Bau keringat menyengat hidungku. Aku tidak begitu mempedulikan hal
tersebut saat ini. Aku terus saja melangkahkan kakiku menuju terminal.
Sudah lebih dari sekilo aku berjalan. Rutinitas biasa yang aku lakukan
hampir setiap hari.
Dengan mendorong gerobak daganganku, aku terus
saja berjalan, meski kakiku kian lelah. Di dalam gerobak yang aku
dorong, terdapat beberapa peralatan masak dan juga bahan-bahan gorengan
yang sudah siap Ibuku olah dirumah.
"rok biruku sudah sobek,mas.
Kayaknya harus ganti baru deh..." terngiang kembali ucapan lembut adik
perempuanku yang sudah duduk di kelas 3 SMP itu.
"kan masih bisa dijahit, Tini." timpal Ibuku yang sedang mengupas pisang, untuk aku bawa berjualan.
"udah gak bisa dijahit lagi, Bu. Sobekannya udah bekas jahitan yang kemarin.." ucap Tini lagi dengan mulut sedikit manyun.
"ya udah, nanti kalau udah dapat uangnya, mas beli yang baru..." aku akhirnya membuka suara.
"saya
juga mas Diko, celana olahraga saya juga udah bolong di bagian
lututnya..." tiba-tiba adik laki-lakiku, Andi, yang sedang membantu Ibu
memasukan pisang yang sudah dikupas ke dalam baskom, ikut menimpali.
Andi
masih duduk di kelas lima SD, namun ia harus ikut bekerja membantu kami
menyiapkan barang dagangan. Aku memang menjual gorengan di sekitaran
terminal yang berada tidak begitu jauh dari rumah tempat kami tinggal.
Aku jualan gorengan setiap sore, setelah pulang kuliah.
Setiap sore aku berjualan gorengan di terminal. Meski hasilnya tidak begitu banyak, namun setidaknya selama dua tahun ini, aku masih mampu membiayai hidup kami sekeluarga, membiayai sekolah adik-adikku serta juga untuk biaya kuliahku sendiri. Walau aku dan adik-adikku harus sering menahan diri, untuk tidak berbelanja barang yang tidak begitu kami butuhkan. Walau terkadang Ibuku harus berhutang beras di warung depan rumah kami.
Untuk kuliahku sendiri, aku memang mendapatkan beasiswa. Karena itulah aku memilih untuk tetap kuliah, meski sebenarnya secara ekonomi aku tidak mampu.
"kamu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini, Diko..." suara lembut Ibuku suatu hari, ketika aku baru saja menyelesaikan masa SMA-ku. "kamu harus ambil beasiswa itu, kamu harus bisa kuliah..." lanjut Ibuku lagi.
Saat itu aku memang mendapatkan nilai terbaik di sekolah bahkan se-Kabupaten. Karena itulah pemerintah memberikan aku kesempatan untuk aku kuliah dengan memberiku beasiswa penuh.
"tapi bagaimana dengan adik-adik, Bu? Mereka masih butuh biaya. Dan aku harus bekerja keras untuk mendapatkan uang..." balasku mencoba memberi pengertian kepada Ibu.
"kamu gak perlu khawatir, Ibu masih bisa jualan gorengan, kok.." jawab Ibu.
Karena permintaan Ibu dan juga dorongan dari adik-adikku, akhirnya aku memutuskan untuk menerima beasiswa tersebut dan memilih untuk kuliah ke universitas terdekat dengan tempat tinggalku. Setidaknya aku bisa menghemat ongkos, karena aku bisa berjalan kaki ke kampus.
Namun belum genap dua bulan aku kuliah, Ibuku jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
"Ibu kamu harus banyak istirahat, dan tidak boleh kerja terlalu berat..." ucap Dokter yang merawat Ibu waktu itu.
Aku
merasa kasihan melihat Ibu. Beliau harus bekerja keras sendirian untuk
menghidupi dan membiayai kami. Karena itu aku pun berpikir untuk mencari
pekerjaan paroh waktu, setidaknya jangan sampai mengganggu jam
kuliahku. Namun sudah beberapa minggu, aku belum juga mendapatkan
pekerjaan tersebut.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk
mengambil alih pekerjaan Ibuku, untuk berjualan gorengan di terminal.
Jika biasanya Ibuku berjualan dari pagi hingga siang hari, aku memilih
untuk berjualan dari sore hingga malam hari. Tentu saja karena aku harus
kuliah di pagi harinya.
Semua bahan-bahan untuk membuat berbagai
gorengan sudah Ibu siapkan dari rumah. Sesampainya di terminal aku
hanya tinggal menggoreng bahan-bahan tersebut. Dan terkadang adikku,
Tini, juga ikut membantu aku berjualan di terminal.
Dari hasil jualan
gorengan tersebut-lah aku membiayai hidup kami dan juga sekolah
adik-adikku. Namun tentu saja semua itu tidak selalu cukup. Kami harus
benar-benar hemat dan sering menahan selera.
"semua teman-temanku sudah punya handphone, mas.." ucap Tini suatu hari, di tempat kami berjualan.
"Tin,
kita harusnya tetap bersyukur, karena masih bisa makan dan sekolah..."
jawabku ringan, "kita sama-sama berdo'a saja, semoga ke depannya hidup
kita bisa membaik..." lanjutku.
Tini hanya terdiam, setiap kali aku
berbicara demikian. Aku tahu Tini belum begitu kuat menjalani kehidupan
seperti ini. Usianya masih terlalu muda untuk bisa menerima semuanya.
Biar bagaimanapun teman-teman seusianya saat ini sedang asyik-asyiknya
bermain dan nongkrong. Sementara Tini sudah harus membantuku bekerja.
Namun aku yakin, Tini adalah gadis yang baik. Perlahan dia pasti akan
bisa menerima semuanya.
"tidak semua yang kita inginkan itu harus
dapat kita peroleh. Ada hal-hal yang harus kita ikhlaskan dalam hidup
ini.." aku berujar lagi, sambil menyentuh lembut pundak Tini.
"yah,
Tini paham, mas. Tini hanya sekedar bercerita, kok. Mas jangan
kepikiran, ya..." balas Tini dengan menyunggingkan senyum tipisnya.
****
Aku segera menuju kamar Ibu. Kulihat Ibu terbaring lemah di atas dipan, tangannya memegang perutnya sendiri. Ia terdengar merintih menahan sakit. Wajahnya pucat pasi.
"Ibu kenapa?" tanyaku sambil melangkah mendekat. Aku memegangi perut Ibu.
"Ibu gak apa-apa......, Hanya ... sakit perut.." jawab Ibu terbata, karena menahan sakit.
"kita ke rumah sakit ya, Bu.." tawarku, tak tega melihat Ibu yang masih saja terus merintih.
"gak.... gak usah... Diko.... Ibu gak apa-apa..." balas Ibu sambil terus menekan perutnya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba mata Ibu terpejam, ia tak sadarkan diri seketika. Aku mulai panik dan sedikit berteriak memanggil Ibu. Saat itu, adikku, Tini baru saja pulang dari sekolah. Aku segara menyuruh Tini untuk memanggil tukang becak yang memang berada tidak terlalu jauh dari rumah kami.
Dengan menaiki becak, aku membawa Ibu ke rumah sakit terdekat. Sesampai di rumah sakit, Ibu belum juga sadarkan diri. Aku mulai cemas, pikiranku tak karuan. Para suster segera membawa Ibu ke ruang ICU. Aku dan adik-adikku hanya bisa menunggu di luar ruangan, sambil terus berdo'a.
Adik-adikku terisak. Aku sendiri sebenarnya juga ingin menangis. Namun sekuat mungkin aku menahan air mataku. Aku harus terlihat kuat, terutama di depan adik-adikku. Mataku memerah, hatiku terhiris pilu. Tak kuat rasanya mengahadapi ini semua.
Baru saja pagi tadi aku mendengar kabar kurang baik di kampus. Pak Jaya, dosen yang selama ini mengurus masalah beasiswa-ku, menyampaikan, bahwa mulai semester besok beasiswa-ku akan dihentikan.
"pemerintah mulai menghentikan beberapa beasiswa, karena kondisi perekonomian pemerintah, terutama pemerintah daerah kita mulai memburuk. Salah satu beasiswa yang dihentikan itu, termasuk nama kamu, Diko. Bapak minta maaf, tidak bisa membantu terlalu banyak." ucap pak Jaya dengan nada penuh iba.
Aku terhenyak mendengar itu semua. Jika beasiswa ku dihentikan, itu artinya, mulai semester depan aku harus membayar uang kuliah sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa membayar uang kuliah, sementara selama ini, pendapatan kami selalu saja kurang.
Aku berjalan lesuh meninggalkan ruangan pak Jaya. Pikiranku menerawang tak menentu.
Dan sekarang?
Sekarang Ibu terbaring di rumah sakit. Aku bahkan tidak punya uang untuk biaya berobat Ibu. Apa lagi jika Ibu sampai dirawat. Kemana aku harus mencari uang?
Aku benar-benar terpukul dengan semua kejadian yang menimpaku hari ini. Rasanya dunia berhenti berputar. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi menahan kepedihan yang aku rasakan saat ini.
"Ibumu terkena usus buntu. Beliau harus segera dioperasi. Jika tidak, ususnya akan terus membengkak dan pecah. Jika hal itu terjadi, nyawa beliau kemungkinan tidak bisa terselamatkan.." penjelasn dokter Cahyo, membuat napasku terasa terhenti. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Kali ini, dunia benar-benar runtuh bagiku.
Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu? Dan aku juga tidak tega melihat Ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"saya tahu kesulitan nak Diko," ucap dokter Cahyo lagi, "tapi pihak rumah sakit tidak bisa berbuat banyak. Operasi adalah jalan satu-satunya untuk kesembuhan Ibumu." lanjutnya.
Aku hanya terdiam membisu. Tidak tahu harus mengatakan apa saat itu.
Dokter Cahyo kembali menatapku lembut, "mungkin untuk sementara, kami akan memberikan obat antibiotik untuk Ibumu. Menjelang kamu bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu..." beliau berujar lagi dengan suara lembut.
Kami berbicara di ruangan dokter Cahyo, sementara adik-adikku sudah bersama Ibu. Beliau baru saja sadarkan diri setelah dokter memasang infus pada tangan beliau. Para suster segera memindahkan Ibu ke kamar inap. Untuk sementara Ibu memang harus dirawat di rumah sakit, karena kondisinya yang masih sangat lemah dan juga beliau masih butuh perawatan yang intensif.
Malam itu, aku meminta adik-adikku untuk menjaga Ibu di rumah sakit, dengan meninggalkan sedikit uang untuk sekedar makan malam mereka.
Sementara aku harus pulang ke rumah dan mulai berpikir bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu.
Rumah yang kami tempati adalah sebuah rumah bulatan kecil yang dibangun oleh ayahku ketika beliau masih hidup. Rumah kecil dan tanah ini memang milik kami, tapi rumah dan tanah ini tidak punya surat-surat lengkap untuk bisa aku gadaikan. Tanah ini dibeli oleh ayah dari seorang teman, yang katanya, merupakan tanah warisan yang belum mempunyai surat.
Dan jika aku menjual rumah ini untuk biaya operasi Ibu, lalu kami akan tingal dimana?
Sungguh
aku telah kehabisan cara untuk bisa mendapatkan uang dengan cepat.
Pikiranku semakin kacau. Aku tidak punya tempat mengadu saat ini. Ayah
dan Ibu tidak punya keluarga lain, mereka sama-sama merantau ke kota
ini. Dan setahuku, Ayah atau Ibu sudah tidak punya saudara lagi di
kampung.
****
Aku melangkah sendirian dalam cahaya remang malam. Aku melangkah menuju
rumah sakit. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, karena mataku
enggan terpejam. Pikiranku merasa sangat tidak tenang.
Sesampai di
rumah sakit, aku melihat Ibu sudah tertidur di ranjang. Sementara kedua
adikku terbaring di lantai, mereka terlihat lelah. Aku semakin terenyuh
melihat itu semua. Sungguh hatiku terasa terhiris-hiris. Begitu
pedih....
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih