Dengan berat hati, aku terpaksa harus pindah dari kota tempat kelahiran ku dan tempat aku menjalani hidup selama ini.
Perusahaan tempat aku bekerja, meminta aku untuk menjadi manager di cabang perusahaannya yang baru. Cabang perusahaan itu berada cukup jauh dari kota tempat aku tinggal selama ini. Cabang perusahaan itu berada di kawasan sebuah desa, yang jauh dari perkotaan.
Aku terpaksa pindah, dan tinggal di perumahan karyawan yang telah disediakan oleh perusahaan, yang berada tak jauh dari kantor perusahaan tersebut.
Istri dan anak-anak ku tidak bisa ikut pindah dengan ku, karena istri ku juga bekerja di kota menjadi seorang guru. Dan anak-anak ku juga harus bersekolah di sana.
Aku dan istri ku sudah sepakat, hanya aku saja yang akan pindah. Dan dalam sebulan sekali aku akan pulang ke kota, untuk bertemu istri dan anak-anak ku.
Baru satu minggu aku pindah ke sini, dan memulai pekerjaan ku yang baru, aku sudah mulai merasa bosan. Selain karena suasananya yang sunyi, aku juga belum kenal dengan orang-orang yang tinggal disini. Meski pun rata-rata semua tetangga ku adalah karyawan di perusahaan tersebut.
Beruntunglah masih ada jaringan internet disini, sehingga aku bisa hampir setiap menghubungi keluarga ku di kota. Setidaknya hal itu, cukup mampu menghilangkan kejenuhan ku dan juga rasa lelah ku.
Aku memang belum pernah berpisah dengan istri dan anak-anak ku, dalam waktu yang cukup lama seperti saat ini. Namun biar bagaimana pun, aku harus terbiasa dengan semua ini. Aku harus rela berpisah dengan mereka, demi tetap bekerja di perusahaan ini. Dan demi biaya hidup keluarga kecil ku.
Saat masih bekerja di kota, aku hanyalah seorang karyawan biasa di perusahaan tersebut. Namun karena prestasi kerja ku selama ini, perusahaan memberi aku penghargaan dengan menjadikan aku seorang manager. Tentu saja dengan syarat, aku harus bersedia untuk dipindahkan ke cabang perusahaannya yang baru.
Dan aku dengan berat hati pun harus menerima hal tersebut. Meski pun jabatan ku sudah lebih baik, tapi konsekuensi nya, aku juga harus pindah tempat tinggal dan harus berpisah dengan keluarga ku.
Disini, di tempat baru ini, aku tinggal sendirian, di sebuah rumah kecil, yang memang telah disediakan oleh perusahaan, untuk tempat tinggal para karyawannya.
Ada banyak rumah disini, dan semuanya sudah ditempati. Ada yang tinggal bersama keluarganya, dan ada juga yang tinggal sendirian, seperti aku.
Kebetulan rumah tempat aku tinggal, berada paling ujung perumahan tersebut. Di sebelah kiri terdapat kebun sawit milik perusahaan tempat aku bekerja. Sementara rumah disebelah kanan tempat aku tinggal, ditempati oleh seorang lelaki muda yang masih lajang.
Lelaki tetangga ku tersebut, aku ketahui bernama David. Ia bekerja di bagian pergudangan kantor. Usianya masih 26 tahun. Masih cukup muda.
David orangnya cukup ramah. Setelah mengenalnya selama beberapa hari ini, kami mulai jadi sering ngobrol. Dan hal itu cukup mengurangi kebosanan ku.
Karena aku yang hampir tak pernah masak sejak kecil, aku memang sedikit kesulitan dalam hal makan ku selama disini. Beruntung masih ada kantin disini. Tapi jujur saja, aku kurang suka masakan kantin tersebut. Lagi pula, aku juga merasa bosan, kalau setiap hari harus makan masakan kantin.
Sementara jika harus membeli makanan di rumah makan, itu jaraknya cukup jauh. Hampir satu jam perjalanan naik motor, untuk bisa sampai ke rumah makan terdekat.
Berbeda dengan David. Ia adalah seorang lelaki mandiri. Ia sudah terbiasa masak sendiri sejak ia kuliah. Dan hal itu cukup membuat ia merasa nyaman tinggal disini.
***
Hari-hari pun terus berlalu. Aku mencoba menikmati kehidupan baru ku. Jauh dari keluarga, jauh dari kota, dan makan makanan yang tidak aku suka.
Aku pun mencoba mengeluhkan hal tersebut kepada David, terutama tentang aku yang agak kesulitan untuk makan.
Dan diluar dugaan ku, David pun menawarkan diri untuk sekalian memasak untuk ku. Aku tentu saja dengan senang hati menerima tawaran tersebut.
Karena pernah pada suatu hari, David menawarkan makanan masakannya sendiri padaku. Dan masakan David cukup masuk ke selera ku, meski tak senikmat masakan istri ku.
"kamu serius?" tanya ku masih belum begitu yakin akan tawaran David tersebut.
"iya, aku serius, bang. Itu pun kalau bang Jhoni gak keberatan dan suka dengan masakan ku.." balas David pelan.
"sejujurnya, sejak aku tinggal disini, hanya masakan kamu yang masuk ke selara ku, Vid. Jadi... ya aku pasti mau, kalau kamu memang ingin sekalian memasak untuk ku.." ucapku kemudian.
"tapi kira-kira berapa harga yang harus saya bayar?" tanya ku melanjutkan.
"udah.. santai aja, bang. Aku kan juga sekalian masak untuk diriku sendiri, tinggal nambah satu porsi lagi aja sih.. jadi bang Jhoni gak usah pikirkan soal bayar-bayarnya..." jawab David dengan nada santai.
"yah.. gak bisa gitu juga dong, Vid. Aku gak mungkin terima gratis gitu aja, kan? Lagi pula, pasti belanjaan kamu juga nambah, karena harus masakin aku juga..." ucapku lagi.
"gak apa-apa, bang... aku senang, kok. Bisa masakin abang... apa lagi kalau abang suka sama masakan ku.. selama ini... aku masak sendiri, makan sendiri.. jadi kalau ada orang lain, yang makan masakan ku, aku jadi merasa tersanjung..." balas David lagi.
"oh.. ya udah... kalau kamu memang gak keberatan, ya gak apa-apa... tapi tetap ya... sekali-kali saya yang bayar belanjaannya.." ucapku kemudian.
"terserah abang aja.. tapi kalau boleh aku meminta satu hal sama abang, aku pengen kita makannya sama-sama di rumah ku, terutama saat makan malam.." David berucap kembali.
"oke.. kalau itu sih gak masalah bagi ku. Aku malah senang, karena makan sendirian di rumah juga gak enak.." balasku pelan.
"iya, bang. Kalau kita bisa makan berdua, kan jadi lebih seru, biar gak berasa terlalu sepi juga..." ucap David lagi.
Oke.. masalah makan sekarang sudah selesai. Persoalan ku selanjutnya adalah masalah mencuci pakaian. Meski pun aku pulang ke kota sekali sebulan, dan aku bisa bawa pakaian kotor tersebut ke kota, tapi rasanya selama sebulan pakaian kotornya pasti sangat menumpuk. Dan disini jelas tidak ada loundry.
Dan aku belum pernah mencuci pakaian seumur hidupku.
"abang gak punya mesin cuci?" tanya David, ketika akhirnya aku juga mengeluhkan hal tersebut padanya.
"gak ada sih.. tapi sekali pun ada, aku juga gak ngerti caranya..." balasku jujur.
"oh.. ya udah... sekalian aja aku yang nyuciin pakaian abang. Kebetulan aku sudah punya mesin cuci, dan aku sudah terbiasa mencuci pakaian sendiri.." tawar David kemudian.
"ah.. janganlah.. malah semakin merepotkan kamu, Vid..." balasku cepat.
"aku gak merasa direpotkan kok, bang. Abang tenang aja.. aku suka melakukan hal-hal tersebut.." ucap David berusaha meyakinkan ku.
"oke.. aku mau, kalau kamu bersedia mencucikan pakaian ku, juga memasak untuk ku, tapi ... aku gak mau itu semua gratis.. aku akan bayar kamu, setiap bulannya..." ucapku akhirnya.
"gak usah, bang. Aku tulus, kok. Mau bantu abang selama disini.. Tapi... kalau abang bersikeras mau bayar, saya gak bisa terima bayarannya dalam bentuk uang.." ucap David, sedikit pelan.
"jadi dalam bentuk apa?" aku bertanya penasaran.
"gak bisa saya sebutkan sekarang, bang. Nanti kalau udah saatnya, abang juga pasti tahu.. Tapi yang pasti sekarang... mulai hari ini.. aku yang masakin abang, dan juga aku yang akan nyuci pakaian abang. Dan abang gak usah pikirkan dulu soal bayarannya.." balas David pelan.
Aku terdiam sesaat. Entah apa maksud David dengan semua itu.
Kenapa ia mau melakukan semua itu untukku, tanpa dibayar?
Sebaik itukah seorang David?
Tapi.. ya sudahlah.. untuk apa juga aku memikirkan semua itu. Kalau memang David mau melakukan semua itu untuk ku, tanpa dibayar, ya gak apa-apa. Aku malah merasa diuntungkan.
****
Sejak saat itu lah, David mulai memasak untuk ku. Dia juga mencucikan pakaian kotor ku, sekali seminggu. Kami juga hampir setiap malam makan malam berdua di rumahnya. Kami juga semakin akrab dan dekat.
David memang lelaki yang baik, penuh perhatian dan sangat pengertian.
Ternyata David adalah seorang yatim piatu. Ayah ibunya sudah lama meninggal dunia, sejak David masih SMA. Sejak itu ia tinggal bersama bibinya, yang hidup cukup sederhana. Karena itu, David sudah terbiasa hidup susah dan mandiri.
David juga sempat kuliah sambil bekerja. Sejak kuliah ia tak lagi tinggal bersama bibinya. Ia berjuang sendiri untuk kuliah dan hidupnya. Hingga akhirnya ia bisa lulus kuliah, dan sempat bekerja di beberapa tempat, sebelum akhirnya ia diterima bekerja di perusahaan ini.
"sudah lama saya hidup sebatang kara, bang. Karena itu, saya merasa senang bisa mengenal abang disini. Saya jadi merasa punya saudara disini. Jarang orang yang bisa dekat sama saya, bang. Karena.. saya orangnya pendiam dan pemalu." ucap David melanjutkan cerita hidupnya.
Aku merasa cukup terenyuh mendengar kisah hidup David. Biar bagaimana pun, perjalanan hidupnya berbanding terbalik dengan perjalanan hidupku sendiri.
Aku sendiri terlahir dari keluarga yang cukup mapan. Kedua orangtua ku bekerja di instansi pemerintah, yang gaji nya lebih dari cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari.
Apa lagi orangtua ku hanya punya dua orang anak. Aku dan adik perempuan ku, yang sekarang juga sudah menikah dan sudah bekerja di instansi pemerintah juga.
Selulus kuliah, aku langsung diterima bekerja di perusahaan tempat aku bekerja sekarang. Tiga tahun kemudian aku pun menikah, dengan seorang gadis yang sudah bekerja menjadi seorang guru. Hingga kami dikaruniai dua orang anak.
Sekarang aku berada disini, dengan jabatan sabagai seorang manager.
Sungguh sebuah kehidupan yang hampir tanpa warna. Semua berjalan begitu lancar. Aku hampir tidak pernah merasakan kesusahan dalam hal apa pun. Hidupku berjalan hampir seperti yang aku inginkan. Tanpa ada perjuangan yang berarti.
Tentu saja semua itu, jauh berbeda dengan perjalanan hidup yang telah David lalui selama ini. Perjuangannya begitu kuat dan panjang. Perjalanan hidupnya penuh liku-liku dan penuh pengorbanan.
Semakin mengenal David, aku justru mulai mengaguminya. Sikapnya yang tenang, penuh perhatian, bahkan kepada hal-hal kecil, yang aku sendiri tidak menyadarinya.
Selama ini hidupku berjalan baik-baik saja. Aku menikah pun, hanya karena dijodohkan oleh orangtua ku. Aku bahkan hampir tak pernah pacaran sama sekali. Sejak kecil, kedua orangtua ku, selalu menekankan kepada ku, untuk lebih mengutamakan belajar dan sekolah, dari pada hal-hal lainnya.
Hidupku benar-benar datar. Aku dimanja sekaligus dipaksa untuk menuruti keinginan kedua orangtua ku. Aku sekolah dimana, kuliah jurusan apa, semuanya orangtua ku yang ngatur. Bahkan saat aku pertama kali bekerja di perusahaan ini pun, itu semua atas keinginan orangtuaku.
Kata mereka, aku gak cocok kerja di pemerintahan, aku lebih cocok kerja di perusahaan swasta. Selain gajinya lebih besar, peluang untuk aku diterima juga lebih besar.
****
Mengenal David, membuat aku harus mengkaji ulang siapa diriku sebenarnya.
Sejak aku menikah dan punya anak, kedua orangtua ku sudah mulai tidak ikut campur urusan hidupku, terutama urusan rumah tangga ku. Mereka seperti sudah menyerahkan semua itu kepada istri ku.
Sejak menikah, istri ku yang mengatur semuanya. Aku hanya bekerja, bekerja dan bekerja.
Sampai aku lupa, kalau aku juga punya keinginan sendiri.
Mengenal David, membuat aku seolah menemukan hal baru dalam hidup ku.
Selama ini, aku hampir tidak punya teman dekat. Hidup ku seolah telah diatur sedemikian rupa. Aku hanya berusaha untuk memenuhi keinginan orangtua ku. Dan sejak menikah, aku juga berusaha untuk memenuhi keinginan istri ku.
"terima kasih ya, bang.." ucap David mengagetkan ku, ketika kami selesai makan malam.
"terima kasih umtuk apa?" tanyaku heran, "harusnya aku yang terima kasih sama kamu,Vid.." lanjutku.
"terima kasih, karena abang sudah mau menjadi teman ku.." balas David pelan.
"aku yang terima kasih sama kamu, Vid. Kamu sudah sangat banyak membantu ku selama disini. Kamu sudah terlalu baik padaku.." ucapku membalas.
"aku... boleh jujur sama abang.." ucap David tiba-tiba.
"jujur tentang apa?" tanya ku sedikit heran.
David terdiam sesaat. Ia menarik napas dalam.
"aku... sebenarnya ... aku sayang sama bang Jhoni.. aku jatuh cinta sama bang Jhoni, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan. Itulah kenapa, aku mau melakukan apa pun untuk bang Jhoni selama ini.." suara David cukup bergetar.
Aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa.
Aku benar-benar tidak menyangka hal ini sebelumnya. David memang sangat baik padaku selama ini. Bahkan perhatiannya padaku, melebihi perhatian istri ku selama ini. David sangat penuh pengertian. Dia tidak pernah membuat ku marah atau pun kecewa akan sikapnya padaku.
Dan aku sendiri bingung dengan perasaan ku.
Aku memang merasa nyaman saat bersama David. Tapi apakah itu cinta?
"aku tahu, perasaan ini salah, bang. Mungkin abang akan membenci ku karenanya. Tapi.. jujur saja, aku sudah tidak sanggup lagi memendam semua ini. Aku benar-benar mencintai bang Jhoni. Aku ingin menjadi kekasih bang Jhoni. Aku ingin kita hidup bersama disini.." David berucap lagi melihat keterdiamanku.
Dan aku masih bingung, harus berkata apa.
****
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih