Seminggu
aku hanya mengurung diri di kamar. Hatiku benar-benar hancur. Hidupku
kacau. Sekarang aku bahkan tidak punya apa-apa. Aku juga tidak punya
semangat dan harapan. Semuanya benar-benar berantakan. Tak kusangka
pernikahanku akan berakhir dengan setragis ini. Berkali-kali kutatap
surat yang ditinggalkan Dewi. Rasa rindu menyeruak di dadaku. Aku rindu
anakku, aku rindu istriku, aku rindu suasana bahagia dirumah sederhana
ini. Air mataku menetes lagi, entah sudah berapa kali aku menangis dalam
seminggu ini. Hatiku perih.
Aku merasa lemah, tak berdaya untuk mempertahankan rumah tangga kami.
Suara
ketukan terdengar sangat keras dipintu, aku bergegas berdiri. Aku tahu
itu buk Ros, sudah seminggu, dia pasti ingin menagih.
Wajah garang buk Ros menatapku. Aku hanya terdiam.
"sudah
seminggu. Jika kamu belum punya uang juga, kamu boleh kemasi
barang-barangmu dan silahkan pergi dari sini." Suara buk Ros, lantang.
Beberapa tetangga nongol keluar.
Aku masuk ke
dalam, tidak ada barang apa-apa dirumah ini sekarang. Semua sudah
terjual, TV, kulkas, kipas angin, semuanya. Aku hanya mengemasi
pakaianku yang sudah sebulan tidak dicuci. Aku masukan pakaian itu ke
dalam tas bututku. Aku memang harus pergi, aku tak berhak lagi tinggal
disini. Lagi pula Dewi juga sudah pergi, ia tidak akan pernah kembali
lagi.
Aku melangkahkan kakiku pelan, meninggalkan rumah
kontrakan penuh kenangan itu. Diiringi tatapan para tetangga yang
sebagian sudah tahu cerita pilu keluarga kami.
"ingat, ya.
Kamu masih punya hutang 3 bulan, lho.." suara buk Ros terdengar lagi.
Aku tak menghiraukannya, aku terus saja melangkah meski aku tidak tahu,
harus kemana.
*******
Sekarang aku hanya ingin kembali ke kampung halaman, bertemu dengan Ibu dan kak Ning. Aku ingin memulai hidup baru disana.
Aku terus melangkah dengan gontai, kakiku terasa keram dan kesemutan. Tanpa sadar aku sudah berada cukup jauh dari kota, jalanan mulai sunyi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Aku tahu, aku berada di jalan lintas antar kota. Arah perjalanan cukup jelas, menuju kampung ku. Tapi jika aku terus berjalan kaki, mungkin hampir setengah bulan baru sampai.
Beberapa kali aku melambaikan tangan setiap ada mobil yang lewat, berharap mereka berhenti dan memberikan aku tumpangan. Aku tak punya uang yang cukup untuk ongkos pulang. Aku hanya berharap ada mobil truck besar yang melintas melewati daerah tempat desaku. Karena biasanya memang banyak mobil truck yang melintas disana.
Aku kelelahan dan berhenti sejenak di sebuah pondok tak berpenghuni yang ada tak jauh dari pinggiran jalan. Sambil terus ku lambaikan tangan setiap ada mobil besar lewat. Ada beberapa mobil bus antar kota yang menawarkan, tapi aku segera menggeleng, karena aku tahu uangku tidak cukup.
Setelah hampir setengah jam duduk disana, dan senja pun sudah mulai datang. Tiba-tiba sebuah mobil truck berhenti, melihat aku yang melambaikan tangan dengan lemah. Mobil truck itu berhenti dan parkir di pinggir jalan, aku segera berdiri dan sedikit berlari menuju mobil tersebut.
Tapi tiba-tiba pintu mobil truck tersebut terbuka, seorang laki-laki paroh baya keluar. Aku menghentikan langkah, karena kulihat laki-laki itu turun dan berjalan mendekat.
"kamu mau kemana?" tanya laki-laki itu dengan suara keras.
Aku menyebutkan daerah tempat desaku, yang kira-kira lebih umum diketahui orang banyak, terutama para sopir truck yang sering melintas disana.
"oh, ya. Aku tahu daerah itu. Tapi itu masih sangat jauh, kira-kira nanti kita sampainya tiga hari lagi.." ucap laki-laki itu, sambil terus menatapku tajam.
Aku hanya mengangguk. Karena aku juga tahu, memang butuh tiga hari perjalanan untuk sampai ke desaku naik mobil.
Kuperhatikan laki-laki yang berdiri tak jauh dari hadapanku. Seorang lelaki tegap, badannya padat berisi, bukan gendut, tapi lebih berotot. Kulitnya hitam tersengat matahari. Tampangnya sedikit sangar, karena dipadati brewok. Tapi parasnya cukup tampan, hanya saja kurang terawat. Badannya bagus, tak seperti kebanyakan sopir truck yang berperut buncit. Perut laki-laki ini datar dan terlihat berotot, karena ia hanya memakai singlet. Jadi lekuk ototnya terlihat jelas. Usianya kalau kuperkirakan sekitar 40 tahunan.
Aku duduk disamping sopir truck tersebut, dan mobil truck itupun mulai berjalan perlahan.
"nama kamu siapa?" sopir truck bertanya, sambil tatapannya tetap fokus kedepan.
"Alif, bang.." jawabku. "nama abang?"
"panggil aja Ale, bang Ale.." jawabnya. "kalau kamu capek, kamu tidur aja.." lanjutnya.
Aku memang merasa sangat capek dan lapar, untunglah bang Ale tadi menawarkan roti dan juga air minum, jadi laparku masih bisa kutahan. Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan wajah istri dan anakku terus melintas. Aku hembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan pikiranku.
Beberapa jam perjalanan, tiba-tiba aku merasakan mobil itu berhenti. Aku membuka mata.
"kita makan malam dulu disini.." suara bang Ale.
Aku segera bangkit, tapi enggan untuk keluar. Uangku hanya cukup untuk sekali makan, kalau aku makan sekarang, aku akan kelaparan dua hari ke depan. Untuk itu aku memejamkan mataku kembali. Mencoba untuk tertidur. Tapi tiba-tiba bang Ale membuka pintu disebelahku, "ayo turun! Kita istirahat makan dulu.." ucapnya sambil menarik tanganku.
"aku masih kenyang, bang.." balasku.
"udah, aku tahu kamu belum makan dari tadi siang. Kamu gak usah takut, abang yang bayar.."
"tapi bang.."
"udah! ayo turun, aku gak mau kamu mati dalam mobilku.." suara bang Ale terdengar kasar, tapi aku tahu maksudnya baik. Aku jadi tidak enak hati, dan segera turun dari mobil.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. Aku melirik jam yang ada di depan mobil, jam sepuluh malam. Tiba-tiba kantukku terasa menyerang, sudah lebih dari sebulan aku tidak pernah tidur dengan lelap. Rasanya kepala ku terasa berat. Aku pejamkan mata dan mulai terlelap.
Entah sudah berapa lama aku terlelap, hingga tiba-tiba aku merasa Bang Ale mendekap mulutku dengan tangan kekarnya.
"kamu tak usah melawan!" bisiknya ditelingaku, "dan jangan berteriak! Disini sepi, jadi percuma kamu berteriak.." lanjutnya.
Aku berusaha mengedarkan pandanganku sekeliling, terlihat gelap dan sepi. Entah kemana bang Ale membawaku, yang pasti kami tidak berada di jalan raya lagi.
"saya sudah kasih kamu tumpangan dan makan, jadi sekarang saatnya kamu melayani saya.." bang Ale terus berbisik ditelingaku, tangan semakin kuat menbekap mulutku. Aku hampir sesak, kehabisan napas. Tiba-tiba aku merasa sangat takut. Ingin rasanya aku berlari dari situ, tapi aku tak harus lari kemana. Diluar sangat gelap. Lagi pula bagaimana bisa aku melepaskan diri dari bang Ale yang sangat kuat. Kalau pun aku melawan, aku pasti kalah.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, mencoba mengikuti keinginan bang Ale. Perlahan aku mengangguk. Bang Ale mulai mengendurkan bekapannya, aku pun bernapas lega.
Malam itu aku pun terpaksa melayani nafsu birahi bang Ale, si sopir truck. Aku tak bisa melawan lagi. Bang Ale sudah merencanakannya dari awal. Dia memang sengaja memanfaatkanku. Tapi aku hanya bisa pasrah, paling tidak aku sudah mendapatkan tumpangan gratis menuju desaku.
Meski harus jadi korban lelaki gay...
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih