Aku tinggal di sebuah perumahan sederhana, bersama kedua orangtuaku dan juga dua orang adikku.
Kehidupan kami cukup sederhana. Ayahku mempunyai sebuah usaha toko bangunan, yang berada cukup jauh dari rumah tempat kami tinggal. Ayah dan Ibuku setiap hari selalu berada di toko. Aku dan adik-adikku juga jarang di rumah, karena harus sekolah. Dan biasanya adik-adikku akan langsung ke toko sepulang sekolah. Aku sering sendirian di rumah, bahkan hingga malam. Karena terkadang, ayah, Ibu dan adik-adikku memang pulangnya malam.
Aku tahu, aku 'sakit' sejak aku duduk di kelas satu SMA. Entah mengapa aku lebih menyukai laki-laki. Berawal dari rasa kagumku terhadap guru olahragaku di sekolah. Beliau memang tampan dan juga sangat atletis. Sosoknya benar-benar membuatku jatuh cinta padanya. Namun tentu saja, semua perasaan itu hanya bisa aku pendam. Biar bagaimana pun, beliau adalah guruku dan juga beliau sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Hampir setiap malam, aku selalu berhayal tentang pak Afis, guru olahragaku tersebut. Aku begitu menginginkannya. Membayangkan bisa berada dalam pelukan hangatnya.
Aku seorang yan pendiam dan sedikit pemalu. Aku tidak punya banyak teman baik di sekolah maupun di lingkungan tempat aku tinggal. Aku lebih sering menyendiri dan menghabiskan waktuku dengan membaca buku-buku.
Dua tahun aku berada di SMA tersebut, dua tahun pula lamanya aku hanya bisa memendam perasaanku terhadap pak Afis. Dua tahun aku hanya bisa mengaguminya dalam hatiku. Membayangkan tubuh kekarnya hampir setiap malam. Namun aku cukup bahagia dengan semua itu. Pak Afis adalah sosok yang sangat pantas untuk dikagumi.
********
Hari-hari berlalu seperti biasa. Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan hidupku.
Hingga suatu pagi, saat itu hari minggu. Seperti biasa semua keluargaku pergi ke toko. Tinggallah aku sendirian di rumah. Sehabis mandi dan sarapan, aku pun merebahkan tubuhku di depan layar TV di ruang keluarga kami. Setelah beberapa menit, aku mendengar suara ketukan di pintu. Dengan sedikit malas aku pun menuju ruang tengah untuk melihat siapa yang datang.
"galonnya, mas..." ucap seorang laki-laki yang sudah berdiri di depan pintu.
sesaat aku terperangah menatapi laki-laki pengantar galon tersebut. Ia hanya memakai celana jeans pendek yang memang sengaja di potong, dengan bertelanjang dada.
Aku sudah beberapa kali pernah melihat laki-laki tersebut. Aku juga tahu namanya, Alex. Dia memang setiap minggu mengantar galon ke rumah. Biasanya Ibuku yang mengurus hal tersebut. Dan biasanya ia datang jauh lebih pagi dari hari ini.
"maaf, mas. Tadi saya ada kerjaan lain, jadi ngantar galonnya agak sedikit telat. Tadi Ibu mas udah pesan, katanya saya suruh antar langsung ke rumah..." Alex berucap lagi, setelah melihat aku hanya terbengong."oh..ah...iya...iya... langsung bawa masuk aja, bang..." ucapku tergagap tiba-tiba.
Aku segera membukakan pintu lebih lebar, agar Alex lebih mudah mengangkat galonnya ke dalam.
Alex tersenyum sambil mengangkat galon ke dalam. Ada empat buah galon yang berada dalam keranjang besi diatas sebuah motor butut milik Alex.
Aku terus saja menatap Alex yang dengan cekatan mengangkat galon-galon tersebut. Otot-otot lengannya terlihat jelas. Alex memang mempunyai kulit yang agak gelap, namun tubuhnya sangat kekar ddan berotot. Dadanya bidang dengan perut yang ramping. Ada bulu-bulu halus di sekitaran pusarnya. Alex juga tidak terlalu tampan, tapi ia terlihat manis saat tersenyum.
Entah mengapa melihat itu semua, dadaku tiba-tiba bergemuruh. Ada gejolak yang tiba-tiba aku rasakan. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Dalam pikiranku aku membayangkan bisa memeluk tubuh seksi Alex yang terpampang jelas di depanku.
"udah semua, mas..." ucap Alex mengagetkanku, saat ia telah selesai mengangkuti semua galon ke dapur.
Aku tergagap kembali, terutama saat itu Alex berdiri hanya setengah meter di depanku. Butiran keringat kecil mengaliri tubuh seksinya. Dan hal itu tentu saja membuatku semakin gelagapan tak karuan. Aku jarang sekali berbicara berdekatan dengan orang-orang, terutama dengan laki-laki. Dan lagi pula Alex berdiri di depanku dengan bertelanjang dada.
Alex tersenyum melihatku yang salah tingkah.
"kamu kenapa, mas Farid?" suara Alex terdengar seperti menggoda di telingaku, yang membuatku semakin merinding.
"oh...gak....aku gak apa-apa.." jawabku masih dengan suara tergagap. "bang Alex tunggu disini sebentar ya, aku mau ambil uang di kamar dulu..." lanjutku berusaha bersikap wajar.
Aku segera melangkah menuju kamarku yang berada tidak jauh dari ruang tengah. Aku masuk ke kamar dengan sedikit menarik napas. Aku mencari-cari uang dalam dompetku, hingga tanpa aku menyadarinya ternyata Alex sudah berada di belakangku. Ternyata Alex sengaja mengikutiku masuk ke dalam kamar. Aku terperanjat seketika. Namun Alex tetap melangkah semakin mendekat. Jantungku berdebar kembali. Perasaanku campur aduk.
Alex berdiri di depanku dengan senyuman manisnya.
"bang Alex kenapa gak tunggu diluar saja.." tanyaku dengan suara bergetar, menahan gejolakku sendiri.
"mas Farid gak suka sama saya?" tanya Alex, yang membuatku sedikit bingung.
"saya......" kalimatku terhenti, ketika tangan Alex tiba-tiba menyentuh pundakku.
"saya suka melihat mas Farid. Mas Farid sangat tampan dan putih..." Alex berkata sambil mengelus-elus pundakku dengan lembut.
Aku hanya terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa saat itu. Seumur hidupku, baru kali ini seseorang memujiku. Kalimat Alex barusan benar-benar membuatku merasa tersanjung. Namun yang paling membuatku semakin berbunga, ialah ketika dengan blak-blakan Alex mengatakan kalau ia menyukaiku. Sungguh tak pernah terpikir olehku sebelumnya, jika Alex juga seorang yang 'sakit'.
Alex memang menarik secara fisik, tapi aku tidak begitu mengenalnya. Meski pun ada keinginan untuk menerimaa ajakan Alex, namun aku segera menepis tangan Alex dari bahuku.
"maaf, Lex. Saya gak bisa..." ujarku pelan. "kita juga tidak mungkin melakukan hal tersebut dirumahku.." lanjutku mencoba memberi pengertian pada Alex.
Alex melepaskan tangannya, ia terlihat sedikit murung. Tapi aku juga tidak begitu peduli. Aku tahu, apa yang dirasakan Alex bukanlah cinta yang sesungguhnya. Itu semua bisa saja hanya sebuah rasa kagum atau justru hanya sebuah nafsu belaka.
Aku berjalan keluar, Alex mengikutiku dengan gontai. Dalam pikiranku saat ini hanya ada pak Afis. Dia satu-satunya laki-laki yang mampu merasuki hati dan pikiranku.
Meski pun Alex sempat menyita perhatianku karena keterus-terangannya, namun semua itu tidak mampu membuatku melupakan sosok pak Afis.
Dari Alex aku belajar, untuk lebih berani dan berterus terang. Setidaknya dengan berterus terang kita bakal tahu, apa yang orang tersebut rasakan pada kita.
"maaf ya, mas Farid. Saya tidak bermaksud..." ucap Alex lemas, saat ia hendak menaiki motornya untuk pergi.
"ya, saya paham. Saya bisa merasakan apa yang bang Alex rasakan. Tapi sekali lagi saya mohon maaf, saya belum bisa..." balasku, sambil perlahan menutup pintu.
***********
Hari-hari berikutnya aku masih tetap melakukan aktifitas seperti biasa. Berangkat sekolah pada pagi hari, seperti biasa. Aku sempat bertemu Alex beberapa kali, namun kami hanya saling tersenyum dari kejauhan. Rasanya ada yang beda, setiap kali bertatap pandang dengan Alex. Sekarang aku tahu, bahwa di lingkungan perumahan ini, aku bukan satu-satunya yang 'sakit'.
Suatu hari, aku berangkat sekolah agak sedikit terlambat, karena telat bangun pagi. Sesampai di sekolah, pak Darman, satpam sekolah, sudah menutup pintu pagar. Dengan sedikit memelas, aku memohon kepada pak Darman untuk membuka pintu pagar untukku.
Pagi itu jam olahraga, sebuah pelajaran favoritku. Selain karena belajar di luar ruangan, tentu saja juga karena aku akan bisa menatap pak Afis dari dekat. Aku akan bisa melihat tubuh kekar pak Afis yang biasanya akan berkeringat.
Setelah bertukar pakaian, aku dengan berlari menuju lapangan olahraga. Disana sudah berkumpul teman-teman sekelas dan juga sudah ada pak Afis. Tentu saja, kehadiranku disana, menarik perhatian mereka, karena tak biasanya aku terlambat.
Pak Afis memanggilku ke depan. Tubuhku tiba-tiba gemetaran, dadaku bergemuruh hebat. Aku tak biasa berada dalam situasi seperti itu. Aku memang pemalu dan jarang sekali tampil ke depan. Teman-teman tak banyak yang mengenalku, karena aku memang pendiam.
Aku berdiri di depan dengan kepala tertunduk. Perasaanku benar-benar tak karuan.
"kenapa kamu terlambat?" suara pak Afis mengagetkanku. Namun aku tetap tertunduk, tak berani menatap wajah pak Afis. Aku tetap diam mematung, takut untuk berbicara.
Melihat aku yang hanya terdiam, pak Afis akhirnya menyuruh saya untuk ikut berbaris bersama teman-teman yang lain. Aku pun menurutinya.
"nanti jam istirahat, kamu temui saya di ruang saya ya..." ucap pak Afis lagi, ketika aku hendak melangkah menuju barisan. Kali ini, aku beranikan diri menatap pak Afis, sambil sedikit mengangguk. Aku tidak tahu, kenapa pak Afis menyuruhku menemuinya. Tapi aku, entah mengapa, semakin merasa tak karuan dan takut. Aku takut pak Afis akan memarahiku, karena terlambat hari ini.
Ketika jam istirahat, aku pun melangkah gontai menuju ruangan pak Afli yang berada di ujung gedung. Aku mengetuk pintu, dan pak Afli mempersilahkan aku masuk.
Pak Afli hanya sendirian di ruangan tersebut. Ia duduk di kursi kerjanya sambil menatapku, yang melangkah mendekat. Aku melangkah dengan tertunduk. Perasaan takutku kian menjadi.
"duduk!" perintah pak Afis, saat aku sudah berada di depan meja kerjanya.
Aku pun kemudian duduk dan dengan ragu mulai menatap wajah pak Afis. Kulihat pak Afis tersenyum tipis.
"dari dulu saya paling tidak suka ada siswa yang terlambat ketika jam pelajaran saya. Harus ada hukumannya untuk semua itu..." ucap pak Afis tegas.
Aku terdiam. Rasa takutku semakin menjadi. Entah hukuman apa yang akan pak Afis berikan padaku. Tapi aku harus menerimanya, karena aku memang bersalah.
Tiba-tiba pak Afis berdiri, lalu melangkah mendekatiku. Ia berdiri di depanku sambil bersandar di meja kerjanya. Aku mengangkat wajah. Aku melihat dengan jelas tonjolan di celana pak Afis, yang memakai celana training ketat itu. Tonjolan itu terlihat jelas. Aku menatapnya terkesima. Jarak pak Afis tidak sampai setengah meter dariku. Jantungku berdebar-debar tak karuan. Tapi pak Afis terlihat santai, bahkan dengan sengaja menyentuh tonjolannya itu dengan tangan kirinya.
"kamu saya beri hukuman untuk membersihkan wc itu.." ucap pak Afis, sambil ia menunjuk ruang wc yang ada di sudut ruangan tersebut.
"baik pak.." balasku cepat, sambil berdiri. Aku berdiri di depan pak Afis, wajah kami berdekatan. Aroma harum nafas pak Afis tercium di hidungku. Aku menghirupnya sejenak, lalu memutar langkah menuju wc yang tadi pak Afis tunjuk. Gemuruh di dadaku semakin tak karuan.
Sesampainya di dalam wc, aku menarik napas panjang, sekedar menenangkan pikiranku. Aku sempat berpikir, jika tadinya pak Afis akan menyuruhku menyentuh tonjolannya. Membuatku tiba-tiba bergairah. Tapi pak Afis justru menyuruhku untuk membersihkan wc, yang sebenarnya tidak kotor. Namun karena ini sebuah hukuman, aku dengan terpaksa mulai membersihkannya.
Selang beberapa saat, saat aku sedang sibuk menggosok lantai wc tersebut. Tiba-tiba pak Afis muncul di belakangku. Ia berdiri menatapku, lalu dengan perlahan menutup pintu wc dari dalam.
Aku kaget dan merasa takut. Pak Afis berdiri di depanku, yang sedang jongkok. Sekali lagi aku melihat tonjolan di celana pak Afis, yang kali ini kulihat semakin besar. Pak Afis menyentuh tonjolan itu perlahan. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk.
"kamu mau ini?" tanya pak Afis, sambil menggenggam tonjolannya tersebut.
Tok! tok! tok!
Sebuah ketukan di pintu wc menyadarkanku dari dunia khayalku yang kuciptakan tiba-tiba. Aku kaget dan segera mengancingi celanaku lagi. Aku memang sempat berfantasi menikmati senjata pak Afis, karena beberapa kali melihat tonjolan pak Afis pagi ini. Tanpa sadar aku mengunci pintu wc dan mulai memainkan senjataku sendiri. Menikmati onani-ku dengan melamunkan senjata pak Afis.
Pak Afis yang tadi kulihat pergi keluar ruangan, ternyata sudah kembali. Dan melihat pintu wc yang terkunci, pak Afis pun mengetuknya. Mengira aku sudah tidak berada di dalam. Aku dengan tergesa segera membuka pintu.
"kamu ngapain? kenapa pintunya kamu kunci?" suara pak Afis tegas bertanya.
Aku dengan sedikit kikuk menjawab, "saya lagi buang air pak..." suaraku bergetar, menahan takut dan juga menahan gairahku yang sempat tertunda.
"ya udah. Sekarang sudah jam masuk. Kamu boleh kembali ke kelas. Tapi ingat! Lain kali jangan terlambat lagi ya, terutama di jam pelajaran saya..." ucap pak Afis lagi, sambil ia melangkah menuju meja kerjanya.
Aku segera melangkah keluar. Perasaanku masih tak karuan. Tapi setidaknya aku merasa lega, karena pak Afis tidak tahu apa yang aku lakukan di dalam wc tersebut. Dan setidaknya sekarang aku sudah bebas dari hukumannya.
Meski tentu saja, keinginan untuk menikmati tubuh pak Afis masih terus membayangi pikiranku. Aku tak tahu, entah sampai kapan aku sanggup menahannya. Dan entah masih mungkin aku bisa mendapatkan pak Afis, yang selalu ada dalam khayalku.
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih