Berbulan-bulan berlalu, aku dan bang Jaya pun semakin dekat dan akrab. Kami jadi semakin sering ngobrol berdua. Kami juga selalu saling berkirim pesan, bahkan tak jarang kami sering telponan, hingga berjam-jam lamanya.
Kedekatan kami tersebut, sungguh membuat aku merasa sangat bahagia. Meski aku tidak bisa memiliki bang Jaya sebagai kekasih, tapi setidaknya aku bisa memilikinya sebagai teman dekat. Dan hal itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia.
Hingga pada suatu saat, bang Jaya cerita pada ku, kalau ia dan istrinya baru saja berpisah. Ia dan istrinya sudah resmi bercerai, karena istrinya ketahuan selingkuh bersama laki-laki lain. Hal itu membuat bang Jaya menjadi sangat bersedih dan terpukul.
"padahal selama ini aku selalu setia padanya. Aku lakukan apa saja untuk membuat ia merasa bahagia. Aku rela kerja siang malam, hanya untuk memenuhi semua kebutuhannya. Tapi ia dengan begitu mudahnya selingkuh bersama pria lain..." begitu cerita bang Jaya padaku.
Saat itu, bang Jaya sengaja mengajak aku ngobrol di sudut warung seperti biasa, ketika semua orang sudah tertidur pulas.
Aku turut perihatin mendengar cerita bang Jaya padaku. Aku merasa kasihan padanya. Biar bagaimana pun, bang Jaya adalah orang baik dan setia. Tapi istrinya begitu bodoh, mengkhianati seorang laki-laki seperti bang Jaya.
"bang Jaya yang sabar ya... semua kejadian itu, pasti ada hikmahnya.." ucapku sok bijak.
"iya, Riz.. Makasih ya... udah mau mendengarkan cerita ku..." balas bang Jaya.
"iya, bang. Sama-sama... makasih juga udah percaya sama saya.." ucapku kemudian.
Jujur saja, aku jadi bingung dengan apa aku rasakan saat ini. Di satu sisi, aku merasa iba mendengar kejadian yang menimpa bang Jaya. Aku merasa perihatin. Namun di sisi, ada rasa lega menyelimuti hati ku. Dengan bercerainya bang Jaya dari istrinya, kesempatan ku untuk bisa memilikinya seakan terbuka semakin lebar.
Untuk itu, aku pun semakin penuh perhatian terhadap bang Jaya. Aku berusaha selalu menghiburnya. Aku tak ingin melihat ia bersedih lagi. Aku ingin melihat senyumnya mengembang lagi. Aku berusaha untuk selalu ada bagi bang Jaya.
Mendengarkan semua cerita-ceritanya, menjaga saat suntuk menyergapnya, menemaninya melewati masa-masa sedihnya, dan selalu berusaha untuk membuatnya tersenyum, dengan cerita-cerita kocak ku. Aku selalu ada, saat kegalauan menyelimuti hatinya.
Aku ingin bang Jaya sadar, kalau laki-laki seperti juga mampu membuatnya bahagia. Aku ingin bang Jaya percaya, kalau cinta ku padanya begitu tulus dan dalam. Aku ingin menjadi bagian paling penting dalam hidup bang Jaya saat ini.
***
Berbulan-bulan pun kembali berlalu, semenjak bang Jaya tidak lagi hidup bersama istrinya. Meski pun bang Jaya masih sering pulang ke rumah orangtua nya, sekedar untuk bertemu anak-anaknya, namun belakangan ini, bang Jaya memang lebih sering menghabiskan waktu di jalan.
Kesedihannya mungkin sudah mulai memudar, namun aku yakin, luka di hatinya masih belum sembuh seutuhnya. Tapi setidaknya, sekarang bang Jaya sudah bisa tersenyum kembali seperti sedia kala. Dia sudah bisa menikmati kesendiriannya.
Dan selama masa itu, aku selalu ada di sampingnya. Menemaninya dengan sepenuh hati. Perjuangan ku untuk meluluhkan hati bang Jaya, masih terus berlanjut. Aku masih terus berjuang untuk bisa membuka hati bang Jaya.
Hingga akhirnya, perjuangan ku pun membuahkan hasil..
Yah.. Akhirnya bang Jaya mulai membuka hatinya untuk ku.
Berawal dari bang Jaya mendatangi kost ku di kota. Ia sengaja datang sendirian. Lalu kami pun mengobrol cukup lama malam itu.
"saya.. mau mengucapkan terima kasih sama kamu, Riz..." begitu ucap bang Jaya pada akhirnya, setelah kami bercerita ngalor ngidul tak tentu arah.
"terima kasih untuk apa, bang?" tanya ku pelan.
"terima kasih karena kamu sudah mampu membuat aku pulih kembali. Terima kasih untuk waktu mu, yang selalu ada untuk ku. Terima kasih sudah menemani ku, melewati semua ini. Terima kasih untuk semuanya, Riz..." ucap bang Jaya kemudian, terdengar tulus.
"aku juga mau mengakui satu hal sama kamu, Riz..." lanjutnya pelan.
"mengakui apa, bang?" tanyaku penasaran.
"sebenarnya... sebenarnya aku mulai merasa suka sama kamu, Riz. Aku sayang sama kamu. Dan bahkan mungkin aku juga telah jatuh cinta sama kamu. Semua perhatian kamu selama ini, benar-benar telah mampu mengetuk pintu hati ku, Riz. Aku merasa nyaman saat bersama kamu. Aku ingin hubungan kita lebih dari sekedar teman dekat..."
Begitu ucap bang Jaya akhirnya, yang membuat aku merasa melayang seketika. Kalimat tersebut benar-benar terdengar sangat indah di telinga ku. Aku merasa bagai bermimpi.
"apa kamu masih mau menjadi pacarku?" tanya bang Jaya kemudian, setelah melihat aku hanya terdiam.
Aku masih termangu dalam ketidakpercayaan ku. Aku terdiam seribu bahasa. Aku tak tahu harus mengatakan apa saat itu. Aku benar-benar terlena.
"tapi kalau kamu gak mau, juga gak apa-apa, kok. Aku ngerti....." ucap bang Jaya lagi.
"aku .. aku mau, kok..." balasku cepat memotong ucapan bang Jaya.
"kamu mau?" tanya bang Jaya kemudian.
"iya... aku mau banget, bang. Karena aku masih sangat mencintai bang Jaya..." balasku penuh semangat.
"jadi.. sekarang kita pacaran?" tanya ku melanjutkan, sekedar meyakinkan diri ku sendiri, kalau aku tidak sedang bermimpi.
"iya, Riz... Kita pacaran..." balas bang Jaya terdengar yakin.
Lalu dengan spontan, dan entah dorongan dari mana, aku pun mendaratkan sebuah kecupan di pipi bang Jaya. Sebuah kecupan lembut, yang membuat bang Jaya jadi tersenyum manja.
"makasih ya, bang..." bisik ku.
Lalu, entah siapa yang memulai, kapal itu pun berlayar dengan syahdu. Pelan namun pasti, kami pun terhanyut dalam lautan penuh cinta. Hatiku merasa sangat bahagia malam itu. Semua khayalku tentang bang Jaya, kini telah menjelma menjadi nyata. Dunia terasa sangat indah bagi ku.
****
Sejak malam itu, aku dan bang Jaya pun resmi berpacaran. Cinta yang tumbu di hati ku untuk bang Jayam kian hari kian mekar. Apa lagi sekarang, bang Jaya sudah berhasil aku miliki. Dan hidup ku pun terasa sempurna.
Meski pun aku dan bang Jaya sangat jarang bertemu, tapi bang Jaya selalu mengabari ku, dimana pun ia berada. Kami memang saling mengasih kabar. Kami semakin sering telpon-telponan. Dan pada malam-malam tertentu, kami pun bertemu, untuk melepas rindu.
Hubungan ku dan bang Jaya terjalin begitu indah. Bang Jaya selalu mampu membuat ku merasa bahagia. Ia selalu berhasil membuat ku terasa melayang, dengan segala perlakuannya padaku. Dan aku menyukainya.
"aku sangat mencintai kamu, Riz..." ucap bang Jaya pada suatu malam, saat untuk kesekian kalinya, kami bertemu lagi di tempat kost ku.
"aku juga sangat mencintai bang Jaya..." balasku seakan tak mau kalah.
"seandainya bisa, aku ingin menikahi kamu, Riz..." ucap bang Jaya lagi.
"aku juga ingin menikah sama abang... Tapi... kita berdua juga sama-sama tahu, kalau hal itu jelas tidak mungkin..." balasku lemah.
"iya, Riz... Tapi maukah kamu untuk hidup selamanya bersama ku?" bang Jaya sedikit bertanya.
"aku pasti mau, bang... Aku juga ingin selamanya bersama bang Jaya." balas ku apa adanya.
"tapi aku ingin kita hidup satu rumah, Riz... Kita gak mungkin selamanya seperti ini. Jika kita terus bertemu di kost kamu seperti ini, orang-orang akan curiga. Jadi.. aku berencana untuk membeli rumah di kota ini, secara kredit, dan aku yang membayar bulanannya.."
"nanti kita bisa tinggal bersama disana, sampai kamu lulus kuliah, sampai kamu dapat kerja, dan sampai selama-lamanya.. Apa kamu mau?" ucap bang Jaya dengan diakhiri sebuah pertanyaan.
"bang Jaya serius?" tanya ku ragu.
"iya, aku serius, Riz... tapi...." bang Jaya sengaja menggantung kalimatnya.
"tapi.. apa, bang?" tanyaku sedikit penasaran.
"tapi.. aku juga ingin membawa anak-anak ku untuk tinggal bersama kita. Proses perceraian ku dengan mantan istri ku sudah selesai, dan pengadilan memutuskan kalau anak-anak kami harus ikut dengan ayahnya, bukan dengan ibunya, karena ibunya tidak bisa jadi panutan bagi anak-anak, karena kasus perselingkuhannya.." jelas bang Jaya.
Kali ini aku jadi terdiam. Aku tentu saja mau hidup bersama bang Jaya selamanya. Aku juga mau hidup serumah dengannya. Tapi.. kalau aku juga harus hidup bersama anak-anak bang Jaya? Rasanya hal itu cukup berat bagi ku.
"kamu gak usah khawatir, Riz.. Anak-anak ku sudah besar-besar, kok. Mereka sudah bisa mengurus diri mereka sendiri. Kami hanya harus tinggal bersama, sebagai bentuk tanggungjawab ku sebagai seorang ayah... dan aku ingin mengajak mereka pindah ke kota ini, agar mereka bisa menjaga jarak dari ibu mereka.." bang Jaya berucap lagi.
"bukan itu masalahnya, bang. Saya memang sangat ingin hidup serumah bersama bang Jaya. Saya juga ingin selamanya bersama bang Jaya. Tapi... jika kita tinggal satu rumah, dan di rumah itu juga ada anak-anak bang Jaya, apa hal itu tidak terlalu beresiko?" balasku akhirnya.
"apa lagi mereka juga sudah mulai tumbuh besar. Apa nanti mereka gak bakal curiga dengan kedekatan kita? Dan lagi pula, kita pasti tidak akan bisa bebas untuk saling bermesraan di rumah, jika kita tinggal bersama mereka..." lanjut ku lagi.
"itu juga yang sebenarnya menjadi beban pikiran ku, Riz. Di satu sisi, aku sangat ingin hidup serumah bersama kamu... Namun di sisi lain, aku juga tidak mungkin meninggalkan anak-anak ku bersama orang lain, apa lagi bersama ibunya..." ucap bang Jaya.
"jadi satu-satunya jalan yang terpikirkan oleh ku, yah... cuma itu... kita tinggal serumah, dan juga anak-anak ku..." lanjut bang Jaya kemudian.
Untuk beberapa saat, kami hanya saling terdiam. Aku juga menjadi bingung dengan semua itu. Aku juga merasa dilema. Aku ingin sekali tinggal serumah bersama bang Jaya. Tapi... aku juga tidak ingin membuat masalah di kemudian hari, karena hal tersebut.
"mungkin lebih baik, kalau bang Jaya tetap beli rumah, dan tinggal bersama anak-anak bang Jaya, dan aku tetap tinggal di kost seperti ini, tapi kita tetap bisa bertemu di rumah bang Jaya nantinya, terutama saat anak-anak sedang bersekolah.." ucapku akhirnya, memecah keheningan.
"lalu siapa yang akan menjaga anak-anak ku, saat aku sedang bekerja?" tanya bang Jaya.
"kan bisa abang titip di tempat penitipan anak.." balasku.
"kamu kan tahu, Riz. Kalau aku kerja sampai berhari-hari gak pulang, bermalam-malam. Gak mungkin kan, anak-anak aku titip sampai bermalam-malam seperti itu?" ucap bang Jaya menjelaskan.
"iya juga sih, bang..." ucapku tanpa sadar.
"satu-satunya cara yah cuma itu, Riz. Kita tinggal bersama. Jadi.. kalau aku kerja, kamu kan ada dirumah buat jaga anak-anak..." bang Jaya berucap kembali.
"aku juga gak mungkin meninggalkan anak-anak ku bersama orangtua ku, mereka sudah cukup tua. Pasti mereka akan kewalahan mengurusi anak-anak ku. Lagi pula, kedua anak ku adalah tanggungjawab ku, aku yang harus mengurus mereka... Jadi... aku mohon sama kamu, Riz... Kamu mau ya.." suara bang Jaya sedikit menghiba.
Aku jadi tidak tega mendengarnya. Aku jadi sedikit tersentuh dengan semua itu. Meski pun, jujur saja, aku juga bisa sepenuhnya menerima hal tersebut. Tapi aku juga berpikir, dengan mempercayakan anak-anaknya padaku, itu berarti, bang Jaya memang sangat ingin menjadikan aku bagian penting dalam hidupnya.
****
Dan begitulah, beberapa minggu kemudian, bang Jaya pun berhasil membeli sebuah rumah dengan cara kredit di kota tersebut. Aku pun pindah ke rumah tersebut. Begitu juga anak-anak bang Jaya.
Bang Jaya memperkenalkan aku kepada anak-anaknya sebagai salah seorang kerabat jauh mereka, yang akan tinggal bersama mereka, dan juga yang akan menjaga mereka saat ayahnya sedang bekerja.
Sebagian hati ku merasa bahagia dengan semua itu. Namun sebagian hati ku yang lain, belum bisa menerima semua itu, dengan sepenuh hati. Aku masih ragu, apa aku mampu? Apa aku sanggup?
Tapi.. aku akan mencoba menjalani ini semua. Aku akan berusaha menjadi 'ibu' yang baik, buat anak-anak bang Jaya. Karena, jujur saja, aku merasa seperti itulah status ku saat ini. Seperti menjadi seorang 'ibu' sambung bagi anak-anak bang Jaya.
Dan apa pun itu, beginilah kehidupan yang aku jalani saat ini. Semua ini aku lakukan, karena aku sangat mencintai bang Jaya. Aku hanya ingin menjadi yang terbaik untuknya, apa pun caranya.
Aku hanya berharap, semoga apa yang aku lakukan ini, bisa membuat bang Jaya semakin mencintai ku. Aku hanya berharap, semoga bang Jaya bisa menepati janjinya, untuk hidup bersama ku selamanya.
Yah... Semoga saja...
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih