Baca kisah sebelumnya :
Dan disinilah aku sekarang berada. Di sebuah kota besar nan megah, penuh hiruk pikuk.
Aku tinggal di sebuah rumah kost kecil dan kumuh di pinggir kota, dan bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Sebagai seseorang yang hanya lulusan SD, tentu saja menjadi buruh sudah jauh lebih baik untuk ku.
Aku sudah terbiasa hidup susah sejak kecil, kerja keras, banting tulang. Namun selalu saja nasib tak memihak padaku. Cita-citaku, keinginanku kandas, karena aku kurang beruntung sebagai seorang Abe (nama samaran ku) di dunia ini.
Tapi sebagai laki-laki dan untuk tetap bertahan hidup, tentu saja aku harus kuat menghadapi kegagalan demi kegagalan yang aku alami.
Namun sekarang aku hampir tak yakin pada diriku sendiri, kalau aku masih mampu meraih sedikit saja dari semua keinginanku.
Di kota ini, aku melihat semua perkembangan dunia yang kian canggih dan modern.
Segala teknologi semakin berkembang dan maju. Dunia internet sudah merajalela. Sekarang orang-orang lebih akrab dengan android nya dari pada dengan orang yang berada di sampingnya.
Orang lebih banyak berkeliaran di dunia maya dari pada di dunia nyata.
Sekarang ada yang namanya media sosial, yang bisa menghubungkan orang-orang dari benua yang berbeda.
Dari media sosial ini lah akhirnya, aku mengenal dunia gay.
Ya, akhirnya aku tahu, kalau aku sakit. Kalau aku seorang gay, homo atau apalah istilahnya.
Aku juga mulai mengenal beberapa orang yang punya penyakit yang sama denganku melalui media sosial.
Bahkan ada yang mulai berani chatting denganku.
Awalnya aku kagok dan sedikit takut. Tapi semakin hari semakin banyak aku temui di media sosial orang-orang yang menyukai sesama jenis.
Hingga akhirnya aku menjadi terbiasa membalas chatting mereka dan mulai berkenalan.
Beberapa kali aku coba melakukan pertemuan dengan mereka yang mengajak aku ketemuan. Namun dari semua kaum gay yang aku temui, tidak ada satu pun yang bisa membuat ku tertarik dan jatuh cinta.
Dari sekian banyak mereka yang aku temui, rata-rata mereka adalah laki-laki yang peminim dan sedikit melambai.
Aku menjadi jenuh sendiri untuk melayani mereka.
Mereka lebih mengutamakan fisik dan seks dari pada perasaan.
Banyak yang mengajak ku melakukan hubungan badan, tapi aku selalu berusaha menolaknya.
Aku hanya mencari cinta dalam hidupku, bukan sekedar kesenangan sesaat.
Aku pun mulai mengabaikan mereka. Tidak membalas chat mereka dan mulai jarang berkeliaran di dunia maya.
Sampai akhirnya aku bertemu Am (bukan nama sebenarnya), seorang laki-laki normal, dia mandor baru ku di pabrik tempat aku bekerja.
Dia sosok yang sempurna, orangnya memang tidak terlalu tampan, tapi senyumnya sangat manis.
Postur tubuhnya atletis dan kekar.
Orangnya rapi dan bersih.
Yang aku tahu, dia sudah beristri namun belum memiliki anak. Usianya lebih muda dari ku.
Aku saat itu, sudah berusia 27 tahun dan Am sendiri 25 tahun.
Aku
sering bertemu Am, karena ia memang mandor di tempat aku bekerja. Aku
suka menatapnya. Saat ia berbicara, ia terlihat begitu sopan dan bijak.
Suaranya lembut dan santun. Dia sangat baik dan jarang sekali marah.
Senyum manis nya selalu menghiasi bibirnya.
Aku terpana melihatnya.
Ya, aku jatuh cinta lagi, untuk yang kedua kalinya dalam hidupku.
Dan buruknya lagi, kali ini masih dengan orang yang salah.
Aku mungkin sudah mulai melupakan segala kenangan ku dengan Hafis. Apa lagi semenjak kehadiran Am.
Sekarang Am lebih sering hadir dalam angan dan mimpiku.
Aku selalu berhayal tentang Am.
Sososknya yang begitu sempurna, membuat aku benar-benar tergila-gila padanya.
Aku terpana melihatnya.
Ya, aku jatuh cinta lagi, untuk yang kedua kalinya dalam hidupku.
Dan buruknya lagi, kali ini masih dengan orang yang salah.
Aku mungkin sudah mulai melupakan segala kenangan ku dengan Hafis. Apa lagi semenjak kehadiran Am.
Sekarang Am lebih sering hadir dalam angan dan mimpiku.
Aku selalu berhayal tentang Am.
Sososknya yang begitu sempurna, membuat aku benar-benar tergila-gila padanya.
Aku tahu Am sudah menikah. Tapi itu bukan alasan untuk membuatku tidak jatuh cinta padanya.
Senyumnya yang manis, tawanya yang renyah selalu menghiasi malam-malamku.
Aku selalu membayangkan bisa mendekap tubuhnya yang kekar dan berotot.
Tapi semua hanya ada dalam anganku.
Aku hanya bisa memendam rasa cinta ku kepada Am, karena aku sadar Am jelas tidak akan mungkin mempunyai perasaan yang sama denganku.
Am lelaki normal dan sudah menikah.
Sekali lagi aku pun menyadari kalau apa yang aku rasakan saat ini adalah sebuah kesalahan, namun aku begitu menikmatinya.
Semua anganku selalu saja hanya tentang Am.
Berbulan-bulan berlalu, semenjak Am menghiasi angan dan mimpiku.
Hingga pada suatu hari, saat itu hari minggu, kami libur kerja.
Aku berjalan-jalan di pinggiran kota, sekedar menghilangkan suntuk ku di kost, dengan hanya berjalan kaki.
Baru beberapa ratus meter aku berjalan, tiba-tiba aku melihat kerumunan orang-orang di pinggir jalan. Aku mendekati kerumunan itu dan mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Ternyata disana telah terjadi sebuah kecelakaan mobil yang cukup parah.
Mobil itu menabrak trotoar dan terhempas cukup parah.
Pengemudi mobil itu mengalami luka yang cukup serius dan tak sadarkan diri serta harus segera dibawa kerumah sakit.
Aku melihat sekilas pengemudi yang naas itu, ternyata itu Am, dan tak ada satu orang pun yang berada disana yang mengenalnya.
Aku segera mendekati tubuh Am yang sengaja dibaringkan orang-orang di atas trotoar tak jauh dari mobilnya. Am hanya mengendarai mobilnya sendirian. Aku pun segera memangku tubuh Am yang bersimbah darah dan tak sadarkan diri.
Aku berusaha meminta bantuan kepada orang-orang yang ada disana untuk bisa mengantarkan Am kerumah sakit. Tapi tidak ada satu orang pun yang bersedia.
Akhirnya dengan sedikit berlari, aku pun membawa Am menuju rumah sakit terdekat.
Rumah sakit itu berjarak hanya lebih kurang lima ratus meter dari tempat kejadian.
Aku sampai kesana dengan nafas yang tersengal-sengal.
Tubuh Am cukup berat, namun aku tak memperdulikannya, aku hanya ingin menyelamatkan Am segera.
Petugas rumah sakit segera membawa Am ke ruang ICU untuk dilakukan tindakan penyelamatan.
Setelah hampir satu jam, seorang dokter memanggil ku dan mengatakan bahwa kondisi Am sangat parah dan segera butuh tambahan darah.
Dokter itu juga mengatakan, bahwa di rumah sakit sedang kehabisan stok darah.
Untuk itu, dokter memintaku untuk mencarikan pendonor darah yang cocok dengan golongan darah Am.
Senyumnya yang manis, tawanya yang renyah selalu menghiasi malam-malamku.
Aku selalu membayangkan bisa mendekap tubuhnya yang kekar dan berotot.
Tapi semua hanya ada dalam anganku.
Aku hanya bisa memendam rasa cinta ku kepada Am, karena aku sadar Am jelas tidak akan mungkin mempunyai perasaan yang sama denganku.
Am lelaki normal dan sudah menikah.
Sekali lagi aku pun menyadari kalau apa yang aku rasakan saat ini adalah sebuah kesalahan, namun aku begitu menikmatinya.
Semua anganku selalu saja hanya tentang Am.
Berbulan-bulan berlalu, semenjak Am menghiasi angan dan mimpiku.
Hingga pada suatu hari, saat itu hari minggu, kami libur kerja.
Aku berjalan-jalan di pinggiran kota, sekedar menghilangkan suntuk ku di kost, dengan hanya berjalan kaki.
Baru beberapa ratus meter aku berjalan, tiba-tiba aku melihat kerumunan orang-orang di pinggir jalan. Aku mendekati kerumunan itu dan mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Ternyata disana telah terjadi sebuah kecelakaan mobil yang cukup parah.
Mobil itu menabrak trotoar dan terhempas cukup parah.
Pengemudi mobil itu mengalami luka yang cukup serius dan tak sadarkan diri serta harus segera dibawa kerumah sakit.
Aku melihat sekilas pengemudi yang naas itu, ternyata itu Am, dan tak ada satu orang pun yang berada disana yang mengenalnya.
Aku segera mendekati tubuh Am yang sengaja dibaringkan orang-orang di atas trotoar tak jauh dari mobilnya. Am hanya mengendarai mobilnya sendirian. Aku pun segera memangku tubuh Am yang bersimbah darah dan tak sadarkan diri.
Aku berusaha meminta bantuan kepada orang-orang yang ada disana untuk bisa mengantarkan Am kerumah sakit. Tapi tidak ada satu orang pun yang bersedia.
Akhirnya dengan sedikit berlari, aku pun membawa Am menuju rumah sakit terdekat.
Rumah sakit itu berjarak hanya lebih kurang lima ratus meter dari tempat kejadian.
Aku sampai kesana dengan nafas yang tersengal-sengal.
Tubuh Am cukup berat, namun aku tak memperdulikannya, aku hanya ingin menyelamatkan Am segera.
Petugas rumah sakit segera membawa Am ke ruang ICU untuk dilakukan tindakan penyelamatan.
Setelah hampir satu jam, seorang dokter memanggil ku dan mengatakan bahwa kondisi Am sangat parah dan segera butuh tambahan darah.
Dokter itu juga mengatakan, bahwa di rumah sakit sedang kehabisan stok darah.
Untuk itu, dokter memintaku untuk mencarikan pendonor darah yang cocok dengan golongan darah Am.
Aku cukup panik, aku tidak tahu harus menghubungi siapa. Saat di tempat kejadian tadi, aku pun tidak menemukan handphone milik Am atau pun dompetnya. Mungkin saja ada pihak yang tidak bertanggungjawab telah mengambilnya.
Aku pun berpikir sejenak, dan segera menawarkan diri untuk menjadi pendonor darah buat Am.
Dokter bersedia, karena katanya, jika tidak segera diberi tambahan darah, Am bisa saja mengalami kematian.
Dokter pun memeriksa golongan darahku dan ternyata memang cocok dengan golongan darah Am. Dan kata dokter darah ku aman untuk di donorkan.
Aku sempat tak yakin darah ku bisa di donorkan, karena biar bagaimana pun, aku dulu nya adalah seorang pecandu narkoba.
Tapi setelah bertahun-tahun, ternyata di dalam darah ku tidak lagi mengandung narkoba.
Terbukti dokter mengatakan kalau darah ku aman.
Dokter meminta persetujuan ku untuk mendonorkan darah, dan menanyakan hubunganku dengan Am. Aku terpaksa berbohong, dengan mengatakan kalau aku adalah abang kandung Am.
Entah dokter itu percaya atau tidak, yang penting saat itu, bagi kami, terutama bagiku, adalah menyelamatkan nyawa Am.
Tubuh ku terasa lemas setelah dokter berhasil mengambil darah ku, sebanyak delapan kantong. Aku hanya terbaring lesuh di kamar rumah sakit.
Seorang suster memberiku minuman berupa susu dan beberapa makanan buah-buahan, katanya agar tenaga ku bisa pulih kembali.
Beberapa jam kemudian, aku merasa sudah cukup baik dan segera keluar dari ruangan itu. Aku hanya ingin tahu keadaan Am saat ini. Apakah Am berhasil terselamatkan atau tidak.
Tapi saat aku melihat ke ruang ICU tadi, Am sudah tidak ada disana. Aku mulai panik dan sedikit cemas, aku berpikir kalau Am tidak bisa diselamatkan.
Aku mencoba mencari dokter yang menangani Am tadi dan langsung menemuinya di ruangannya.
Dokter itu menjelaskan kalau Am sudah melewati masa kritis nya dan sudah di pindahkan ke kamar perawatan di atas.
Kata dokter juga, kalau tadi sudah ada istri Am yang datang mengurus segala sesuatunya disana.
Juga beberapa keluarga yang lain.
Intinya Am sudah selamat dan hanya menunggu ia siuman. Aku pun merasa sedikit lega.
Ketika hendak pergi dari ruangan dokter itu, ia menahanku sejenak dan mempertanyakan lagi hubungan ku dengan Am. Karena kata dokter, menurut keterangan keluarga Am yang datang barusan, Am tidak punya saudara kandung.
Aku terdiam cukup lama, tidak tau harus menjawab apa pada dokter itu.
Akhirnya aku hanya mengatakan, kalau aku sebenarnya tidak mengenali Am, aku hanya berusaha menolongnya sebagai bentuk rasa kemanusiaan.
Dokter itu pun mengerti, dan aku meminta dengan sangat kepada dokter untuk tidak memberitahu siapa pun, terutama Am, tentang apa yang baru saja aku lakukan untuk Am.
Aku tak ingin Am merasa berhutang budi atau apa pun kepadaku.
Dokter mengangguk setuju.
Sejujurnya
aku melakukan semua itu, memang karena aku mencintai Am. Aku hanya
ingin dia selamat dan bisa melanjutkan hidupnya kembali.
Tapi terlepas dari itu semua, sebagai sesama manusia, menurut ku sudah sewajarnya aku melakukan hal itu.
Tapi tetap saja, aku tidak mau Am tahu.
Aku hanya berharap dokter tersebut bisa menepati janjinya untuk tidak mengatakannya kepada Am. Karena aku yakin, setelah Am siuman ia pasti akan mempertanyakan siapa orang yang telah membawanya kerumah sakit.
Semoga saja dokter bisa memberi alasan yang tepat kepada Am, tentang siapa yang telah menyelamatkannya.
Hari berlalu bulan pun berganti, aku masih bekerja di pabrik seperti biasa. Para pekerja di pabrik sudah tahu, tentang kecelakaan yang di alami Am. Karena untuk beberapa minggu Am belum bisa masuk kerja. Meski mereka tidak ada yang tahu tentang apa yang telah aku lakukan pada hari kecelakaan itu. Aku sedikit lega, karena itu berarti dokter itu menepati janjinya.
Biarlah apa yang aku lakukan kepada Am tersebut tetap menjadi rahasia.
Karena aku ikhlas melakukannya, sebagai bukti bahwa betapa besarnya aku mencinta Am.
Dan beberapa bulan kemudian Am pun sudah mulai bekerja lagi, kondisinya sudah sangat baik.
Aku tersenyum menatapnya dari kejauhan. Laki-laki itu memang sempurna. Rasa kagum ku pun tumbuh semakin besar.
Aku berusaha mencintainya dengan tulus, tanpa berharap apa pun darinya.
Biarlah cinta ku ini menjadi rahasia yang terpendam jauh di lubuk hatiku.
Tapi terlepas dari itu semua, sebagai sesama manusia, menurut ku sudah sewajarnya aku melakukan hal itu.
Tapi tetap saja, aku tidak mau Am tahu.
Aku hanya berharap dokter tersebut bisa menepati janjinya untuk tidak mengatakannya kepada Am. Karena aku yakin, setelah Am siuman ia pasti akan mempertanyakan siapa orang yang telah membawanya kerumah sakit.
Semoga saja dokter bisa memberi alasan yang tepat kepada Am, tentang siapa yang telah menyelamatkannya.
Hari berlalu bulan pun berganti, aku masih bekerja di pabrik seperti biasa. Para pekerja di pabrik sudah tahu, tentang kecelakaan yang di alami Am. Karena untuk beberapa minggu Am belum bisa masuk kerja. Meski mereka tidak ada yang tahu tentang apa yang telah aku lakukan pada hari kecelakaan itu. Aku sedikit lega, karena itu berarti dokter itu menepati janjinya.
Biarlah apa yang aku lakukan kepada Am tersebut tetap menjadi rahasia.
Karena aku ikhlas melakukannya, sebagai bukti bahwa betapa besarnya aku mencinta Am.
Dan beberapa bulan kemudian Am pun sudah mulai bekerja lagi, kondisinya sudah sangat baik.
Aku tersenyum menatapnya dari kejauhan. Laki-laki itu memang sempurna. Rasa kagum ku pun tumbuh semakin besar.
Aku berusaha mencintainya dengan tulus, tanpa berharap apa pun darinya.
Biarlah cinta ku ini menjadi rahasia yang terpendam jauh di lubuk hatiku.
Tapi ternyata kelegaan ku hanya sesaat. Seminggu kemudian, Am memanggilku ke ruang kerjanya.
Awalnya aku mengira Am memanggilku, hanya karena ada pekerjaan yang salah aku lakukan.
Tapi di ruang kerja Am, ia memintaku untuk bisa datang ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari tempat kami bekerja, katanya aku diminta datang pada hari minggu nanti saat libur kerja.
Ada hal penting yang harus ia omongkan denganku.
Dadaku berdegup kencang, kali ini bukan lagi karena melihat senyuman Am, tapi ada sedikit kekwatiran dalam hatiku kalau Am sudah tahu.
Nmaun aku mencoba untuk tidak memikirkan hal tersebut, aku hanya berpikir mungkin ada hal lain yang ingin Am bicarakan denganku di luar jam kerja. Tapi apa? bathinku penuh tanya.
Hari minggu itu, sesuai kesepakatan, aku pun mendatangi kafe tersebut. Aku masuk ke dalam dan melihat Am sudah berada di sana sendirian. Duduk di salah satu meja paling sudut dari kafe tersebut.
Ia melambaikan tangan kepada ku dan aku melangkah cukup berat ke arahnya.
Sesampai disana Am menyuruhku untuk duduk dan memesan makanan untuk ku.
Aku pun melakukannya dengan perasaan yang tak karuan.
Ada yang terasa aneh bagiku, perlakuan Am pada ku saat itu, sungguh berbeda dari biasanya.
Padahal Am sendiri tidak begitu mengenalku.
Sebagai bawahannya, kami memang tidak pernah ngobrol langsung sekalipun di tempat kerja.
Tapi sekarang Am memperlakukan ku bak kawan lama yang sudah lama tidak bertemu.
Tentu saja aku merasa sedikit kikuk dan risih, selain tempat ini sangat mewah dan elite bagiku. Aku bahkan seumur hidup belum pernah masuk kesini.
Aku melihat daftar harga makanan pada menu yang ada di meja, bahkan ada harga makanannya seharga separoh gaji ku sebulan.
Aku semakin gelisah karena dari tadi Am terus saja menatapku dengan senyum nya yang selalu manis.
Am mulai berbicara dengan suaranya yang khas, suara yang begitu indah bagiku.
Setelah berbicara cukup panjang lebar, akhirnya aku tahu, kemana arah tujuannya.
Ya, ternyata Am akhirnya tahu, kalau aku telah menyelamatkan nyawa nya. Am tahu, kalau di dalam tubuhnya sekarang juga mengalir darahku.
Aku hanya tertunduk mendengar ceritanya. Ternyata ia berhasil memaksa dokter itu untuk menceritakan apa yang terjadi padanya, meski dokter itu sudah berusaha untuk menutupinya.
Seperti yang aku duga, Am merasa sangat berhutang budi padaku. Bahkan ia mengatakan kalau ia akan melakukan apa saja, untuk bisa membalas semua hal yang telah aku lakukan untuknya.
Aku masih terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa saat itu, sempat terpikir untuk berterus terang saja tentang perasaanku padanya dan memintanya untuk mau membalas perasaanku.
Tapi aku segera menepisnya, yang ada nantinya justru Am akan jijik padaku dan akan membenciku.
Aku tidak mau Am membenciku.
Akhirnya aku mengatakan, bahwa apa yang aku lakukan tersebut, hanyalah sebuah bentuk kepedulian terhadap sesama manusia, apa lagi ia adalah atasanku. Jadi sudah sewajarnya aku menolongnya selama masih dalam batas kemampuanku. Dan ia tidak perlu melakukan apa pun untuk membalasnya.
Bagiku melihat ia sembuh dan bisa bekerja kembali, itu sudah lebih dari cukup.
Tapi
Am tetap bersikeras untuk aku meminta apa pun padanya, sebagai bentuk
ucapan terima kasihnya, bahkan ia juga menawarkan ku sejumlah uang.
Aku menolaknya dengan sedikit tersinggung, aku katakan padanya, kalau aku memang miskin dan hanya seorang buruh, tapi bukan berarti apa yang aku lakukan tersebut harus di bayar dengan uang, karena sekali lagi, aku melakukannya dengan tulus.
Am tahu aku tersinggung dan segera ia meminta maaf. Ia tetap berharap, agar kau meminta sesuatu padanya apa pun itu.
Karena merasa kasihan melihat Am yang sepertinya bersungguh-sungguh dan bahkan hampir menangis, akhirnya aku mengatakan padanya, bahwa aku tinggal sendirian di kota itu.
Keluarga ku jauh di kampung sana, aku tidak punya siapa-siapa di kota ini, untuk itu aku meminta nya untuk menjadi sahabatnya, itu pun jika ia tidak merasa keberatan malu bersahabat dengan orang seperti ku.
Aku melihat senyum Am mengembang kembali, ia mengangguk setuju. Katanya itu jauh lebih baik, dari pada ia harus memendam rasa berhutang budi padaku seumur hidup. Katanya lagi, dengan menjadi sahabatnya, ia akan punya kesempatan untuk membantu ku kapan pun aku membutuhkannya.
Aku hanya tersenyum, aku tahu, jauh dari lubuk hati ku yang paling dalam, aku sebenarnya menginginkan hal yang lebih dari Am.
Tapi aku cukup sadar, itu jelas sesuatu yang tidak mungkin bisa terjadi.
Dengan menjadi sahabatnya, aku rasa itu jauh lebih dari cukup. Setidaknya aku akan bisa menatapnya dari dekat, seperti saat ini.
Aku akan lebih sering berada di dekatnya. Meski hanya sebatas sahabat.
Aku menolaknya dengan sedikit tersinggung, aku katakan padanya, kalau aku memang miskin dan hanya seorang buruh, tapi bukan berarti apa yang aku lakukan tersebut harus di bayar dengan uang, karena sekali lagi, aku melakukannya dengan tulus.
Am tahu aku tersinggung dan segera ia meminta maaf. Ia tetap berharap, agar kau meminta sesuatu padanya apa pun itu.
Karena merasa kasihan melihat Am yang sepertinya bersungguh-sungguh dan bahkan hampir menangis, akhirnya aku mengatakan padanya, bahwa aku tinggal sendirian di kota itu.
Keluarga ku jauh di kampung sana, aku tidak punya siapa-siapa di kota ini, untuk itu aku meminta nya untuk menjadi sahabatnya, itu pun jika ia tidak merasa keberatan malu bersahabat dengan orang seperti ku.
Aku melihat senyum Am mengembang kembali, ia mengangguk setuju. Katanya itu jauh lebih baik, dari pada ia harus memendam rasa berhutang budi padaku seumur hidup. Katanya lagi, dengan menjadi sahabatnya, ia akan punya kesempatan untuk membantu ku kapan pun aku membutuhkannya.
Aku hanya tersenyum, aku tahu, jauh dari lubuk hati ku yang paling dalam, aku sebenarnya menginginkan hal yang lebih dari Am.
Tapi aku cukup sadar, itu jelas sesuatu yang tidak mungkin bisa terjadi.
Dengan menjadi sahabatnya, aku rasa itu jauh lebih dari cukup. Setidaknya aku akan bisa menatapnya dari dekat, seperti saat ini.
Aku akan lebih sering berada di dekatnya. Meski hanya sebatas sahabat.
Hari-hari pun berlalu. Aku dengan Am memang semakin dekat dan kian akrab.
Aku jadi lebih tahu, siapa Am. Aku tahu Am anak tunggal. Am sudah menikah tapi belum di karuniai anak. Am suka olahraga dan fitnes. Am sering mengajak ku jalan-jalan atau pun hanya sekedar makan-makan.
Berkat Am, aku bisa pindah kost ke tempat yang lebih baik dan bersih.
Am juga sering main ke kost ku.
Aku merasa cukup bahagia sekarang, meski tak sesempurna yang aku inginkan.
Tidak mudah memang, bersahabat dengan orang yang kita cintai.
Selalu ada batasan untuk hubungan sebuah persahabatan.
Aku memang jarang bertemu istri Am. Karena setiap kali Am mengajak ku bersama dengan istrinya, aku selalu menolak dengan berbagai alasan.
Aku tidak bisa menahan rasa cemburu ku, setiap kali aku melihat Am dengan istrinya.
Ada rasa sakit yang menggores hati ku, setiap kali melihat Am bermesraan dengan istrinya.
Dan aku tidak sanggup melihatnya.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari kota itu dan pergi dari kehidupan Am.
Aku tak sanggup lagi memendam semua rasa cinta ku kepada Am.
Rasanya terlalu sakit.
Memendam sebuah rasa di balik topeng persahabatan.
Aku takut aku tidak mampu lagi menahannya dan itu jelas akan merusak persahabatan ku dengan Am.
Aku mencinta Am tulus, aku hanya ingin melihat ia bahagia, meski bukan denganku.
Tapi aku juga tidak bisa terus menerus melihat Am dengan istrinya.
Aku bukan malaikat yang dengan begitu mudah, mengikhlaskan orang yang aku cintai hidup bahagia dengan orang lain.
Dan lebih menyakitkannya lagi, hal ini terjadi sudah untuk yang kedua kalinya.
Aku tetap hanya seorang manusia biasa yang punya batas keikhlasan.
Untuk itu aku harus pergi, di sini bukan tempatku.
Aku tak layak menjadi sahabat seorang Am yang begitu sempurna. Am berhak mendapatkan kebahagiaannya, tanpa ada aku di dalamnya.
Aku pergi diam-diam, tanpa memberitahu Am. Aku tahu, Am akan marah, karena aku pergi tanpa mengabarkannya.
Aku jadi lebih tahu, siapa Am. Aku tahu Am anak tunggal. Am sudah menikah tapi belum di karuniai anak. Am suka olahraga dan fitnes. Am sering mengajak ku jalan-jalan atau pun hanya sekedar makan-makan.
Berkat Am, aku bisa pindah kost ke tempat yang lebih baik dan bersih.
Am juga sering main ke kost ku.
Aku merasa cukup bahagia sekarang, meski tak sesempurna yang aku inginkan.
Tidak mudah memang, bersahabat dengan orang yang kita cintai.
Selalu ada batasan untuk hubungan sebuah persahabatan.
Aku memang jarang bertemu istri Am. Karena setiap kali Am mengajak ku bersama dengan istrinya, aku selalu menolak dengan berbagai alasan.
Aku tidak bisa menahan rasa cemburu ku, setiap kali aku melihat Am dengan istrinya.
Ada rasa sakit yang menggores hati ku, setiap kali melihat Am bermesraan dengan istrinya.
Dan aku tidak sanggup melihatnya.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari kota itu dan pergi dari kehidupan Am.
Aku tak sanggup lagi memendam semua rasa cinta ku kepada Am.
Rasanya terlalu sakit.
Memendam sebuah rasa di balik topeng persahabatan.
Aku takut aku tidak mampu lagi menahannya dan itu jelas akan merusak persahabatan ku dengan Am.
Aku mencinta Am tulus, aku hanya ingin melihat ia bahagia, meski bukan denganku.
Tapi aku juga tidak bisa terus menerus melihat Am dengan istrinya.
Aku bukan malaikat yang dengan begitu mudah, mengikhlaskan orang yang aku cintai hidup bahagia dengan orang lain.
Dan lebih menyakitkannya lagi, hal ini terjadi sudah untuk yang kedua kalinya.
Aku tetap hanya seorang manusia biasa yang punya batas keikhlasan.
Untuk itu aku harus pergi, di sini bukan tempatku.
Aku tak layak menjadi sahabat seorang Am yang begitu sempurna. Am berhak mendapatkan kebahagiaannya, tanpa ada aku di dalamnya.
Aku pergi diam-diam, tanpa memberitahu Am. Aku tahu, Am akan marah, karena aku pergi tanpa mengabarkannya.
Kadang aku membenci diriku sendiri.
Mengapa aku harus jatuh cinta kepada orang yang salah untuk yang kedua kalinya.
Mengapa aku harus terlahir berbeda.
Mengapa aku tidak jatuh cinta saja kepada para wanita, seperti layaknya kaum lelaki normal.
Aku merasa hidup ini tidak adil, jika memang orang yang aku cintai pada akhirnya tidak bisa aku miliki, mengapa harus ada perasaan cinta yang begitu besar tumbuh di hatiku untuknya.
Lalu tidak berhak kah aku, untuk merasakan hidup yang bahagia.
Tidak berhak kah aku untuk hidup bersama dengan orang yang aku cintai.
Jika tidak, mengapa aku tidak bisa dengan mudah menghapus semua rasa itu dari hatiku.
Mengapa aku masih saja mencintai orang yang sudah jelas tidak bisa aku miliki.
Terlalu banyak tanya dalam hatiku. Namun tak kunjung jua aku temui jawabannya.
Kini aku hanya terus melangkah menjalani kehidupanku yang memang tidak pernah sempurna.
Aku terus melangkah tanpa tujuan. Tanpa harapan. Tanpa kepastian!
Entah sampai kapan semua ini akan terus terjadi dalam perjalanan hidupku?
Mengapa aku harus jatuh cinta kepada orang yang salah untuk yang kedua kalinya.
Mengapa aku harus terlahir berbeda.
Mengapa aku tidak jatuh cinta saja kepada para wanita, seperti layaknya kaum lelaki normal.
Aku merasa hidup ini tidak adil, jika memang orang yang aku cintai pada akhirnya tidak bisa aku miliki, mengapa harus ada perasaan cinta yang begitu besar tumbuh di hatiku untuknya.
Lalu tidak berhak kah aku, untuk merasakan hidup yang bahagia.
Tidak berhak kah aku untuk hidup bersama dengan orang yang aku cintai.
Jika tidak, mengapa aku tidak bisa dengan mudah menghapus semua rasa itu dari hatiku.
Mengapa aku masih saja mencintai orang yang sudah jelas tidak bisa aku miliki.
Terlalu banyak tanya dalam hatiku. Namun tak kunjung jua aku temui jawabannya.
Kini aku hanya terus melangkah menjalani kehidupanku yang memang tidak pernah sempurna.
Aku terus melangkah tanpa tujuan. Tanpa harapan. Tanpa kepastian!
Entah sampai kapan semua ini akan terus terjadi dalam perjalanan hidupku?
Bersambung..
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih