Aku punya seorang teman kost. Ia baru saja pindah. Kebetulan sekali kami satu kampus. Jadi kami sering berangkat dan pulang kampus bareng.
Namanya Herdi Saputra. Ia pindahan dari ibu kota.
"saya ada masalah dengan teman-teman saya di sana. Orangtuaku memaksa saya untuk pindah kesini. Kata mereka, pergaulan saya disana terlalu bebas.
Begitu jawaban Herdi ketika kutanya kenapa ia pindah ke kota kecil ini. Namun Herdi tidak menceritakan secara detail, masalah apa sebenarnya yang terjadi. Saya pun enggan untuk bertanya lebih lanjut. Lagi pula Herdi memang sedikit tertutup, jika menyangkut cerita pribadinya.
Aku dan Herdi tinggal sekamar. Ranjang tempat kami tidur memang cukup luas. Di dalam kamar juga tersedia kamar mandi dan dapur kecil. Kamar kost itu memang cukup besar.
Namun karena selama ini aku terbiasa sendiri, rasanya agak risih juga jika harus satu kamar dengan orang yang bahkan baru aku kenal. Tapi mau gimana lagi, ibu kost yang memintaku untuk sekamar dengan Herdi.
Secara fisik Herdi orang yang menarik dan penuh simpati. Senyumnya manis, meski ia jarang tersenyum. Tubuhnya kekar berotot. Katanya ia memang suka olahraga dan fitnes.
Namun Herdi orangnya memang sedikit jorok, ia suka buang sampah sembarangan. Pakaiannya pun sering berantakan. Dan aku dengan terpaksa harus setiap hari merapikan dan membersihkan kamar.
Herdi juga seorang perokok, ia sering merokok di dalam kamar kost. Asap rokoknya kadang membuat pengap seisi kamar.
Herdi juga seorang yang cuek. Terutama kalau soal penampilannya. Ia bisa saja memakai baju yang sama hingga tiga hari berturut-turut.
Herdi jarang sekali keluar kamar. Kecuali pergi kuliah atau sekedar membeli kebutuhannya. Meski pun di dalam kamar tersedia tempat memasak. Namun Herdi tidak pernah memasak apa lagi mencuci. Ia biasanya membeli makanan secara online dan juga mencuci pakaiannya di laundry depan kost.
Dari gaya hidupnya, sepertinya Herdi adalah anak orang yang berada.
Semua kebutuhannya selalu tersedia. Uangnya selalu banyak.
"kamu gak malam mingguan, Don?" tanya Herdi suatu saat padaku.
Aku menggeleng.
"kenapa? kamu gak punya pacar?" tanya Herdi lagi dengan nada mengejek.
Aku tak hendak menjawab pertanyaan Herdi. Aku hanya pura-pura sibuk dengan gawaiku.
"udah gak usah malu. Kita sama-sama jomblo, kok..." suara Herdi terdengar lagi.
Aku bukannya malu, hanya saja aku merasa kalau pertanyaan Herdi barusan tidak harus aku jawab.
*****
Hampir setahun aku tinggal satu kamar dengan Herdi. Hingga suatu hari Herdi sakit demam. Sebagai teman kost-nya, aku pun berusaha merawat Herdi. Mulai dari membelikan ia obat, dan juga memasak untuknya.
Sejak saat itu, Herdi justru memintaku memasak untuk kami berdua.
"dari pada saya harus beli setiap hari, lebih baik kamu aja yang masak. Nanti saya kasih uang buat belanja bahan-bahannya.." ucap Herdi menawarkan.
Aku mengangguk setuju. Toh, aku juga setiap hari masak. Hanya tinggal nambah satu porsi lagi rasanya tidak terlalu berat. Lagi pula setidaknya, saya bisa lebih hemat, karena uang yang Herdi berikan lebih dari cukup untuk makan kami berdua. Aku tidak lagi harus mengeluarkan uang untuk belanja.
Aku juga menawarkan Herdi untuk sekalian mencuci pakaiannya padaku. Tentu saja dengan memberiku sedikit upah. Herdi juga setuju.
Semenjak itulah, aku hidup seolah bagai pembantu bagi Herdi. Tapi entah mengapa aku merasa senang melakukannya. Bukan saja karena aku diupah, tapi juga ada rasa bahagia, ketika setiap kali mencuci dan memasak untuk Herdi. Apa lagi jika Herdi memuji masakanku.
Aku bahagia melakukan semua itu untuk Herdi. Aku melakukannya dengan senang hati Rasanya ada sesuatu yang beda, jika Herdi memakan masakanku.
Setiap hari aku selalu merapikan lemari pakaian Herdi, merapikan buku-bukunya yang sering berserakan.
"kamu kenapa mau melakukan ini semua?" tanya Herdi suatu hari.
"kan saya dibayar.." jawabku terdengar diplomatis.
"saya bayar kamu hanya buat nyuci, kok..."
"iya. gak apa-apa. Toh terkadang saya juga gak ada kerjaan..." begitu alasanku mengeles.
Aku sebenarnya juga tidak mengerti, mengapa aku mau saja melakukan semua itu dengan rela. Ada kebahagiaan tersendiri ketika bisa membantu Herdi jadi lebih rapi dan bersih.
Mungkin karena tanpa sadar, aku mulai mengagumi sosok Herdi dalam hidupku.
Atau mungkin sebenarnya aku telah jatuh cinta padanya?
Aku masygul. Tidak bisa mendefenisikan perasaanku saat ini. Namun yang pasti aku begitu bahagia bisa hidup sekamar dengan Herdi....
**********
Setahun lebih, aku dan Herdi tinggal sekamar. Aku masih saja terus rajin memasak untuknya. Aku masih saja mencucikan pakaiannya dan merapikan buku-bukunya. Semua itu aku lakukan, bukan lagi sekedar, karena aku mendapatkan upah dari Herdi, tapi terlebih karena, aku telah jatuh cinta padanya.
Yah! Akhirnya harus aku akui, jika aku memang telah benar-benar jatuh cinta pada Herdi.
Herdi yang tampan dengan senyum manisnya. Herdi yang gagah dan kekar.
Semua itu selalu menghiasi setiap fantasi anganku. Sekarang aku lebih sering berkhayal tentang Herdi.
Namanya terukir indah di hatiku.
Aku begitu menyayanginya dan sangat mengaguminya. Meski aku tidak pernah benar-benar tahu, seperti apa latar belakang kehidupan Herdi yang sebenarnya.
Namun yang pasti, Herdi telah mampu mencuri hatiku dan membuatku tergila-gila padanya.
Hari berlalu, bulan berganti dengan perasaanku yang semakin besar kepada Herdi.
Hingga suatu malam, saat itu hampir jam satu malam, Herdi pulang ke kost dalam keadaan mabuk parah. Seorang teman mengantarnya sampai ke depan pintu kost.
Aku cukup kaget, karena tak biasanya Herdi pulang dalam keadaan semabuk itu.
Ia hampir tak sadarkan diri.
Dalam kepanikanku, aku memopong tubuh Herdi dan membaringkannya di ranjang.
Kemudian setelah temannya itu pamit, aku segera mengunci pintu kamar kost.
Aku takut kondisi Herdi yang mabuk parah diketahui oleh penghuni kost lainnya, terutama oleh pemilik kost.
Aku merasa kasihan melihat kondisi Herdi seperti itu. Namun aku tidak tahu harus berbuat apa.
Aku tidak punya pengalaman apa-apa dalam menghadapi orang yang sedang mabuk alkohol.
Yang aku lakukan saat itu, hanyalah menatap Herdi dari dekat. Aku duduk disampingnya.
Wajah Herdi terlihat memerah, namun tetap tampak sangat tampan dimataku.
Tiba-tiba saja hatiku merasa bergejolak, melihat tubuh Herdi yang terbaring pasrah.
Tanpa sengaja, tanganku bergerak menyentuh pipi Herdi. Dengan pelan aku mengusap pipi Herdi.
Menyadari pipinya yang ku usap, Herdi memegang tanganku.
Aku kaget dan segera menarik tanganku kembali. Aku segera bangkit dan berpindah ke sisi ranjang yang lain, sedikit agak jauh dari Herdi.
Beberapa saat kemudian, aku melihat Herdi duduk dengan sedikit berat. Aku berpura-pura memejamkan mata.
Herdi dengan gerakan yang lambat, membuka baju dan juga celana jeans-nya. Ia hanya memakai celana dalam. Hal itu biasa Herdi lakukan, setiap kali ia akan tidur.
Melihat itu semua, tentu saja jantungku berdegup tak karuan. Meski sudah hampir setiap malam aku melihat pemandangan yang menakjubkan tersebut.
Herdi benar-benar penuh pesona di mataku. Dia adalah salah satu contoh sebuah penciptaan yang sempurna. Dan aku sangat menginginkannya.
Herdi kembali merebahkan tubuhnya, yang hampir setengah telanjang itu.
Dalam benakku kembali bermain bayangan tubuh kekar milik Herdi. Lamunanku melambung tinggi, membayangkan aku berada dalam dekapan hangat Herdi.
Imajinasiku bermain liar dibenakku, setiap kali tubuh kekar Herdi melintas di pikiranku.
Berbulan-bulan aku hanya bisa memendam semua rasaku kepada Herdi. Rasanya aku hampir tidak sanggup lagi menyimpannya. Ingin rasanya aku meluahkan semuanya. Namun aku takut.
Aku takut, Herdi justru akan menjauhiku. Dan tentu saja, aku tidak akan bisa lagi menatap tubuh kekarnya setiap malam.
Biarlah semua yang aku rasakan, hanya tersimpan dalam angan terindahku.
Namun saat aku sedang terlena oleh khayalku tentang Herdi, tiba-tiba aku merasakan tangan Herdi melingkar di dadaku.
Hal itu tentu saja membuatku sedikit terperanjat. Namun aku tetap berpura-pura tidak sadar.Tangan Herdi terasa hangat menyentuh dadaku.
Aku menarik napas, mencoba menahan gejolak di dadaku yang tiba-tiba berdebar tak karuan.
Lama aku terdiam menikmati hal tersebut.
Berbulan-bulan aku tidur seranjang dengan Herdi, kulit kami bahkan belum pernah saling bersentuhan.
Herdi selama ini seperti sengaja menjaga jarak dariku.
Aku tidak mengerti mengapa malam ini, Herdi melakukan hal itu. Mungkin saja ia masih dalam keadaan pengaruh alkohol.
Namun semakin lama aku merasakan tubuh Herdi semakin merapat.
Aku pun mencoba membuka mata, dan aku melihat dengan jelas wajah Herdi sudah sangat dekat dengan wajahku. Aroma alkohol menyeruak dari hembusan nafas Herdi.
Tubuhku terasa menggigil dan dadaku berdegup beberapa kali lipat lebih cepat dari biasanya.
Herdi tersenyum menatapku, sambil perlahan wajahnya mendekati wajahku.
Aku memejamkan mata lagi. Berharap itu semua bukanlah sebuah mimpi.
Herdi terasa berbeda malam itu, dia benar-benar brutal dan tak terkendali. Tapi aku menyukainya.
Aku menyukai semua yang dilakukan Herdi padaku.
Rasanya dunia begitu indah. Aku terasa melayang.
Tak pernah ku sangka aku akan bisa menikmati hal tersebut.
Meski jauh dari lubuk hatiku, aku pun menyadari, kalau Herdi melakukan semua itu, hanya karena dia dalam keadaan pengaruh alkohol. Namun sejujurnya, aku begitu menikmati hal tersebut.
Sekian lama, aku hanya bisa memendam samua keinginan itu.
Dan malam itu, seakan semua mimpiku tentang Herdi terwujud.
Malam itu benar-benar menjadi malam terindah selama aku dan Herdi tinggal satu kost.
Terlepas Herdi melakukan hal itu, dalam keadaan sadar atau tidak.
Namun yang pasti, hatiku sangat bahagia.
Hingga akhirnya aku dan Herdi tertidur dalam keadaan saling berpelukan.
********
Semenjak kejadian malam itu, tiba-tiba Herdi menghilang. Ia menghilang tanpa kabar. Aku tidak tahu, mengapa Herdi tak pernah kembali ke kost, sejak ia berangkat kuliah pagi itu.
Mungkin ia menyesal, malu atau mungkin takut, karena telah melakukan hal tersebut denganku malam itu.
Pagi itu, Herdi memang terlihat diam tanpa suara. Ia berangkat kuliah sendirian, tak seperti biasa selalu berbarengan denganku.
Aku tak tahu kemana Herdi pergi. Ia tak berbicara sepatah kata pun padaku. Ia pergi tanpa membawa pakaiannya, kecuali yang ia pakai pagi itu.
Sudah hampir seminggu, Herdi pergi tanpa kabar. Aku mulai merasa khawatir. Biar bagaimanapun Herdi adalah teman satu kost-ku. Dan juga tentu saja, cowok idamanku. Serta bahkan kami sudah sempat melakukan hubungan intim malam itu, meski aku tahu, Herdi melakukan hal itu, karena ia dalam keadaan pengaruh alkohol.
Tapi tetap saja, semua itu terasa indah bagiku. Tubuh kekar Herdi akhirnya bisa aku nikmati.
Tapi mengapa sekarang ia menghilang?
Kemana Herdi?
Aku dibuat bingung oleh kepergiannya yang tanpa kabar.
************
Seminggu kemudian, tiba-tiba Herdi datang. Ia kelihatan kusut dan berantakan.
Separah itukah? bathinku.
Apa yang menyebabkan Herdi menjadi sekusut itu?
Namun aku hanya diam, tak berani bertanya padanya.
Herdi masuk lalu kemudian merebahkan tubuh kekarnya ke ranjang.
Aku memperhatikannya dari meja belajar yang berjarak hanya satu meter dari ranjang.
Aku merasa kasihan melihat Herdi, tapi ia tak pernah mau terbuka padaku.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
"kamu marah padaku?" tiba-tiba Herdi mengeluarkan suara. Suara yang terdengar serak ditelingaku.
Keningku berkerut, aku tak mengerti maksud dari pertanyaan Herdi barusan.
"maksud kamu?" aku bertanya juga akhirnya.
"kamu marah, karena aku pergi tanpa kabar? kamu marah karena kejadian malam itu? kamu marah karena aku memaksamu malam itu?" kali ini Herdi berujar, sambil menatapku tajam.
Dalam kebingunganku, aku menggeleng beberapa kali.
"gak. aku gak marah. Justru aku menginginkannya.." jawabku, "mungkin yang membuatku marah hanyalah kepergianmu yang tanpa kabar.." aku melanjutkan dengan hati-hati. Aku takut Herdi tersinggung.
Herdi bangkit dari rebahannya, tanpa melepaskan tatapannya.
"maafkan kau ya, Don.." ucapnya dengan pelan, masih dengan suaranya yang terdengar parau.
"tak seharusnya aku pergi menghilang begitu saja. Tapi aku pergi, hanya untuk mencoba menenangkan hatiku. Aku pergi hanya untuk meyakinkan hatiku. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Sejak mengenal kamu, semuanya terasa berbeda." Herdi terus berbicara, sambil terus menatapku.
Aku merasa sedikit gelisah. Tubuhku terasa dingin. Malam itu, seperti biasa, aku hanya memakai celana pendek, tanpa baju.
Herdi mengusap wajahnya beberapa kali, kulihat ia menarik napas panjang.
"kamu sangat baik padaku, Don. Kamu selalu perhatian padaku. Kamu selalu berusaha untuk mengikuti kemauanku. Kamu tidak pernah protes, meski aku sering melakukan kesalahan. Kamar ini sering berantakan karenaku, tapi kamu dengan sabar merapikannya kembali." Herdi menarik napas sejenak, kemudian berujar lagi,
"awalnya aku pikir semuanya biasa saja, tapi lama kelamaan, aku mulai merasa kalau aku menyukai kamu. Aku merasa sangat membutuhkan kamu.."
Aku masih terdiam, mendengarkan Herdi. Aku tidak tahu harus berucap apa.
Seperti biasa, aku memang selalu menjadi pendengar buat Herdi.
"satu hal yang belum aku ceritakan sama kamu, Don. Dan sebenarnya aku enggan menceritakan semua itu. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku pindah ke kota ini, adalah karena aku sedang patah hati." Herdi memejamkan mata, sambil menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.
Aku melihat mata Herdi mulai berkaca. Sontak rasa iba semakin menggeluti hatiku.
"yah, aku patah hati karena ditinggal nikah oleh pacarku. Aku dan pacarku sudah pacaran lebih dari lima tahun. Kami pacaran sejak SMA. Tapi tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba ia minta putus. Dan beberapa minggu kemudian, aku pun mendapat sebuah surat undangan darinya. Aku kecewa dan merasa dikhianati. Hidupku terasa hancur. Aku kehilangan semangat hidup. Sebagai pelarian dari semua rasa kecewaku, aku mulai mengenal dunia hitam. Aku mulai mabuk-mabukan. Orangtuaku merasa khawatir, melihat kondisiku. Akhirnya mereka sepakat, untuk memindahkan aku kesini. Seharusnya aku tinggal di rumah pamanku di kota ini, tapi aku tidak bersedia tinggal disana. Aku masih menginginkan kebebasan, dan tinggal bersama pamanku jelas akan membuatku tidak bebas. Untuk itu aku mengambil kost disini.." Herdi akhirnya bercerita panjang lebar.
Aku masih terdiam. Aku terpaku mendengar cerita Herdi.
Herdi berdiri tiba-tiba, kemudian berjalan mengambil segelas air, lalu meneguknya dengan cepat. Tak lama kemudian ia pun kembali duduk di ranjang.
"butuh waktu berbulan-bulan bagiku, untuk bisa melupakan Nina, pacarku itu. Hubungan kami sudah terlalu lama, dan cukup serius, terutama bagiku. Aku sudah terlanjur menyayanginya dan berharap banyak padanya. Tapi ia dengan begitu mudah mencampakkanku. Hatiku benar-benar hancur dan sakit. Kepercayaanku memudar. Dan mabuk adalah caraku bisa melupakannya." Herdi kembali melanjutkan ceritanya.
Aku berdiri dan melangkah menuju ranjang, duduk tak jauh dari Herdi.
"Dua tahun aku tinggal disini bersama kamu, Don. Perlahan aku mulai bisa melupakan Nina. Namun dalam kekosongan hatiku itu, kamu seolah-olah hadir untuk mengisinya. Tak tahu mengapa, semua sikap baikmu padaku selama ini, membuatku justru semakin menyukaimu. Dan tanpa aku sadari aku mulai menyayangimu. Mulai merasa kehilangan saat kamu tak ada disini, bersamaku." kali ini Herdi berbicara sambil menyentuh tanganku. Aku membiarkannya. Aku bahkan menginginkannya.
Mata Herdi semakin berkaca, tapi ia terus berujar,
"awalnya aku pikir, hanya aku yang merasakan hal itu, namun dari sikapmu aku tahu, jika kamu juga merasakan hal yang sama. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Hingga kejadian malam itu terjadi. Terus terang aku merasa bersalah, walau aku sebenarnya tahu, kamu juga menginginkan hal itu..." Herdi menghela napas mengakhiri kalimatnya.
"lalu mengapa kamu pergi?" tanyaku penasaran, sambil mencoba membalas genggaman tangan Herdi pada jemariku. Jari jemari kami saling berkaitan. Aku merasa hangat dan nyaman.
"aku malu, Don. Aku malu mengakui ini. Aku malu mengakui, kalau sebenarnya aku telah jatuh cinta padamu. Ketulusan yang telah kamu persembahkan untukku selama ini, telah mampu membasuh luka dihatiku. Kamu benar-benar membuat aku tak bisa melupakanmu. Seminggu ini, aku coba sengaja menghindar darimu, tapi aku merasa hidupku semakin hancur. Hidupku berantakan tanpa kamu, Don. Aku sangat membutuhkanmu. Aku ingin kita tetap bersama-sama selamanya.." kalimat Herdi barusan, benar-benar membuatku merasa tersanjung. Hatiku yang memang telah jatuh cinta kepada Herdi semakin berbunga. Rasanya malam itu terasa begitu indah. Kebahagiaanku terasa lengkap.
"aku akan selalu ada buat kamu, Her. Aku juga sangat menyayangimu.." ucapku akhirnya.
Mata kami saling tatap, dadaku tiba-tiba bergemuruh. Herdi terlihat semakin tampan di mataku.
Sekarang Herdi bukan lagi, sekedar teman kost-ku. Ia adalah lelaki yang sangat aku sayangi. Dan sekarang ia adalah kekasih hatiku. Aku akan tetap menjaga cinta ini, agar tetap bertahan selamanya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih