Kisah sebelumnya :
Berbulan-bulan
setelah kepergian ku dari kota Am, setelah aku memutuskan untuk pergi
dari kehidupan Am, aku mulai terbiasa menjalani hidup tanpa Am.
Sekarang aku berada di sebuah tempat yang jauh dari kota dan juga sangat jauh dari kampung halaman ku.
Disini aku bekerja sebagai seorang tukang panen, di sebuah perkebunan sawit milik sebuah perusahaan besar.
Seorang kenalan tanpa sengaja mengajak ku ikut bekerja dengan nya di sini.
Pekerjaan yang sangat berat sebenarnya, namun bagi ku ini adalah hal biasa. Bekerja keras sudah menjadi tuntutan hidup bagi ku dan sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Apa lagi menjadi tukang panen sawit. Waktu aku di kampung dulu, aku sering ikut memanen sawit di kebun-kebun masyarakat yang membutuhkan tenagaku.
Sekarang aku berada di sebuah tempat yang jauh dari kota dan juga sangat jauh dari kampung halaman ku.
Disini aku bekerja sebagai seorang tukang panen, di sebuah perkebunan sawit milik sebuah perusahaan besar.
Seorang kenalan tanpa sengaja mengajak ku ikut bekerja dengan nya di sini.
Pekerjaan yang sangat berat sebenarnya, namun bagi ku ini adalah hal biasa. Bekerja keras sudah menjadi tuntutan hidup bagi ku dan sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Apa lagi menjadi tukang panen sawit. Waktu aku di kampung dulu, aku sering ikut memanen sawit di kebun-kebun masyarakat yang membutuhkan tenagaku.
Hampir setahun aku berada di sini. Bersama beberapa orang para pekerja lainnya.
Di perkebunan sawit yang sangat luas ini, memang terdapat barak-barak tempat para pekerja tinggal.
Ada banyak pekerja yang tinggal di barak-barak ini, mereka datang dari berbagai daerah.
Di tempat aku tinggal, ada setidaknya 20 buah barak, yang masing-masing di tempati oleh satu keluarga.
Barak ini tidak terlalu besar, hanya ada satu ruang tidur, dapur, kamar mandi dan satu ruang tamu.
Aku tinggal di salah satu barak bersama seorang teman pekerja lainnya, karena aku masih lajang.
Teman satu barak ku, nama nya, Zai. Dia juga masih lajang. Dan di pemukiman barak ini, hanya kami berdua yang masih lajang, untuk itu lah kami tinggal serumah.
Di perkebunan sawit yang sangat luas ini, memang terdapat barak-barak tempat para pekerja tinggal.
Ada banyak pekerja yang tinggal di barak-barak ini, mereka datang dari berbagai daerah.
Di tempat aku tinggal, ada setidaknya 20 buah barak, yang masing-masing di tempati oleh satu keluarga.
Barak ini tidak terlalu besar, hanya ada satu ruang tidur, dapur, kamar mandi dan satu ruang tamu.
Aku tinggal di salah satu barak bersama seorang teman pekerja lainnya, karena aku masih lajang.
Teman satu barak ku, nama nya, Zai. Dia juga masih lajang. Dan di pemukiman barak ini, hanya kami berdua yang masih lajang, untuk itu lah kami tinggal serumah.
Zai adalah seorang perantau juga, ia sudah lebih sepuluh tahun pergi dari kampung halaman nya.
Dia juga sudah hampir empat tahun bekerja di perkebunan sawit itu. Sebelumnya ia juga bekerja serabutan di kota.
Menurut cerita Zai, ia pergi dari kampung halamannya karena terlibat pertengkaran dengan orang tua nya, dan sudah sepuluh tahun ia tidak pernah pulang. Ia tidak pernah tahu bagaimana kabar kedua orang tua nya sampai saat ini.
Zai anak kedua dari empat bersaudara, kakak tertua nya perempuan dan dua adik nya laki-laki.
Zai seorang pemuda yang tampan dan juga memilliki tubuh yang lumayan kekar.
Saat ini ia sudah berumur 32 tahun, dua tahun lebih tua dari ku.
Di mata ku, Zai orang yang sangat baik dan pengertian. Dia tidak terlalu banyak bicara, namun sekali ia bicara, kata-kata nya terdengar begitu bijak.
Dia juga sudah hampir empat tahun bekerja di perkebunan sawit itu. Sebelumnya ia juga bekerja serabutan di kota.
Menurut cerita Zai, ia pergi dari kampung halamannya karena terlibat pertengkaran dengan orang tua nya, dan sudah sepuluh tahun ia tidak pernah pulang. Ia tidak pernah tahu bagaimana kabar kedua orang tua nya sampai saat ini.
Zai anak kedua dari empat bersaudara, kakak tertua nya perempuan dan dua adik nya laki-laki.
Zai seorang pemuda yang tampan dan juga memilliki tubuh yang lumayan kekar.
Saat ini ia sudah berumur 32 tahun, dua tahun lebih tua dari ku.
Di mata ku, Zai orang yang sangat baik dan pengertian. Dia tidak terlalu banyak bicara, namun sekali ia bicara, kata-kata nya terdengar begitu bijak.
Hampir setahun aku dan Zai tinggal satu atap. Pelan-pelan aku sudah mulai melupakan sosok Am dalam hidup ku, begitu juga Hafis.
Bagi ku mereka berdua hanya lah sebuah kesalahan di masa lalu. Sebuah kesalahan yang membuat ku terus menyesalinya.
Kini aku di sini dengan hidup ku yang baru. Teman-teman baru dan lingkungan baru.
Aku merasa nyaman tinggal di sini, apa lagi dengan adanya Zai di dekat ku.
Teman-teman para pekerja lain, juga sangat baik pada ku. Hingga aku merasa sudah memiliki keluarga baru di sini.
Hanya saja ada satu hal yang tanpa ku sadari terjadi begitu saja.
Satu tahun tinggal serumah dengan Zai, ternyata perasaan kagum diam-diam menyelinap di hati ku.
Aku mulai sering memikir kan Zai, melamun kan nya di setiap malam ku.
Ya, ternyata aku telah jatuh cinta kepada Zai, tanpa aku sadari.
Perlahan rasa itu tumbuh di relung hati ku, meski tak pernah aku inginkan.
Zai dengan segala kesederhanaan nya, telah mampu menyembuhkan luka di hatiku.
Menumbuhkan benih-benih yang kian hari, kian kuat ku rasakan.
Hati ku memang telah mampu menghapus bayangan Am atau pun Hafis, tapi justru dalam kekosongan hati ku itu, sosok Zai masuk menyelinap.
Ia mampu menerangi kelam nya hati ku, menghiasi hari-hari ku dengan segala kesederhanaannya.
Dan itu semua di luar kendali ku.
Harus kah aku jatuh cinta lagi kepada orang yang salah, untuk yang ketiga kalinya?
Dan dada ku terasa sesak mengingat itu semua. Aku takut terluka lagi, karena pasti itu akan jauh lebih menyakitkan.
Tapi aku tidak bisa begitu saja menghindar dari semua rasa itu.
Sungguh tak pernah terpikir olehku, jika aku harus mencintainya begitu dalam. Semua itu baru aku sadari, setelah lama kami bersama. Kebersamaan kami, telah mampu membuatku bisa mendefenisikan sikap Zai. Dia orang yang baik, hanya saja terkadang sikapnya yang cuek membuatku harus menelan ludah pahit dengan getir, setiap aku mengingat asa yang ada dihatiku. Asa untuk memilikki nya...!
Entah sudah berapa banyak perhatian yang aku berikan padanya dan entah sudah beribu makna yang aku ungkapkan padanya, tapi Zai tak pernah mau bergeming. Ia tetap bertahan dalam sikap diam nya.
Dari sikapnya, terkadang aku harus yakin, jika sebenarnya jauh dilubuk hatinya, Zai pun merasakan hal yang sama. Tapi entah mengapa, ia tetap menutup rapat dirinya, sehingga tak menyisakan sedikit celah dihatinya untuk memberikan ku kesempatan. Aku tak malu mengakui ini semua, karena ini adalah kodrat. Perasaan telah berperan dalam kisah ku ini, yang telah mampu merubah sikapku...
Namun perlahan aku harus menyadari jika asa ku memang harus berakhir disini. Ketika aku sadari, ia mulai menjauh dariku.
Pelan aku menghindar, menjauh, bahkan membuang jauh-jauh bayangannya yang kerap muncul disetiap langkah kehidupanku. Namun semuanya hanya meninggalkan perih yang sangat dalam, karena aku tak bisa melupakannya.
Jujur harus kuakui, kehadirannya telah membelenggu jiwaku. Kehadiran Zai ibarat pelita bagiku yang kadang membuatku redup seandainya sehari tak temukan dirinya. Namun aku akan kembali bersinar jika ia membalut hari-hariku dengan tawa dan canda nya.
Bagi ku mereka berdua hanya lah sebuah kesalahan di masa lalu. Sebuah kesalahan yang membuat ku terus menyesalinya.
Kini aku di sini dengan hidup ku yang baru. Teman-teman baru dan lingkungan baru.
Aku merasa nyaman tinggal di sini, apa lagi dengan adanya Zai di dekat ku.
Teman-teman para pekerja lain, juga sangat baik pada ku. Hingga aku merasa sudah memiliki keluarga baru di sini.
Hanya saja ada satu hal yang tanpa ku sadari terjadi begitu saja.
Satu tahun tinggal serumah dengan Zai, ternyata perasaan kagum diam-diam menyelinap di hati ku.
Aku mulai sering memikir kan Zai, melamun kan nya di setiap malam ku.
Ya, ternyata aku telah jatuh cinta kepada Zai, tanpa aku sadari.
Perlahan rasa itu tumbuh di relung hati ku, meski tak pernah aku inginkan.
Zai dengan segala kesederhanaan nya, telah mampu menyembuhkan luka di hatiku.
Menumbuhkan benih-benih yang kian hari, kian kuat ku rasakan.
Hati ku memang telah mampu menghapus bayangan Am atau pun Hafis, tapi justru dalam kekosongan hati ku itu, sosok Zai masuk menyelinap.
Ia mampu menerangi kelam nya hati ku, menghiasi hari-hari ku dengan segala kesederhanaannya.
Dan itu semua di luar kendali ku.
Harus kah aku jatuh cinta lagi kepada orang yang salah, untuk yang ketiga kalinya?
Dan dada ku terasa sesak mengingat itu semua. Aku takut terluka lagi, karena pasti itu akan jauh lebih menyakitkan.
Tapi aku tidak bisa begitu saja menghindar dari semua rasa itu.
Sungguh tak pernah terpikir olehku, jika aku harus mencintainya begitu dalam. Semua itu baru aku sadari, setelah lama kami bersama. Kebersamaan kami, telah mampu membuatku bisa mendefenisikan sikap Zai. Dia orang yang baik, hanya saja terkadang sikapnya yang cuek membuatku harus menelan ludah pahit dengan getir, setiap aku mengingat asa yang ada dihatiku. Asa untuk memilikki nya...!
Entah sudah berapa banyak perhatian yang aku berikan padanya dan entah sudah beribu makna yang aku ungkapkan padanya, tapi Zai tak pernah mau bergeming. Ia tetap bertahan dalam sikap diam nya.
Dari sikapnya, terkadang aku harus yakin, jika sebenarnya jauh dilubuk hatinya, Zai pun merasakan hal yang sama. Tapi entah mengapa, ia tetap menutup rapat dirinya, sehingga tak menyisakan sedikit celah dihatinya untuk memberikan ku kesempatan. Aku tak malu mengakui ini semua, karena ini adalah kodrat. Perasaan telah berperan dalam kisah ku ini, yang telah mampu merubah sikapku...
Namun perlahan aku harus menyadari jika asa ku memang harus berakhir disini. Ketika aku sadari, ia mulai menjauh dariku.
Pelan aku menghindar, menjauh, bahkan membuang jauh-jauh bayangannya yang kerap muncul disetiap langkah kehidupanku. Namun semuanya hanya meninggalkan perih yang sangat dalam, karena aku tak bisa melupakannya.
Jujur harus kuakui, kehadirannya telah membelenggu jiwaku. Kehadiran Zai ibarat pelita bagiku yang kadang membuatku redup seandainya sehari tak temukan dirinya. Namun aku akan kembali bersinar jika ia membalut hari-hariku dengan tawa dan canda nya.
Kadang ingin, aku jujur dengan apa yang aku rasakan kepada Zai, dan
mengungkapkan semua isi hati ku padanya. Tapi aku takut, justru Zai akan
semakin jauh dari ku.
Meski kadang aku merasa, Zai punya perhatian lebih terhadap ku. Tapi tetap saja, aku takut salah paham dengan sikap baik nya pada ku.
Sekarang aku seakan berdiri dalam ketidakpastian dan kebingungan yang terus menerus menghimpit perasaanku.
Kini, aku tak tahu harus melangkah kearah mana. Akupun tak mengerti hanya kegalauan dan kegundahan yang harus memaksaku tenggelam didalamnya. Sekarang aku hanya bisa menutup rapat hatiku. Menambal celah-celah kecil yang koyak akibat luka yang ia torehkan dihatiku. Mungkin tanpa pernah ia sadari...!!
Waktu terus bergulir, hingga suatu saat Zai sakit, cukup parah dan harus di bawa ke rumah sakit. Dengan bantuan teman-teman pekerja lainnya, kami pun membawa Zai ke rumah sakit atas izin atasan kami.
Karena tidak punya keluarga di sini, aku yang merawat Zai selama ia di rumah sakit, sampai ia sembuh dan di perbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.
Sampai di barak, Zai tidak bisa langsung bekerja, ia harus istirahat selama beberapa hari.
Tubuhnya masih sedikit lemah dan belum bisa bekerja terlalu keras. Selama Zai sakit, aku yang menggantikan tugasnya dan juga aku yang mencuci pakaian dan memasak untuknya.
Aku merawat nya dengan penuh perhatian dan penuh kasih sayang.
Hingga Zai benar-benar pulih kembali seperti sedia kala.
Meski kadang aku merasa, Zai punya perhatian lebih terhadap ku. Tapi tetap saja, aku takut salah paham dengan sikap baik nya pada ku.
Sekarang aku seakan berdiri dalam ketidakpastian dan kebingungan yang terus menerus menghimpit perasaanku.
Kini, aku tak tahu harus melangkah kearah mana. Akupun tak mengerti hanya kegalauan dan kegundahan yang harus memaksaku tenggelam didalamnya. Sekarang aku hanya bisa menutup rapat hatiku. Menambal celah-celah kecil yang koyak akibat luka yang ia torehkan dihatiku. Mungkin tanpa pernah ia sadari...!!
Waktu terus bergulir, hingga suatu saat Zai sakit, cukup parah dan harus di bawa ke rumah sakit. Dengan bantuan teman-teman pekerja lainnya, kami pun membawa Zai ke rumah sakit atas izin atasan kami.
Karena tidak punya keluarga di sini, aku yang merawat Zai selama ia di rumah sakit, sampai ia sembuh dan di perbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.
Sampai di barak, Zai tidak bisa langsung bekerja, ia harus istirahat selama beberapa hari.
Tubuhnya masih sedikit lemah dan belum bisa bekerja terlalu keras. Selama Zai sakit, aku yang menggantikan tugasnya dan juga aku yang mencuci pakaian dan memasak untuknya.
Aku merawat nya dengan penuh perhatian dan penuh kasih sayang.
Hingga Zai benar-benar pulih kembali seperti sedia kala.
Aku dan Zai semakin dekat dan bahkan teramat sangat dekat. Karena kedekatan kami, aku akhirnya menjadi berani untuk mengungkapkan apa yang aku rasa kan kepada Zai.
Ya, akhirnya aku dengan sedikit nekat mengatakan kepada Zai bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Aku sedikit bergetar dan merasa sangat takut.
Tapi di luar dugaan, Zai justru tersenyum mendengar pernyataan ku. Ia menggenggam tanganku dan mengatakan kalau ia selama ini juga sayang padaku.
Aku semakin bergetar dan merasa tidak karuan, jantung ku berdetak sangat kencang.
Tak ku sangka kalau, Zai akan membalas semua perasaan ku padanya.
Malam itu adalah malam terindah dalam perjalanan hidup ku.
Akhirnya aku bisa merasakan dicintai oleh orang yang aku cintai.
Sejak malam itu, aku dan Zai sudah menjalin hubungan istimewa. Meski hanya kami berdua yang tahu, apa yang terjadi di antara kami.
Hampir setiap malam kami tidur saling berpelukan, dan itu terasa sangat indah bagiku.
Aku merasa begitu bahagia saat itu.
Hidup ku terasa begitu sempurna.
Aku berusaha, menjadi pasangan yang baik untuk Zai. Melayani nya dengan baik, memasakannya makanan yang enak dan mencuci kan pakaiannya.
Aku tulus melakukan semua itu, aku sangat mencintai Zai. Dan kali ini, cinta ku tidak bertepuk sebelah tangan.
Hari-hari berlalu begitu indah. Kami benar-benar sudah seperti sepasang suami istri. Meski di depan orang-orang kami selalu berusaha menjaga sikap.
Zai adalah hal terindah dalam hidupku, ia begitu berarti bagiku.
Aku merasakan semangat hidup, bahkan jauh berlipat-lipat lebih besar dari biasanya.
Tidak ada waktu yang kami lewati tanpa bersama.
Melakukan segalanya dengan penuh kebahagiaan.
Dua tahun lamanya kami bersama. Ya, aku selalu mengingat masa dua tahun itu. Itu adalah dua tahun terindah dalam perjalanan hidup ku.
Dua tahun yang penuh dengan kebahagiaan. Dua tahun yang tidak akan pernah aku lupakan.
Hampir setiap malam kami tidur saling berpelukan, dan itu terasa sangat indah bagiku.
Aku merasa begitu bahagia saat itu.
Hidup ku terasa begitu sempurna.
Aku berusaha, menjadi pasangan yang baik untuk Zai. Melayani nya dengan baik, memasakannya makanan yang enak dan mencuci kan pakaiannya.
Aku tulus melakukan semua itu, aku sangat mencintai Zai. Dan kali ini, cinta ku tidak bertepuk sebelah tangan.
Hari-hari berlalu begitu indah. Kami benar-benar sudah seperti sepasang suami istri. Meski di depan orang-orang kami selalu berusaha menjaga sikap.
Zai adalah hal terindah dalam hidupku, ia begitu berarti bagiku.
Aku merasakan semangat hidup, bahkan jauh berlipat-lipat lebih besar dari biasanya.
Tidak ada waktu yang kami lewati tanpa bersama.
Melakukan segalanya dengan penuh kebahagiaan.
Dua tahun lamanya kami bersama. Ya, aku selalu mengingat masa dua tahun itu. Itu adalah dua tahun terindah dalam perjalanan hidup ku.
Dua tahun yang penuh dengan kebahagiaan. Dua tahun yang tidak akan pernah aku lupakan.
Kini Zai telah pergi. Ya, kebersamaan kami hanya mampu bertahan dua tahun.
Karena setelah dua tahun itu, tiba-tiba kedua orang tua Zai datang ke tempat kami tinggal.
Ibu dan Ayah Zai berusaha membawa Zai kembali pulang ke kampung halamannya.
Ternyata selama ini mereka sudah berusaha mencari tahu dimana keberadaan Zai .
Sampai akhirnya mereka bisa menemukan Zai di sini.
Mereka meminta maaf kepada Zai, atas perlakuan mereka selama ini terhadap Zai dan berharap Zai mau ikut pulang bersama mereka.
Awalnya Zai menolak, meski Zai sudah memaafkan mereka, tapi Zai tetap ingin bekerja di sini.
Tapi keinginan Ibu dan ayah Zai sangat besar, mereka bahkan sampai menangis untuk bisa mengajak Zai pulang.
Zai pun akhirnya luluh dan ia dengan sedikit terpaksa ikut pulang bersama orang tuanya.
Zai sempat pamit padaku dan mengatakan kalau ia hanya pulang sebentar untuk menyenangkan hati orang tuanya, nanti ia akan kembali lagi kesini.
Aku dengan sangat berat melepaskan kepergian Zai. Tanpa sadar air mata ku jatuh menetes.
Entah mengapa aku merasa kalau Zai akan pergi untuk selamanya.
Selama seminggu, sejak kepergian Zai, aku masih bisa menghubunginya melalui handphone. Meski aku tak bisa menutupi kesedihan ku karena merasa sangat kehilangan.
Meski Zai berjanji akan segera kembali, namun tetap saja aku begitu merindukannya. Aku bahkan menangisi nya setiap malam.
Dan aku pun semakin terpukul, karena Setelah hampir sebulan ini, Zai tidak juga kembali bahkan Zai sudah tidak bisa di hubungi. Nomor nya tak pernah aktif setiap kali aku coba menghubunginya.
Aku menangis. Ya, aku menangis setiap malam. Menangis karena kerinduan ku semakin dalam pada Zai. Aku menangis karena aku harus kehilangan orang yang aku sayang.
Aku merasa sangat kesepian. Zai yang biasanya menemani tidur ku, kini tiada lagi.
Zai yang selalu menemani hari-hari ku, kini telah pergi.
Zai yang biasanya selalu menghiburku, kini entah dimana.
Aku benar-benar kehilangan sosok Zai dalam hidup ku.
Aku tak punya gairah lagi untuk melanjutkan hidup ku. Aku kehilangan pegangan.
Aku bahkan sampai jatuh sakit beberapa bulan.
Setahun penantian ku hanya lah sebuah kesia-siaan.
Setahun aku tak mendapat kabar apa pun dari Zai.
Setahun aku masih mencoba menunggu nya kembali, masih berharap ia datang dengan cinta nya kembali.
Tapi aku hanya menanti sebuah kehampaan, yang kian hari kian membuatku semakin sakit dan terluka.
Setiap hari yang ku lalui terasa begitu berat dan panjang.
Setahun penantianku akhirnya membuat aku sadar, bahwa Zai tidak akan pernah kembali. Ia mungkin telah menemukan kebahagiannya yang lain dan aku harus menerima kepahitan itu.
Menerima pahitnya sebuah kehilangan. Pahitnya ditinggal pergi tanpa alasan. Ditinggal sendiri tanpa harapan.
Aku bahkan tidak tahu, entah mana yang lebih menyakitkan, antara di tinggal ketika saat masih sayang-sayangnya atau ketika cinta yang tumbuh tak pernah terungkap dan berbalas.
Pada saat Hafis dulu, memilih untuk menikah dan meninggalkan persahabatan kami, aku memang terluka namun tak sesakit ini.
Begitu juga ketika aku harus pergi dari kehidupan Am yang aku cintai namun tak bisa aku miliki, aku pun terluka namun tak terasa separah ini.
Saat Zai pergi meninggalkan ku yang sudah terlanjur bahagia hidup dengannya, justru terasa teramat sangat sakit.
Dengan Zai aku merasakan cinta ku terbalas, dan merasa bahagia bisa melewati hari-hari dengan orang yang aku cintai dan juga mencintai ku. Namun akhirnya ia menghilang, dan itu jauh lebih menyakitkan dari pada cinta yang tak terbalaskan.
Kini hati ku semakin rapuh. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus kemana.
Jika terus berada disini, di perkebunan ini, aku akan semakin terluka. Karena terlalu banyak kenangan yang tercipta disini. Terlalu banyak kenangan yang Zai tinggalkan disini. Aku tidak bisa begitu saja melupakannya, meski telah setahun lebih ia pergi.
Aku tidak bisa membenci Zai, karena aku sadar, biar bagaimana pun hubungan kami jelas tidak akan pernah ada ujungnya.
Hubungan terlarang kami jelas tidak akan mendapat restu dari siapa pun. Dan Zai berhak menentukan jalan hidupnya sendiri dan juga menemukan kebahagiaannya sendiri.
Aku sadar, sekali pun kami saling mencintai, hubungan kami tetap harus berakhir.
Namun aku hanya berharap semoga Zai benar-benar telah menemukan kebahagiaannya.
Aku memutuskan untuk pergi dari perkebunan sawit yang penuh dengan kenangan indah itu. Bukan karena aku membenci segala yang pernah terjadi disana. Tapi karena aku ingin menata hidup ku kembali, hidup yang pernah aku lalui dengan sebuah kesalahan
Ya, biar bagaimana pun hubungan ku dengan Zai adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan yang indah. Hubungan ku dengan Zai adalah dosa terindah dalam perjalanan hidup ku.
Saat ini aku hanya tidak tahu harus melangkah kemana dan harus mulai dari mana lagi.
Satu-satu nya tujuan yang aku punya saat ini, hanya lah pulang.
ya, mungkin aku memang harus kembali ke kampung halaman ku.
Bertemu kembali dengan keluarga ku yang sudah pasti telah menunggu ku.
Meski tentu nya disana, aku akan bertemu kembali dengan Hafis, cinta pertama ku.
Tapi itu semua bagi ku telah berlalu, aku yang sekarang adalah aku yang baru.
Semoga saja di kampung halaman ku nanti, aku bisa menjadi manusia yang jauh lebih baik.
Ya, semoga saja!
*****
Diperjalanan
pulang aku berkenalan dengan seorang pemuda, namanya Hans. Ia seorang
pemuda yang sangat tampan, meski sedikit kurus. Kulitnya putih bersih
dan terawat. Seperti nya ia anak orang kaya. Menurut cerita Hans, ia
sekarang sedang kuliah.Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih