Ini pertama kali saya pergi ke kebun. Kebun sawit milik ayah, cukup luas. Kebun itu berada di sebuah desa tak seberapa jauh dari kota tempat saya tinggal. Kebetulan ayah sedang ada kerjaan di luar kota, untuk itu ayah meminta saya untuk menengok kebun nya, kebetulan saya sedang libur kuliah. Sampai disana saya disambut oleh pak Darman, orang kepercayaan ayah untuk mengelolah kebunnya.
"eh, mas Aji.." kata pak Darman menjabat tangan saya, "tumben mas ke kebun..." lanjutnya.
Saya sudah cukup kenal dengan pak Darman, karena beliau sering datang kerumah, jika ada hal tentang kebun yang ingin dibicarakannya dengan ayah.
"iya, nih. Pak Darman.." jawab saya, setelah melepaskan tangannya, "disuruh ayah, soalnya ayah lagi diluar kota." lanjut saya menjelaskan. Pak Darman hanya tersenyum manggut-manggut. Saya tak begitu paham dengan kebun sawit, karena saya memang kurang suka. Saya juga tidak tahu, apa yang ayah lakukan jika ia ke kebun.
"eh, mas Aji.." kata pak Darman menjabat tangan saya, "tumben mas ke kebun..." lanjutnya.
Saya sudah cukup kenal dengan pak Darman, karena beliau sering datang kerumah, jika ada hal tentang kebun yang ingin dibicarakannya dengan ayah.
"iya, nih. Pak Darman.." jawab saya, setelah melepaskan tangannya, "disuruh ayah, soalnya ayah lagi diluar kota." lanjut saya menjelaskan. Pak Darman hanya tersenyum manggut-manggut. Saya tak begitu paham dengan kebun sawit, karena saya memang kurang suka. Saya juga tidak tahu, apa yang ayah lakukan jika ia ke kebun.
Sesampainya saya di perumahan tersebut, saya menuju ke salah satu rumah yang paling ujung, saya hanya ingin menumpang istirahat sejenak. Waktu itu hari masih sekitar jam 10 pagi, para pekerja masih berada di kebun, untuk bekerja. Rumah-rumah mereka semuanya tertutup, kecuali rumah paling ujung. Untuk itu saya segera menuju kesana.
Saya mencoba mengucapkan salam, ketika telah sampai di depan pintu. Namun belum sempat saya menyelesaikan ucapan salam, seorang pemuda muncul di ambang pintu. Pemuda itu tersenyum ramah, ia hanya memakai baju singlet putih dan celana pendek. Badannya terlihat kekar dan gagah. Tiba-tiba saya merasa jantung saya berdegup cukup kencang. Sambil berusaha membalas senyum pemuda itu.
"ada apa, mas Aji?" tanya pemuda itu kemudian. Saya tidak tahu, dari mana ia tahu nama saya, mungkin pak Darman udah cerita, pikir saya.
"kamu gak kerja?" tanya saya akhirnya, berusaha mengatasi rasa grogi yang tiba-tiba saya rasakan.
"oh. belum, mas Aji." jawabnya, "saya kan tukang panen, mas. Jadi kerja nya nanti siang, jam 1 atau jam 2." lanjutnya menjelaskan.
Saya manggut-manggut. Kemudian berujar, "saya boleh numpang istirahat sejenak disini?"
"ya, silahkan, mas. Masuk aja..." balasnya.
"kamu sendirian aja disini?" tanya saya lagi.
"gak, sih, mas. Saya bersama dua orang lainnya. Tapi sekarang mereka lagi kerja di kebun."
"perumahan emang sunyi seperti ini ya?" saya bertanya lagi, sambil melangkah masuk.
"ya, mas. Soalnya kalau jam segini, anak-anak pada sekolah semua. Bapak-bapaknya dikebun dan para Ibu-ibu biasanya ke pasar atau ikut ke kebun." jelasnya cukup panjang.
"istirahat di kamar aja, mas Aji.." Pemuda itu berujar lagi. Setelah melihat saya hanya berdiri di ruang tengah. Rumah itu cukup luas dengan satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur serta terdapat kamar mandi di begian belakang. Antara rumah satu dengan rumah lainnya saling berdempetan. Meski terbuat dari papan, rumah-rumah itu cukup kokoh dan rapi.
Saya pun masuk ke kamar tidur, di dalam tidak ada ranjang. Hanya terdapat dua buah kasur tersusun rapi.
"maaf ya, mas Aji. Kamarnya berantakan. Maklum, kami bertiga tinggal disini, belum ada yang berkeluarga. Jadi masih bujang semua, sehingga rumah beserta isinya agak berserakan.." pemuda itu berujar lagi.
"oh, gak apa-apa. Saya hanya mau tiduran sebentar." balas saya, sambil saya langsung duduk di atas kasur.
"mas, mau saya ambilkan minum?" tanyanya lagi.
"oh. gak usah..." pemuda itu masih berdiri di ambang pintu kamar.
"oh, ya. Nama kamu siapa?" tanya saya kemudian.
"Saya Arlan, mas. Saya udah hampir setahun bekerja jadi tukang panen disini." jawabnya.
"kamu gak usah berdiri aja. Kamu duduk disini saja, temanin saya ngobrol." ucap saya selanjutnya.
Pemuda itu, Arlan, melangkah masuk. Namun sebelum ia masuk, saya memintanya untuk menutup dan mengunci pintu kamar. Dengan sedikit ragu, Arlan melakukannya.
Arlan duduk disamping saya agak jauh. Darah saya berdesir menatap Arlan yang begitu kekar. Meski pun kulit Arlan tergolong hitam, namun wajahnya sangat manis. Saya merasa tidak bosan menatap wajah itu. Hasrat saya tiba-tiba muncul seketika, melihat Arlan yang hanya memakai singlet dan celana pendek itu. Apalagi cuaca saat itu mendung dan udara terasa dingin, ditambah pula suasana begitu sunyi. Pikiran saya mulai menerawang, membayangkan tubuh Arlan dalam pelukan saya.
"mas, mau saya pijitin...?" tanya Arlan tiba-tiba, membuyarkan lamunan saya. Saya menatapnya cukup lama, berpikir, mungkinkah Arlan juga punya pikiran yang sama dengan apa yang barusan saya hayalkan. Saya tersenyum, "boleh. Kalau Arlan tak keberatan.." balas saya akhirnya.
"ya udah, mas buka aja pakaiannya.." ucap Arlan lagi. Saya kemudian mulai membuka pakaian saya satu persatu, kecuali celana dalam.
"mas tengkurap, ya.." Arlan berujar lagi, setelah cukup lama menatap saya yang sudah setengah telanjang. Saya segera tengkurap, dan Arlan pun mulai memijat bagian kaki saya. Jujur saya merasa pijatan Arlan cukup enak. Tekanannya terasa. Mungkin karena Arlan bekerja sebagai tukang panen, sehingga tenaganya sangat kuat.
Selesai memijat bagian kaki dan paha saya, Arlan berpindah ke bagian punggung saya. Lalu kemudian meminta saya untuk telentang dan ia pun mulai memijat bagian kaki saya lagi. Memijat bagian tangan saya, kemudian melanjutkan ke bagian dada dan perut saya. Saya menikmati setiap sentuhan Arlan dibagian tubuh saya. Arlan sangat cekatan. Saya merasa nyaman dan rileks.
"kulit mas Aji, putih dan bersih sekali.." Ucap Arlan, ketika ia mengurut bagian perut saya. "Badannya juga bagus, perut mas Aji sangat six pack, dadanya bidang.." lanjutnya, yang membuat saya merasa tersanjung dan tersenyum menatapnya.
Hampir setengah jam Arlan memijit tubuh saya, ia mulai berkeringat. Karena merasa gerah, Arlan pun membuka baju singletnya.
Saya terkesima meliaht Arlan yang bertelanjang dada tersebut. Dadanya terlihat bidang, perutnya six pack, otot-otot lengannya terlihat jelas.
Tiba-tiba saja saya merasa bergairah. Sentuha-sentuhan tangan Arlan membuat gairah saya semakin tak tertahankan.
Arlan masih terus memijat bagian dada dan perut saya. Lalu kemudian ia berpindah untuk memijat tangan saya. Arlan terlihat serius dan fokus melakukan pijatannya.
Saat Arlan memijat bagian lengan saya, ia entah sengaja, atau memang tehnik memijatnya seperti itu, meletakkan telapak tangan saya, tepat diatas pahanya.
Paha itu memang masih terbalut celana pendek kaos tipis, tapi tetap saja saya bisa merasakan kehangatannya.
Cukup lama Arlan melakukan gerakan itu, hingga membuat saya tidak tahan untuk mengelus pahanya.
Perlahan saya pun mengelus paha itu. Arlan seperti membiarkan saya melakukannya, yang membuat saya, justru semakin berani.
Saya terus mengusap paha itu, hingga celana pendek Arlan tersingkap keatas.
Hal itu tentu saja, membuat telapak tangan saya, menyentuh langsung kulit paha Arlan yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
Pah itu terasa hangat, bulu-bulunya membuat saya semakin bernafsu. Sementara Arlan masih terus mengurut lengan saya dengan lembut.
Karena merasa sudah tak tahan, saya pun dengan cukup berani, mengarahkan tangan saya ke daerah sensitif milik Arlan.
Merasakan hal itu, Arlan sedikit terperanjat. Ia spontan menghentikan pijatannya. Lalu menatap saya cukup lama. Saya pun tersenyum mambalas tatapan Arlan.
"mas Aji, mau apa?" tanya Arlan terdengar lugu.
Untuk sesaat saya hanya terdiam. Saya bingung mau menjawab apa. Tapi repleks, saya pun bangkit untuk duduk. Saya duduk pas berada di depan Arlan. Wajah Arlan berada sangat dekat dengan wajah saya. Jantung saya pun kembali bergemuruh saat itu.
Saya tatap wajah itu penuh perasaan.
"saya.... saya ingin kamu..." ucap saya akhirnya dengan suara bergetar menahan gejolak.
"mas Aji, ingin saya bagaimana?" Arlan bertanya lagi, sambil sedikit menunduk, menghindari tatapan saya.
Saya tidak tahu, apa Arlan berpura-pura lugu, atau sebenarnya ia merasa takut, karena ia tahu, bahwa saya adalah anak dari pemilik kebun sawit ini.
Tidak tahu harus menjelaskan apa, saya pun akhirnya memegang dagu Arlan dan mengangkat wajahnya keatas, lalu dengan perlahan saya pun mendekatkan bibir saya dengan bibir Arlan.
Kali ini, Arlan terperanjat lagi, tapi segera ia memejamkan mata.
Bibir saya akhirnya menyentuh bibir Arlan. Saya merasakan tubuh Arlan bergetar. Entah karena merasa kaget, atau justru karena merasa tidak nyaman.
Saya juga tidak begitu mempedulikan hal tersebut, yang saya rasakan hanyalah rasa nikmat yang luar biasa dari bibir Arlan.
Dengan pelan, saya pun mulai melumat bibir tipis milik Arlan, menghisapnya dengan nikmat dan mencoba memasukkan lidah saya ke dalam mulut Arlan, yang masih tertutup rapat.
Sementara Arlan hanya terdiam, tanpa reaksi apa-apa.
Sampai akhirnya tangan saya, merangkul tubuhnya dan mendekap erat tubuh kekar itu.
Sejenak Arlan membuka mata, lalu dengan repleks mendorong tubuh saya.
Saya merasa cukup kaget. Tapi Arlan semakin menjauhkan tubuhnya. Bergerak mundur, lalu berdiri dengan perlahan.
"maaf, mas Aji. Saya tidak bisa....... saya........ saya.. merasa geli...." begitu ucap Arlan, ketika ia sudah berdiri, dengan suara sedikit terbata.
Saya merasa tertohok. Bibir saya kelu tiba-tiba.
Gairah saya yang sudah terlanjur memuncak, tidak bisa menerima ucapan Arlan barusan.
Saya menarik napas panjang, mencoba menahan segala gejolak birahi saya. Tapi gairah saya, justru semakin tertantang untuk dilampiaskan.
Namun saya juga tidak mungkin memaksa Arlan, untuk melayani birahi saya.
Meski akhirnya saya sadar, jika Arlan tidaklah seperti yang saya pikirkan sejak tadi. Ia laki-laki normal. Semua yang terjadi barusan, hanyalah mungkin, karena ia merasa tidak enak hati, untuk menolak keinginan dari anak pemilik kebun ini.
Beberapa saat, saya masih mematung. Menarik napas panjang sekali lagi, lalu menghempaskannya perlahan. Saya merasa sudah terlanjur malu di depan Arlan.
Namun saya tidak kehabisan akal. Bahkan jika perlu, saya akan menggunakan kekuasaan saya, sebagai anak pemilik kebun sawit ini, untuk bisa menikmati tubuh kekar milik Arlan.
Saya pun akhirnya berdiri. Saya berdiri tepat dihadapan Arlan. jarak kami tidak lebih dari setengah meter. Arlan mencoba mundur, tapi tubuhnya terbentur dinding kamar, yang membuat ia harus terhenti.
Saya terus melangkah mendekat.
Arlan terlihat panik, tapi saya tidak peduli. Saya hanya ingin merasakan dan menikamati tubuh kekar itu. Saya sudah terlanjur bergairah. Arlan benar-benar membuat saya bernafsu.
Saya bahkan hampir kehilangan akal sehat saya waktu itu. Birahi saya sudah memuncak, saya harus menyalurkannya segera.
Saya sudah berdiri kembali di hadapan Arlan, sangat dekat. Namun Arlan dengan spontan kembali mendorong tubuh saya, agar menjauh.
"jangan mas Aji...!" mohon Arlan, terdengar sedikit menghiba.
Saya memegangi tangan Arlan yang mencoba mendorong saya.
"kalau kamu tetap tidak mau, saya akan minta pak Darman untuk memecat kamu dari sini...!" kalimat ancaman itu akhirnya keluar juga dari mulut saya.
Saya sendiri hampir tidak percaya, mendengarkan ucapan saya sendiri.
Arlan bahkan terlihat sangat kaget mendengar hal itu, raut wajahnya terlihat pucat tiba-tiba.
"tapi saya gak bisa, mas. Saya.... tidak pernah melakukan hal seperti ini..." ucap Arlan akhirnya dengan masih terbata. "tadi saya berniat memijat mas, karena mas Aji kelihatan capek dan sedikit lesuh. Saya tidak ada maksud apa-apa. Tolong saya, mas Aji. Jangan lakukan hal ini sama saya. Saya sangat butuh pekerjaan ini...." Arlan terus berbicara panjang lebar, suaranya semakin terdengar menghiba.
Terus terang, saya pun merasa iba melihat Arlan seperti itu, namun saya juga tidak bisa lagi menahan segala hasrat saya saat itu. Yang saya inginkan hanyalah menikmati tubuh kekar Arlan, tak peduli apa pun caranya.
"justru karena kamu belum pernah melakukannya, biarkan saya mendapatkan keperjakaanmu, Arlan!" saya berucap lagi, kali ini terdengar semakin jahat.
"nanti saya kasih kamu uang yang banyak, asal kamu mau melayani saya sekarang..." saya melanjutkan lagi, mencoba memberi tawaran kepada Arlan.
Arlan kembali terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.
Saya tahu, posisi Arlan serba sulit. Ia pasti sangat takut kehilangan pekerjaannya. Namun sebagai laki-laki normal, tentu saja ia merasa jijik dan geli untuk berhubungan badan dengan saya.
Tapi sekali lagi, saya sudah tidak peduli dengan hal itu. Saya sudah benar-benar bernafsu dan bergairah. Dalam pikiran saya saat itu, hanyalah ingin menjamah tubuh kekar milik Arlan yan sudah berada di depan mata saya.
Setelah cukup lama Arlan terdiam dan berpikir. Ia pun berucap,
"baik..... baiklah, mas Aji. Saya mau. Asal saya dikasih uang, dan tolong jangan ceritakan kepada siapa pun tentang hal ini. Suara Arlan terdengar bergetar.
Saya pun tersenyum penuh kemenangan, sambil melangkah kian mendekat. Saya tahu, Arlan tak akan berani menolak saya. Hati saya bersorak ria. Birahi saya pun kembali bergejolak.
"tapi saya belum pernah melakukan hal ini, mas Aji. Apa lagi dengan sesama lelaki." Arlan berujar, ketika saya hendak menyentuh dadanya. "saya tidak tahu harus melakukan apa..." lanjutnya, yang membuat saya tersenyum senang.
"kamu nikmati aja apa yang saya lakukan sama kamu..." ucap saya membalas, sambil saya mulai merapatkan tubuh saya ke tubuh atletis milik Arlan.
Saya mulai lagi menciumi bibir Arlan, saya melumat bibir itu dengan penuh nafsu, saya mencoba menembus mulut Arlan yang tetap tertutup itu dengan lidah saya.
Namun Arlan tak kunjung membalas setiap lumatan saya di bibirnya.
Saya tahu, Arlan berusaha menahan rasa jijik dan rasa gelinya. Ia terlihat memejamkan mata dan menahan nafas.
Saya juga tahu, tidak akan mudah bagi saya, untuk membuat Arlan bergairah. Untuk itu, tangan saya pun mulai merayap ke bawah. Menyentuh kembali bagian sensitif milik Arlan.
Tubuh Arlan bergetar kembali. Keringat dingin membasahi dada bidangnya.
Ketika tangan saya sudah berada di dalam celana pendek milik Arlan, saat itulah tiba-tiba saya mendengar suara gaduh di luar.
Ternyata para pekerja telah kembali dari kebun, suara mereka terdengar ramai berbincang-bincang. Hala itu tentu saja membuat saya kaget. Saya pun spontan menghentikan tindakan saya terhadap Arlan. Saya melirik jam di dinding kamar, sudah hampir jam dua belas siang.
Tentu saja, ini adalah jam istirahat para pekerja.
Tak lama kemudian, saya mendengar suara pintu rumah terbuka. Saya pun dengan repleks memungut kembali pakaian saya yang berserakan, demikian juga Arlan. Kami memakai pakaian dengan tergesa.
Saya menyuruh Arlan untuk membuka pintu kamar, lalu saya berbaring berpura-pura tidur.
Dua orang teman Arlan hendak masuk ke dalam kamar, namun mereka kembali mundur, melihat saya yang sedang tertidur.
Siang itu saya gagal menikmati tubuh kekar milik Arlan. Namun hal itu justru membuat saya semakin penasaran.
Saya akan berusaha melakukan apa saja, untuk bisa mendapatkan Arlan. Saya akan mengatur waktu dan tempat yang tepat, agar saya bisa lebih leluasa menikmati tubuh kekar Arlan.
(Bersambung...)
Sambung ceritanya ma
BalasHapuslanjuuttt mas
BalasHapus