Langsung ke konten utama

Adsense

Sakitnya mencintai lelaki normal

Namanya Kamal. Seakan tak mau hilang nama itu di hatiku. Nama seorang lelaki yang telah membuat aku jatuh hati. Nama seorang lelaki yang selalu menghiasi fantasi ku, setiap malamnya.

Kamal memang memiliki wajah yang tampan, meski ia berkulit sedikit gelap. Tapi postur tubuhnya sangat kekar dan gagah. Aku benar-benar di buatnya tergila-gila dengan segala pesonanya itu.

Kamal adalah rekan kerja ku, usianya sudah 28 tahun saat ini, satu tahun lebih tua dari ku.

Kamal sudah menikah, dan sudah punya seorang anak.

Aku tak begitu dekat dengannya. Meski pun sebenarnya kami satu divisi di kantor. Hampir setiap hari kami bertemu. Kami juga sering ngobrol sebenarnya, tapi belum pernah ngobrol berdua. Selama ini, obrolan kami hanya seputar masalah pekerjaan. Itu pun bersama rekan-rekan kerja ku yang lainnya.

Aku memang sudah mengagumi Kamal, sejak pertama kali kami bertemu di kantor tempat kami sama-sama bekerja. Kamal lebih dulu beberapa bulan bekerja di sana. Dan saat hari pertama aku bekerja, aku sudah mulai merasa tertarik dengan Kamal.

Sejak saat itu juga, aku jadi sering mengkhayalkannya. Berharap suatu saat nanti, Kamal bisa aku miliki sebagai kekasih. Atau sekurang-kurangnya sebagai pelampiasan dari gejolak cinta yang aku rasakan padanya.

Namun sudah hampir setahun kami saling kenal, belum pernah sekali pun aku berani untuk mengajak Kamal mengobrol berdua, apa lagi mengajaknya datang ke rumah ku.

Aku memang tinggal sendiri di kota besar ini. Aku sengaja membeli rumah secara kredit di sebuah perumahan sederhana, yang berada tidak jauh dari kantor tempat aku bekerja.

Kamal sendiri, yang aku ketahui telah menikah dan punya anak tersebut, juga sudah punya rumah sendiri, yang juga ia beli secara kredit. Hanya saja, perumahan tempat Kamal tinggal, agak sedikit jauh dari kantor. Sehingga ia butuh tambahan biaya beli minyak untuk motornya.

Setidaknya begitulah hal-hal kecil yang baru aku ketahui tentang Kamal. Meski cerita itu hanya aku dengan dari rekan kerja yang lain, bukan dari langsung dari mulut Kamal.

****

Suatu sore, saat mau pulang kerja, aku melihat Kamal masih berada di meja kerjanya, meski ia hanya terlihat terdiam disana. Sementara teman-teman yang lain, sudah mulai pulang satu per satu.

Melihat Kamal yang maih termenung di meja kerjanya, aku berpura-pura masih sibuk dengan komputer ku. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku berharap, punya kesempatan berdua dengan Kamal sore itu.

Setelah semua rekan-rekan kerja kami pulang, Kamal masih terpaku di meja kerjanya. Ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.

Aku pun akhirnya memberanikan diri, untuk melangkah mendekatinya.

"belum pulang?" sapa ku ringan.

Kamal terlihat sedikit kaget, namun ia segera tersenyum. Senyum yang membuat jantung ku jadi berdegup kencang, lebih kencang dari biasanya.

"belum.." balas Kamal terdengar lemah, sambil ia sedikit menggelengkan kepalanya.

"masih ada kerjaan ya?" tanya ku lagi, mencoba berbasa-basi.

"hmm... gak sih... cuma lagi... ini aja..." Kamal menjawab dengan nada ragu, seakan ia enggan untuk berbicara jujur padaku.

"kamu lagi ada masalah?" tanyaku akhirnya tanpa basa-basi lagi. Aku ingin Kamal merasa sedikit lebih nyaman untuk bercerita padaku. Karena selama ini kami memang tidak begitu dekat.

Kali ini Kamal terdiam cukup lama. Ia kembali terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.

"kamu yakin mau tau?" ucap Kamal tiba-tiba memecah keheningan yang tercipta sesaat tadi.

"kalau kamu mau cerita..." timpal ku, berusaha terdengar sedikit akrab.

"kamu bisa jaga rahasia kan?" ucap Kamal kemudian.

"bisa.." balasku cepat, "ada apa sebenarnya?" tanya ku kemudian, yang mulai merasa penasaran.

"aku boleh pinjang uang kamu gak?" balas Kamal dengan nada tanya dan ragu.

Aku merasa kaget. 

Aku hanya tidak menyangka, kalau Kamal punya masalah keuangan. Padahal boleh dibilang, gaji kami diperusahaan ini cukup besar, bahkan lebih dari cukup jika hanya untuk biaya hidup sehari-hari, sekali pun Kamal sudah menikah dan punya anak.

"kalau gak boleh juga gak apa-apa.." ucap Kamal kemudian, melihat keterdiaman ku.

"butuh berapa?" tanya ku, mengabaikan ucapan Kamal barusan.

"sepuluh juta..." balas Kamal.

"untuk apa uang sebanyak itu?" tanya ku lagi, benar-benar ingin tahu.

"ibu ku masuk rumah sakit, kata dokter ia harus segera di operasi. Dan itu butuh biaya banyak.." jelas Kamal dengan nada sedih.

"kamu udah coba pinjam ke perusahaan?" tanya ku kemudian.

"udah.. tapi hanya dapat dua puluh juta... Sementara biaya operasi mungkin mencapai tiga puluh juta lebih.." balas Kamal lagi.

"gak pakai BPJS?" aku bertanya lagi.

"perusahaan tidak menanggung BPJS untuk ibu ku, hanya untuk istri dan anak ku. Padahal ibu ku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hanya aku anak satu-satunya. Ayah ku sudah lama meninggalkan ibu ku dan sudah menikah lagi dengan wanita lain.." jelas Kamal lagi sedikit blak-blakan.

Aku merasa terenyuh. Tidak aku sangka, jika Kamal punya kisah hidup yang sedikit tragis. Di balik keceriaannya selama ini, ternyata ia menyimpan sebuah duka yang ia pendam sendiri.

"ya udah... nanti saya transfer..." ucapku akhirnya, tak tega melihat wajah murung milik Kamal.

"kamu serius?' tanya Kamal.

"iya.. saya serius, kamu kan memang lagi butuh.." balas ku pelan.

"padahal tadi sebenarnya, aku hanya sekedar basa-basi aja... Aku memang lagi butuh teman untuk cerita, tapi ternyata kamu orang yang baik..." ucap Kamal kemudian.

"ah.. biasa aja... mumpung aku masih punya simpanan sih... dan lagi pula, kamu kan emang lagi butuh.. Apa salahnya saya bantu..." balasku, dengan perasaan yang tak menentu.

Biar bagaimana pun, aku merasa bangga, bisa menjadi dewa penolong bagi Kamal, saat ia sedang membutuhkan. Semoga hal itu, bisa membuat aku dan Kamal semakin dekat.

****

Dan ternyata benar, sejak saat itu, aku dan Kamal memang semakin dekat. Kami jadi sering ngobrol berdua. Kami jadi sering menghabiskan waktu berdua, terutama saat jam istirahat kerja.

"gimana ibu mu?" tanyaku pada Kamal, saat kami sedang makan berdua di kantin, setelah beberapa minggu berlalu sejak keakraban kami di mulai.

"puji Tuhan, ibu sudah selesai di operasi, dan sekarang beliau sudah sehat kembali.." balas Kamal.

"syukur lah.." timpal ku ringan.

"makasih ya, Be.. Kamu sudah sangat membantu..." ucap Kamal lagi.

"iya sama-sama.." balasku lagi.

"tapi... aku gak tahu, kapan aku bakal bisa balikin uang kamu.." Kamal berucap lagi.

"udah... kamu gak usah terlalu memikirkan hal tersebut. Aku juga tahu, kalau perusahaan juga bakal potong gaji kamu setiap bulannya, untuk melunasi hutang kamu sama perusahaan.. Jadi ... mengenai uang ku, jangan kamu pikirkan dulu.." balasku, berusaha meyakinkan Kamal, kalau aku ikhlas membantunya.

"iya... itu juga yang menjadi beban pikiran ku saat ini. Padahal selama ini, aku hanya mengandalkan gaji ku, untuk biaya hidup kami sekeluarga. Belum lagi untuk angsuran rumah, angsuran motor. Dan sebentar lagi anak ku juga bakal masuk PAUD..." suara Kamal sedikit lemah.

"kamu sabar ya, Mal.. Selama masih ada aku, pasti bakal aku bantu kok, asalkan kamu mau cerita sama ku.." ucapku tanpa sadar, seakan aku merasa kalau Kamal sudah menjadi bagian dari hidup ku.

"tapi aku yang jadi gak enak sama kamu, Be. Gak mungkin juga kamu harus ikut menanggung beban hidupku, sedangkan kita ini bukan keluarga. Hanya teman kerja. Aku merasa malu, jika harus minjam uang terus sama kamu..." ucapan Kamal sedikit menyadarkan ku, kalau kami memang hanya teman kerja.

"tapi kalau kamu memang butuh bantuan ku, kamu jangan sungkan-sungkan ya, Mal. Aku ikhals kok, mau bantu kamu..." aku berucap lagi, berusaha membuat Kamal sadar, kalau kehadiran ku di hidupnya, bukan hanya sekedar rekan kerja, tapi lebih dari itu.

Aku rela dimanfaatkan Kamal untuk apa saja, selama hal itu bisa membuatku selalu dekat dengannya. Begitulah kebodohan ku dalam mencintai. Satu-satunya yang aku inginkan, hanyalah menjadi bagian penting dalam hidup orang yang aku cintai.

"sebagai teman, kamu terlalu baik, Be... Aku gak tahu, bagaimana caranya untuk balas kebaikan kamu..." ucap Kamal sendu.

"gak usah di balas, Mal.. cukup dinikmati aja..." ucapku dengan nada canda, mencoba mengubah suasana yang tiba-tiba saja terasa menghanyutkan.

"ah.. kamu bisa, Be.." balas Kamal, dengan tersenyum.

****

Dan begitulah, berbulan-bulan berlalu, aku dan Kamal benar-benar menjadi dekat dan akrab. Aku bahkan sudah berani mengajak Kamal ke rumah ku. Kamal juga sudah tidak sungkan lagi padaku. Ia sudah beberapa kali harus meminjam uang lagi dari ku. Dan aku dengan rela hati memberikannya.

Bagiku, Kamal adalah sosok yang membuat aku selalu merasa nyaman saat bersamanya. Senyumnya, wajahnya yang tampan, tubuhnya yang kekar, benar-benar membuat ku bangga bisa dekat dengannya.

"aku beruntung bisa mengenal kamu, Be. Dulu ku kira, kamu orangnya sombong.. Karena jarang sekali ngomong kalau kita lagi kumpul-kumpul sama rekan-rekan kerja yang lain.. Tapi ternyata aku salah, kamu orangnya baik banget ternyata..." ucap Kamal, suatu sore di rumah ku.

Aku sengaja mengajak Kamal mampir seperti biasa, sebelum ia pulang ke rumahnya.

"aku yang beruntung bisa mengenal kamu, Mal.." balasku tanpa sadar.

Kamal hanya tersenyum, seakan ia tidak mau mengerti mengapa aku berkata demikian.

"tapi.. ngomong-ngomong, kenapa kamu mau meminjamkan uang sebanyak itu padaku, padahal waktu itu kita belum dekat, bahkan hampir tidak saling kenal.." tanya Kamal tiba-tiba.

"aku.. aku hanya merasa kasihan mendengar cerita mu waktu itu, Mal. Aku tahu gimana rasanya gak punya uang saat kita butuh.." balasku apa adanya.

"emangnya kamu pernah merasakan hal itu?' Kamal bertanya.

"dengan versi yang berbeda sih.. Dulu.. ketika aku masih kuliah, aku yang tinggal sendirian di kota, pernah kehabisan uang, dan orangtua ku belum bisa mengirimkan uang dari kampung waktu, karena panen mereka gagal.."

"aku mencoba mencari pinjaman kesana-kemari, namun tak satu pun orang yang sudi membantu ku, sampai akhirnya aku harus menjual handphone ku satu-satunya, hanya untuk bisa bertahan hidup.." ceritaku dengan dana sedikit pilu.

"jadi sekarang orangtua mu masih di kampung?" tanya Kamal lagi.

"iya.. sekarang giliran aku yang harus mengirim uang kepada mereka, untuk membantu biaya sekolah adik-adik ku, dan juga biaya hidup mereka, karena saat ini keadaan mereka juga sudah sering sakit-sakitan, jadi gak bisa kerja terlalu berat lagi.." jelasku lagi.

"maaf ya, Be. Padahal kamu juga punya tanggungan keluarga, tapi aku disini juga ikut merepotkan kamu.." ucap Kamal kemudian.

"aku gak merasa direpotkan sama kamu, Mal. Aku senang bisa membantu kamu. Dan soal keluarga ku, gaji ku masih cukup kok, untuk aku kirim ke mereka. Lagi pula di kampung, ayah ku punya sawah sendiri. Jadi... meski pun hasilnya kecil, mereka masih punya penghasilan. Aku hanya bantu-bantu sedikit aja.." jelasku lagi, tak mau membuat Kamal menjadi merasa bersalah.

"tapi kamu terlalu baik, Be. Sama ku. Aku gak tahu, bagaimana cara membalasnya.." ucap Kamal lagi.

"kalau seandainya aku jujur sama kamu, Mal. Kamu bakal marah gak?" tanya ku tiba-tiba.

Sore sudah mulai meremang waktu itu. Suasana juga mulai terasa sepi. Seakan hanya ada kami berdua saat itu. Aku terbawa suasana. Aku seakan tak mampu lagi, menahan perasaan ku pada Kamal. Aku ingin jujur.

"emangnya kamu mau jujur tentang apa sih, Be? Apa ada yang kamu sembunyikan dari ku selama ini?" Kamal bertanya dengan nada santai.

"aku mau jujur, Mal. Tapi aku takut kamu marah dan membenci ku karenanya.." suara ku sedikit serak.

"ada apa sih, Be? Kok serius amat... Aku jadi merasa penasaran.." balas Kamal.

Kali ini aku mencoba menarik napas panjang. Di benak ku terbenam beribu pertanyaan dan sejuta dilema.

Haruskah aku jujur pada Kamal tentang perasaan ku padanya?

Yang resikonya, bisa saja Kamal akan membenci ku dan akan menjauh dari ku.

Tapi jika aku tetap memendamnya, hal itu akan terus menyiksa ku.

Karena setiap kali Kamal berada di dekat ku, aku selalu berusaha menahan keinginan ku, untuk sekedar mendekapnya.

Ah, betapa rumitnya semua ini bagi ku...

****

"apa pun rahasia yang ingin kamu cerita kan padaku, Be. Aku mohon, kamu cerita aja ya. Aku janji gak bakal marah sama kamu. Karena aku gak punya alasan apa pun yang bisa membuat aku marah sama kamu, Be. Kamu sudah terlalu baik sama ku selama ini. Jadi.. aku gak mungkin bisa marah sama kamu.." Kamal berucap dengan nada serius.

"iya, Mal. Aku bakal jujur sama kamu. Dan aku siap menanggung resiko nya, sekali pun mungkin kamu akan membenci ku karenanya.." ucapku membalas.

Kamal mengerutkan kening. Ia terlihat bingung.

"sebenarnya... aku suka sama kamu, Mal... Sudah lama aku mengagumi mu, bahkan sejak pertama kali kita bertemu di tempat kerja. Itu juga yang menjadi alasan ku, mengapa aku dengan begitu mudahnya meminjamkan uang pada mu."

"meski sejujurnya, aku juga merasa kasihan padamu waktu itu. Tapi seandainya, kamu bukan laki-laki aku kagumi, mungkin aku juga tidak akan semudah itu meminjamkan kamu uang. Tapi kenyataannya, waktu itu, aku berharap, kita bisa menjadi dekat.."

"dan ketika harapan ku menjadi nyata, untuk sekedar menjadi teman dekatmu, aku semakin merasa bahagia. Aku gak mau kehilangan kesempatan, untuk bisa menghabiskan waktu berdua dengan mu, Mal. Karena itu juga, aku selalu bersikeras, agar kamu mau menerima bantuan ku. Sehingga dengan begitu, kita pasti akan semakin akrab."

"awalnya aku berpikir, dengan menjadi akrab dengan mu, akan membuat ku merasa cukup. Cukup, walau hanya menjadi sahabat bagi mu. Tapi ternyata aku salah... Justru semakin aku dekat dengan mu, aku semakin ingin memiliki mu sebagai kekasih."

"aku semakin tidak bisa memendam perasaan ku padamu, Mal. Semakin hari perasaan itu semakin berkembang. Keinginan untuk bisa memiliki mu lebih dari sekedar sahabat, semakin kuat tumbuh di hati ku. Dan aku sudah tidak mampu lagi menahannya.."

"maafkan aku, Mal. Aku benar-benar minta maaf. Maafkan aku... jika aku terlalu mencintai mu, hingga aku rela melakukan apa saja untuk mu.." cerita ku akhirnya panjang lebar.

Aku merasa lega sekaligus merasa malu.

Kamal adalah orang pertama yang tahu siapa aku sebenarnya. Selama ini, aku selalu berhasil menyimpan rahasia tersebut. Aku selalu berhasil memendamnya, meski sudah berkali-kali aku jatuh cinta pada sosok laki-laki dalam hidup ku.

Namun selama ini, aku hanya memendamnya. Aku tak pernah berani untuk jujur. Aku simpan semua rahasia itu sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu. Karena itu juga, aku bahkan belum pernah pacaran sama sekali seumur hidup ku.

Tapi sekarang....

Sekarang Kamal sudah tahu siapa aku sebenarnya. Aku merasa malu tapi juga lega.

Lega karena akhirnya, aku bisa mengungkapkan perasaan ku pada Kamal.

Meski aku tidak tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.

Apa yang akan Kamal lakukan, setelah tahu semua itu.

Mungkinkah ia akan membenci ku dan manjauhi ku selama nya?

Atau mungkinkah ia bisa memakluminya?

Ah... Perasaan ku benar-benar campur aduk saat ini..

****

"Abe... aku minta maaf... aku benar-benar tidak menyangka semua ini. Ini semua sungguh di luar dugaan ku. Tapi... aku hargai kejujuran mu.. Aku hanya... aku hanya berharap, agar kamu bisa mengerti, jika aku adalah seorang laki-laki normal. Aku gak mungkin bisa menjalin hubungan sama kamu, lebih dari sekedar sahabat... Jadi... maafkan aku..." lirih suara Kamal di telinga ku.

"iya, Mal. Aku ngerti. Aku hanya sekedar ingin jujur sama kamu. Aku hanya berharap, kamu tak membenci ku karena ini. Aku harap, kita tetap bisa berteman.." balasku pilu.

"kita tetap berteman, Be. Tapi mungkin gak sedekat ini lagi. Jujur saja, aku pasti akan merasa risih dengan semua ini. Jadi aku harap, kamu mau menjaga jarak dari ku. Dan soal hutang ku sama kamu, aku akan membayarnya segera.." ucap Kamal lagi.

"ini semua gak ada hubungannya sama hutang kamu, Mal. Aku sungguh-sungguh mencintai kamu. Dan jika kamu merasa risih dan ingin menjauh, itu hak kamu. Tapi aku benar-benar berharap, kamu mau memberi aku kesempatan, sekali saja. Sekali saja dalam hidupku, aku bisa merasakan hal tersebut, Mal. Bersama kamu, orang yang paling aku cintai..." suara ku sedikit memelas.

"kamu jangan gila, Be. Aku gak mungkin melakukan hal itu bersama kamu. Bukan saja karena aku merasa jijik, tapi juga.... itu berarti aku mengkhianati istri ku dan juga kodrat ku sebagai laki-laki.. aku gak bisa.." suara Kamal terdengar tegas.

"aku gak bakal maksa kamu, Mal. Aku hanya minta belas kasihan mu. Dan aku ... aku memang sudah gila.. dan aku akan semakin gila, jika kamu tidak mau memberi aku kesempatan untuk bisa merasakan hal tersebut bersama kamu.. Aku bisa gila, Mal. Apa kamu gak kasihan sama aku?" kali ini suara ku benar-benar menghiba, aku seakan kehilangan akal sehat ku.

"oke... tapi tidak sekarang... aku butuh waktu. Dan ingat, aku mempertimbangkan ini, hanya karena kamu sudah sangat baik padaku selama ini, dan karena kamu juga sudah sering membantu ku. Jadi.. aku harap, kamu jangan berharap lebih padaku.." ucap Kamal akhirnya.

"tapi kapan?" tanya ku tidak sabar.

"yang pasti bukan sekarang, Be. Nanti pasti aku kabari, jika aku sudah merasa siap..." balas Kamal terdengar ragu.

"oke... aku akan tunggu kabar dari mu. Tapi aku minta satu hal lagi sama kamu, Mal. Tolong jangan sampai siapa pun tahu, tentang hal ini..." ujar ku sedikit memohon.

"kalau soal itu, kamu gak usah khawatir, aku pasti bisa jaga rahasia. Asal kamu juga jangan macam-macam, dan tetap jaga jarak..." balas Kamal lagi.

Entahlah... Entah aku merasa lega, atau justru merasa takut.

Lega, karena akhirnya Kamal mau memberi aku kesempatan untuk bisa melakukan hal tersebut bersamanya, walau aku tidak tahu, entah kapan hal itu akan terjadi.

Tapi aku juga takut. Takut, kalau Kamal berubah pikiran dan justru ia akan menjauh dari ku.

Ah, betapa semakin peliknya semua ini.

****

Keesokan harinya, Kamal seperti sengaja menghindari ku di tempat kerja. Ia tak lagi seperti biasanya. Ia seakan sengaja menjaga jarak. Dan aku hanya bisa menelan ludah pahit, akan perubahan sikap Kamal padaku.

Hari-hari selanjutnya, Kamal pun semakin menjauh. Kami tak pernah bertegur sapa lagi, apa lagi sekedar mengobrol berdua. Kamal benar-benar menjaga jarak dariku. Kami kembali seperti tak saling kenal.

Namun seminggu kemudian, tiba-tiba Kamal mengirim pesan padaku, jika ia akan mampir ke rumah ku sepulang kerja.

Hati ku bersorak senang. Akhirnya... bathin ku penuh harap.

Dan sore itu, Kamal benar-benar mampir di rumah ku. Tapi sikapnya begitu kaku.

"aku akan penuhi janji ku sama kamu, Be. Tapi kamu harus ingat, ini hanya karena kamu sudah baik padaku selama ini. Dan kamu juga harus ingat, ini adalah pertama dan terakhir kalinya kita melakukan hal tersebu. Setelah itu, aku harap kamu jangan lagi berusaha mendekati ku.." begitu ucap Kamal, ketika ia sudah duduk di samping ku.

"iya.. aku mengerti, Mal. Aku hanya ingin merasakan hal tersebut, setidaknya sekali seumur hidupku. Setelah itu, aku berjanji tidak akan mengganggi hidup mu lagi.." balasku lemah.

Bukan seperti ini yang aku harapkan sebenarnya. Tapi aku bisa apa. Aku tak mungkin memaksa Kamal untuk mau menjadi kekasih ku. Sudah diberikan kesempatan satu kali ini aja, rasanya itu sudah lebih dari cukup bagi ku.

Dan seperti yang aku khayalkan selama ini, ternyata semua itu benar-benar indah. Bahkan sangat indah. Meski pun awalnya, Kamal terasa kaku dan terlihat jijik. Namun aku berhasil membuatnya bisa menikmati semua itu. Bahkan Kamal terlihat rileks melakukannya.

Aku bahagia. Benar-benar bahagia.

Ternyata seperti ini rasanya. Bathin ku penuh kebanggaan.

Pertama kali melakukannya dengan orang yang aku cintai. Dan hal itu sungguh sangat indah. Begitu indah dan sempurna. Sampai aku tidak ingin semuanya berakhir.

Namun Kamal bukanlah milik ku seutuhnya. Ia hanya singgah sesaat, dan lalu pergi. Meninggalkan kesan yang begitu dalam di hatiku. Kesan yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Biar bagaiamana pun, Kamal adalah lelaki pertama yang berhasil membuat aku bisa mencapai keindahan yang hakiki.

"terima kasih..." ucapku, sebelum akhirnya Kamal benar-benar pergi. Pergi dari rumah ku dan juga dari hidup ku.

*****

Setelah kejadian indah sore tersebut, Kamal pergi begitu saja dari rumah ku, tanpa pamit, tanpa sepatah kata pun, yang keluar dari mulutnya. Ia hanya pergi.

Dan keesokan harinya, Kamal bahkan tidak tersenyum lagi padaku. Ia sengaja menghindari ku. Tanpa penjelasan apa pun.

Aku justru menjadi bingung. Apa sebenarnya yang Kamal rasakan saat itu. Saat ia melakukan hal tersebut dengan ku.

Mungkinkah ia juga menikmatinya?

Atau memang hanya sekedar untuk membalas semua kebaikan ku padanya selama ini.

Mungkin benar, ia membenci ku dan memilih untuk menjauh dari ku. Dan aku harus terima semua itu.

Tapi setidaknya, aku sudah pernah merasakan hal tersebut bersamanya.

Hingga hari-hari pun berlalu dengan begitu menyakitkan bagi ku. Aku merasa kecewa dengan sikap Kamal padaku. Padahal selama ini aku sudah begitu baik padanya. Dan ia bahkan sudah berjanji untuk tidak marah padaku.

Tapi kenyataannya, ia malah pergi dari hidupku. Dan bersikap seakan tak mengenal ku.

Aku kecewa. Aku marah. Aku sedih dan ingin menangis. Aku ingin pergi. Pergi dari kehidupan Kamal selamanya. Aku malu untuk bertemu dia lagi. Aku malu untuk sekedar menyapanya. Apa lagi ia sudah tahu rahasia ku.

Karena itu, aku memilih untuk resign dari pekerjaan ku. Aku harus pergi dari kehidupan Kamal. Aku tidak mau, suatu saat nanti, Kamal akan membongkar rahasia ku. Dan hal itu pasti akan sangat menyakitkan bagi ku.

Aku memutuskan untuk berhenti bekerja dan pulang ke kampung halaman ku. Aku ingin buka usaha disana. Dan memulai hidupku yang baru. Tanpa Kamal.

Kini, aku akan belajar untuk melupakan Kamal selamanya. Meski pun kesan indah yang ia berikan padaku, akan tetap tersimpan di relung hati ku yang terdalam.

Aku sadar, aku memang tidak pantas untuk bisa memiliki Kamal, bahkan untuk berharap hal tersebut saja, aku sudah tidak pantas. Kamal memang bukan ditakdirkan untuk ku. Dan aku harus bisa merelakan hal tersebut.

Kenangan bersamanya, akan aku simpan selamanya. Meski hal itu, akan terus menyiksa ku sepanjang hidupku. Tapi semua itu, terlalu indah untuk dilupakan begitu saja.

Semoga saja, ke depannya, aku bisa menjadi lebih baik. Semoga saja, aku mampu menjalani kehidupan ini, meski tak ada lagi Kama dalam hidup ku.

Yah... semoga saja...

 *****

Simak kisah menarik lainnya :

Bersama kang Udin

 Jagung bakar mas Tejo

My sugar daddy (part 4)

My sugar daddy (part 3)

My sugar daddy (part 2)

My sugar daddy (part 1)

Semalam bersama kernet bus

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla...

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendenga...

Adik tiriku (bukan) kekasihku [part 2]

Fikri Semenjak mengenal dan dekat dengan Bayu, adik tiriku itu, sekarang beberapa kebiasaanku berubah. Aku yang dulunya tidak begitu suka membaca, sekarang jadi sering menghabiskan waktu dengan membaca, terutama membaca hasil karya Bayu. Aku yang dulunya sangat jarang berolahraga, sekarang bahkan aku jadi ikut-ikutan suka fitness bersama Bayu. Dan aku menyukai semua aktivitas baruku itu. Aku memang baru mulai nge-gym, jadi postur tubuhku belum benar-benar terbentuk. "kamu baru nge-gym sebulan, Fik. Tapi hasilnya udah lumayan, loh..." ujar Bayu suatu hari di tempat gym langganan kami. Aku hanya tersenyum mendengar kalimat Bayu barusan. Sejujurnya hatiku memang terasa tersanjung mendengarnya. Tapi aku tetap berusaha bersikap biasa saja. Biar bagaimana pun Bayu belum saatnya tahu, tentang perasaanku padanya. Aku masih belum mau merusak kedekatan kami saat ini. Setahun lebih kami bersama, rasanya semua itu sangat indah bagiku. Bayu bukan hanya sekedar adik tiri bagiku sekarang, d...

Iklan google