Langsung ke konten utama

Adsense

Kisah nyata : Aku pacaran dengan suami orang

Bang Jhon mengecup keningku lembut. Aku menyukai kecupan itu. Kecupan yang penuh perasaan. Kecupan yang membuatku selalu merindukannya.
Bang Jhon selalu melakukan hal itu, setiap kali ia akan pulang. Dan aku dengan sangat berat hati harus melepaskan ia pulang.

Bang Jhon tidak tampan, tidak juga atletis. Tubuhnya kurus, tapi berotot. Terlihat sedikit kekar. Aku menyukainya, dengan segala kelembutannya.
Kami sudah hampir setahun berhubungan. Kami saling menyayangi. Meski sebenarnya bang Jhon sudah menikah dan sudah mempunyai dua orang anak. Tapi bang Jhon selalu punya waktu untukku. Hampir setiap malam ia berkunjung ke rumahku, walau tak pernah sampai menginap.

Aku masih ingat waktu pertama kali kami bertemu. Kala itu, aku sedang duduk sendirian di teras depan rumahku. Hujan turun sangat lebat sore itu. Aku hanya termenung menatapi setiap titik rintik hujan yang jatuh membasahi bumi. Pikiranku menerawang jauh. Rumah ini aku beli atas hasil jerih payahku bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Aku hanya tinggal sendirian, karena aku memang seorang perantau. Orangtua dan keluarga ku jauh berada di kampung halaman.

Saat itu tiba-tiba sebuah sepeda motor, melaju kearah rumahku yang memang berada dipinggir jalan lintas menuju kota. Seorang laki-laki turun dari sepeda motor itu dengan keadaan basah kuyup.
"numpang berteduh ya.." ujar lelaki, setelah memarkirkan motornya dan membuka helm.
Aku menatap lelaki itu sesaat, "iya, bang.." jawabku ringan. Karena kulihat lelaki itu sedikit lebih tua dariku.
Ia hendak duduk di lantai teras, namun segera aku tawarkan sebuah kursi.
"tapi aku basah.." katanya.
"gak apa-apa, bang. Duduk aja.." balasku. Lelaki itu tersenyum, sambil menarik kursi dan segera ia duduk.

Gaston Boleh Kasih Semangat Julia Perez, Namun Cowok Kekar Ini...

Aku melihat lelaki itu memeluk tubuhnya sendiri, karena kedinginan. Ia tidak memakai jaket, dan baju yang ia pakai sudah hampir basah keseluruhan.
Merasa kasihan aku segera masuk dan mengambil sehelai handuk di kamar.
"nih, bang. Buka aja bajunya.." ucapku, sambil menyerahkan handuk pada lelaki itu.
Ia hanya menatapku, lalu kemudian mengambil handuk. Lelaki itu membuka bajunya, aku melirik diam-diam menatap tubuh lelaki itu yang bertelanjang dada. Tiba-tiba aku merasa jantungku berdegup kencang. Dada lelaki itu sangat menggoda, namun buru-buru kualihkan pandanganku, karena lelaki itu sudah memakai handuk di badannya.

Tak lama kemudian, lelaki itu berdiri lagi. "celana saya basah, bolehkah saya buka celana disini?" tanya lelaki itu kemudian.
Untuk sesaat aku hanya terdiam. "di dalam aja, bang." ucapku akhirnya.
Lelaki itu ikut masuk ke rumah, "di belakang ada kamar mandi. Abang buka disana aja.." lanjutku, setelah kami masuk ke dalam rumah.
Lelaki itu segera melangkahkan kakinya ke belakang. Rumahku tidak terlalu besar, hanya ada ruang tamu, dua kamar tidur serta dapur dan kamar mandi di belakang.

Beberapa menit kemudian lelaki itu balik lagi ke ruang tamu, dengan hanya memakai handuk yang terlilit di pinggang. Darahku berdesir melihat pemandangan di depanku. Dada lelaki itu cukup bidang, perutnya ramping dan ada bulu-bulu yang lebat di sekitaran pusarnya.
"duduk, bang.." ucapku menawarkan, melihat lelaki itu hanya berdiri.
"Makasih ya. Maaf udah merepotkan.." ujarnya setelah ia duduk di kursi tamu.
"iya. gak apa-apa, bang." balasku. "emang abang tinggal dimana?" tanyaku kemudian.
Lelaki itu menyebutkan tempat tinggalnya. Aku mengangguk. Aku tahu daerah itu, hanya berjarak lebih kurang delapan kilo dari rumahku.
"tadi abang habis dari mana?" tanyaku lagi.
"abang dari kota. Ada keperluan." jawab lelaki itu ringan. "tapi pas diujung jembatan itu, tiba-tiba hujan lebat. Karena gak ada tempat berteduh, saya lanjut saja. Namun saya gak tahan dingin. Karena melihat rumah ini terbuka dan ada orangnya, saya beranikan diri untuk singgah.. " jelasnya lagi.

Selama hampir dua jam kami ngobrol. Aku jadi tahu, kalau bang Jhon sudah menikah dan sudah punya dua anak. Usianya udah 38 tahun, delapan tahun lebh tua dariku. Bang Jhon juga bekerja sebagai tukang bangunan.
Ketika hujan akhirnya reda, bang memakai pakaiannya kembali dan permisi pulang sambil tak berterima kasih. Namun sebelum bang Jhon pulang, aku sempat meminta nomor handphone nya,
"siapa tahu nanti, ada rencana mau renovasi rumah. Kan tinggal hubungi abang aja.." ucapku beralasan.
Bang Jhon dengan senyum khasnya, mengambil handphone ku dan menuliskan nomornya disitu.

Tak kusangka sejak saat itu, bang Jhon sering menghubungiku. Katanya ia sangat berterima kasih padaku, karena telah memberinya tempat berteduh.
"kalau tidak, mungkin saja saya akan sakit karena terlalu lama kehujanan." lanjutnya di seberang sana.
Selain sering nelpon, bang Jhon setiap kali ke kota, sering mampir ke rumah.
"saya habis pesan beberapa bahan bangunan permintaan dari pelanggan," katanya suatu hari ia mampir ke rumah.
Aku hanya tersenyum menatapnya. Aku suka menatap bang Jhon. Meski tidak terlalu tampan, tapi wajahnya sungguh meneduhkan. Perlahan aku mulai menyukai sosok bang Jhon. Sering rindu juga kalau ia tidak ada kabar. Kadang aku yang terlebih dahulu menelponnya. Bang Jhon sangat baik.

Hubungan kami jadi semakin dekat. Bang Jhon benar-benar telah mampu mencuri hatiku.
Kelembutan sikapnya dan keramahtamahannya, membuatku tidak mampu untuk melupakannya.
Namun semua rasa itu, hanya mampu aku pendam. Aku berusaha bersikap biasa saja di depan bang Jhon. Aku belum ingin dia tahu perasaanku. Aku takut saat ia tahu, ia justru akan menjauhiku.
 
Sampai suatu saat, aku berencana untuk menambah ruangan dapur rumahku yang masih kecil dan sempit. Aku minta bang Jhon datang, untuk melihat kondisi dapurku dan juga sekaligus memperkirakan bahan-bahannya. Kebetulan sekali bang Jhon lagi sepi job katanya waktu itu.
Hari berikutnya bahan-bahan bangunan yang kupesan sudah datang, bang Jhon pun sudah mulai bekerja. Ia bekerja hanya sendirian, karena hanya merenovasi sedikit saja.
Bang Jhon bekerja dari pagi sampai sore, aku terkadang menyediakan makanan dan beberapa snack untuk bang Jhon. Sebisa mungkin kumanfaatkan waktu luangku untuk menemani bang Jhon bekerja.

Bang Jhon bekerja selalu bertelanjang dada. Keringatnya bercucuran. Aku suka curi-curi pandang memperhatikannya bekerja. Setiap kali melihatnya, jantungku selalu berdebar hebat. Ingin rasanya aku memeluk tubuh bang Jhon yang berkeringat itu. Tapi itu hanya ada dalam anganku.
 
Sampai suatu hari, waktu itu hari minggu. Aku tidak masuk kerja. Bang Jhon bekerja sebagaimana biasa. Sudah lima hari bang Jhon bekerja di rumahku, pekerjaannya sudah hampir separoh selesai.
Tiba-tiba tangan bang Jhon terluka, karenaa gergaji. Luka itu tidak begitu parah. Tapi aku meminta bang Jhon untuk istirahat saja dulu.

Bang Jhon terbaring di dalam kamarku. Aku yang memintanya untuk istirahat di kamar, walau bang Jhon merasa sedikit sungkan. Bang Jhon hanya memakai celana pendek, karena gerah. Lukanya sudah membaik.
Melihat ia terbaring, pikiranku pun menerawang jauh. Dengan sedikit modus, aku mencoba mendekati bang Jhon.
"gimana lukanya, bang? udah baikan?" tanyaku, sambil duduk di sampingnya.
"oh, gak apa-apa, kok. Udah mendingan.." jawabnya.
Aku tersenyum menatap wajah bang Jhon, yang semakin hari kulihat semakin tampan. Bang Jhon membalas senyumku.

Dan siang itu, dengan cukup berani aku pun mengungkapkan perasaanku pada bang Jhon. Setelah sedikit berbasa-basi, aku pun mengungkapkan semuanya.

"aku... aku suka sama bang Jhon.." ucapku terbata.

"maksud kamu?" tanya bang Jhon, keningnya berkerut. Ia secara repleks bangkit dari rebahannya, dan kemudian duduk di hadapanku.

"aku... aku suka sama abang. Aku jatuh cinta pada bang Jhon." jawabku semakin berani.

"kamu gay?" tanya bang Jhon spontan.

Aku hanya mengangguk dan kemudian tertunduk. Tak berani lebih lama menatap mata tajam bang Jhon.

"kamu serius?" suara bang Jhon terdengar lagi.

"iya, bang..." jawabku ringan, masih dalam keadaan tertunduk.

Tiba-tiba bang Jhon berdiri, lalu bergegas memasang bajunya kembali. Kemudian dengan sedikit terburu, ia keluar dari kamar. Tak lama kemudian, aku mendengar suara motornya di luar.

Segera aku bangkit dan menuju pintu depan. Aku lihat motor bang Jhon sudah melaju di jalan raya.

Perlahan rasa menyesal menyusup ke relung hatiku. Bang Jhon pasti sangat kecewa padaku, bahkan mungkin dia sangat membenciku.

Aku mengambil handphone-ku di kamar, berusaha untuk menghubungi bang Jhon. Aku hanya ingin penjelasan, mengapa bang Jhon pergi begitu saja.

Namun buru-buru ku urungkan niatku. Bang Jhon jelas sedang marah padaku. Ia sudah pasti tidak akan mau mengangkat telponku.

Tiba-tiba saja hatiku terasa perih menyadari itu semua. Bang Jhon pasti sudah mau bekerja di rumahku lagi. Dan itu artinya, aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa menatap tubuh kekarnya lagi saat ia bekerja.

Tapi mau gimana lagi, aku sudah terlanjur jujur padanya. Aku sudah tidak mampu lagi memendam semua rasa itu. Setidaknya sekarang bang Jhon sudah tahu, apa yang aku rasakan padanya.

Meski tentu saja resikonya, aku harus kehilangan dirinya. Bahkan mungkin untuk selamanya.

Hari-hari berlalu terasa begitu berat bagiku. Tak ada lagi, senyum dan tawa bang Jhon seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada lagi kabar darinya. Semua kini hanya tinggal kenangan.

Aku mencoba menerimanya. Mencoba menjalani hari-hariku, seperti saat aku belum mengenal bang Jhon. Aku mencoba menikmati segala kesepian dan kesendirianku.

Berat, sih, sebenarnya. Tapi mau gimana lagi, bang Jhon sudah terlanjur pergi. Dan aku hanya bisa menyesalinya.

Pernah beberapa kali aku mencoba menghubunginya, tapi tidak pernah diangkat. Pesanku pun tak pernah ia balas. Sepertinya bang Jhon, benar-benar membenciku.

Hingga sebulan kemudian, saat suatu sore, tiba-tiba saja bang Jhon muncul di depan rumahku.

"bang Jhon?" ucapku dalam kekagetanku.

Kulihat laki-laki itu hanya tertunduk. Ia melangkah pelan mendekatiku, yang sudah berdiri sejak tadi di teras depan rumah.

"aku.... aku mau menyelesaikan pekerjaanku..." ucapnya bergetar, saat ia sudah berdiri tak sampai setengah meter di depanku. Ia masih menundukkan kepalanya.

"pekerjaan?" tanyaku spontan. Kemudian aku pun tersadar, dapurku memang belum selesai dikerjakan oleh bang Jhon waktu itu. Dan aku pun tak berniat untuk menyelesaikannya, apa lagi harus mencari tukang baru.

"pekerjaanku untuk menyelesaikan dapur kamu.." jawab bang Jhon, memperjelas. Kali ini ia mengangkat wajahnya. Mata kami bersirobok pandang. Aku melihat mata itu berkaca-kaca, entah apa maknanya. Aku tak paham.

"aku juga mau minta maaf sama kamu.." lanjut bang Jhon, tanpa mengalihkan pandangannya.

"minta maaf? Aku yang harusnya minta maaf, bang.." balasku ringan. "aku yang salah. Tak seharusnya aku jatuh cinta pada bang Jhon... Tak seharusnya aku mengungkapkan hal itu pada bang Jhon. Padahal aku tahu, bang Jhon sudah menikah..." lanjutku, suaraku terdengar serak.

"aku minta maaf, karena telah mengabaikanmu akhir-akhir ini..." ucap bang Jhon, seperti tak mempedulikan kalimatku barusan.

"tak seharusnya aku mengabaikanmu. Aku pikir, dengan menghindar dari kamu, aku bisa lebih tenang. Tapi ternyata justru aku semakin tersiksa karenanya..." bang Jhon melanjutkan kalimatnya. Lalu kemudian ia menarik napas dalam.

"aku memikirkanmu hampir setiap malam, berharap itu semua hanya imajinasi semu bagiku. Tapi ternyata perasaan itu nyata. Perasaan itu ada. Sudah sangat lama aku tidak merasakan hal tersebut. Merasakan perasaan indah, setiap kali mengingatmu dalam lamunanku..." bang Jhon menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.

"dari awal, aku sudah mulai memungkiri semuanya. Memungkiri kalau aku sebenarnya telah jatuh cinta padamu. Aku berusaha menyimpannya rapat-rapat, berharap rasa itu akan hilang bersama berjalannya sang waktu. Sampai akhirnya, siang itu, kamu mengungkapkan perasaanmu padaku." bang Jhon menghentikan kalimatnya, ia terlihat menelan ludahnya sendiri.

"kita ngobrol di dalam aja yuk, bang..." ajakku kemudian.

Bang Jhon mengikuti langkahku masuk ke dalam. Aku segera ke dapur, mengambil segelas air.

"saat kamu mengungkapkan perasaanmu padaku waktu itu. Terus terang, separoh hatiku merasa cukup tersanjung. Namun separoh hatiku yang lain meronta. Aku merasa ada yang salah dengan semua itu.." bang Jhon berujar lagi, setelah ia meneguk hampir setengah gelas air yang aku hidangkan untuknya. Kami duduk di ruang tamu rumahku.

Aku hanya terdiam. Menikmati pemandangan indah di depanku, yang sudah hampir sebulan tak pernah kulihat lagi. Bang Jhon masih begitu memikat di mataku. Segala rasa rinduku seakan sirna. Ingin rasanya aku memeluk bang Jhon saat itu. Tapi ...

"untuk itu aku coba menghindar. Menjauh. Dan membuang jauh-jauh bayanganmu yang selalu hadir di setiap langkah kehidupanku. Hingga akhirnya aku sadar, kamu bagai pelita bagiku, yang kadang membuatku redup bila sehari tak mendengar suaramu. Namun aku akan kembali bersinar, saat aku berada di dekatmu. Dan aku pun sadar, kalau aku sangat membutuhkanmu. Aku sangat menyayangimu. Maafkan aku, untuk semuanya..." ucapan bang Jhon barusan benar-benar terasa indah di telingaku. Merasuk ke dalam pikiranku dan menari-nari indah di hatiku.

"kamu mau kan memaafkan aku?" tanya bang Jhon akhirnya, melihat aku hanya terdiam.

Aku tatap wajah indah itu. Aku tatap mata tajam nan menawan itu. Ku sunggingkan senyum termanisku. Lalu perlahan aku mengangguk.

"kamu mau kan kita menjalin hubungan ... maksudku ... kamu mau kan kita berpacaran?" bang Jhon bertanya lagi.

Dan masih dengan pola yang sama, aku pun mengangguk sekali lagi.

Aku melirik kearah luar jendela. Remang-remang senja sudah mulai kelihatan. Senja itu terasa begitu indah bagiku. Bahkan sangat indah. Seindah wajah yang berada dihadapanku saat ini.

Aku meraih tangan bang Jhon perlahan, lalu menariknya berdiri. Kutarik lembut tangan itu menuju ke kamarku. Aku tak ingin melewatkan kesempatan itu. Kesempatan yang sudah sangat lama aku impikan.

"kamu bisa jaga rahasia, kan?" tanya bang Jhon berbisik di telingaku.

"aman, bang. Aku juga gak ingin orang-orang tahu, bang... terlalu banyak yang harus dijaga.." balasku juga berbisik. Tubuh kami memang saling berdekapan saat itu.

"dan kamu gak apa-apa, kan? Abang jadikan yang kedua? Karena biar bagaimanapun, keluarga abang tetap yang utama bagi abang.." ujar bang Jhon lagi.

"iya, bang. Aku ngerti, kok. Selama abang masih punya waktu denganku, itu sudah cukup buatku." balasku lagi.

"tapi itu artinya, abang gak bisa lama-lama disini. Dan abang juga gak bisa tinggal atau pun menginap disini..." bisik bang Jhon lagi, kali ini ia mengusap-usap pungungku lembut.

"tapi abang harus janji. Jangan pernah tinggalkan aku lagi, bang.." ucapku.

Bang Jhon melepaskan pelukannya, lalu perlahan mengecup keningku lembut.

Sejak malam itu, aku dan bang Jhon pun menjalin hubungan asmara.

Aku merasa sangat bahagia bisa memiliki bang Jhon, meski harus berbagi dengan istrinya. Bagiku tidak masalah, selama bang Jhon masih punya waktu untukku. Selama ia tetap menyayangiku.

Aku hanya berharap, semoga hubungan kami bisa bertahan selamanya. Meski tentu saja, akan banyak rintangan yang harus kami hadapi ke depannya.

Namun kami harus siap. Apapun resikonya nanti....


Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google