Panggil aku Def.
Dan aku adalah pacarnya bang Jhon.
Sudah tiga tahun kami menjalin hubungan asmara. Hubungan yang sangat istimewa bagiku. Meski aku harus berbagi dengan istri dan juga anak-anaknya.
Namun bang Jhon tak pernah membuat aku kecewa. Dia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Aku sangat bahagia dengan semua itu.
Cinta kami terlalu indah. Cinta kami terasa begitu sempurna Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, untuk mempertahankan sebuah hubungan. Apa lagi hubungan terlarang seperti hubungan kami.
Bukan saja karena bang Jhon sudah punya istri dan anak, tapi juga karena kami sama-sama lelaki.
Tapi begitulah cinta, ia datang tanpa diundang. Ia tumbuh tanpa bisa memilih kepada siapa ia harus jatuh. Dan aku merasa beruntung, bisa bertemu dengan bang Jhon. Aku merasa beruntung, karena cintaku berbalas.
Tiga tahun hubungan kami, tanpa ada kendala yang berarti. Namun sekarang, seakan batu sandungan itu mulai berdatangan.
Berawal dari keinginan kedua orangtuaku, untuk segera melihat aku menikah. Karena secara ekonomi, kehidupanku memang sudah cukup mapan. Aku bahkan sudah punya rumah sendiri.
Sebenarnya ini bukan kali pertamanya, Ibu dan Ayah meminta aku untuk segera menikah. Mereka sudah teramat sering mempertanyakan hal tersebut. Begitu juga dengan semua keluarga besarku.
Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, aku memang dituntut untuk segera menikah. Apa lagi saat ini, usiaku sendiri sudah genap 31 tahun Usia yang seharusnya sudah sangat matang.
Adik perempuanku yang nomor dua, bahkan sudah punya dua anak dari hasil pernikahannya, tujuh tahun yang lalu. Sedangkan adik laki-laki ku yang bungsu, sekarang sudah punya tunangan.
"Ibu masuk rumah sakit lagi, Mas..." suara serak adik perempuanku di telpon. "ini sudah yang ketiga kalinya, Ibu masuk rumah sakit, selama sebulan ini..." lanjut adikku lagi.
"Ibumu gak minta banyak sama kamu, Def..." suara ayahku, menyambung pembicaraan adikku. "ia hanya ingin melihat kamu segera menikah.." lanjut ayahku lagi.
Terus terang, ini semua cukup berat bagiku. Di satu sisi, aku sangat mencintai bang Jhon, dan tak ingin berpisah dengannya.
Namun di sisi lain, kewajibanku sebagai seorang anak, adalah menuruti keinginan orangtuaku. Dan terlepas dari itu semua, sebagai laki-laki, tentunya aku memang harus menikah.
"mungkin saja, ini adalah permintaan terakhir Ibumu, Def. Ayah harap kamu mau memikirkan hal ini secepatnya..." suara parau ayahku terdengar lagi, yang membuatku semakin terpukul.
"kalau kamu terlalu sibuk untuk mencari pasanganmu sendiri. Kami sudah ada jodoh buat kamu di kampung. Dia perempuan yang baik, dan juga berasal dari keluarga baik-baik. Tapi kalau kamu memang sudah punya calon kamu sendiri, kami tidak akan pernah mempermasalahkannya. Yang penting kamu segera menikah. Itu saja..." ayahku melanjutkan lagi kalimatnya.
Kalau soal wanita, terus terang, sampai saat ini aku masih bisa memilih dengan siapa aku ingin menikah. Ada beberapa wanita yang aku yakin mau menjadi istriku.
Seperti Lila, misalnya, teman kerjaku, yang sudah sejak lama menyukaiku. Dia gadis yang cantik dan juga sangat baik padaku. Atau si Adel, teman kuliahku dulu, yang sampai saat ini masih terus menghubungiku.
Tapi bukan itu persoalannya. Aku memang tidak ada rasa kepada wanita. Apa lagi saat ini, hatiku sudah dipenuhi oleh cintaku kepada bang Jhon. Andai saja bisa memilih, aku hanya ingin menikah dengan bang Jhon. Sekalipun harus jadi istri kedua, aku rela.
"gimana, Def? kamu sudah punya jawabannya?" seminggu kemudian keluargaku menelpon lagi, kali ini Ibuku yang berbicara. Beliau memang sudah keluar dari rumah sakit, tapi beliau masih harus dirawat secara intensif di rumah dan harus menjalani pemeriksaan rutin ke rumah sakit.
"beri aku waktu lagi ya, Buk. Aku harus pikirkan ini lebih matang lagi..." jawabku seadanya.
Selama ini aku memang selalu punya alasan untuk menjawab setiap pertanyaan tentang menikah, terutama kepada keluargaku. Namun sekarang kondisinya sudah sangat berbeda.
Sekarang aku sudah berusia kepala tiga, sudah punya pekerjaan tetap, dan ditambah lagi keadaan Ibuku yang dalam keadaan sakit. Aku tidak punya banyak alasan lagi untuk tidak segera berumah tangga, seperti yang diinginkan keluargaku.
"Ibuku sakit parah, bang. Dan satu-satunya keinginannya saat ini adalah melihat aku menikah..." begitu ucapku pada bang Jhon, pada suatu ketika. Saat kami bertemu lagi di rumahku, untuk yang kesekian kalinya.
"keluargaku sangat ingin aku segera menikah, bang. Mereka bahkan sudah punya jodoh untukku di kampung..." lanjutku lagi dengan nada hati-hati.
"boleh kan, bang? aku menikah?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama bang Jhon hanya terdiam tanpa reaksi.
Aku sudah cukup hafal tabiat bang Jhon. Jika ia diam, berarti ia tidak setuju dengan apa yang akan aku lakukan. Tapi aku harus meyakinkan bang Jhon, bahwa ini semua aku lakukan hanya demi menyenangkan orangtuaku.
"aku tidak mengizinkan kamu menikah.." suara bang Jhon terdengar lantang di telingaku.
"tapi aku harus, bang..." jawabku masih berusaha untuk berucap hati-hati.
"aku tidak mengizinkannya..." ucap bang Jhon lagi, nada suaranya semakin tegas.
Aku tahu bang Jhon. Ia orang yang tegas. Jika ia sudah memutuskan, maka tiada siapapun yang bisa mengubahnya.
"aku mohon abang mengerti untuk kali ini, bang. Aku gak punya alasan lagi, untuk menolak permintaan kedua orangtuaku..." suaraku cukup pelan. Aku takut bang Jhon benar-benar marah.
"pokonya kalau kamu menikah, kita putus!" bang Jhon berujar sambil ia berdiri dan memunggungiku.
"abang egois..." kali ini suaraku cukup lantang.
"kamu yang egois!" balas bang Jhon, tak kalah lantangnya.
"abang yang egois. Abang punya istri, punya anak, saya gak ada masalah..." ucapku lagi cukup berani.
"saya menikah dan punya anak, jauh sebelum kita saling kenal dan berhubungan..." kelit bang Jhon.
"tapi tetap saja, itu artinya abang egois. Kalau abang bisa punya keluarga sendiri, kenapa aku gak?" kali ini emosiku mulai naik perlahan.
"tapi aku tetap tak ingin kamu menikah!" tegas lagi suara itu.
"kalau begitu ceraikan istri abang!" balasku berusaha lebih tegas.
"kamu jangan main-main ya, Def!" bang Jhon memutar tubuhnya menatapku tajam.
"saya gak main-main, bang. Kalau abang tidak mengizinkan aku menikah, abang harus ceraikan istri abang, dan kita tinggal serumah disini.." aku memberanikan diri menatap mata tajam itu.
"kamu pikir segampang itu?!" mata kami masih saling tatap.
"dan gak segampang itu juga bagi saya untuk menolak keinginan keluargaku.." balasku sengit.
"terserah kamu ya, Def! Pokoknya aku tak izinkan kamu menikah! Kalau kamu tetap menikah, jangan berharap kita bisa bertemu lagi..." setelah berucap demikian, bang Jhon melangkahkan kakinya keluar rumah, lalu segara pergi dengan membawa motornya ke jalan raya.
Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Aku benar-benar bingung. Aku benar-benar belum siap harus kehilangan bang Jhon. Ia terlalu berarti bagiku.
********
"saya terima nikahnya, Aida Nurafriani binti Abdul Syuef dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai..." begitu ijab kabul yang aku ucapkan akhirnya, setelah dengan sangat terpaksa aku harus menerima perjodohanku dengan pilihan orangtuaku.
Tidak mudah bagiku untuk mengambil pilihan ini. Hatiku terasa sangat sakit menjalaninya. Pernikahanku berlangsung sangat sederhana. Aku tak ingin ada pesta yang berlebihan. Pernikahan ini murni hanya keinginan orangtuaku, bukan keinginanku.
Setelah pertengkaran hebatku dengan bang Jhon, aku memang tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku juga tidak berani menghubunginya. Dan sepertinya bang Jhon pun tidak berniat untuk menghubungiku. Hubungan kami berakhir begitu saja.
Tapi aku masih berharap untuk bisa bertemu lagi dengan bang Jhon. Aku yakin, bang Jhon cukup bijak untuk bisa menerima pilihanku.
Setelah hampir dua minggu berada di kampung dan melangsungkan pernikahan serta menyelesaikan segala tetek bengeknya, aku akhirnya harus kembali ke kota. Karena jatah cutiku hanya sepuluh hari.
Aku kembali ke kota bersama istriku. Kami sudah sepakat untuk tinggal di rumahku di kota. Karena memang aku harus bekerja disana. Sementara istriku harus meninggalkan pekerjaannya di kampung, sebagai seorang guru TK.
Kembali ke rumah ini rasanya begitu pilu. Terlalu banyak kenangan yang terjadi di sini. Terlalu banyak kenangan indahku bersama bang Jhon disini.
Rasanya hatiku begitu sakit bila mengingat itu semua.
Aku berusaha menjalani kehidupanku sebagai seorang laki-laki secara normal. Menjadi seorang suami dan melayani istriku.
Tidak mudah memang, harus berpura-pura setiap harinya. Berpura-pura bahagia. Berpura-pura menyayangi. Tapi aku memang harus belajar. Setidaknya aku harus menjalani tanggungjawabku sebagai seorang suami dan sebagai seorang ayah nantinya.
Enam bulan kemudian, istriku pun hamil. Entah mengapa ada rasa bangga menyelinap dihatiku mendengar kabar itu. Ternyata meskipun aku seorang gay, aku masih bisa punya keturunan.
Aku berharap jika anakku lahir kelak, dan jika ia seorang laki-laki, dia terlahir sebagai laki-laki normal. Aku tak ingin anakku kelak merasakan hal yang sama seperti diriku.
Enam bulan berlalu, namun perasaanku masih sama. Aku masih belum bisa mencintai istriku. Meskipun akhirnya ia hamil, itu bukan karena aku mencintainya. Tapi karena itu memang sudah menjadi tugasku sebagai seorang suami.
Enam bulan, aku masih saja merindukan bang Jhon. Berharap ia datang dengan cintanya kembali. Berkali-kali aku coba meghubunginya, namun nomornya tak pernah aktif.
Sepertinya bang Jhon memang sengaja menghilang dari kehidupanku. Sepertinya ucapan yang ia ucapkan waktu itu, memang ia tepati.
Tapi semudah itukah bang Jhon melupakanku?
Secepat itukah ia menghapus namaku di hatinya?
Tidak pernahkah ia merindukanku sekalipun?
Tidak terbersitkah dihatinya untuk bertemu denganku lagi?
Dan aku tak bisa menemukan jawaban dari semua pertanyaan itu. Karena hatiku sendiri tidak yakin, kalau aku akan bertemu dengan bang Jhon lagi.
***************
Beberapa bulan kemudian, istriku pun melahirkan anak pertama kami. Seorang bayi perempuan.
Syukurlah. Bathinku. Setidaknya kelak ia tidak akan mengalami apa yang aku alami.
Istriku melahirkan di rumah sakit. Dan di rumah sakit itulah, akhirnya aku bertemu dengan bang Jhon. Setelah lebih dari setahun aku tidak bisa melihat wajah indah itu.
"istriku terkena leukimia kronis. Sudah sejak lama, sudah bertahun-tahun. Mungkin ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Karena aku tidak punya uang yang cukup untuk pengobatannya." begitu penjelasan bang Jhon padaku, setelah perbincangan basa-basi kami diawal.
"ini sudah kesekian kalinya ia harus masuk rumah sakit..." lanjut bang Jhon, wajahnya terlihat muram.
Aku merasa prihatin melihat kondisinya.
"aku ingin menjelaskan sesuatu sama kamu, Def." ucap bang Jhon lagi. Kami duduk di dalam sebuah kafe, di depan rumah sakit. "aku tahu, kamu pasti marah padaku, dan bahkan mungkin membenciku. Tapi asal kamu tahu, satu-satunya alasan aku tidak setuju kamu menikah, adalah karena aku tidak ingin kamu mengalami apa yang aku rasakan. Pernikahan tanpa cinta itu, tidak akan ada bahagianya. Pernikahan yang penuh kepalsuan seperti yang aku jalani, hanya akan membuat bathin semakin tersiksa." bang Jhon menghembuskan napas panjang.
"aku menikah dengan istriku bukan karena aku mencintainya, tapi karena kodratku sebagai seorang laki-laki yang harus punya pasangan hidup. Setidaknya di depan orang-orang kita masih terlihat normal. Namun pernikahan tanpa cinta itu, ternyata sangat menyiksaku. Bertahun-tahun aku hidup dalam kepalsuan, dalam kepura-puraan. Entah berapa banyak orang-orang yang aku tipu, terutama keluargaku. Tapi nyatanya aku memang tidak bahagia." bang Jhon menghentikan kalimatnya, lalu menghirup minuman dingin yang ia pesan.
"hingga akhirnya aku bertemu dengan kamu. Hidupku terasa berubah tiba-tiba. Hidupku terasa lebih bermakna dan penuh kebahagiaan. Namun disatu sisi, aku merasa bersalah kepada istriku. Perasaan bersalah yang terus menerus menghantuiku setiap saat. Dan aku tak ingin kamu juga merasakan hal tersebut. Itu sebabnya aku menghilang dari hidupmu. Karena jika kita tetap berhubungan, akan semakin banyak orang-orang yang kita tipu. Dan tentu saja hal itu akan membuat penyiksaan yang teramat dalam kepada diri kita sendiri..." bang Jhon mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.
"iya, bang. Aku mengerti sekarang. Hidup yang jalani saat ini, terasa penuh kepalsuan. Aku tidak bahagia dengan pernikahanku. Dan aku tahu, istriku juga menyadari hal tersebut. Tapi ia terus berpura-pura semuanya baik-baik saja." ucapku akhirnya.
"istriku juga melakukan hal tersebut sepanjang pernikahan kami. Hingga akhirnya ia harus mengalami penyakit tersebut. Aku tahu, ia sudah berusaha untuk membuatku jatuh cinta padanya. Namun pada akhirnya ia sadar, bahwa usahanya tersebut, telah sia-sia. Dan sekarang ia harus berjuang melawan penyakitnya. Sementara aku tak pernah mampu memberinya semangat..." bang Jhon menghabiskan minuman terakhirnya.
"aku ingin kita bersama lagi, Def. Aku sangat mencintai kamu. Tapi tidak ingin kita bersama, namun kita masih berdampingan dengan istri kita masing-masing. Aku ingin kita bersama, tanpa ada siapapun di dalamnya. Hanya ada kita berdua. Aku harap kamu mau memikirkan hal ini lagi..." setelah berucap demikian, bang Jhon berdiri lalu segera ia keluar.
"seandainya istriku tidak terkena leukimia waktu itu, aku pasti sudah menceraikan istriku demi bisa hidup bersama kamu, Def. Aku harap kamu mengerti.." sebuah pesan singkat masuk ke handphone-ku tiba-tiba, sesaat setelah bang Jhon keluar dari kafe.
Aku trenyuh menyadari itu semua.
Tapi kenapa bang Jhon tidak berterus terang dari awal padaku?
Kenapa baru sekarang? Setelah semuanya terlanjur terjadi?
********
Sebulan kemudian, aku mendapat kabar, kalau istri bang Jhon akhirnya meninggal.
Aku hanya mengirim pesan singkat turut berduka cita pada bang Jhon. Akhir-akhir ini kami memang sering saling berhubungan melalui handphone. Meski kami tak pernah berjumpa lagi, sejak pertemuan kami di rumah sakit waktu itu.
Sebulan setelah kematian istrinya, bang Jhon mengajakku ketemuan. Kami bertemu di sebuah hotel, hanya untuk berjaga-jaga, agar tidak ada yang melihat kami berdua.
"aku sudah pikirkan permintaan abang. Dan aku sudah menceraikan istriku, ia membawa anak kamu kembali ke kampung." jelasku kepada bang Jhon. Setelah kami sudah berada di dalam kamar hotel.
"lalu bagaimana dengan orangtua kamu?" tanya bang Jhon, ia duduk di sampingku diatas ranjang hotel.
"mereka marah besar pastinya, meski mereka tidak tahu alasan apa yang membuat kami bercerai. Tapi setidaknya sekarang, mereka tidak pernah memaksaku untuk menikah lagi.." jawabku terdengar santai.
"lalu bagaimana dengan bang Jhon sendiri?" tanyaku melanjutkan.
"aku? aku sangat siap untuk hidup berdua dengan kamu, Def. Aku sangat siap untuk hidup serumah dengan kamu." jawab bang Jhon, dengan nada tegasnya yang khas.
"lalu bagaimana dengan anak-anak abang?" tanyaku lagi.
"kedua mertuaku masih sangat kuat untuk merawat mereka. Lagi pula mereka juga tidak percaya, jika anak-anak tetap denganku. Jadi sekarang aku benar-benar sendirian.." balas bang Jhon, kali ini lebih lembut.
Aku melingkarkan tanganku di tubuh bang Jhon. Tubuh itu masih terasa begitu hangat. Sehangat awal-awal kami pacaran dulu.
Bang Jhon mengecup lembut keningku. Kecupan itu terasa begitu indah, setelah hampir dua tahun, bang Jhon tak pernah lagi melakukan hal itu. Setelah hampir dua tahun kami terpisah.
Sekarang kami bersama lagi, tentu saja dengan keadaan yang jauh berbeda.
Sekarang kami sudah bisa tinggal serumah. Sekarang aku sudah bisa setiap hari bersama bang Jhon.
Sekarnag bang Jhon selalu bersamaku setiap malam. Tidak ada alasan lagi bagi bang Jhon untuk pergi.
Aku bisa menikmati dekapan hangatnya setiap malam, bahkan hingga pagi.
Kami sadar, ini salah. Kehidupan yang kami ini adalah sebuah kesalahan.
Tapi kami tidak ingin menyakiti siapapun lagi. Kami hanya ingin menjadi diri kami sendiri. Menjalani kehidupan seperti yang kami inginkan. Bukan seperti yang orang-orang ingin lihat.
Selagi kami tidak merugikan siapa pun, aku rasa tidak ada salahnya hidup serumah dengan orang yang kita cintai.
Sekalipun dunia menolak hubungan kami. Kami akan tetap bersama. Karena hanya itu satu-satunya yang membuat kami bahagia.
Meski kami sendiri tidak tahu, akan seberapa lama hubungan terlarang ini bertahan. Tapi selagi kami mampu, kami akan tetap bersama.
Kisah ini tidak bermaksud untuk memprovokator siapapun. Kami juga tidak membenarkan pilihan kami. Kami hanya ingin bersama.
Kami juga tidak berharap siapapun untuk mengikuti jejak kami. Karena cinta sesama jenis, memang tidak akan pernah ada ujungnya.
Namun saat kita punya kesempatan untuk bersama, maka jangan sia-siakan kesempatan itu. Sebelum akhirnya kita menyesali semua itu.
Sekian ...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih