Langsung ke konten utama

Adsense

Penjual gorengan (part 1)

Bau keringat menyengat hidungku. Aku tidak begitu mempedulikan hal tersebut saat ini. Aku terus saja melangkahkan kakiku menuju terminal. Sudah lebih dari sekilo aku berjalan. Rutinitas biasa yang aku lakukan hampir setiap hari.
Dengan mendorong gerobak daganganku, aku terus saja berjalan, meski kakiku kian lelah. Di dalam gerobak yang aku dorong, terdapat beberapa peralatan masak dan juga bahan-bahan gorengan yang sudah siap Ibuku olah dirumah.

"rok biruku sudah sobek,mas. Kayaknya harus ganti baru deh..." terngiang kembali ucapan lembut adik perempuanku yang sudah duduk di kelas 3 SMP itu.
"kan masih bisa dijahit, Tini." timpal Ibuku yang sedang mengupas pisang, untuk aku bawa berjualan.
"udah gak bisa dijahit lagi, Bu. Sobekannya udah bekas jahitan yang kemarin.." ucap Tini lagi dengan mulut sedikit manyun.
"ya udah, nanti kalau udah dapat uangnya, mas beli yang baru..." aku akhirnya membuka suara.
"saya juga mas Diko, celana olahraga saya juga udah bolong di bagian lututnya..." tiba-tiba adik laki-lakiku, Andi, yang sedang membantu Ibu memasukan pisang yang sudah dikupas ke dalam baskom, ikut menimpali.
Andi masih duduk di kelas lima SD, namun ia harus ikut bekerja membantu kami menyiapkan barang dagangan. Aku memang menjual gorengan di sekitaran terminal yang berada tidak begitu jauh dari rumah tempat kami tinggal. Aku jualan gorengan setiap sore, setelah pulang kuliah.

Aku terenyuh mendengar permintaan adik-adikku. Hatiku merasa iba melihat mereka. Namun aku tidak bisa berbuat banyak saat ini. Kehidupan ekonomi keluarga kami memang sedang tidak baik. Sejak Ayahku meninggal dua tahun yang lalu, secara otomatis aku menjadi tulang punggung bagi keluargaku. Ibuku yang sudah mulai menua dan sering sakit-sakitan, tidak bisa bekerja terlalu berat.
Setiap sore aku berjualan gorengan di terminal. Meski hasilnya tidak begitu banyak, namun setidaknya selama dua tahun ini, aku masih mampu membiayai hidup kami sekeluarga, membiayai sekolah adik-adikku serta juga untuk biaya kuliahku sendiri. Walau aku dan adik-adikku harus sering menahan diri, untuk tidak berbelanja barang yang tidak begitu kami butuhkan. Walau terkadang Ibuku harus berhutang beras di warung depan rumah kami.
Untuk kuliahku sendiri, aku memang mendapatkan beasiswa. Karena itulah aku memilih untuk tetap kuliah, meski sebenarnya secara ekonomi aku tidak mampu.

"kamu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini, Diko..." suara lembut Ibuku suatu hari, ketika aku baru saja menyelesaikan masa SMA-ku. "kamu harus ambil beasiswa itu, kamu harus bisa kuliah..." lanjut Ibuku lagi.
Saat itu aku memang mendapatkan nilai terbaik di sekolah bahkan se-Kabupaten. Karena itulah pemerintah memberikan aku kesempatan untuk aku kuliah dengan memberiku beasiswa penuh.
"tapi bagaimana dengan adik-adik, Bu? Mereka masih butuh biaya. Dan aku harus bekerja keras untuk mendapatkan uang..." balasku mencoba memberi pengertian kepada Ibu.
"kamu gak perlu khawatir, Ibu masih bisa jualan gorengan, kok.." jawab Ibu.
Karena permintaan Ibu dan juga dorongan dari adik-adikku, akhirnya aku memutuskan untuk menerima beasiswa tersebut dan memilih untuk kuliah ke universitas terdekat dengan tempat tinggalku. Setidaknya aku bisa menghemat ongkos, karena aku bisa berjalan kaki ke kampus.

 Namun belum genap dua bulan aku kuliah, Ibuku jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
"Ibu kamu harus banyak istirahat, dan tidak boleh kerja terlalu berat..." ucap Dokter yang merawat Ibu waktu itu.
Aku merasa kasihan melihat Ibu. Beliau harus bekerja keras sendirian untuk menghidupi dan membiayai kami. Karena itu aku pun berpikir untuk mencari pekerjaan paroh waktu, setidaknya jangan sampai mengganggu jam kuliahku. Namun sudah beberapa minggu, aku belum juga mendapatkan pekerjaan tersebut.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mengambil alih pekerjaan Ibuku, untuk berjualan gorengan di terminal. Jika biasanya Ibuku berjualan dari pagi hingga siang hari, aku memilih untuk berjualan dari sore hingga malam hari. Tentu saja karena aku harus kuliah di pagi harinya.

Semua bahan-bahan untuk membuat berbagai gorengan sudah Ibu siapkan dari rumah. Sesampainya di terminal aku hanya tinggal menggoreng bahan-bahan tersebut. Dan terkadang adikku, Tini, juga ikut membantu aku berjualan di terminal.
Dari hasil jualan gorengan tersebut-lah aku membiayai hidup kami dan juga sekolah adik-adikku. Namun tentu saja semua itu tidak selalu cukup. Kami harus benar-benar hemat dan sering menahan selera.
"semua teman-temanku sudah punya handphone, mas.." ucap Tini suatu hari, di tempat kami berjualan.
"Tin, kita harusnya tetap bersyukur, karena masih bisa makan dan sekolah..." jawabku ringan, "kita sama-sama berdo'a saja, semoga ke depannya hidup kita bisa membaik..." lanjutku.
Tini hanya terdiam, setiap kali aku berbicara demikian. Aku tahu Tini belum begitu kuat menjalani kehidupan seperti ini. Usianya masih terlalu muda untuk bisa menerima semuanya. Biar bagaimanapun teman-teman seusianya saat ini sedang asyik-asyiknya bermain dan nongkrong. Sementara Tini sudah harus membantuku bekerja. Namun aku yakin, Tini adalah gadis yang baik. Perlahan dia pasti akan bisa menerima semuanya.

"tidak semua yang kita inginkan itu harus dapat kita peroleh. Ada hal-hal yang harus kita ikhlaskan dalam hidup ini.." aku berujar lagi, sambil menyentuh lembut pundak Tini.
"yah, Tini paham, mas. Tini hanya sekedar bercerita, kok. Mas jangan kepikiran, ya..." balas Tini dengan menyunggingkan senyum tipisnya.

****


"Ibu sakit, mas.." ucap adikku, Andi, ketika aku baru saja pulang dari kuliah.
Aku segera menuju kamar Ibu. Kulihat Ibu terbaring lemah di atas dipan, tangannya memegang perutnya sendiri. Ia terdengar merintih menahan sakit. Wajahnya pucat pasi.
"Ibu kenapa?" tanyaku sambil melangkah mendekat. Aku memegangi perut Ibu.
"Ibu gak apa-apa......, Hanya ... sakit perut.." jawab Ibu terbata, karena menahan sakit.
"kita ke rumah sakit ya, Bu.." tawarku, tak tega melihat Ibu yang masih saja terus merintih.
"gak.... gak usah... Diko.... Ibu gak apa-apa..." balas Ibu sambil terus menekan perutnya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba mata Ibu terpejam, ia tak sadarkan diri seketika. Aku mulai panik dan sedikit berteriak memanggil Ibu. Saat itu, adikku, Tini baru saja pulang dari sekolah. Aku segara menyuruh Tini untuk memanggil tukang becak yang memang berada tidak terlalu jauh dari rumah kami.

Dengan menaiki becak, aku membawa Ibu ke rumah sakit terdekat. Sesampai di rumah sakit, Ibu belum juga sadarkan diri. Aku mulai cemas, pikiranku tak karuan. Para suster segera membawa Ibu ke ruang ICU. Aku dan adik-adikku hanya bisa menunggu di luar ruangan, sambil terus berdo'a.
Adik-adikku terisak. Aku sendiri sebenarnya juga ingin menangis. Namun sekuat mungkin aku menahan air mataku. Aku harus terlihat kuat, terutama di depan adik-adikku. Mataku memerah, hatiku terhiris pilu. Tak kuat rasanya mengahadapi ini semua.
Baru saja pagi tadi aku mendengar kabar kurang baik di kampus. Pak Jaya, dosen yang selama ini mengurus masalah beasiswa-ku, menyampaikan, bahwa mulai semester besok beasiswa-ku akan dihentikan.

"pemerintah mulai menghentikan beberapa beasiswa, karena kondisi perekonomian pemerintah, terutama pemerintah daerah kita mulai memburuk. Salah satu beasiswa yang dihentikan itu, termasuk nama kamu, Diko. Bapak minta maaf, tidak bisa membantu terlalu banyak." ucap pak Jaya dengan nada penuh iba.
Aku terhenyak mendengar itu semua. Jika beasiswa ku dihentikan, itu artinya, mulai semester depan aku harus membayar uang kuliah sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa membayar uang kuliah, sementara selama ini, pendapatan kami selalu saja kurang.
Aku berjalan lesuh meninggalkan ruangan pak Jaya. Pikiranku menerawang tak menentu.
Dan sekarang?

Sekarang Ibu terbaring di rumah sakit. Aku bahkan tidak punya uang untuk biaya berobat Ibu. Apa lagi jika Ibu sampai dirawat. Kemana aku harus mencari uang?
Aku benar-benar terpukul dengan semua kejadian yang menimpaku hari ini. Rasanya dunia berhenti berputar. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi menahan kepedihan yang aku rasakan saat ini.
"Ibumu terkena usus buntu. Beliau harus segera dioperasi. Jika tidak, ususnya akan terus membengkak dan pecah. Jika hal itu terjadi, nyawa beliau kemungkinan tidak bisa terselamatkan.." penjelasn dokter Cahyo, membuat napasku terasa terhenti. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Kali ini, dunia benar-benar runtuh bagiku.

Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu? Dan aku juga tidak tega melihat Ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"saya tahu kesulitan nak Diko," ucap dokter Cahyo lagi, "tapi pihak rumah sakit tidak bisa berbuat banyak. Operasi adalah jalan satu-satunya untuk kesembuhan Ibumu." lanjutnya.
Aku hanya terdiam membisu. Tidak tahu harus mengatakan apa saat itu.
Dokter Cahyo kembali menatapku lembut, "mungkin untuk sementara, kami akan memberikan obat antibiotik untuk Ibumu. Menjelang kamu bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu..." beliau berujar lagi dengan suara lembut.
Kami berbicara di ruangan dokter Cahyo, sementara adik-adikku sudah bersama Ibu. Beliau baru saja sadarkan diri setelah dokter memasang infus pada tangan beliau. Para suster segera memindahkan Ibu ke kamar inap. Untuk sementara Ibu memang harus dirawat di rumah sakit, karena kondisinya yang masih sangat lemah dan juga beliau masih butuh perawatan yang intensif.

Malam itu, aku meminta adik-adikku untuk menjaga Ibu di rumah sakit, dengan meninggalkan sedikit uang untuk sekedar makan malam mereka.
Sementara aku harus pulang ke rumah dan mulai berpikir bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu.
Rumah yang kami tempati adalah sebuah rumah bulatan kecil yang dibangun oleh ayahku ketika beliau masih hidup. Rumah kecil dan tanah ini memang milik kami, tapi rumah dan tanah ini tidak punya surat-surat lengkap untuk bisa aku gadaikan. Tanah ini dibeli oleh ayah dari seorang teman, yang katanya, merupakan tanah warisan yang belum mempunyai surat.

Dan jika aku menjual rumah ini untuk biaya operasi Ibu, lalu kami akan tingal dimana?
Sungguh aku telah kehabisan cara untuk bisa mendapatkan uang dengan cepat. Pikiranku semakin kacau. Aku tidak punya tempat mengadu saat ini. Ayah dan Ibu tidak punya keluarga lain, mereka sama-sama merantau ke kota ini. Dan setahuku, Ayah atau Ibu sudah tidak punya saudara lagi di kampung.

****

Aku melangkah sendirian dalam cahaya remang malam. Aku melangkah menuju rumah sakit. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, karena mataku enggan terpejam. Pikiranku merasa sangat tidak tenang.
Sesampai di rumah sakit, aku melihat Ibu sudah tertidur di ranjang. Sementara kedua adikku terbaring di lantai, mereka terlihat lelah. Aku semakin terenyuh melihat itu semua. Sungguh hatiku terasa terhiris-hiris. Begitu pedih....

Bersambung....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google