun aku hanya menghabiskan waktu ku dengan mabuk-mabukan dan berhura-hura tanpa arah. Aku benar-benar merasa terjebak di dunia semu tersebut.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan Sudir. Seorang laki-laki baik, yang juga merupakan seorang duda.
Sudir adalah seorang duda yang sudah punya seorang putri. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Sudir sebenarnya juga berasal dari desa yang sama dengan ku. Kami bahkan sudah kenal sejak kecil. Tapi selama ini, kami tidak begitu dekat. Karena kami punya kehidupan sendiri yang harus kami jalani.
Sudir juga cukup terkenal di kampung, sebagai laki-laki yang alim. Dia sangat rajin beribadah ke mesjid. Usianya hanya terpaut satu tahun lebih tua dari ku. Sejak istrinya meninggal, Sudir berusaha membesarkan putri satu-satunya seorang diri, hingga sekarang putrinya sudah bersekolah di sebuah pesantren yang berada cukup jauh dari desa kami.
Awal mula aku akrab dengan Sudir itu terjadi tanpa sengaja. Suatu malam, dalam keadaan setengah mabuk, aku ketiduran di teras rumah Sudir, yang memang berada di pinggir jalan tersebut.
Ketika subuh, Sudir hendak berangkat ke mesjid untuk sholat, ia melihat ku tergelatak di terasnya. Karena kami memang sudah saling kenal sejak lama, Sudir pun tanpa ragu segera membangunkan aku dan meminta aku untuk pindah tidur ke dalam rumahnya.
Aku yang masih setengah sadar tersebut, pun mencoba mengikuti apa yang Sudir katakan. Dengan tubuh lunglai, aku pun melangkah masuk ke rumah tersebut. Lalu kemudian berbaring kembali di ruang tamu. Sementara itu, Sudir tetap berangkat ke mesjid untuk sholat, meninggalkan ku sendirian di rumah.
Siangnya aku terbangun, aku melihat Sudir yang duduk tak jauh dariku sambil menonton tivi. Entah mengapa aku jadi merasa bersalah kepada Sudir, karena telah tidur di rumahnya begitu lama dan dalam keadaan mabuk.
"kamu tahu, apa yang tidak bisa kembali lagi dalam hidup ini?" tiba-tiba Sudir berucap, melihat aku yang sudah terbangun, "waktu.." lanjutnya singkat.
"coba kamu bayangkan betapa banyak waktu yang telah kamu sia-siakan selama ini, hanya untuk melakukan sesuatu yang justru merugikan dirimu sendiri.." Sudir melanjutkan ucapannya lagi, yang membuat aku terdiam sesaat.
"aku hanya kecewa dengan hidup ini.." desahku akhirnya, setelah aku merenung sejenak.
"betapa banyak orang yang kecewa dengan hidupnya, tapi mereka tahu semua orang punya cerita pahitnya masing-masing, dan mungkin saja, kehidupan orang lain jauh lebih pahit dari yang kamu alami..." Sudir berucap kemudian, yang membuatku kembali merenung.
Entah mengapa kalimat-kalimat Sudir barusan, menjadi begitu bermakna bagiku. Belum pernah sebelumnya, ada orang yang menasehatiku dengan lembut seperti itu. Biasa orang-orang hanya bisa marah-marah melihat kenakalan ku selama ini. Tapi Sudir berbeda.
"coba kamu pikirkan satu nikmat saja dalam hidupmu, yang sudah kamu terima, dan syukuri hal itu. Jadikan sebagai motivasi untuk bisa membuatmu jadi lebih baik..." Ucap Sudir selanjutnya.
Tiba-tiba aku teringat kedua putri ku. Sudah sangat lama aku tidak bertemu mereka. Bukan karena tidak ada kesempatan, tapi karena aku yang sengaja menghindari mereka. Aku tidak ingin anak-anak ku tahu, kalau ayahnya sekarang adalah seorang pemabuk.
"betapa banyak orang yang ingin punya anak, tapi mereka tidak mendapatkannya. Betapa banyak orang sakit yang ingin sehat, tapi mereka tak berdaya dengan sakitnya. Dan kamu, setidaknya masih punya kedua hal tersebut.." Sudir berucap lagi.
Lama aku termenung, memikirkan semua ucapan Sudir barusan. Kalimatnya begitu mengena dihatiku. Aku merasa terenyuh dan tersentuh. Aku bagai ditampar. Aku seakan terbangun dari mimpi yang begitu panjang. Aku bertanya pada diriku sendiri, sampai kapan aku akan seperti ini?
"mungkin saja, jika kamu berubah jadi lebih baik, istri dan anak-anakmu akan terbuka hatinya untuk menerima mu kembali. Tapi jika kamu tetap hidup seperti sekarang ini, jangankan istrimu, orang sekampung pun sudah mulai muak dengan mu.." kali ini nada suara Sudir cukup tajam terdengar di telingaku.
Tapi aku tetap terdiam. Aku tak berhak untuk membantah hal tersebut. Sudir sepenuhnya benar. Orang-orang kampung memang sudah tahu, cerita kehidupan ku. Hal-hal seperti itu, memang akan cepat tersebar, dan menjadi bahan gunjingan yang gurih untuk dibicarakan, terutama oleh para ibuk-ibuk di desa ini.
Hampir semua orang di desa ini tahu akan kisahku, begitu juga Sudir. Meski mereka semua tidak tahu persis, apa yang sebenarnya terjadi. Sebagian besar masyarakat desa justru menganggap aku lah yang salah sepenuhnya dalam hal ini.
Meski aku juga tidak memungkiri, kalau aku memang bersalah. Tapi, aku tidak sepenuhnya bersalah. Aku tidak akan pergi dari rumah, jika istri ku tidak mengusirku. Aku tidak akan seperti ini, jika istri ku masih mau menerima kembali.
Tapi percuma saja aku membela diri. Tidak akan ada orang yang percaya akan cerita ku. Semua orang sudah terlanjur menganggap kalau aku lah tokoh penjahatnya dalam kisah ini. Apalagi sekarang, istri ku sudah bahagia dengan kehidupan barunya. Meski ia masih memilih untuk tidak menikah lagi sampai saat ini.
Mungkin Sudir benar, jika aku bisa berubah menjadi lebih baik, istri ku akan terbuka hatinya untuk bisa menerima ku lagi. Tapi itu semua butuh perjuangan dan pengorbanan yang tidak mudah. Dan bertemu Sudir, adalah awal dari itu semua. Aku akan belajar banyak darinya, terutama tentang ibadah.
*****
Sejak saat itulah, aku dan Sudir menjadi dekat dan akrab. Bahkan Sudir dengan terang-terangan mengajak aku untuk tinggal serumah dengannya. Agar ia bisa mengontrol kelakuan ku setiap saat. Agar aku tidak lagi terjerumus ke dalam lembah hitam penuh dosa tersebut.
Sudir berusaha keras untuk membantu ku kembali ke jalan yang lurus, bahkan kali ini, ke jalan yang benar-benar lurus. Jalan lurus yang belum pernah aku tempuh sebelumnya.
Sudir memang tinggal sendiri di rumahnya tersebut, karena putrinya satu-satunya sekarang sedang bersekolah di sebuah pesantren yang berada cukup jauh dari desa kami. Karena itulah ia cukup berani, untuk mengajak aku tinggal bersamanya. Setidaknya sampai aku bisa menemukan jalan lurus tersebut.
Aku tahu, niat Sudir sangat baik padaku. Ia tidak ingin aku terlalu lama terjebak dalam dunia kelam tersebut, sebelum semuanya menjadi lebih terlambat lagi. Dan aku merasa beruntung di beri kesempatan tersebut.
Tinggal serumah bersama Sudir, membuat aku harus bekerja ekstra keras untuk mengikut rutinitas hidupnya. Mulai dari harus bangun subuh, untuk sholat subuh. Harus sholat lima waktu setiap hari. Harus mengaji setiap malam, dan hal-hal lainnya tentang ibadah, yang bahkan belum pernah aku lakukan sebelumnya.
Tinggal serumah bersama Sudir, membuat aku mulai merasa nyaman dan tenang. Mengobrol dan bercerita bersama Sudir, seakan mampu menghiburku dari segala luka yang sampai saat ini belum sembuh. Sudir mampu menjadi penawar, bagi hatiku yang tawar. Dan aku mulai mengagumi sosoknya, sebagai seorang laki-laki.
Lalu mampukah aku untuk menemukan jalan lurus tersebut?
Atau sebaliknya, justru kami berdua yang akan terjerumus ke lembah yang berbeda dengan kehitaman yang sama?
****
Simak kisah lainnya :
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih