Aku seorang yatim. Ayahku meninggal pada saat aku masih berusia 10 tahun, karena mengalami kecelakaan kerja. Ayahku bekerja sebagai seorang buruh pabrik.
Saat itu, aku belum merasa kehilangan. Aku hanya menganggap kepergian ayah, hanyalah sesuatu yang biasa.
Namun beriring bertambahnya usiaku, perlahan rasa kehilangan itu mulai menyelinap.
Apa lagi melihat ibuku, yang harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, dan juga untuk membiayai sekolahku.
Ibuku seorang penjahit biasa, yang penghasilannya hanya pas-pasan. Terkadang ibu harus berhutang di warung, hanya untuk agar kami dapat makan.
Ditambah lagi sampai saat itu, kami masih tinggal di rumah kontrakan.
Kadang yang punya kontrakan sering datang, untuk menagih, karena ibu yang selalu terlambat membayar.
Aku merasa kasihan melihat ibu. Namun pada usiaku yang masih remaja saat itu, aku tak bisa berbuat banyak.
Pernah pada suatu ketika, aku menyarankan ibu untuk menikah lagi, namun ibu spontan menolak.
"Ibu akan menikah lagi, kalau kamu sudah cukup dewasa dan sudah bisa mandiri..." ucap Ibu waktu itu beralasan.
Aku juga pernah bekerja menjadi pengamen di lampu merah, setelah pulang sekolah. Namun tak lama, ibu pun mengetahuinya, dan beliau marah besar padaku.
"tugasmu hanyalah sekolah dan belajar yang rajin, Ndri..!" tegas suara Ibu waktu itu, "kamu gak usah ikut-ikutan memikirkan soal keuangan. Itu semua tanggungjawab ibu..." lanjutnya.
"kamu sekolah aja yang benar, biar nanti bisa jadi orang yang sukses..." ibu melanjutkan kalimatnya, kali ini dengan suara yang sedikit serak, matanya kulihat mulai berkaca.
Aku hanya tertunduk, tak sanggup menatap wajah ibu yang tiba-tiba menjadi sedih.
Sejak saat itu, aku hanya melakukan tugasku, yakni belajar dengan giat, agar nanti bisa sukses dan membuat ibuku bangga.
Aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk belajar dan belajar, hingga aku hampir tak punya waktu lagi, untuk melakukan hal lainnya, seperti bermain atau pun berkumpul dengan teman-teman sebayaku.
Hal itu juga membuatku tidak punya waktu untuk sekedar dekat dengan para gadis, apa lagi berpacaran.
Hingga akhirnya aku lulus dari SMA, dengan hasil yang sangat memuaskan.
Ibuku pun tersenyum bangga melihatku.
Aku juga akhirnya berhasil kuliah di salah satu kampus ternama di kota itu. Tentu saja dengan bantuan beasiswa yang aku dapat, karena prestasiku.
Sampai saat itu, ibu masih belum mengizinkan aku untuk bekerja. Padahal dengan ijazah SMA yang aku punya dan juga kemampuan otakku, aku bisa saja mendapatkan sebuah pekerjaan.
Tapi ibu tidak setuju, kalau aku bekerja sambil kuliah. Ia hanya ingin agar aku fokus untuk kuliah.
Sampai akhirnya, satu tahun aku kuliah, ibuku pun memutuskan untuk menikah lagi.
"sesuai janji ibu, Ndri. Ibu akan menikah, kalau kamu sudah cukup dewasa..." ujar ibu beralasan.
Sebagian hatiku memang tidak rela, kalau ibu punya suami lagi. Biar bagaimana pun kasih sayang Ibu pasti akan terbagi. Dan aku tak ingin kehilangan kasih sayang ibu.
Namun sebagian hatiku yang lain, juga tidak mempermasalahkan keinginan ibu untuk menikah lagi. Toh, ibu sudah cukup lama hidup menjanda. Biar bagaimanapun, ibu juga butuh seorang pendamping. Setidaknya untuk mengurangi beban ibu dalam mencari nafkah. Apalagi usia ibu masih 42 tahun.
Akhirnya ibu pun menikah, dengan seorang pria yang dua tahun lebih tua darinya.
Namanya om Johan, ia seorang laki-laki yang ternyata cukup sukses. Om Johan, punya sebuah toko pakaian yang cukup besar.
Selain itu, ia juga sudah punya sebuah rumah mewah di kawasan sebuah perumahan elit.
Om Johan mengajak Ibu dan aku pindah kesana.
Om Johan seorang duda, ia bercerai dengan istrinya sudah lebih dari tiga tahun yang lalu.
Menurut cerita ibu, om Johan bercerai dengan istrinya, karena mereka sudah lebih sepuluh tahun menikah, namun belum juga dikaruniai anak.
Dan ternyata istri om Johan ketahuan berselingkuh, om Johan pun menceraikannya.
Singkat cerita, aku pun tinggal satu atap dengan ibuku dan juga ayah tiriku.
Om Johan dan ibuku sangat jarang berada di rumah. Mereka setiap pagi berangkat ke toko dan selalu pulang hampir larut malam.
Aku semakin jarang bertemu dengan ibu, aku semakin jarang mengobrol dengannya. Entah mengapa, aku merasa om Johan telah benar-benar merebut ibu dariku.
Tapi aku segera menepis semua perasaan itu. Biar bagaimanapun, ibu berhak untuk bahagia dan menikmati hidupnya.
******
Pada suatu hari, setelah hampir tiga bulan, Ibu tiba-tiba mendapat kabar dari kampung, kalau salah seorang kerabat kami di kampung mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal.
Ibu berangkat senidirian kesana. Aku tidak bisa ikut, karena di kampus memang sedang sibuk ujian.
Dan om Johan, juga tidak ikut, karena keadaan toko sedang ramai-ramainya kalau menjelang akhir tahun seperti ini.
Malam itu, setelah selesai mandi dan makan malam, aku bersantai menonton TV di ruang keluarga.
Saat tiba-tiba, aku melihat om Johan pulang.
Tumben ia pulang cepat. Bathinku.
"hari mau hujan, dan toko juga lumayan sepi..." seru om Johan, seperti bisa membaca jalan pikiranku, ketika ia berlalu di sampingku menuju kamarnya.
Aku hanya terdiam, seolah mengabaikan penjelasannya.
Selama ini, aku dan om Johan memang jarang mengobrol. Selain karena ia jarang di rumah, aku juga merasa om Johan itu adalah rivalku, untuk mendapatkan perhatian ibu.
Setengah jam kemudian, tiba-tiba om Johan muncul lagi di ruang keluarga. Ia kelihatan habis mandi. Ia hanya memakai baju kaos dan celana pendek.
Hujan di luar sudah mulai turun, meski tak begitu lebat.
Om Johan duduk di sampingku dengan cukup santai.
"kamu udah makan?" tanyanya berbasa-basi. Padahal ia tahu persis, kalau aku sudah makan.
"udah.." jawabku singkat.
"kamu nonton apaan, sih?" tanya om Johan, setelah kami terdiam beberapa saat.
Aku tak berniat untuk menjawab pertanyaan basa-basi itu lagi.
"kita nonton DVD aja, yuk. Ada film yang belum saya tonton.." om Johan berujar lagi, ia kemudian berdiri dan melangkah ke kamarnya.
Tak lama berselang, ia pun kembali dengan membawa sebuah kaset DVD di tangannya.
Ia lalu memasang DVD tersebut dan segera memutarnya.
"film perancis, katanya sih bagus..." om Johan berujar, sambil ia melangkah dan lalu duduk lagi di sampingku. Tapi kali ini ia duduk sangat dekat, tubuh kami hampir berdempetan.
Film itu pun mulai tayang. Sebuah film dewasa ternyata. Adegan awalnya aja sudah cukup panas.
Om Johan menatapku, lalu tersenyum.
"kamu sudah pernah nonton film seperti ini?" tanya om Johan.
Saat itu adegan film semakin panas.
Aku hanya menggeleng lugu.
Sejujurnya aku memang belum pernah menonton film dewasa seperti itu.
Film itu terlalu vulgar, aku pun mulai merasa risih dan tak nyaman.
Bagaimana mungkin aku bisa menonton film yang begitu vulgar, bersama ayah tiriku?
Aku tak tahu, apa maksud dari om Johan, memutar film tersebut.
Namun yang pasti aku merasa aneh dan sangat tidak nyaman.
"kamu kenapa gelisah begitu?" suara om Johan mengagetkanku, apa lagi ia berucap, sambil meletakkan tangannya di atas pahaku yang hanya memakai celana pendek.
Tangan itu bahkan kurasakan mulai mengelus-elus pahaku yang terbuka.
Sebenarnya aku sendiri memang mulai bergairah menyaksikan adegan film panas tersebut.
Karena seumur-umur, ini pertama kalinya aku menonton film seperti ini.
Tapi...
Aku kemudian menepis tangan om Johan dari pahaku. Aku mulai merasa ada yang salah dengan semua itu.
Om Johan justru semakin merapatkan tubuhnya. Hingga tubuh kami, benar-benar sudah tidak berjarak lagi.
Aku menggeser posisi dudukku, agak menjauh. Adegan di layar sudah berganti posisi, dengan gaya yang semakin membuatku bergairah.
Om Johan terus berusaha mendekatiku, tangannya sekali lagi menyentuh bagian pahaku, kali ini lebih keatas.
"Om Johan mau ngapain?" tanyaku akhirnya dengan sedikit meronta.
Om Johan terlihat kaget, namun kemudian ia kembali tersenyum menatapku.
"kamu mau gak melakukan seperti itu..." ujar pak Johan, yang membuatku sedikit terperangah.
"maksud om Johan apa?" tanyaku semakin berani. Posisiku sudah benar-benar tersudut.
"ya, itu. Kita melakukan hal itu berdua..." balas om Johan, "udah gak usah malu, di rumah ini cuma ada kita berdua, kok..." lanjutnya dengan nada mesum.
Aku tiba-tiba merasa mual.
"om Johan gay?" tanyaku setengah tak percaya.
"menurut kamu?" om Johan balik bertanya.
Lama aku terdiam, memikirkan hal tersebut. Aku tidak bisa begitu saja menyimpulkannya.
Namun perlakuan om Johan malam ini padaku, cukup membuatku yakin, kalau ada yang salah dengannya.
Aku berdiri tiba-tiba, lalu bergerak dengan sedikit berlari menuju kamarku.
Aku tak pedulikan reaksi om Johan yang terpelongo menatapku.
********
Sejak malam itu, aku mulai menjauh dari om Johan. Aku selalu berusaha menghindar, setiap kali harus bersirobok dengannya. Rasanya aku mulai jijik melihatnya.
Namun om Johan terlihat biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ia melakukan segala sesuatu seperti biasanya, terutama bila di depan Ibu.
Hingga beberapa minggu kemudian, pada suatu malam, saat aku sedang mengambil minuman di dapur. Tiba-tiba om Johan datang. Aku melirik jam di tanganku, jam sembilan malam.
"saya sengaja pulang cepat, dan Ibumu masih berada di toko..." ucap om Johan memulai kalimatnya. Sekali lagi ia berhasil menebak jalan pikiranku.
Aku hanya terdiam, berdiri tepat di hadapan om Johan. Om Johan menatapku tajam, dengan tatapan yang tidak bisa aku terjemahkan.
"kamu kenapa akhir-akhir ini selalu menghindari saya?" tanya om Johan, "kamu marah sama saya?" lanjutnya.
Aku tetap terdiam. Tak berniat juga untuk menjawab pertanyaannya.
"saya minta maaf, ya. Tentang kejadian malam itu..." om Johan berujar lagi, melihat saya hanya terdiam.
"saya gak ada maksud apa-apa, kok. Saya hanya .... saya hanya ... ya ... kamu tahu lah ... saya hanya terbawa suasana malam itu ..." lanjut om Johan.
Ia menarik napas ddan tertunduk.
"sebenarnya saya memang seorang gay. Sudah sejak lama, bahkan jauh sebelum saya menikah dengan istri pertama saya. Dan sebenarnya juga, saya bercerai dengan istri pertama saya, itu karena ia memergoki saya bersama laki-laki. Namun saya memintanya untuk tutup mulut. Jika tidak, saya tidak akan bersedia menceraikannya. Ia setuju, dan saya pun meminta ia untuk pindah dari kota ini, sehingga saya bebas mengarang cerita, kalau ia selingkuh..." cerita om Johan panjang lebar.
Namun bagi saya, itu tidak merubah apapun.
"sebenarnya saya sudah berusaha untuk berubah, saya juga ingin menjalani hidup ini, sebagaimana layaknya seorang laki-laki. Salah satu usaha saya ialah dengan menikah, meski saya tak pernah mencintainya. Saya hanya berharap, dengan menikah, saya bisa berubah. Namun kenyataannya, setiap kali saya mencoba mengubur keinginan saya terhadap laki-laki, setiap kali pula keinginan itu semakin kuat menghantui saya. Hingga saya tak bisa menghindarinya lagi. Saya bahkan semakin sering melakukannya, hingga istri saya memergokinya dan meminta bercerai ..." Om Johan menarik napas panjang.
"saat sudah bercerai dengan istri saya, justru saya semakin menggila dengan dunai gay saya. Saya semakin sering melakukannya. Saya sering menyewa laki-laki bayaran untuk memenuhi keinginan saya tersebut." om Johan mengakhiri kalimatnya, kemudian ia memutar tubuh memunggungi saya.
"sampai akhirnya saya melihat kamu. Saat itu kamu sedang berbelanja peralatan menjahit di toko saya. Melihat kamu yang sangat tampan dan atletis, saya merasa sangat tertarik. Lalu saya pun mulai mencari tahu, tentang kamu. Seperti apa kehidupan kamu dan bagaimana keluarga kamu. Hingga akhirnya saya tahu, kalau Ibumu seorang janda. Saya pun mulai berpikir untuk menikahi Ibumu ...." om Johan melanjutkan ceritanya, ia masih terus membelakangiku.
"jadi maksud, Om. Om Johan menikahi Ibu, hanya untuk bisa dekat dengan saya?" aku akhirnya mengeluarkan suara, dengan nada cukup lantang.
"iya. Begitulah lebih tepatnya." suara om Johan tegas.
"lagi pula gak ada yang salah dengan itu semua, kok. Ibumu bahagia dengan semua ini. Rumah mewah, hidup berkecukupan, punya suami. Sungguh sebuah kehidupan yang didambakan oleh banyak perempuan lain di luar sana. Dan segala kebutuhan Ibumu juga saya penuhi, termasuk juga kebutuhan bathinnya. Walaupun saya tidak mencintainya..." om Johan mengakhiri lagi kalimatnya, sambil ia memutar tubuhnya kembali menatapku.
Aku pun melangkah mendekat.
"kamu itu laki-laki brengsek..." ucapku semakin kasar.
"terserah kamu, mau bilang saya ini apa. Tapi yang pasti saya melakukan ini semua, karena saya telah tergila-gila sama kamu. Semua kemewahan ini, sebenarnya hanya untuk kamu, Andri..." om Johan berujar sambil berusaha menyentuh bahuku. Namun aku segera menepisnya kasar.
"saya akan ceritakan hal ini kepada Ibu..." suaraku bergetar, menahan amarah.
"silahkan, Andri! Tapi apa kamu yakin, Ibumu bakal percaya?" suara om Johan masih sangat lembut, namun begitu menyakitkan bagiku.
Aku mengeram menahan amarah. Kebencianku pada laki-laki itu semakin memuncak. Teganya ia mempermainkan perasaan Ibu, hanya untuk bisa mendekatiku.
Sungguh sebuah perbuatan yang sangat tidak masuk akal. Perbuatan yang tidak bisa diterima logikaku.
Sekali lagi, laki-laki itu mencoba menyentuh bahuku. Sekali lagi aku menepisnya, kali ini sangat kasar.
"kamu gak usah melawan, Andri!" suara om Johan mulai kasar. "kamu terima saja nasibmu. Saya sudah melakukan banyak hal untuk kalian. Saya angkat kalian dari lembah kemiskinan dan bisa menikmati semua kemewahan ini. Harusnya kamu berterima kasih sama saya.." suara laki-laki itu semakin lantang.
Tanganku mengepal, berniat untuk menghantam wajah laki-laki brengsek itu dengan sebuah pukulan. Namun tangan laki-laki itu cukup cekatan untuk menangkap pergelangan tanganku. Ia memgang tanganku sangat erat. Aku meronta melepaskan diri.
Tenaga om Johan cukup kuat, namun aku sekuat mungkin berusaha melepaskan diri. Hingga tanganku terlepas, lalu kemudian dengan penuh emosi, aku berlari mengambil sebatang kayu balok yang berada di sudut dapur.
Om Johan melongo menatap gerakanku. Lalu ia mencoba mengejarku. Tapi aku tak mempedulikannya. Aku meraih kayu balok tersebut, kemudian dengan tenaga yang penuh emosi, aku ayunkan kayu tersebut kearah om Johan yang berusaha menangkapku.
Kayu itu mengenai kepala om Johan. Ia terjerit lantang. Tubuhku bergetar, kayu itu pun terlepas dari peganganku. Namun aku melihat dari kepala om Johan memuncrat darah segar hingga mengenai tubuhku. Om Johan terus mengerang menahan sakit.
Aku mulai panik, kepalaku terasa pusing tiba-tiba. Aku merasa mual dan hendak muntah melihat pemandangan mengerikan di depanku. Mataku berkunang. Tatapanku tiba-tiba menjadi kelam. Dan akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri.
*************
Setelah proses yang panjang, akhirnya saya dijebloskan ke penjara. Om Johan tak berhasil diselamatkan. Ia tewas.
Tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang terjadi antara aku dan om Johan malam itu.
Cerita yang beredar, justru aku sengaja membunuh om Johan, untuk menguasai hartanya.
Aku tak peduli. Aku tak berbicara sepatah kata pun, bahkan kepada Ibuku. Selain karena trauma, karena kejadian tersebut. Aku juga tidak ingin menjelaskan apapun, kepada siapapun.
Aku rela dipenjara, asal Ibuku terbebas dari laki-laki bajingan itu.
Sedikitpun aku tak merasa menyesal telah membunuhnya. Meskipun resikonya, aku harus kehilangan kebebasanku. Bahkan aku juga harus kehilangan Ibuku.
Selama di penjara, Ibu tak pernah menjengukku sekalipun. Aku tahu, Ibu pasti marah dan sangat kecewa padaku.
Tapi seandainya ia tahu, alasan dari semua kejadian itu?
Namun, ya sudahlah! Tidak ada yang harus tahu. Tak seorangpun. Karena sudah pasti tidak akan ada yang percaya padaku. Om Johan selama ini terkenal sebagai laki-laki baik.
Aku sekarang benar-benar sendiri. Tak siapa pun yang peduli lagi denganku. Aku sebatang kara, di dalam penjara yang panuh kekejaman ini.
Dan di penjara inilah, kisahku terus berlanjut. Ternyata di penjara juga ada laki-laki homo yang haus seks. Dan saya harus berhadapan dengan mereka hampir setiap hari.
**********
Aku satu ruangan bersama empat orang penghuni penjara lainnya. Aku tahu, Ibu sudah membayar untuk ruangan ini, meskipun ia tak sudi untuk menjengukku sekalipun.
Teman sekamarku yang pertama bernama mas Roki, seorang preman yang dipenjara karena kasus narkoba. Dan sudah hampir lima tahun ia berada disini. Usianya kira-kira udah hampir 40 tahun.
Kemudian ada mas Dori, pria berusia 33 tahun, yang dipenjara karena kasus pelecehan seksual. Ia sudah lebih tiga tahun berada disini.
Selanjutnya ada Deden, masih muda, sekitar 24 tahun. Kasusnya pencurian motor, ia baru beberapa bulan di penjara.
Kemudian yang terakhir ada om Kandar, yang paling senior, ia sudah lebih dari sepuluh tahun dipenjara. Kasusnya cukup parah, yakni perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan.
Mereka semua sudah punya anak istri. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana mereka bisa bertahan selama bertahun-tahun hidup dipenjara.
Aku sendiri yang baru beberapa minggu disini, rasanya sudah sangat bosan.
"udah! dinikmatin aja..." ucap mas Roki suatu hari, melihat aku yang selalu murung.
Terus terang aku merasa sangat rindu dengan Ibu. Pasti saat ini beliau sangat membenciku.
*********
Dipenjara ini, aku bertemu dengan seorang sipir. Namanya Arifin. Perawakannya tinggi besar. Tampangnya terlihat sangar, dengan brewoknya. Usianya mungkin sekitar 36/37 tahun.
Arifin ini yang biasanya yang membuka dan megunci sel kami. Melayani kami dan beberapa penghuni ruangan lainnya.
Sebenarnya mas Arifin orangnya baik, meski ia jarang tersenyum. Dia sering memberi rokok pada para napi yang memintanya.
Aku mengenal mas Arifin, karena memang hampir setiap hari bertemu. Terutama saat ia tugas piket malam. Kami sering ngobrol dengannya.
Hingga pada suatu sore, mas Arifin memintaku untuk menemaninya ke ruang kerjanya.
Awalnya aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba mas Arifin memintaku ikut ke ruang kerjanya.
Sesampai di dalam ruangan tersebut, mas Arifin justru menutup dan mengunci pintu. Kami hanya berdua di dalam ruangan itu.
"mas Arifin mau apa?" tanyaku hati-hati.
Mas Arifin tersenyum. Karena memang jarang tersenyum, senyumnya justru terlihat manis.
"saya mau kamu, memenuhi keinginan saya.." jawabnya ringan.
"keinginan mas Arifin apa?" tanyaku lagi, terdengar lugu.
"saya seorang suami. Tapi istri saya tinggal jauh di kampung. Saya biasanya pulang hanya dua bulan sekali. Jadi selama dua bulan, saya harus bisa menahan keinginan saya untuk berhubungan intim. Karena itu, saya ingin kamu memenuhi keinginan saya tersebut. Saya sudah tidak bisa menahannya lagi. Karena kamu baru, saya memilih kamu hari ini. Terus terang saya hampir setiap hari melakukan ini, dengan para napi lainnya. Dan mereka tidak ada yang berani menolak. Selain karena takut, kita sebenarnya juga saling membutuhkan..." jelas mas Arifin panjang lebar.
Terus terang aku merasa kaget mendengarnya. Tapi aku juga merasa takut.
"tapi.. saya... saya ... bukan homo.." ucapku bergetar.
"iya. Saya tahu. Semua napi yang saya bawa kesini juga bukan homo. Tapi kamu harus percaya sama saya. Kamu akan bisa menikmatinya, seperti para napi lainnya." jawab mas Arifin lagi.
"tapi... saya gak bisa, mas..." ujarku pelan dengan perasaan takut.
"udah.. kamu tenang saja, kalau kamu mau, saya akan perlakukan kamu dengan baik. Tapi jika kamu menolak, saya tetap akan paksa kamu. Dan kamu tak akan bisa melawan. Kamu tinggal pilih, mau saya melakukannya secara kasar atau secara lembut...?" balas mas Arifin terdengar tegas.
Kali ini aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Biar bagaimanapun aku memang tidak akan bisa melawan. Jika aku menolak, aku pasti akan diperlakukan buruk selama di penjara ini.
Saat aku sedang memikirkan hal tersebut, tiba-tiba mas Arifin melangkah mendekat. Ia mulai merangkul tubuhku.
Aku sedikit risih dan berusaha mendorong tubuh kekar mas Arifin. Tapi ia justru semakin kuat mendekapku. Hingga tubuhku terasa lemas. Aku tak bisa melawan lagi.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, saat mas Arifin mulai menyalurkan keinginannya padaku.
Sore itu, dengan perasaan jijik dan sangat terpaksa, aku harus memenuhi keinginan mas Arifin yang sangat garang.
Itulah pertama kalinya dalam hidupku merasakan hal tersebut. Aku tak menyangkan aku akan terjebak seperti ini. Padahal aku di penjara justru karena berusaha menghindari hal tersebut. Namun dipenjara ini, aku justru akhirnya harus melakukan hal itu.
Dan hal itu terus terjadi, hampir setiap sore. Mas Arifin selalu mengajakku setiap sorenya. Bukan hanya mas Arifin, seorang sipir penjara lainnya, Mahdi, juga sering melahap tubuhku.
Dan parahnya lagi, teman-teman sekamarku, juga pernah melakukannya denganku berkali-kali.
Aku benar-benar terjebak disini. Aku terjebak dalam lumpur penuh dosa.
Aku terus mengalami hal tersebut selama bertahun-tahun aku dipenjara. Mereka bahkan pernah menggilirku beberapa kali. Aku tak kuasa melawan, aku terlalu lemah. Terutama karena aku merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Hingga tujuh tahun aku pun keluar dari penjara tersebut. Selama tujuh tahun itu, Ibu tidak sekalipun menjengukku. Bahkan tak seorang pun pernah menjengukku.
Selama tujuh tahun, aku justru jadi pelampiasan dari beberapa orang sipir dan juga para penghuni penjara lainnya. Aku merasa hidupku telah hancur berantakkan.
Mungkin ini adalah hukuman atas pembunuhan yang telah aku lakukan. Aku mencoba menjalaninya dengan tabah.
Hingga keluar penjara pun, aku pun mencoba menemui Ibuku. Namun menurut cerita seorang tetangga, Ibu ternyata sudah meninggal enam tahun lalu. Ibu mengalami sakit, mungkin karena kekcewaannya padaku. Hingga akhirnya beliau wafat.
Sekarang aku hidup terlunta-lunta dijalanan. Tidak seorangpun yang aku kenal saat ini. Aku juga tidak tahu, harus kemana lagi. Hidupku benar-benar hancur dan berantakan.
Bersambung ...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih