Aku duduk di ruang tunggu rumah sakit yang mulai sepi, sambil terus berpikir apa yang harus aku lakukan saat ini. Sampai sebuah suara mengagetkanku,
"siapa yang sakit?" suara itu terdengar berat di telingaku.
Aku menoleh kearah suara tersebut, seorang laki-laki tua tersenyum tipis menatapku. Laki-laki itu kuperkirakan sudah berusia kurang lebih hampir 50 tahun.
Aku membalas senyum lelaki itu, sambil beruca, "Ibuku..." suaraku pelan.
"oh..." balas laki-laki itu, "sakit apa?" lanjutnya bertanya lagi.
Aku pun dengan sedikit berat menceritakan tentang penyakit Ibu. Tentu saja aku belum berani menceritakan tentang kesulitan yang sedang aku alami.
"oh, ya. Saya Aryo, panggil saja om Aryo..." ucap laki-laki itu lagi, setelah kami terdiam beberapa saat.
"saya Diko, om..." jawabku sambil menjabat tangan om Aryo.
"kamu kuliah, kerja atau ..."
"saya masih kuliah, om..." jawabku cepat.
Sikap om Aryo yang cukup ramah, membuatku menjadi sedikit terbuka.
"om lagi nungguin siapa?" tanyaku.
"istri om. Ia sakit jantung..." jawab om Aryo ringan.
Kemudian om Aryo pun menceritakan tentang keluarganya. Ia sudah punya dua orang anak. Kedua anaknya perempuan. Anak pertamanya sudah menikah, dan anak bungsunya masih kuliah.
Entah mengapa om Aryo sangat terbuka padaku malam itu. Kami menjadi cepat akrab, meski kami baru saja saling kenal.
Apa lagi, aku memang butuh tempat untuk bercerita.
Keterbukaan om Aryo, membuatku tanpa sadar menceritakan kesulitan yang sedang aku alami.
"jadi kamu lagi butuh uang untuk biaya operasi ibu kamu?" tanya om Aryo, ketika aku mengakhiri ceritaku.
"iya. Begitulah, om. Saya tidak tahu lagi harus mengadu kepada siapa..." balasku dengan nada sedih.
Cukup lama kami terdiam. Tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
Sampai kemudian om Aryo tiba-tiba berucap,
"saya bisa kasih kamu uang, buat biaya operasi ibu kamu. Atau bahkan, aku bisa membiayai kuliahmu hingga selesai. Tapi untuk itu semua, tentu saja kamu harus melakukan sesuatu buat saya."
Kalimat om Aryo tersebut, membuatku kembali menatapnya.
Menatapnya dengan penuh tanya.
Suasana di ruang tunggu itu memang sudah mulai sunyi. Kami hanya duduk berdua di sana.
"saya akan melakukan apa saja, om. Agar Ibu bisa segera di operasi..." ucapku akhirnya.
"kamu yakin?" tanya om Aryo, ia menatapku tajam.
"yakin, om." balasku.
"tapi kamu bisa juga rahasia, kan?" tanya om Aryo lagi.
"iya, bisa, om..." jawabku lugu. Aku benar-benar tidak tahu, rahasia apa yang dimaksud oleh om Aryo.
Suasana kembali hening. Aku menatap jam di dinding, sudah hampir jam 12 malam.
Rumah sakit sudah semakin sepi, hanya ada beberapa orang suster yang berlalu lalang.
Tiba-tiba om Aryo menggeser duduknya mendekatiku. Kami duduk sangat berdekatan.
"kamu mau gak menemani om tidur malam ini?" suara om Aryo berbisik di telingaku.
Suara itu cukup pelan, namun mampu membuatku terperanjat.
Separoh hatiku belum begitu mengerti, maksud dari pertanyaan om Aryo barusan. Namun separoh hatiku yang lain mencoba menebaknya.
Om Aryo menatapku sambil terus tersenyum.
Aku merasa sedikit risih dan perlahan aku pun beringsut menjauh.
"maksud om Aryo apa?" tanyaku akhirnya.
"ya. itu. Kamu mau gak temani om tidur malam ini?" balas om Aryo terlihat santai.
"om Aryo gay?" tanyaku lagi, sekedar meyakinkan diriku sendiri.
"menurut kamu?" om Aryo bertanya balik, yang membuatku semakin yakin.
"tapi bukannya om sudah punya istri dan anak?" tanyaku lagi.
"kamu pikir laki-laki gay itu tidak bisa menikah? kamu pikir semua laki-laki yang sudah menikah itu adalah laki-laki normal?" ucap om Aryo, "lagi pula bagi saya, pernikahan itu hanyalah sebuah simbol, untuk menutupi siapa saya sebenarnya.." lanjutnya.
Saya tertunduk menatap lantai. Saya semakin bingung dengan semuanya. Awalnya tadi saya cukup kagum dengan sosok om Aryo. Tapi sekarang? .... entahlah.
Ini semua membuat pikiranku semakin kacau.
"jadi gimana? kamu mau gak?" om Aryo bertanya lagi.
"saya janji akan kasih kamu uang sebanyak yang kamu butuhkan. Dan saya akan membiayai kuliah kamu hingga selesai. Tapi kamu harus bersedia menemani saya tidur malam ini dan malam-malam selanjutnya. Intinya kamu akan saya jadikan kekasih simpanan saya..." lanjutnya lagi.
Aku semakin bingung. Di satu sisi, aku memang lagi butuh uang banyak, terutama untuk biaya operasi ibu dan tentu saja untuk biaya kuliahku selanjutnya. Dengan menerima tawaran om Aryo, setidaknya aku akan dengan mudah mendapatkan semua itu.
Tapi di sisi lain, aku bukan gay. Aku masih laki-laki tulen.
Bagaimana mungkin aku bisa memenuhi keinginan om Aryo. Membayangkannya saja, aku sudah merasa mual.
"kamu harus pikirkan ibumu, Diko..." suara om Aryo mengagetkanku.
"tapi..."
"udah kamu tenang aja. Rahasia kamu aman, kok. Percaya sama om. Mungkin awal-awal kamu akan merasa jijik, tapi nantinya kamu akan bisa menikmati hal tersebut. Om sudah sering melakukan hal itu dengan cowok normal, awalnya mereka memang merasa jijik, tapi lama-lama mereka justru ketagihan.." ucap om Aryo lagi.
"om cuma kasihan, sih, lihat kamu. Sebenarnya om bisa bayar siapa saja buat menemani om, seperti yang om lakukan selama ini. Tapi kalau kamu mau, om akan berhenti jajan sembarangan. Om cukup berhubungan dengan kamu aja. Lagi pula ini artinya, kita saling bantu. Om bantu kamu buat dapatkan uang dengan mudah, dan kamu bantu om, untuk menikmati hidup..." lanjut om Aryo panjang lebar.
Aku terdiam lagi.
Tiba-tiba aku melihat adik perempuanku keluar dari ruang inap Ibuku. Dia melangkah tergesa menuju kami.
"Ibu pingsan lagi, mas..." ucapnya terbata.
Aku segera berdiri dan berlari menuju ruangan ibu. Aku memanggil seorang suster yang kebetulan lewat, untuk memintanya memanggil dokter.
Ibu terbaring kaku tak sadarkan diri. Selang beberapa saat, dokter pun datang. Beliau meminta kami untuk menunggu di luar.
"kondisi ibumu semakin parah." ucap dokter itu, setelah hampir lima belas menit dia berada di dalam.
"beliau harus segera di operasi besok pagi, kalau tidak, kami takut terjadi apa-apa pada beliau..." lanjut dokter itu lagi, yang membuatku semakin kacau.
"sekarang beliau sudah siuman, tapi biarkan beliau istirahat, ya...." dokter itu mengakhiri kalimatnya, lalu melangkah pergi.
*******
"bagaimana kalau saya hanya menemani om tidur malam ini saja. Untuk selanjutnya kita tidak usah bertemu lagi. Tapi om bayar saya malam ini, sebanyak biaya operasi ibu..." ucapku akhirnya, setelah aku kembali ke tempat om Aryo tadi. Beliau masih setia menungguku di sana.
Om Aryo tersenyum simpul, lalu berucap,
"biaya operasi Ibumu itu, puluhan juta nilainya, Diko. Uang sebanyak itu, tidak cukup kamu bayar hanya dengan menemani saya tidur satu malam." balas om Aryo.
"saya akan bayar uang itu nanti, kalau saya sudah dapat uang. Tapi tolong, jangan paksa saya untuk jadi kekasih gelap om..." suaraku sedikit menghiba.
"om tidak pernah memaksa kamu, Diko. Itu pilihan kamu. Tapi kalau kamu tidak mau, bagi saya tidak ada masalah..." jawab om Aryo lagi yang membuatku merasa tertekan.
"kalau saya jadi kamu, sih. Saya gak perlu pikir panjag lagi. Yang penting kan ibumu bisa segera di operasi. Lagi pula, dalam hal ini, kamu tidak di rugikan apa-apa, loh." om Aryo melanjutkan kalimatnya.
Aku menarik napas, mencoba menahan perih di hatiku.
Haruskah aku menjual diriku demi Ibu?
Tidak adakah cara lain?
Oh Tuhan, bantu aku...
*******
Kami memasuki sebuah kamar mewah di salah satu hotel bintang lima. Dengan langkah ragu, aku mengikuti om Aryo masuk.
Aku akhirnya dengan sangat terpaksa, menerima tawaran om Aryo.
Aku tahu ini salah. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa lagi, agar bisa mendapatkan uang sebanyak itu, hanya dalam waktu satu malam.
Om Aryo mengajakku duduk di tepian ranjang. Beliau sudah melepas bajunya. Ia hanya memakai celana pendek.
Jantungku berdetak tak karuan. Seumur hidup ini pertama kalinya, kau masuk ke kamar hotel semewah ini.
Segala perasaan risih dan rasa jijik menghantuiku.
Beberapa kali aku permisi ke kamar mandi, hanya sekedar menenangkan pikiranku dan menahan segala rasa jijikku.
Namun om Aryo sangat lembut, dia sangat mengerti bagaimana memperlakukanku dengan baik.
Meski dengan perasaan risih dan jijik, aku mencoba menerima segala perlakuan om Aryo malam itu.
Aku tidak tahu, entah bagian mana yang paling menyakitkan dari semua ini.
Antara menerima perlakuan om Aryo dengan pasrah atau menyaksikan Ibu yang terbaring lemah di rumah sakit.
Semua ini benar-benar menyakitkan bagiku. Tapi aku bisa apa. Semua memang harus terjadi.
Aku mencoba menikmatinya. Menikmati segala yang dilakukan om Aryo padaku. Mencoba memberikan om Aryo sesuatu yang terbaik.
Meski perasaanku merasa tersiksa dengan semua itu.
Malam itu, kulihat om Aryo tersenyum sumringah. Raut kebahagiaan terlihat jelas di wajahnya.
Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih padaku. Sepertinya ia sangat menikmati hal tersebut.
Dan aku berusaha mengimbanginya.
*******
Esok harinya, om Aryo pun mentransfer sejumlah uang ke rekeningku. Jumlahnya melebihi dari yang aku butuhkan.
Aku segera melakukan pembayaran ke rumah sakit.
Hari itu pun Ibu di operasi. Dan Syukurlah operasi Ibu berjalan lancar.
Beberapa hari kemudian, Ibu pun sudah mulai membaik dan sudah diperbolehkan pulang.
Hari-hari berikutnya, om Aryo sering menghubungiku. Memintaku untuk menemaninya tidur.
Seperti perjanjian kami, aku harus bisa memenuhi keinginan om Aryo.
Ibu sudah pulih kembali, meski ia belum bisa bekerja terlalu berat.
"aku ada bisnis dengan seorang teman, Bu. Jadi Ibu gak perlu khawatir tentang semua itu. Yang penting Ibu sudah sembuh sekarang.." jawabku, ketika akhirnya Ibu mempertanyakan, dari mana aku mendapatkan uang untuk biaya operasinya.
Aku tahu Ibu tidak begitu saja percaya. Karena itu, aku meminta om Aryo datang dan mengaku sebagai teman bisnisku. Ibu akhirnya pun percaya.
Aku juga tidak menceritakan kepada Ibu, tentang beasiswaku yang sudah dicabut. Aku tak ingin Ibu tahu. Aku tak ingin Ibu menambah beban pikirannya.
Sementara hubunganku dengan om Aryo semakin serius. Om Aryo selalu memintaku datang menemuinya, setiap malam minggu. Dan ia akan memberiku sejumlah uang setiap kali kami selesai melakukannya.
Begitulah rutinitasku saat ini. Aku masih terus berjualan gorengan, seperti biasa. Setidaknya untuk menutupi jejakku yang sebenarnya.
Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan bertahan, menjadi kekasih simpanan om Aryo.
Walau sejujurnya, aku mulai menikmati hal tersebut.
Seperti yang om Aryo pernah ceritakan. Aku yang awalnya merasa jijik, sekarang mulai menginginkan hal tersebut.
Om Aryo benar-benar bisa membuatku ketagihan. Ditambah lagi, aku juga mendapatkan sejumlah uang dari Om Aryo.
Semoga saja, semua ini tetaplah menjadi rahasia dalam hidupku.
Meski rasa bersalah selalu menghantuiku setiap kali aku selesai melakukannya.
Sekian...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih