Saya tinggal di sebuah daerah, yang boleh dibilang cukup ramai. Karena memang berada di pinggiran sebuah kota besar.
Di daerah tempat saya tinggal ini, terdapatlah sebuah rumah sakit.
Rumah sakit itu, sebuah rumah sakit swasta, yang tidak terlalu besar, namun cukup ramai di kunjungi.
Rumah sakit ini, kita sebut saja namanya rumah sakit amanah.
Di rumah sakit ini terdapat beberapa orang dokter dan juga perawat.
Saya tinggal di samping rumah sakit amanah, sudah sejak lama, bahkan sebelum rumah sakit amanah berdiri.
Sejak rumah sakit amanah berdiri, ibu saya sengaja membuka kantin di sana.
Saya, sebut saja nama saya, Randi, adalah seorang yatim. Ayah saya meninggal, saat saya masih berusia 15 tahun. Saya anak tunggal dan ibu saya sudah tidak pernah menikah lagi, sejak saat ayah saya meninggal. Dia berusaha membesarkan saya dan membiayai sekolah saya sendiri.
Sejak buka kantin, kehidupan kami mulai membaik, setidaknya kami selalu punya pemasukan setiap hari.
Saya sebelum berangkat kuliah, biasanya sering membantu ibu, untuk melayani pelanggan.
Hampir semua dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit amanah, mereka selalu sarapan di kantin kami. Kadang juga, mereka sering memanfaatkan jam istirahat kerja, untuk sekedar nongkrong dan minum-minum kopi di kantin. Ditambah lagi, biasanya banyak dari keluarga pasien, yang makan dan minum di kantin kami.
Ada seorang dokter baru, yang bekerja di rumah sakit amanah. Namanya dokter Adi Mulyono, biasa dipanggil dokter Adi.
Dokter Adi baru bekerja dua bulan waktu itu. Dia selalu sarapan di kantin kami, setidakya setiap hari ia piket. Untuk itu, saya sudah mengenalnya, meski tidak begitu dekat.
Dokter Adi mempunyai bentuk hidung yang sedikit mancung, bibirnya tipis namun terlihat seksi. Matanya teduh. Tubuhnya sedikit kurus, namun terlihat berotot.
Saya suka memperhatikan dokter Adi diam-diam. Selain tampan, dokter Adi juga terkenal sangat baik dan ramah. Dia cepat akrab dengan siapa saja.
Sebagai seorang dokter yang mempunyai wajah yang tampan, dokter Adi memang sering menarik perhatian, terutama dari para perawat perempuan yang masih lajang. Mereka sering terdengar membicarakan dokter Adi, ketika nongkrong di kantin.
Dokter Adi memang masih muda, kira-kira ia berumur sekitar 28 tahun. Dan yang paling penting dari semua itu, dia masih lajang.
Setahu saya, Dokter Adi mempunyai jadwal piket setiap hari sabtu dan minggu. Meski di hari-hari lainnya, beliau juga sering datang ke rumah sakit, terutama saat pasien sedang banyak.
Dokter Adi tinggal sangat jauh di kota, setidaknya ia harus menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam naik mobil, untuk sampai ke tempat ia bekerja. Karena itu, saat ia piket, dokter Adi biasanya menginap di rumah sakit.
Belakangan saya tahu, kalau dokter Adi juga sedang kuliah, untuk mengambil gelar s2-nya.
Hal itu membuat saya semakin mengagumi beliau.
Hingga pada suatu hari, saat itu saya sendirian di rumah. Ibu sedang pulang kampung, karena ada keluarga yang meninggal. Saya tidak bisa ikut karena harus kuliah dan menjaga kantin.
Tiba-tiba pada senja itu, dokter Adi datang ke rumah.
"saya boleh numpang mandi disini, ya?" ucap dokter Adi.
Saya setengah mengangguk, karena tak biasanya dokter Adi menumpang mandi di rumah kami.
"kamar mandi di rumah sakit sedang direnovasi..." lanjut dokter Adi menjawab tatapan keheranan saya.
"saya lembur malam ini, lagi banyak pasien. Saya malas pulang, jadi saya boleh numpang mandi disini, kan?" dokter Adi berujar lagi, melihat saya hanya terdiam.
"eh, iya. boleh, dok. Silahkan saja..." jawab saya akhirnya, dengan sedikit tergagap.
Dokter Adi masuk dan segera menuju kamar mandi yang berada di dapur.
Saat itu, saya mulai membayangkan hal-hal yang aneh. Dalam pikiran saya terlintas tubuh dokter Adi, yang sedang mandi. Namun segera saya menepisnya.
Sekitar lima belas menit kemudian, dokter Adi selesai mandi. Ia sudah memakai pakaiannya yang baru. Padahal saya berharap dokter Adi, keluar dengan handuk terlilit di pinggang dan telanjang dada. Lalu saya akan membawanya ia ke kamar untuk berganti pakaian.
Setidaknya saya akan bisa melihat dada dokter Adi yang selama ini, selalu tertutup bajunya.
Tapi ternyata harapan saya sia-sia. Karena dokter Adi sudah berganti pakaian di dalam kamar mandi.
"makasih, ya.." ucap dokter Adi membuyarkan lamunan saya
"eh, iya, dok..." jawab saya masih tergagap.
Entah mengapa, setiap kali berbicara dengan dokter Adi, saya selalu merasa salah tingkah dan selalu grogi. Mungkin karena saya memang menyukai dokter Adi, dan berharap untuk bisa mendapatkannya.
"tapi ngomong-ngomong, kamu kok sendirian di rumah? Bude mana?" tanya dokter Adi, ketika ia sudah duduk di salah satu kursi kantin. Bude itu panggilan akrab untuk Ibu saya.
Saya pun menjelaskan tentang kepergian Ibu, kepada dokter Adi.
Dokter Adi hanya mengangguk, kemudian berujar,
"saya pesan kopi dong, Ran. Seperti biasa, ya..."
"iya, dok." jawab saya cepat, lalu segera berdiri.
Hari sudah mulia gelap dan biasanya jam-jam begini, kantin memang akan sepi.
"dokter Adi menginap lagi di rumah sakit malam ini?" tanya saya berbasa-basi, sambil terus mengaduk kopi yang saya buat.
"sepertinya iya. Kalau udah lewat tengah malam, saya malas pulang." jawab dokter Adi, "lagi pula, kalau pulang, di rumah sepi, belum ada istri soalnya..." dokter Adi melanjutkan ucapannya dengan sedikit berkelakar.
"palingan cuma ada mama dan papa yang terus saja mendesak, untuk saya segera menikah..."
Saya tersenyum mendengar ucapan dokter Adi, sambil saya melangkah mendekati mejanya, untuk mengantar kopi.
"dokter Adi mengapa gak menikah saja.." saya berujar, dan meletakkan segelas kopi tersebut di depan dokter Adi.
Dokter Adi tidak menjawab, dia hanya tersenyum tipis, wajahnya tiba-tiba terlihat murung.
Melihat dokter Adi yang terdiam, saya memutar tubuh dan segera melangkah menuju kursi tempat saya biasa duduk. Berada sedikit jauh dari dokter Adi.
"bude pulang jam berapa?" tanya dokter Adi tiba-tiba, setelah ia menghirup kopinya beberapa kali.
"Ibu gak pulang malam ini, mungkin besok..." jawab saya.
"jadi kamu sendirian aja di rumah sampai besok?" dokter Adi bertanya lagi.
"iya..." jawab saya sambil mengangguk.
Suasana kembali hening. Dokter Adi terlihat menghirup kopinya lagi, beberapa kali.
Sampai kemudian ia berucap,
"saya boleh numpang menginap disini sekalian, gak?"
Spontan jantung saya berdetak. Maksud dokter Adi apa coba? Pakai acara menginap segala di rumah saya.
"di rumah sakit saya tidur kurang lelap, karena selalu ribut dan bising." dokter Adi pun melanjutkan kalimatnya, yang membuat saya segera membuang jauh-jauh baper saya yang tiba-tiba muncul.
"saya nanti selesai tugas, kira-kira jam 12 lewat. Kamu gak apa-apa, kan? nanti saya ketuk pintunya? gak ganggu, kan?" kali ini dokter Adi bertanya, sambil terus menatap saya dengan matanya yang teduh itu. Grogi saya datang lagi. Tapi segera saya menjawab,
"yah, gak apa-apa, dok. Boleh, kok. Malahan saya senang, jadi ada teman..." saya merasakan suara saya bergetar.
Dokter Adi tersenyum, kali ini lebih lebar.
"oke, makasih ya, sebelumnya. Saya mau kerja dulu ya..." ucap dokter Adi, ia lalu berdiri dan melangkah keluar. Setelah tentu saja meninggalkan selembar uang lima ribuan diatas meja.
Sejak dokter Adi, meninggalkan kantin. Pikiran saya mulai menerawang. Kira-kira apa yang terjadi ya? kalau saya tidur bareng dokter Adi? Segala pikiran kotor melintas di otak saya, hingga saya tidak tertidur sedetik pun, sampai jam 12.
************
Jam 12 teng!
Dada saya berdegup kencang tak karuan. Segala pikiran p*rno terus melintas di benak saya.
Kantin sudah saya tutup, bahkan jauh lebih cepat dari biasanya. Selain karena memang Ibu tidak di rumah, saya juga berharap, dengan menutup kantin, waktu akan lebih cepat bergulir.
Aneh! Pikir saay membathin. Mengapa juga saya jadi berpikiran macam-macam, ya? Padahal bisa saja dokter Adi, hanya sekedar menumpang menginap, tidak ada maksud apa-apa.
Tapi mengapa, sebagian hati saya, begitu yakin ya? Kalau dokter Adi, hanya modus untuk menginap di tempat saya.
Ahk.. saya menepis semua angan itu.
Saya menatap jarum jam di dinding kamar. Jarum jam itu bergerak sangat lambat di mata saya. Saya mencoba menarik napas dalam, sekedar menenangkan pikiran.
Jam 12 lewat 19 menit, saya memperhatikan jam di hp.
Tok! Tok! Tok!
Sebuah ketukan ringan terdengar di pintu depan. Hati saya bersorak senang. Yess!
Saya hendak berdiri, namun buru-buru saya berbaring kembali. Saya tak ingin dokter Adi curiga, kalau saya menunggu kedatangannya. Untuk itu, saya harus berpura-pura sudah tidur.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan terdengar lagi, sedikit lebih keras. Saya masih menahan diri. Dokter Adi harus yakin kalau saya benar-benar sudah tertidur.
Lama suasana hening. Saya tidak mendengar ketukan lagi. Yang terdengar justru suara raungan mobil dari kejauhan.
Saya mulai khawatir. Jangan-jangan dokter Adi, mengurungkan niatnya, karena saya yang tak kunjung bangun.
Merasa takut dokter Adi pergi, saya segara bangkit dan melangkah sedikit tergesa keluar kamar.
Tok! Tok1 Tok! Tok!
Langkah saya terhenti, karena kaget. Suara ketukan itu terdengar lebih keras.
Tapi kemudian saya melanjutkan langkah, membuka pintu dan saya lihat dokter Adi tersenyum sumringah.
Saya membalas senyum dokter Adi dengan senyum sekedarnya, berusaha berpura-pura baru terbangun, Saya bahkan berpura-pura menguap.
"maaf ya, Ran. Udah ganggu tidur kamu, malam-malam begini..." ucap dokter Adi, dengan nada merasa bersalahnya.
"iya, gak apa-apa kok, dok." balas saya sambil berpura-pura menguap lagi.
"masuk, dok.." ucap saya melanjutkan.
Dokter Adi melangkah masuk, saya segera menutup dan mengunci pintu.
"jadi saya tidur dimana, nih?!" tanya dokter Adi, ketika saya sudah berdiri di sampingnya.
"di kamar saya aja, dok. Gak apa-apa, kan?" jawab saya.
"saya sih, gak apa-apa. Tapi kamunya apa-apa, gak?" ucapan dokter Adi, membuat saya sedikit menyunggingkan senyum.
"yah, gak apa-apa lah, dok. Kan biar ada temannya saya..." balas saya, sambil melangkah masuk ke kamar.
Dokter Adi ikut masuk, saya pun menutup dan mengunci pintu kamar.
Saya malam itu, hanya memakain celana pendek berwarna hijau. Dan terus terang, malam itu, saya tidak memakai celana dalam. Selain karena kebiasaan, saya juga berharap, kalau-kalau.... ah sudahlah.
Bagian atas saya hanya memakai singlet putih transparan.
Dokter Adi, masih memakai baju kerjanya.
"silahkan, dok.." ujar saya, melihat dokter Adi hanya berdiri mematung, "gak apa-apa, kan? kita tidur seranjang?" lanjut saya mencoba sedikit berkelakar.
Dokter Adi hanya tersenyum. Ia perlahan mulai membuka pakaiannya satu per satu.
Deg! Jantung saya berdetak lagi.
Dokter Adi berdiri, sekarang hanya memakai boxer, warna putih. Untuk pertama kalinya, saya bisa melihat dada dokter Adi tanpa pelindung.
Tubuh dokter Adi memang kurus, namun tonjolan otot-ototnya terlihat jelas. Terutama di bagian dada dan lengannya.
Perutnya sedikit six pack. Dan di bagian pahanya ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.
Dokter Adi tersenyum, ia meletakkan pakaiannya diatas kursi yang ada di sudut ruangan.
Perlahan ia melangkah mendekat, lalu segera membaringkan tubuh kekarnya di ranjang.
Bahunya tak sengaja (atau memang sengaja, ya?) menyentuh bahu saya. Bahu kami saling bersentuhan, selain karena ranjangnya memang kecil, saya memang sengaja berbaring agak sedikit ke tengah. Modus, sih.
Dan saya merasakan bahu itu terasa hangat.
Tiba-tiba dokter Adi memiringkan tubuhnya kearah saya. Saya sedikit kaget, kali ini jantung saya berdetak semakin kencang, hingga saya agak kesulitan bernapas.
Kebayang, dong! Gimana rasanya? saat pria yang kamu suka, berada hanya berjarak satu jengkal, tanpa baju lagi.
Rasanya deg-deg ser-lah pokoknya!
"saya tahu, kamu sering curi-curi pandang sama saya, setiap saya di kantin. Kamu sering memperhatikan saya, kan?" ucapan dokter Adi, yang lebih tepatnya sebuah pertanyaan itu, membuat saya benar-benar berhenti bernapas.
Saya sengaja menahan napas, untuk menenangkan hati saya. Jujur saya merasa malu, karena ternyata dokter Adi selama ini tahu, kalau saya sering memperhatikannya. Muka saya pasti memerah malam itu.
"udah tenang aja. Gak apa-apa, kok. Saya justru suka diperhatikan sama kamu. Itu artinya, kamu juga suka sama saya, kan?!" dokter Adi berujar lagi.
Juga? Mendengar kalimat itu, saya beranikan diri untuk menatap wajah tampan dokter Adi. Hembusan napas dokter Adi terasa hangat menyentuh wajah saya.
Senyum dokter Adi mengembang.
Saya penasaran, sih, sebenarnya. Dengan kalimat Adi barusan, tapi saya tetap tidak berani bertanya.
"kok, diam?" ucap dokter Adi lagi.
"atau sebenarnya kamu gak suka sama saya, ya?" lanjutnya.
"gak, kok. Saya suka..." kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut saya. Saya sendiri kaget mendengarnya. Tapi dokter Adi semakin mengembangkan senyumnya.
"saya tahu..." ucapnya, "saya juga suka sama kamu, Randi..."
Deg-deg ser lagi dong, dada saya.
Saya gak salah dengarkan? Tanya saya membathin.
Saya tidak sedang bermimpi, kan?
Tapi saya hanya terdiam.
Sampai akhirnya tangan hangat dokter Adi menyentuh pipi saya, yang membuat saya sadar, bahwa semua itu bukan mimpi.
"kamu manis sekali, Randi. Saya suka melihat kamu tersenyum..." dokter Adi berujar sambil mengelus-elus pipi saya lembut.
"saya boleh cium kamu?" tanya dokter Adi melanjutkan.
Iya, boleh. Jawab saya dalam hati. Tapi saya justru memejamkan mata, tanpa mengeluarkan suara.
Saya merasakan hembusan napas dokter Adi semakin kuat, menyentuh wajah saya, terutama di daerah bibir saya.
Sedetik kemudian, saya merasakan bibir tipis nan seksi itu menyentuh bibir saya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih