"aku... aku suka sama bang Jhon.." ucapku terbata.
"maksud kamu?" tanya bang Jhon, keningnya berkerut. Ia secara repleks bangkit dari rebahannya, dan kemudian duduk di hadapanku.
"aku... aku suka sama abang. Aku jatuh cinta pada bang Jhon." jawabku semakin berani.
"kamu gay?" tanya bang Jhon spontan.
Aku hanya mengangguk dan kemudian tertunduk. Tak berani lebih lama menatap mata tajam bang Jhon.
"kamu serius?" suara bang Jhon terdengar lagi.
"iya, bang..." jawabku ringan, masih dalam keadaan tertunduk.
Tiba-tiba bang Jhon berdiri, lalu bergegas memasang bajunya kembali. Kemudian dengan sedikit terburu, ia keluar dari kamar. Tak lama kemudian, aku mendengar suara motornya di luar.
Segera aku bangkit dan menuju pintu depan. Aku lihat motor bang Jhon sudah melaju di jalan raya.
Perlahan rasa menyesal menyusup ke relung hatiku. Bang Jhon pasti sangat kecewa padaku, bahkan mungkin dia sangat membenciku.
Aku mengambil handphone-ku di kamar, berusaha untuk menghubungi bang Jhon. Aku hanya ingin penjelasan, mengapa bang Jhon pergi begitu saja.
Namun buru-buru ku urungkan niatku. Bang Jhon jelas sedang marah padaku. Ia sudah pasti tidak akan mau mengangkat telponku.
Tiba-tiba saja hatiku terasa perih menyadari itu semua. Bang Jhon pasti sudah mau bekerja di rumahku lagi. Dan itu artinya, aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa menatap tubuh kekarnya lagi saat ia bekerja.
Tapi mau gimana lagi, aku sudah terlanjur jujur padanya. Aku sudah tidak mampu lagi memendam semua rasa itu. Setidaknya sekarang bang Jhon sudah tahu, apa yang aku rasakan padanya.
Meski tentu saja resikonya, aku harus kehilangan dirinya. Bahkan mungkin untuk selamanya.
Hari-hari berlalu terasa begitu berat bagiku. Tak ada lagi, senyum dan tawa bang Jhon seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada lagi kabar darinya. Semua kini hanya tinggal kenangan.
Aku mencoba menerimanya. Mencoba menjalani hari-hariku, seperti saat aku belum mengenal bang Jhon. Aku mencoba menikmati segala kesepian dan kesendirianku.
Berat, sih, sebenarnya. Tapi mau gimana lagi, bang Jhon sudah terlanjur pergi. Dan aku hanya bisa menyesalinya.
Pernah beberapa kali aku mencoba menghubunginya, tapi tidak pernah diangkat. Pesanku pun tak pernah ia balas. Sepertinya bang Jhon, benar-benar membenciku.
Hingga sebulan kemudian, saat suatu sore, tiba-tiba saja bang Jhon muncul di depan rumahku.
"bang Jhon?" ucapku dalam kekagetanku.
Kulihat laki-laki itu hanya tertunduk. Ia melangkah pelan mendekatiku, yang sudah berdiri sejak tadi di teras depan rumah.
"aku.... aku mau menyelesaikan pekerjaanku..." ucapnya bergetar, saat ia sudah berdiri tak sampai setengah meter di depanku. Ia masih menundukkan kepalanya.
"pekerjaan?" tanyaku spontan. Kemudian aku pun tersadar, dapurku memang belum selesai dikerjakan oleh bang Jhon waktu itu. Dan aku pun tak berniat untuk menyelesaikannya, apa lagi harus mencari tukang baru.
"pekerjaanku untuk menyelesaikan dapur kamu.." jawab bang Jhon, memperjelas. Kali ini ia mengangkat wajahnya. Mata kami bersirobok pandang. Aku melihat mata itu berkaca-kaca, entah apa maknanya. Aku tak paham.
"aku juga mau minta maaf sama kamu.." lanjut bang Jhon, tanpa mengalihkan pandangannya.
"minta maaf? Aku yang harusnya minta maaf, bang.." balasku ringan. "aku yang salah. Tak seharusnya aku jatuh cinta pada bang Jhon... Tak seharusnya aku mengungkapkan hal itu pada bang Jhon. Padahal aku tahu, bang Jhon sudah menikah..." lanjutku, suaraku terdengar serak.
"aku minta maaf, karena telah mengabaikanmu akhir-akhir ini..." ucap bang Jhon, seperti tak mempedulikan kalimatku barusan.
"tak seharusnya aku mengabaikanmu. Aku pikir, dengan menghindar dari kamu, aku bisa lebih tenang. Tapi ternyata justru aku semakin tersiksa karenanya..." bang Jhon melanjutkan kalimatnya. Lalu kemudian ia menarik napas dalam.
"aku memikirkanmu hampir setiap malam, berharap itu semua hanya imajinasi semu bagiku. Tapi ternyata perasaan itu nyata. Perasaan itu ada. Sudah sangat lama aku tidak merasakan hal tersebut. Merasakan perasaan indah, setiap kali mengingatmu dalam lamunanku..." bang Jhon menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.
"dari awal, aku sudah mulai memungkiri semuanya. Memungkiri kalau aku sebenarnya telah jatuh cinta padamu. Aku berusaha menyimpannya rapat-rapat, berharap rasa itu akan hilang bersama berjalannya sang waktu. Sampai akhirnya, siang itu, kamu mengungkapkan perasaanmu padaku." bang Jhon menghentikan kalimatnya, ia terlihat menelan ludahnya sendiri.
"kita ngobrol di dalam aja yuk, bang..." ajakku kemudian.
Bang Jhon mengikuti langkahku masuk ke dalam. Aku segera ke dapur, mengambil segelas air.
"saat kamu mengungkapkan perasaanmu padaku waktu itu. Terus terang, separoh hatiku merasa cukup tersanjung. Namun separoh hatiku yang lain meronta. Aku merasa ada yang salah dengan semua itu.." bang Jhon berujar lagi, setelah ia meneguk hampir setengah gelas air yang aku hidangkan untuknya. Kami duduk di ruang tamu rumahku.
Aku hanya terdiam. Menikmati pemandangan indah di depanku, yang sudah hampir sebulan tak pernah kulihat lagi. Bang Jhon masih begitu memikat di mataku. Segala rasa rinduku seakan sirna. Ingin rasanya aku memeluk bang Jhon saat itu. Tapi ...
"untuk itu aku coba menghindar. Menjauh. Dan membuang jauh-jauh bayanganmu yang selalu hadir di setiap langkah kehidupanku. Hingga akhirnya aku sadar, kamu bagai pelita bagiku, yang kadang membuatku redup bila sehari tak mendengar suaramu. Namun aku akan kembali bersinar, saat aku berada di dekatmu. Dan aku pun sadar, kalau aku sangat membutuhkanmu. Aku sangat menyayangimu. Maafkan aku, untuk semuanya..." ucapan bang Jhon barusan benar-benar terasa indah di telingaku. Merasuk ke dalam pikiranku dan menari-nari indah di hatiku.
"kamu mau kan memaafkan aku?" tanya bang Jhon akhirnya, melihat aku hanya terdiam.
Aku tatap wajah indah itu. Aku tatap mata tajam nan menawan itu. Ku sunggingkan senyum termanisku. Lalu perlahan aku mengangguk.
"kamu mau kan kita menjalin hubungan ... maksudku ... kamu mau kan kita berpacaran?" bang Jhon bertanya lagi.
Dan masih dengan pola yang sama, aku pun mengangguk sekali lagi.
Aku melirik kearah luar jendela. Remang-remang senja sudah mulai kelihatan. Senja itu terasa begitu indah bagiku. Bahkan sangat indah. Seindah wajah yang berada dihadapanku saat ini.
Aku meraih tangan bang Jhon perlahan, lalu menariknya berdiri. Kutarik lembut tangan itu menuju ke kamarku. Aku tak ingin melewatkan kesempatan itu. Kesempatan yang sudah sangat lama aku impikan.
"kamu bisa jaga rahasia, kan?" tanya bang Jhon berbisik di telingaku.
"aman, bang. Aku juga gak ingin orang-orang tahu, bang... terlalu banyak yang harus dijaga.." balasku juga berbisik. Tubuh kami memang saling berdekapan saat itu.
"dan kamu gak apa-apa, kan? Abang jadikan yang kedua? Karena biar bagaimanapun, keluarga abang tetap yang utama bagi abang.." ujar bang Jhon lagi.
"iya, bang. Aku ngerti, kok. Selama abang masih punya waktu denganku, itu sudah cukup buatku." balasku lagi.
"tapi itu artinya, abang gak bisa lama-lama disini. Dan abang juga gak bisa tinggal atau pun menginap disini..." bisik bang Jhon lagi, kali ini ia mengusap-usap pungungku lembut.
"tapi abang harus janji. Jangan pernah tinggalkan aku lagi, bang.." ucapku.
Bang Jhon melepaskan pelukannya, lalu perlahan mengecup keningku lembut.
Sejak malam itu, aku dan bang Jhon pun menjalin hubungan asmara.
Aku merasa sangat bahagia bisa memiliki bang Jhon, meski harus berbagi dengan istrinya. Bagiku tidak masalah, selama bang Jhon masih punya waktu untukku. Selama ia tetap menyayangiku.
Aku hanya berharap, semoga hubungan kami bisa bertahan selamanya. Meski tentu saja, akan banyak rintangan yang harus kami hadapi ke depannya.
Namun kami harus siap. Apapun resikonya nanti....
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih