Langsung ke konten utama

Adsense

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu).

Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun.

Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis.

Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun.

Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang.

Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun.

Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku.

Cerita gay

Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP.

Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan.

Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan.

Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya.

Sudah banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah punya istri dan anak di kampung.

Biasanya, kalau tidak bisa pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adikku.

************

Waktu terus bergulir, aku masih sangat betah menjadi seorang kuli bangunan. Karena sebenarnya memang tidak banyak pilihan pekerjaan untuk seseorang seperti diriku.

Hingga suatu saat, mang Rohim mendapat sebuah proyek yang cukup besar. Sebuah proyek pembangunan perumahan yang cukup elit.

Proyek perumahan itu berada di sebuah kota yang cukup besar. Aku dan mang Rohim beserta beberapa orang kuli bangunan lainnya, tinggal di sebuah rumah kosong, tak jauh dari tempat pembangunan perumahan elit tersebut.

Disanalah saya bertemu dan berkenalan dengan seorang laki-laki tampan. Namanya Fhandi, usianya dua tahun lebih tua dariku.

Dia bukan kuli bangunan sepertiku. Dia mandor kami, selama pengerjaan proyek perumahan tersebut.

Selain tampan, Fhandi juga memiliki tubuh yang atletis.

Mulanya semuanya berjalan biasa saja. Kami melakukan tugas kami sebagai kuli bangunan, dan begitu juga Fhandi, ia juga melakukan tugasnya sebagai seorang mandor.

Sebulan saya bekerja disana. Hingga suatu malam, tiba-tiba Fhandi, si mandor itu, mengajak aku mengobrol. Kami ngobrol berdua di bangku depan rumah tempat kami, para kuli tinggal.

Waktu itu malam minggu. Seperti biasa, hari minggunya kami libur kerja. Untuk itu teman-teman kuli yang lain, tidak berada di rumah. Mereka ada yang pulang kampung, seperti mang Rohim. Ada juga yang keluyuran keluar, menikmati malam minggu mereka sendiri.

Aku sendiri sebenarnya, memutuskan untuk tidak kemana-mana malam itu, aku hanya ingin beristirahat di rumah.

Namun tiba-tiba Fhandi datang, sendirian. Rumah Fhandi memang tidak begitu jauh dari situ. Tapi Fhandi datang memakai mobilnya.

Awalnya saya cukup kaget, karena tak biasanya Fhandi datang malam-malam.

"saya lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelas Fhandi padaku waktu itu, ketika aku mempertanyakan kedatangannya.

Kami ngobrol cukup lama malam itu, Fhandi bahkan sampai memesan minuman dan beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami mengobrol.

Fhandi bertanya banyak hal padaku, terutama tentang kehidupanku. Demikian juga sebaliknya, Fhandi juga secara blak-blakan bercerita tentang dirinya padaku malam itu.

Aku sebenarnya cukup sungkan, namun karena Fhandi yang bersifat ramah, aku pun mencoba untuk bersikap rileks.

Dari Fhandi aku tahu, kalau ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Mereka empat bersaudara semuanya laki-laki. Ketiga abangnya sudah berkeluarga dan sudah mempunyai rumah masing-masing.

Jadi dirumahnya, hanya ada Fhandi dan kedua orangtuanya. Dan tentu saja ada beberapa orang pembantu di rumahnya.

Fhandi memang anak orang kaya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dan dari Fhandi juga aku tahu, jika perumahan elit yang sedang kami bangun tersebut adalah milik ayahnya.

"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran..." ujar Fhandi di sela-sela obrolan kami.

Aku hanya tersenyum. Tak berniat juga untuk terlalu meyakinkan Fhandi.

"padahal secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjut Fhandi lagi. "kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu.." kali ini Fhandi melanjutkan, dengan tersenyum manis menatapku.

Entah mengapa, mendengar pujian Fhandi barusan, aku merasa tersanjung. Aku tersenyum tipis dan segera menunduk, tak sanggup lebih lama menentang tatapan Fhandi.

Harus aku akui, bahwa seumur hidup, aku belum pernah dipuji seperti itu oleh siapa pun. Apalagi aku memang tidak pernah dekat dengang seorang cewek.

"bang Fhandi sendiri gimana?" tanyaku dengan suara bergetar, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"maksud kamu?" tanya Fhandi dengan kening berkerut.

"maksud saya, bang Fhandi sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanyaku lebih jelas.

"pernah sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih untuk sendiri..." jawab Fhandi dengan nada datar. Ia seperti tak begitu berminat membicarakan kisah cintanya.

Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan Fhandi pun menjadi dekat dan akrab. Fhandi semakin sering mengajakku ngobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada malam hari, Fhandi lebih sering datang ke tempat tinggal kami. Ia bahkan tidak segan-segan mengajakku jalan-jalan berdua pakai mobilnya.

Ia sering mentraktir aku makan dan berjalan-jalan keliling kota. Dan bahkan kami pernah nonton di bioskop berdua. Fhandi juga sering mengajakku menginap di rumahnya.

Hingga suatu hari, aku mengalami sebuah kecelakaan kerja.

Sebatang kayu besar menimpa kepalaku. Cukup parah. Aku hampir kehabisan darah, kalau saja Fhandi tidak segera membawaku ke rumah sakit.

Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawaku masih terselamatkan.

Dan dari keterangan dokter, aku tahu, bahwa Fhandi ikut menyumbangkan darahnya, agar aku bisa diselamatkan.

Fhandi juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.

Lebih dari seminggu aku dirawat. Fhandi selalu setia menemaniku. Ia juga mengeluarkan banyak uang, untuk biaya aku berobat.

"makasih ya, bang Fhandi." ucapku, ketika Fhandi mengantarku pulang dari rumah sakit, "bang Fhandi sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjutku lagi.

Fhandi hanya tesenyum, ia terlihat tulus.

Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas semua kebaikan Fhandi padaku. Rasanya apapun akan aku lakukan, untuk bisa membalas jasanya.

"kamu yakin, gak mau pulang kampung saja, Ken?" tanya mang Rohim, setelah aku beberapa har pulang dari rumah sakit.

Lukaku memang sudah mulai sembuh, namun aku belum diperbolehkan bekerja, terutama oleh mang Rohim dan Fhandi.

"iya, gak apa-apa, Mang. Lagian saya juga gak punya ongkos untuk pulang, uang yang kemarin udah saya kirim ke kampung..." balasku kepada mang Rohim, yang masih saja menatapku.

Aku memang tak berniat untuk pulang, selain karena tidak punya uang, aku juga tak ingin membuat cemas kedua orangtuaku. Aku sudah berpesan kepada mang Rohim agar tidak memberitahukan mereka, tentang kejadian yang menimpaku. Mereka tidak perlu tahu.

Lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi.

********

Pagi itu, aku termenung sendirian di dalam rumah. Mang Rohim dan rekan kuli lainnya, sudah berangkat kerja.

Tiba-tiba di balik pintu yang memang tidak tertutup itu, muncul sesosok tubuh seorang laki-laki.

Aku cukup kaget, namun segera aku tersenyum, karena aku lihat Fhandi sudah berdiri disana. Ia tersenyum manis, ditangan kanannya ia menenteng sebuah kantong plastik putih transparan.

"aku bawakan sarapan buat kamu..." ucap Fhandi, sambil ia melangkah masuk dan duduk di dekatku.

Ia menyerahkan kantong plastik itu, dengan masih tersenyum.

Sebenarnya aku merasa cukup berat menerimanya. Namun sudah beberapa hari ini, sejak aku pulang dari rumah sakit, Fhandi memang rutin membawakan aku sarapan.

Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara menolak semua kebaikan Fhandi padaku. Rasanya kebaikan Fhandi sudah tidak bisa dibalas dengan apapun.

Namun aku selalu tak bisa menolaknya, aku takut Fhandi tersinggung. Fhandi selalu terlihat tulus padaku, sehingga aku menjadi tak kuasa untuk menolaknya.

Pagi itu, entah mengapa aku merasa Fhandi berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Ia memakai kemeja hijau lengan panjang. Bajunya dimasukkan ke dalam celananya, yang terlilit ikat pinggang hitam. Celana katun yang ia pakai berwarna hitam. Celana itu terlihat cukup ketat. Seingga tubuh Fhandi yang memang atletis itu, terlihat semakin gagah.

"bang Fhandi sudah terlalu baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. " ucapku akhirnya memberanikan diri. Saya baru saja menghabiskan sarapan yang dibawa Fhandi tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu itu tampa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Saya duduk di samping Fhandi.

"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucap Fhandi perlahan.

Aku menatap Fhandi sekilas.

"bang Fhandi mau jujur tentang apa?" tanyaku penasaran.

"tapi kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin abang, apa lagi sampai marah sama abang...." balas Fhandi, kali ini ia menatapku kembali, dengan wajah sedikit memohon.

Aku justru semakin penasaran.

"saya mana berani marah sama bang Fhandi.." ucapku, "bang Fhandi sudah terlalu baik sama saya.." aku melanjutkan.

"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." Fhandi berujar lagi, suaranya sedikit mengecil.

"iya. Bang Fhandi ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balasku meyakinkan.

Aku benar-benar penasaran dengan semua yang ingin diomongkan Fhandi padaku. Pikiranku menerawang, mencoba menebak-nebak.

Lama kami terdiam, hingga akhirnya Fhandi pun berujar,

"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suara Fhandi tergagap. Namun cukup mampu membuatku sangat kaget.

"maksud bang Fhandi?" tanyaku akhirnya, keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku mencintai kamu..." Fhandi berujar lagi, suaranya masih terbata.

"tapi saya, kan...."

"iya, saya tahu. Kita sama-sama cowok." Fhandi memotong ucapanku cepat. "tapi kamu pernah dengarkan? Tentang percintaan sesama jenis. Tentang cowok gay atau homo?" kali ini Fhandi melanjutkan dengan cukup lancar. "saya gay, Ken. Dan saya menyukai kamu sejak lama. Kamu mau kan pacaran sama saya?" Fhandi melanjutkan lagi. Ia terdengar semakin berani.

Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa.

Aku memang pernah dengar, tentang kisah cinta sesama jenis. Tapi aku benar-benar tak menyangka jika Fhandi adalah seorang gay. Sebagai laki-laki, Fhandi terlihat sangat jantan dan kekar. Biasanya yang aku tahu, seorang homo itu terlihat sedikit feminim.

Tapi Fhandi sudah berterus terang padaku. Ia dengan blak-blakan sudah mengungkapkan perasaannya. Dan aku salut atas kejujurannya itu.

Aku memang belum pernah pacaran. Aku belum pernah mengungkapkan perasaanku pada siapapun. Aku tak tahu rasanya. Meski aku sering mengkhayalkannnya.

Namun tak pernah aku sangka, jika aku harus mendengarkan ungkapan perasaan dari seorang laki-laki.

"kamu gak harus jawab sekarang, Ken." suara Fhandi mengagetkanku lagi. "kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." Fhandi melanjutkan kalimatnya, melihat saya hanya terdiam.

Tak lama kemudian, Fhandi pun berdiri.

"saya permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya jawabannya." Fhandi mengakhiri kalimatnya, lalu melangkah pelan keluar.

Aku masih dalam keterdiamanku. Semuanya terasa aneh bagiku. Pikiranku tiba-tiba kacau tak menentu. Hatiku dibalut dilema. Aku masygul.

****

Seminggu kemudian, aku sudah mulai bekerja lagi seperti sedia kala.

Seminggu ini, pikiranku terasa berat. Pernyataan Fhandi minggu lalu, masih terus menghantuiku setiap saat.

Fhandi memang tidak pernah lagi datang kerumah, sejak seminggu itu. Kami bahkan tidak pernah bertemu dari jarak dekat, kami hanya saling pandang dari kejauhan.

Perasaanku semakin tak karuan.

Jika aku menolak permintaan Fhandi untuk menjalin hubungan asmara denganku, jelas ia akan kecewa dan sakit hati. Aku tak ingin hal itu terjadi, biar bagaimanapun Fhandi sudah teramat sangat baik padaku selama ini. Ia rela mengorbankan apa saja untukku. Ia bahkan telah menyumbangkan darahnya, demi menyelamatkan nyawaku. Dan lagi pula Fhandi adalah mandor, tempat aku bekerja sebagai kuli bangunan.

Bagaimana mungkin aku bisa mengecewakan, orang sebaik Fhandi?

Sebegitu tidak tahu terima kasihkah aku?!

Sebegitu jahatkah aku?

Yang tega membuat kecewa, orang yang sudah sangat baik padaku.

Namun jika aku menerima cinta Fhandi, entah mengapa aku merasa aneh.

Bagaimana nantinya kami menjalin hubungan?

Bagaimana rasanya punya pacar sesama lelaki?

Aku benar-benar merasa aneh.

Aku pernah membayangkan, suatu saat akan punya pacar. Tapi tentu saja, yang aku bayangkan adalah punya pacar seorang cewek.

Tapi sekarang?? Akh... aku benar-benar bingung.

Aku sendiri tidak tahu perasaanku yang sebenarnya terhadap Fhandi. Jujur, aku memang mengagumi sosok seorang Fhandi. Terlepas dia seorang laki-laki yang tampan dan gagah, Fhandi juga seorang laki-laki yang sangat baik dan ramah. Selama aku bekerja dengannya, aku belum pernah melihat dia marah.

Namun untuk jatuh cinta padanya, rasanya itu sangat mustahil bagiku.

Aku memang merasa nyaman, saat bersama Fhandi. Karena segala kebaikannnya padaku selama ini.

Tapi bukan berarti, aku telah jatuh hati padanya.

Aku juga memang belum pernah pacaran. Hatiku memang selalu kosong. Tapi bukan berarti juga, aku harus membiarkan Fhandi masuk ke dalamnya dengan begitu mudah.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Haruskah aku mencobanya?

Setidaknya untuk membuat Fhandi merasa senang.

Setidaknya untuk membalas semua kebaikan Fhandi selama ini. Meski sebenarnya, itu semua tidak akan pernah cukup. Fhandi terlalu baik padaku.

********

"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanya Fhandi akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.

Saat itu malam minggu, Fhandi datang sekitar setengah jam yang lalu. Dirumah memang hanya ada sendirian. Seperti biasa, teman-teman kuli yang lain, sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.

"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." Fhandi berujar lagi, melihat saku hanya terdiam.

Mudah bagi Fhandi untuk berkata demikian. Aku bisa saja menolak, tapi pasti hubungan kami ke depannya akan merenggang. Dan pasti juga, Fhandi akan sangat kecewa.

"saya bingung, bang. sejujurnya saya tidak merasakan apa-apa kepada bang Fhandi, selain perasaan sebagai teman.." aku beujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

"namun.... namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang. Saya juga tidak ingin bang Fhandi kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya memang merasa nyaman, saat bersama bang Fhandi. Untuk itu.... mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." aku berkata cukup panjang, suaraku semakin terbata.

"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanya Fhandi sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Saya tidak menjawab, namun repleks saya pun mengangguk. Meski hati saya sendiri tidak begitu yakin.

Kulihat Fhandi tersenyum sangat lebar. Gigi putihnya yang rapi terlihat. Wajahnya memperlihatkan kebahagiaan yang terpancar dari hatinya. Aku merasa turut senang, melihat semua itu.

Setidaknya aku hanya ingin membuat Fhandi merasa bahagia, meski harus mengorbankan perasaanku.

Tiba-tiba Fhandi menyentuh lembut tanganku. Aku kaget. Namun aku membiarkannya, aku tak ingin Fhandi tersinggung.

Entah mengapa tangan Fhandi terasa hangat menyentuh kulitku, meski ada rasa geli menggelitik hatiku.

Sekali lagi, aku benar-benar merasa aneh.

*****

Dengan segala perasaan anehku itu, aku mencoba menjalani hubungan asmaraku bersama Fhandi.

Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.

Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.

Biasanya kami sering berduaan dikamar Fhandi, atau pun di hotel-hotel yang sengaja Fhandi sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmaraku dengan Fhandi terjalin.

Entah mengapa, lama kelamaan, aku mulai menikmati hubungan terlarang itu.

Aku mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh dihatiku untuk Fhandi. Aku semakin sering memikirkan Fhandi. Aku sering menatapnya dari kejauhan, saat kami bekerja. Aku kadang juga merasa rindu, bila sehari tak bertemu dengan Fhandi.

Sejak pacaran, Fhandi memang semakin baik padaku. Ia tidak pernah sekalipun membuat aku kecewa. Ia selalu berusaha, untuk membuatku selalu tersenyum. Ia juga sering memberi aku kejutan, dengan memberiku beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.

Hal itulah yang mungkin membuat aku semakin menyayangi Fhandi. Dan aku pun akhirnya jatuh cinta padanya. Rasanya begitu nyaman, saat berada di samping Fhandi.

Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan aneh yang aku rasakan dari awal hubungan kami, kini telah sirna. Berganti dengan rasa bahagia yang tak terkira.

********

Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.

Hingga akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Fhandi harus berpisah untuk sementara, karena aku harus kembali ke kampung halamanku.

Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.

Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Fhandi. Begitu juga yang dirasakan Fhandi.

Tapi aku harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama aku tidak pulang. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi di kota itu.

Meski Fhandi berusaha menahanku, dan mengajakku tinggal bersamanya. Namun aku terpaksa menolak. Aku merasa tidak hati, harus tinggal di rumah orang lain. Fhandi pun mencoba untuk memahaminya.

**********

Waktu masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan aku berada di kampung. Selama itu, aku dan Fhandi, masih saling memberi kabar, meski tentu saja hanya melalui telepon genggam.

Fhandi pernah sekali datang ke kampungku, sekedar melepas rindu katanya. Tapi ia tidak bisa berlama-lama, karena ia harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampungku dengan kota tempat Fhandi tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir seharian, untuk Fhandi bisa sampai ke kampungku.

Dua bulan lebih kami terpisah.

Hingga akhirnya, Fhandi pun mengabarkan padaku, bahwa ia akan menikah dengan seorang gadis pilihan orangtuanya.

Fhandi sebenarnya berusaha menolak. Namun keinginan orangtuanya sudah sangat kuat, mengingat usia Fhandi yang sudah cukup matang. Dan lagi pula, Fhandi juga sudah punya pekerjaan yang mapan. Untuk itu orangtuanya, bersikeras menjodohkan Fhandi dengan anak salah seorang rekan bisnis ayahnya.

Entah mengapa, aku merasa begitu sakit mendengar kabar itu. Hatiku tak rela Fhandi-ku, menikah dengan orang lain.

Namun aku dan Fhandi tidak bisa berbuat banyak.

Biar bagaimana pun, hubungan kami adalah sebuah kesalahan. Kami tidak mungkin lagi bisa mempertahankan hubungan terlarang itu. Apa lagi jarak kami yang begitu jauh.

Pada akhirnya, Fhandi memang harus menikah dengan seorang perempuan. Demikian juga saya.

Tapi rasanya sangat berat menerima itu semua.

Sebenarnya Fhandi berharap, agar kami tetap berhubungan, sekali pun ia sudah menikah. Tapi aku tak menginginkan hal itu. Aku tak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan Fhandi dan istrinya.

Aku berusaha untuk mengikhlaskannya.

Mengikhlaskan orang yang aku cintai hidup dengan orang lain.

Aku hanya ingin Fhandi bahagia dan menjalani hidupnya dengan normal.

Aku sendiri akan berusaha untuk melupakan Fhandi, dan berusaha untuk menemukan jodohku sendiri.

Meski akhirnya harus terpisah, setidaknya aku pernah merasakan bahagia dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku.

Setidaknya aku pernah merasakan, indahnya hubungan cinta sesama laki-laki.

Kini semua itu, hanyalah tinggal kenangan bagiku.

Aku akan memulai hidupku yang baru. Meski aku sendiri tidak yakin, aku akan mampu melupakan segala kenanganku dengan Fhandi seutuhnya.

Tapi setidaknya aku akan mencoba.

Semoga saja aku mampu...

Sekian...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Iklan google