Langsung ke konten utama

Adsense

Di modusin rekan kerja ku

Nama ku Kamal. Dan saat ini aku sudah berusia 28 tahun. Aku sudah menikah dan sudah punya seorang putri. Aku juga sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai karyawan tetap.

Aku berasal dari sebuah keluarga yang cukup berantakan. Ayah dan ibu ku bercerai pada saat usia ku baru 15 tahun. Ayah ku memilih untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang jauh lebih muda darinya. Dan meninggalkan ibu ku yang bersusah payah membesarkan ku sendirian.

Aku tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Sedangkan ibu ku hanya lah seorang buruh cuci keliling, dengan penghasilan yang pas-pasan. Namun beliau tetap mampu menyekolahkan ku hingga aku lulus kuliah.

Sebelum bekerja di perusahaan yang sekarang, dulu aku pernah bekerja menjadi buruh bangunan, pernah juga bekerja menjadi karyawan di sebuah minimarket, dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.

Setelah mendapatkan pekerjaan tetap di perusahaan tempat aku bekerja sekarang, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera menikah, dengan seorang gadis yang berasal dari keluarga yang sederhana.

Istri ku tidak bekerja, karena ia hanya lulusan SMA. Sementara ibu ku yang mulai sakit-sakitan, juga ikut tinggal bersama kami, di sebuah rumah yang aku beli secara kredit. Karena sebelum menikah, aku dan ibu ku hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil.

Sejak menjadi karyawan tetap dan juga sejak aku menikah, hidup ku mulai membaik. Aku merasa bahagia menjalani kehidupan kami yang sederhana, apa lagi sejak anak pertama kami lahir. Istri ku juga seorang perempuan yang penuh perhatian dan pengertian.

Meski pun kami harus tinggal satu rumah bersama ibu ku yang sudah cukup tua, istri ku tak pernah mengeluh akan hal tersebut. Istri ku justru terlihat sangat dekat dengan ibu ku. Dan hal itu cukup membuat aku merasa lebih tenang.

Sampai pada suatu ketika, sakit ibu ku semakin parah. Kami membawanya ke rumah sakit. Dan dokter memvonis kalau ibu ku mengalami gagal ginjal, dan harus segera di operasi.

Biaya untuk operasi ibu cukup mahal. Sementara aku dan istri ku hampir tidak punya tabungan sama sekali. Karena gaji ku selama ini, hanya cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Di tambah lagi, kami juga harus membayar angsuran rumah setiap bulannya, dan juga angsuran motor.

Aku benar-benar bingung harus mencari uang kemana, untuk biaya operasi ibu. Perusahaan tempat aku bekerja memang menyediakan BPJS untuk aku dan keluarga, tapi tidak termasuk untuk ibu ku. Sementara ibu juga tidak terdaftar sebagai penerima BPJS pemerintah.

Aku coba mengajukan pinjaman kepada perusahaan, tapi perusahaan hanya mengabulkan sebagian dari jumlah pinjaman yang aku ajukan. Dan pinjaman tersebut, belum cukup untuk biaya operasi ibu. Padahal ibu harus di operasi secepatnya.

Hingga pada suatu sore, saat menjelang pulang kerja. Aku masih termangu di meja kerja ku, sementara rekan-rekan kerja ku yang lain, sudah mulai pulang satu per satu. Aku masih memikirkan cara untuk bisa segera mendapatkan uang, untuk tambahan biaya operasi ibu.

"belum pulang?" tegur salah seorang rekan kerja ku, yang sebenarnya tidak begitu aku kenal. Aku hanya tahu namanya Abe. Dan rekan kerja yang satu divisi dengan ku. Tapi kami tidak terlalu saling kenal. Abe baru bekerja selama satu tahun di perusahaan ini.

"belum.." balasku pelan.

"masih ada pekerjaan ya?" Abe bertanya lagi.

"hmm.. gak sih... cuma lagi ini aja..." balas ku setengah ragu. Aku merasa tidak yakin untuk bercerita tentang persoalan ku ini, kepada seseorang yang tidak begitu aku kenal.

"kamu lagi ada masalah?" tiba-tiba Abe bertanya lagi, seakan melihat keraguan dari kalimat ku barusan.

Aku terdiam sesaat. Mempertimbangkan untuk menceritakan apa yang sedang aku hadapi saat ini, kepada Abe. Biar bagaimana pun, saat ini aku memang lagi butuh teman untuk sekedar bercerita. Dan aku harus bisa menemukan peluang untuk bisa mendapatkan bantuan keuangan.

Selama ini aku memang belum pernah bercerita masalah pribadi ku kepada siapa pun. Satu-satunya tempat aku bercerita selama ini hanya lah ibu ku, atau paling tidak kepada istri ku. Aku tak biasa bercerita, tentang masalah apa pun yang sedang aku hadapi kepada siapa pun.

Tapi saat ini, aku memang butuh teman untuk cerita. Aku sangat membutuhkan segala bantuan yang ada saat ini. Dan lagi pula, Abe kelihatannya orang yang baik. Dia sepertinya bisa menjadi pendengar yang baik, meski tentu saja ia tidak akan begitu mudahnya memberikan bantuan padaku, terutama soal uang. Karena kami memang selama ini, hampir tidak pernah ngobrol berdua sama sekali.

"kalau kamu ada masalah, kamu cerita aja... Siapa tahu saya bisa bantu.." Abe kembali berucap, melihat aku hanya terdiam dan melamun.

"kamu yakin mau tahu?" ucapku akhirnya.

"iya... kalau kamu mau cerita sih..." balas Abe ringan, dan terdengar akrab di telinga ku tiba-tiba. Karena saking jarangnya bercerita pada orang lain, kalimat Abe barusan benar-benar membuat aku tersentuh.

"sebenarnya... aku lagi butuh pinjaman uang... Apa kamu bisa bantu?" ucapku to the point. Karena aku memang kurang pandai berbasa-basi.

"butuh uang berapa?" tanya Abe, setelah ia terlihat termenung sejenak. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin ia tidak menyangka, kalau aku akan melontarkan kalimat tersebut.

"sepuluh juta.." balasku jujur.

"untuk apa uang sebanyak itu?" Abe bertanya lagi, kali ini dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Aku kemudian pun menceritakan tentang kondisi ibu ku yang sedang berada di rumah sakit, dan harus segera di operasi. Dan hal itu butuh biaya banyak.

"kamu sudah ajukan pinjaman ke perusahaan?" Abe bertanya kembali, setelah ia mendengar cerita ku barusan.

"udah... tapi hanya dapat sebagian nya saja... belum cukup untuk biaya operasi ibu ku.." balasku apa adanya.

Aku juga menceritakan tentang bagian dimana ibu ku tidak memiliki BPJS, agar Abe semakin paham akan persoalan yang sedang aku hadapi saat ini. Bahkan aku juga menceritakan bagian dimana ayahku sudah lama pergi meninggalkan kami, dan memilih untuk menikah lagi dengan perempuan lain.

"kalau gak ada juga gak apa-apa..." ucapku, melihat Abe yang terdiam cukup lama mendengar cerita pilu ku barusan.

"ada, kok. Nanti saya transfer ya... kamu kirim aja nomor rekeningnya..." ucap Abe akhirnya, yang membuat ku jadi sedikit kaget.

Aku hanya tak percaya kalau laki-laki yang tidak begitu aku kenal tersebut, dengan begitu mudahnya meminjamkan uang padaku. Dengan jumlah sebanyak itu.

"kamu serius?" aku bertanya dengan nada ragu.

"iya.. saya serius.." balas Abe.

"padahal tadi saya hanya sekedar ingin bercerita saja, tapi ternyata kamu orang yang baik.." ucapku kemudian.

"kalau begitu ... terima kasih banyak ya sebelumnya..." lanjut ku lagi, seperti tak dapat berkata apa-apa lagi. Sungguh aku tidak menyangka, akan mendapatkan pinjaman dengan begitu mudah dari laki-laki yang aku anggap hampir tidak ada selama ini.

Abe bagai dewa penolong bagi ku saat ini. Ia seakan sengaja datang sebagai penyelamat ku. Aku tak tahu pasti, alasan apa yang membuat Abe begitu mudahnya memberikan aku pinjaman uang sebanyak itu. Tapi mungkin karena ia memang orang yang baik dan peduli.

****

Malam itu, Abe benar-benar mengirimkan sejumlah uang ke rekening ku. Sebanyak yang aku butuhkan. Dan aku pun segera ke rumah sakit, untuk menyelesaikan segala sesuatunya, sebelum ibu ku di operasi besok siang.

Dan keesokan siangnya, ibu ku pun di operasi. Operasi ibu berjalan lancar.

Beberapa hari kemudian, ibu pun sudah pulih kembali dan sudah diperbolehkan pulang.

Sementara itu, hubungan ku dan Abe jadi semakin dekat. Kami jadi sering ngobrol berdua. Aku jadi tahu, kalau Abe adalah seorang perantau. Usianya lebih muda satu tahun dari ku. Sebelum bekerja di perusahaan ini, Abe pernah bekerja di beberapa tempat.

Abe merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adik-adiknya, ada yang sudah kuliah dan ada yang masih SMA. Semua keluarganya tinggal di kampung, yang berada cukup jauh dari kota ini. Orangtuanya adalah petani biasa di kampung, yang penghasilannya tidaklah seberapa.

"jadi gimana ibu mu?" tanya Abe suatu siang, saat kami makan berdua di kantin. Saat itu sudah berjalan selama beberapa minggu sejak ibu di operasi.

"ibu sudah baikan sekarang. Beliau sudah bisa beraktifitas lagi seperti biasa..." jelasku apa adanya.

"syukur lah.." balas Abe, terlihat ikut senang mendengarnya.

"makasih ya, Be... Kamu sudah sangat membantu..." ucapku kemudian, "tapi saya gak tahu, kapan saya akan bisa mengembalikan uang kamu.." lanjutku.

"kamu gak usah terlalu memikirkan hal tersebut, Mal. Karena aku juga tahu, uang gaji kamu pasti akan dipotong perusahaan setiap bulannya, untuk melunasi hutang kamu sama perusahaan... Jadi mengenai uang ku tersebut, jangan terlalu kamu pikirkan dulu ya... aku ikhlas kok..." balas Abe terdengar tulus.

"iya, Be... itu juga yang menjadi beban pikiran ku saat ini. Jika gaji ku di potong oleh perusahaan, maka kemungkinan gak bakal cukup lagi, untuk biaya hidup kami sehari-hari. Belum lagi untuk membayar angsuran rumah dan angsuran motor.." ucapku sedikit berkeluh.

"kamu tenang aja, Mal. Selama masih ada aku, aku pasti bakal bantu kok.." ucap Abe kemudian.

"tapi aku yang jadi gak enak sama kamu, Be. Padahal kita ini tidak ada hubungan apa-apa, hanya sekedar rekan kerja..." balasku pilu.

"kamu gak perlu merasa sungkan untuk meminta bantuan pada ku, Mal. Aku pasti bersedia untuk membantu, selama kamu mau cerita padaku..." ucap Abe pelan, seakan ia berusaha meyakinkan ku, kalau aku bukan hanya sekedar rekan kerja bagi nya. Tapi lebih dari itu. Entah apa.

Aku juga tidak paham, mengapa Abe jadi begitu baik padaku. Padahal selama ini, ia terlihat cuek dan seolah tak mengenal ku. Meski pun diam-diam, aku sering melihat Abe, sering memperhatikan ku. Tapi aku menganggapnya hal biasa. Karena kami memang satu divisi dan satu ruangan bersama rekan-rekan lainnya.

"makasih ya, Be... Tapi ngomong-ngomong... kenapa kamu waktu itu mau meminjamkan aku uang sebanyak itu, padahal kita tidak terlalu dekat waktu itu?" ucap ku lagi, dengan sedikit bertanya.

"jujur saja... aku merasa tersentuh mendengar cerita hidup kamu, Mal. Jadi.. karena aku juga masih punya tabungan, makanya aku berani meminjamkan nya sama kamu. Karena aku yakin, kamu juga pasti orang yang baik..." balas Abe.

****

Dan begitulah, aku dan Abe semakin hari semakin dekat dan akrab. Abe bahkan juga cukup berani untuk mengajak aku datang ke rumahnya, sekedar melepas lelah sepulang kerja, sebelum aku melanjutkan perjalanan pulang.

Rumah Abe yang ia beli secara kredit tersebut, memang berada tidak terlalu jauh dari kantor tempat kami bekerja, sehingga bisa tempuh dengan hanya berjalan kaki. Sementara rumah ku sendiri, berada cukup jauh dari kantor, sehingga aku memerlukan motor untuk pergi bekerja. Dan hal itu, cukup menambah biaya sebenarnya.

Abe tinggal sendirian di rumahnya yang sederhana tersebut. Karena itu, aku juga tidak merasa sungkan harus berlama-lama berada disana. Selain karena memang Abe, termasuk teman yang asyik untuk di ajak ngobrol. Aku merasa nyaman saat bersamanya.

"dulu aku juga pernah merasakan, dimana aku tidak punya uang sepersen pun, sementara aku sangat membutuhkannya..." cerita Abe suatu sore, saat untuk kesekian kalinya kami berada di rumahnya.

"saat itu aku masih kuliah, dan kebetulan bulan itu, orangtua ku tidak bisa mengirim uang untuk ku, karena hasil panen yang gagal. Aku mencoba mencari bantuan kesana kemari, tapi tak seorang pun yang mau membantu ku. Sampai akhirnya aku harus menjual ponsel ku satu-satunya, hanya untuk bisa bertahan hidup.."

"mungkin itu juga yang menjadi alasan ku, mengapa aku dengan begitu mudahnya meminjamkan uang sama kamu, Mal. Meski pun saat itu kita belum begitu dekat..." cerita Abe selanjutnya, seakan masih berupaya untuk meyakinkan akan hal ketulusannya membantu ku.

"jadi sekarang orangtua mu masih di kampung?" tanya ku.

"iya... Dan sekarang giliran ku yang harus mengirimkan uang kepada mereka, untuk membantu biaya hidup mereka dan juga untuk biaya sekolah adik-adik ku... " balas Abe.

"maafkan saya ya, Be. Padahal kamu juga punya beban hidup, tapi aku malah nambah beban kamu disini.." ucapku pilu.

Mengingat, selama beberapa bulan ini, aku masih sering meminjam uang kepada Abe. Padahal pinjaman ku yang pertama aja belum aku bayar sedikit pun. Tapi mau gimana lagi, uang gaji ku sudah tidak cukup lagi untuk biaya hidup kami, meski pun kami sudah berhemat. Karena potongan yang dilakukan oleh perusahaan cukup besar.

Dan Abe selalu bersedia membantu ku. Ia rela meminjamkan sebagian gaji kepada ku. Sementara ia masih harus mengirimkan uang untuk orangtua nya di kampung.

"kalau untuk itu kamu tenang aja, Mal. Uang ku masih cukup kok. Lagi pula, ayah dan ibu juga masih punya sawah di kampung, mereka masih punya penghasilan meski pun tidak terlalu banyak. Jadi ... yah... aku hanya sekedar bantu-bantu secukupnya saja..." ucap Abe membalas ucapan ku barusan.

Ia seakan berusaha meyakinkan ku, kalau semuanya baik-baik saja. Dan aku tidak perlu merasa bersalah akan hal tersebut. Meski pun hal tetap saja membuat aku merasa telah menambah beban Abe. Namun aku juga tidak bisa memungkiri, kalau hanya Abe lah satu-satunya teman ku, yang bisa aku andalkan saat ini.

"sekali lagi makasih banyak ya, Be... Aku gak tahu bagaimana cara membalas semua kebaikan kamu selama ini, Be..." ucapku tanpa sadar.

"yah... gak perlu dibalas, Mal. Cukup dinikmati aja... " balas Abe, dengan nada canda, dan diakhiri sebuah tawa ringa.

Sepertinya ia sengaja untuk mengalihkan pembicaraan kami, yang mulai terasa mengharukan.

"ah.... kamu bisa aja, Be..." balasku ikut tertawa.

*****

Berada bersama Abe membuatku merasa tenang, nyaman, terhibur dan cukup membuatku merasa betah untuk berlama-lama dengannya. Karena itu, hampir setiap sore aku selalu mampir di rumahnya. Aku seperti menemukan tempat untuk sekedar berteduh.

Hingga pada suatu sore. Saat itu sudah hampir setahun kami berteman. Sudah hampir setahun juga Abe menjadi dewa penyelamat ku. Bahkan jika dihitung-hitung, hutang ku kepada Abe sudah sangat banyak. Dan aku belum membayarnya sedikit pun.

"makasih ya, Be..." ucapku pelan, meski pun aku tahu, ribuan ucapan terima kasih tak akan mampu membayar semua kebaikan Abe padaku selama ini.

"terima kasih untuk apa?" Abe bertanya.

"untuk semuanya... untuk semua yang telah kamu berikan padaku selama ini. Sepertinya.. aku tidak akan pernah mampu membayarnya..." balasku lemah.

"sebenarnya aku ingin cerita jujur sama kamu, Mal. Tapi aku takut kamu tersinggung dan marah. Aku takut kamu akan membenciku.." ucap Abe tiba-tiba, seakan mengabaikan ucapan ku barusan.

"kamu mau cerita apa, Be? Cerita aja... aku pasti gak bakal marah. Dan lagi pula, aku gak punya alasan apapun untuk bisa membuat aku membenci mu..." balasku, jadi merasa sedikit penasaran.

"aku akan cerita, Mal. Tapi kamu harus janji dulu, untuk tidak akan menjauhi karenanya.." ucap Abe lagi, kali ini terdengar serius.

"iya... aku janji, Be. Aku gak bakal menjauh dari kamu, apa pun alasannya.." balasku berusaha meyakinkan Abe.

Abe terlihat menarik napas sejenak, lalu menghempaskannya perlahan.

"jadi... sebenarnya.. aku sudah lama suka sama kamu, Mal. Bahkan sudah sejak pertama kali kita bertemu dulu, jauh sebelum kita menjadi akrab seperti sekarang ini. Karena itu juga, aku mau membantu mu waktu itu. Aku berharap, dengan aku membantu kamu, kita bisa menjadi dekat..."

"dan harapan ku pun menjadi nyata, kita menjadi dekat dan akrab. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Semakin kita dekat dan akrab, perasaan itu semakin tumbuh subur di hati ku, Mal. Aku semakin menyayangi mu. Aku jatuh cinta sama kamu, Mal..."

"tadinya aku pikir, dengan kita menjadi akrab seperti ini, hal itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia, dan tidak berharap lebih lagi padamu. Tapi ternyata aku salah. Semakin kita akrab, semakin aku tak ingin kehilangan kamu.."

"aku semakin ingin memiliki mu, Mal. Lebih dari sekedar teman dekat atau apapun istilahnya untuk kedekatan kita selama ini. Aku ingin menjadi kekasihmu, Mal.."

begitu ungkapan jujur Abe padaku sore itu. Sore yang mulai berganti senja. Suasana pun mulai sepi dan dingin.

Aku terdiam cukup lama. Aku hanya tidak menyangka sama sekali, kalau Abe akan berkata demikian padaku. Aku pikir, apa yang ia lakukan padaku selama ini, benar-benar tulus. Tapi ternyata semua itu, hanya karena ia telah jatuh cinta padaku.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Aku bisa mengerti.

Tapi.. bukankah aku ini seorang laki-laki yang sudah beristri dan juga sudah punya seorang anak.

Mungkin ceritanya akan berbeda, jika aku masih berstatus lajang atau belum menikah. Mungkin hal itu masih bisa aku pertimbangkan.

Tapi kenyataannya, aku ini laki-laki yang sudah menikah. Jika aku memenuhi keinginan Abe tersebut, bukan saja aku akan mengkhianati kodrat ku sebagai seorang laki-laki, tapi juga aku akan mengkhianati istrku. Hal terakhir yang ingin aku lakukan dalam hidup ku.

"maaf, Be. Aku gak bisa... kamu tahu kan... kalau aku sudah menikah... jelas aku gak mungkin mengkhianati istri ku..." balas ku akhirnya, dengan suara sedikit terbata.

Biar bagaimana pun, aku juga tidak ingin membuat Abe kecewa. Aku tidak ingin membuat laki-laki yang sudah sangat baik tersebut merasa terluka.

"iya... gak apa-apa, Mal. Aku ngerti kok. Aku mengatakan itu semua, hanya agar ingin engkau tahu, tentang perasaan ku yang sebenarnya. Dan aku berharap, setelah kamu tahu, kita tetap bisa berteman seperti biasa..." balas Abe terdengar sendu.

"kita akan tetap berteman, Be. Tapi... mungkin aku butuh jarak. Jujur saja, hal ini cukup membuat aku merasa risih. Jadi aku harap, kamu juga mau mengerti posisi ku saat ini. Dan mengenai hutang-hutang ku sama kamu, aku akan berusaha untuk melunasinya.." ucapku terbata.

"ini gak ada hubungannya sama hutang-hutang kamu, Mal. Aku tulus mencintai kamu, seperti aku tulus memberikan segalanya untuk mu, Mal. Dan jika memang hal ini membuat kamu merasa risih, aku coba mengerti. Walau pun aku gak rela, kalau kamu harus jauh-jauh dari ku..." balas Abe kemudian.

"lalu aku harus bagaimana, Be? Di satu sisi, jujur saja, kamu sudah sangat baik padaku selama ini, dan hal itu gak mungkin aku lupakan begitu saja. Namun di sisi lain, aku gak mungkin bisa memenuhi keinginan kamu tersebut, Be. Dan untuk tetap akrab dengan mu seperti sebelumnya, aku juga gak bisa..." aku berucap dengan nada lemah. Seakan kalimat tersebut, hanya aku tujukan padaku.

"jika kamu tidak mau lagi berteman dengan ku, Mal. Boleh.. aku minta satu hal sama kamu?" tiba-tiba Abe bertanya.

"kamu mau minta apa dari ku, Be?" aku balas bertanya.

"seumur hidup, aku belum pernah pacaran sama sekali, Mal. Apa lagi sama laki-laki. Aku memang sudah beberapa kali jatuh cinta pada laki-laki. Tapi tak pernah sekali pun, aku berani untuk mengungkapkannya, apa lagi memilikinya.."

"ini pertama kalinya bagiku, Mal. Untuk aku memberanikan diri untuk berbicara jujur tentang perasaan ku, itu pun karena aku merasa kita sudah cukup dekat. Jadi... aku sangat berharap, kalau kamu mau memberi aku satu kesempatan saja, Mal..."

"satu kesempatan saja, untuk aku bisa merasakan bagaimana rasanya melakukan hal tersebut, dengan orang yang sangat aku cintai.. Aku ingin merasakannya bersama kamu, Mal. Sekali saja.." ucap Abe panjang lebar, dengan nada penuh harap.

"tapi aku gak bisa, Be. Aku merasa geli. Bahkan membayangkannya saja, aku sudah merasa jijik.." balasku apa adanya.

Aku memang tidak pernah membayangkan, akan melakukan hal tersebut bersama seorang laki-laki. Rasanya hal itu terasa aneh bagi ku. Tapi... jujur saja, aku juga tidak mungkin mengabaikan permintaan Abe tersebut. Biar bagaimana pun, ia sudah banyak membantu ku selama ini.

"aku mohon sama kamu, Mal. Sekali ini saja. Setelah itu, kamu boleh membenci ku. Kamu boelh menjauhi ku. Dan aku tidak akan pernah mengganggu mu lagi. Apa kamu gak merasa kasihan padaku, Mal..." kali ini suara Abe semakin menghiba, membuat aku menjadi semakin tak tega padanya.

Sebenarnya aku memang merasa kasihan pada Abe. Sepertinya ia memang benar-benar mencintai ku. Sepertinya ia memang benar-benar menginginkan hal tersebut. Dan lagi pula, mungkin inilah caranya, untuk aku bisa membalas kebaikannya selama ini.

Tapi... 

Ah, aku benar-benar merasa dilema.

****

"oke... aku mau memberi kamu satu kesempatan. Tapi bukan sekarang. Sekarang aku belum siap. Dan harus kamu ingat, aku melakukannya hanya karena kamu sudah sangat baik selama ini padaku.." ucapku akhirnya, setelah cukup lama aku berpikir.

"jadi kapan?" tanya Abe, terdengar tak sabar. Ia seakan mengabaikan beberapa kalimat ku barusan.

"nanti aku kabari, jika aku sudah merasa siap.. tapi yang pasti bukan sekarang..." balasku setengah ragu. Aku juga tidak yakin, kapan aku akan siap untuk hal tersebut.

"baiklah, Mal. Aku akan menunggu kabar dari mu. Tapi aku harap, kamu jangan membuat ku kecewa.." ucap Abe kemudian, dengan nada lemah.

Setelah itu, aku pun segera keluar dari rumah tersebut, tanpa berani berkata sepatah kata pun lagi. Aku masih merasa bingun dan penuh dilema.

Jujur saja, bukan keputusan yang mudah bagi ku untuk semua ini. Aku masih merasa tidak percaya, kalau aku akan terjebak, antara membalas budi atau mempertahankan harga diri.

Harus aku akui, jika cara yang dilakukan Abe untuk mendekati ku cukup cerdas. Ia sengaja melakukan semua kebaikan padaku. Ia memberikan semua yang aku butuhkan. Perhatian, menjadi pendengar yang baik, dan tentu saja uang yang cukup banyak.

Hal tersebut telah membuat aku terlena, untuk semakin dekat dengannya. Dan ternyata setelah kami dekat, dan setelah aku merasa sangat berhutang budi padanya, Abe memanfaatkan hal tersebut untuk bisa mendapatkan ku.

Namun terlepas dari semua itu, harus aku akui, kalau aku juga bersalah dalam hal ini. Aku yang membiarkan Abe masuk begitu saja ke dalam hidup ku, tanpa mempertimbangkan baik buruknya.

Seharusnya dari awal, aku sudah bisa menduga hal tersebut. Tapi aku mengabaikannya. Aku menganggap kalau Abe memang orang baik yang tulus membantu sesama. Dan ternyata aku salah.

Kini, biar bagaimana pun, aku memang harus memenuhi keinginan Abe, walau hanya sekali saja. Setidaknya untuk membuat ia merasa senang. Setidaknya untuk membalas semua kebaikannya selama ini padaku. Dan setelah itu, aku akan menjauh darinya, dan aku akan melunasi semua hutang-hutang ku padanya, agar aku tidak lagi dihantui rasa bersalah.

 ****

Keesokan harinya, aku sengaja menghindari Abe di kantor. Aku merasa risih jika harus dekat-dekat dengannya lagi. Aku sengaja menjaga jarak darinya. Agar ia juga tidak lagi berharap padaku.

Dan begitu juga hari-hari selanjutanya. Kami sudah tidak lagi saling tegur sapa. Aku benar-benar sengaja menjauh darinya. Aku ingin Abe sadar, jika aku tidak punya perasaan apa-apa padanya.

Hingga seminggu kemudian, aku pun mengirim pesan padanya, jika aku akan mampir di rumahnya sore nanti. Aku sengaja mengirim pesan tersebut, hanya untuk memenuhi janji ku padanya.

Dan sore itu, seperti janji ku, aku mampir dirumah Abe, dengan perasaan ku yang masih tak karuan dan campur aduk. Jujur saja, aku merasa jijik membayangkan hal tersebut.

"aku akan penuhi janji ku sama kamu, Be. Tapi hanya untuk sekali ini saja. Setelah ini, aku harap kamu jangan lagi mendekati ku. Dan harus kamu ingat, aku mau melakukan ini semua, hanya karena kamu sudah sangat baik padaku selama ini. Bukan karena aku menginginkannya.." ucapku, setelah kami berada di dalam kamar Abe.

"iya, Mal. Aku ngerti kok. Aku hanya ingin merasakan hal tersebut dengan orang yang aku cintai, walau hanya sekali saja..." balas Abe pelan.

Dan sore itu, aku dapat merasakan betapa Abe begitu penuh semangat. Terlihat sekali kalau ia ingin membuat aku merasa terkesan. Tapi aku tetap merasa geli dan jijik.

Namun lama kelamaan, meski pun dengan perasaan yang tak karuan, aku berusaha untuk menikmati hal tersebut. Aku berusaha membalas apa yang dilakukan Abe padaku.

Harus aku akui, kalau Abe cukup pandai membuat aku merasa terlena. Aku mulai terbawa suasana. Gerakan demi gerakan yang Abe lakukan, mampu membuat ku terbuai dalam suasana yang mulai terasa romantis tersebut.

Hingga akhirnya, aku pun merasa kalau semua itu cukup indah. Apa yang dilakukan Abe padaku, cukup untuk membuktikan betapa ia sangat mencintai ku dan sangat menginginkan ku. Cukup membuat ku merasa terkesan.

Aku pun berusaha untuk membalasnya. Aku tak ingin Abe hanya berperan sendiri. Aku juga harus memainkan peran ku, sebagai laki-laki. Aku berusaha memberikan yang terbaik. Setidaknya untuk membuat Abe merasa puas dengan semua itu.

Dan sore itu pun berlalu, dengan meninggalkan kesan yang indah diantara kami berdua.

Tapi aku tak ingin terlena lebih jauh lagi didalamnya. Biar bagaimana pun, ini hanya untuk membalas kebaikan Abe padaku selama ini. Aku tak mungkin mengkhianati istri ku lebih lama lagi. Cukup hanya sekali ini, dan tak akan pernah aku ulangi lagi.

"terima kasih, ya.." ucap Abe, sebelum akhirnya aku keluar dari rumah tersebut.

****

Sore yang sudah berganti malam tersebut, kini telah berakhir. Aku pulang dengan perasaan penuh rasa bersalah. Aku pulang tanpa kata pamit. Aku pergi begitu saja. Berbagai perasaan terus menghantui ku.

Aku merasa bersalah pada istri ku, karena telah mengkhianatinya. Meski hal itu aku lakukan hanya karena terpaksa, hanya karena ingin membalas kebaikan seseorang padaku.

Aku juga merasa bersalah pada Abe, karena telah melakukan hal tersebut padanya. Aku merasa bersalah, karena harus pergi dari kehidupannya. Aku harus menjauh darinya dan tak akan lagi berteman dengannya. Dan hal itu jelas tak seperti yang Abe harapkan.

Meski pun aku sudah berusaha untuk memberikannya satu kesempatan. Tapi aku yakin, bukan hal itu yang Abe inginkan dari ku. Ia ingin lebih dari itu. Ia ingin aku jadi kekasihnya. Sesuatu yang tak mungkin bisa aku penuhi.

Seperti yang pernah aku katakan, mungkin akan lain ceritanya, jika aku masih lajang. Mungkin aku akan mencoba untuk menjadi kekasihnya. Karena aku belum terikat dengan siapa pun.

Namun karena aku sudah menikah, tentu saja banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Dan jelas, keputusan ku adalah menjauh dari Abe dan tak lagi berteman dengannya. Karena jika aku masih berteman dengannya, Abe akan punya banyak kesempatan untuk membuat aku takluk padanya.

Kini bagiku, semua sudah berlalu. Aku akan melupakan semua itu. Satu-satunya hal yang harus aku lakukan saat ini, ialah mencari uang untuk bisa melunasi semua hutang-hutang ku pada Abe.

Dan keesokan harinya, aku benar-benar tak menegur Abe lagi. Aku bersikap seakan aku tak mengenalnya. Aku sengaja mengabaikannya. Aku sengaja menjauh darinya. Aku ingin ia membenci ku. Agar ia tak lagi memikirkan tentang ku.

Namun seminggu kemudian, tiba-tiba Abe menghilang dari kantor. Ia menghilang begitu saja. Tanpa kabar.

Hingga pada akhirnya aku tahu, ternyata Abe sudah resign dari perusahaan. Dia sudah tidak bekerja lagi di perusahaan ini. Dia memutuskan untuk berhenti.

Entah apa alasannya melakukan semua itu. Entah karena ia kecewa padaku. Entah karena ia marah padaku. Atau entah karena ia merasa malu padaku. Karena aku telah mengetahui rahasia tergelapnya.

Namun apa pun alasan Abe untuk pergi, jujur saja aku merasa lega. Setidaknya dengan tidak adanya lagi Abe di kantor ini, aku bisa bekerja dengan tenang, tanpa harus merasa risih. Aku tak lagi harus memikirkan perasaannya padaku.

Aku hanya berharap, semoga Abe tidak menyimpan dendam padaku. Dan semoga aku bisa melanjutkan hidupku, meski harus kehilangan sosok seorang teman sebaik Abe.

Semoga tak ada lagi, laki-laki seperti Abe yang mampu memanfaatkan kelemahan ku.

Yah... semoga saja..

****

Kisah menarik lainnya :

Mencintai laki-laki normal 

Bersama kang Udin

 Jagung bakar mas Tejo

My sugar daddy (part 4)

My sugar daddy (part 3)

My sugar daddy (part 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla...

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendenga...

Adik tiriku (bukan) kekasihku [part 2]

Fikri Semenjak mengenal dan dekat dengan Bayu, adik tiriku itu, sekarang beberapa kebiasaanku berubah. Aku yang dulunya tidak begitu suka membaca, sekarang jadi sering menghabiskan waktu dengan membaca, terutama membaca hasil karya Bayu. Aku yang dulunya sangat jarang berolahraga, sekarang bahkan aku jadi ikut-ikutan suka fitness bersama Bayu. Dan aku menyukai semua aktivitas baruku itu. Aku memang baru mulai nge-gym, jadi postur tubuhku belum benar-benar terbentuk. "kamu baru nge-gym sebulan, Fik. Tapi hasilnya udah lumayan, loh..." ujar Bayu suatu hari di tempat gym langganan kami. Aku hanya tersenyum mendengar kalimat Bayu barusan. Sejujurnya hatiku memang terasa tersanjung mendengarnya. Tapi aku tetap berusaha bersikap biasa saja. Biar bagaimana pun Bayu belum saatnya tahu, tentang perasaanku padanya. Aku masih belum mau merusak kedekatan kami saat ini. Setahun lebih kami bersama, rasanya semua itu sangat indah bagiku. Bayu bukan hanya sekedar adik tiri bagiku sekarang, d...

Iklan google